Sunday, November 25, 2007

Di buka kembali

Assalamu`alaykum Warohmatulloohy Wabarokaatuh

Kepada pengunjung blog ini, di beritahukan bahwa blog ini sudah aktif kembali untuk dakwah. Selamat membaca.

Friday, November 16, 2007

Transformasi

Assalamu`alaykum warohmatulloohy wabarokaatuh

Kepada pengunjung blog saya, diberitahukan untuk sementara penggunaan blog ini tidak akan digunakan untuk dakwah.

Jika ingin lebih mengenal ide syari`ah dan khilafah ,silahkan merujuk pada website resmi Hizbut Tahrir yaitu www.hizbut-tahrir.or.id.

Demikian pengumuman ini diberitahukan secara singkat dan padat.

Muhammad Abduh a.k.a Luqman Al - Bantuly

Tuesday, July 10, 2007

DARI MASJID AL-AQSHA MENUJU KHILAFAH: SEJARAH AWAL PERJUANGAN HIZBUT TAHRIR

DARI MASJID AL-AQSHA MENUJU KHILAFAH:
SEJARAH AWAL PERJUANGAN HIZBUT TAHRIR


Bisyarah Rasulullah saw.:

Dari Nu'man bin Basyir berkata, Rasulullah saw. bersabda:



"Di tengah kalian terdapat kenabian, dengan izin Allah ia akan tetap ada. Kemudian Dia mencabutnya, ketika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian ada Khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian, dengan izin Allah ia akan tetap ada. Kemudian Dia mencabutnya, ketika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian setelah ada penguasa zalim, dengan izin Allah ia akan tetap ada. Kemudian Dia mencabutnya, ketika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian ada penguasa diktator, dengan izin Allah ia akan tetap ada. Kemudian Dia mencabutnya, ketika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian ada Khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian. Kemudian beliau diam. (H.r. Ahmad)


Pendahuluan

Pada hari-hari ini, tengah berlangsung peringatan Isra' Mikraj, dimana Rasulullah saw. telah diperjalankan dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsa, kiblat pertama dari dua kiblat, masjid kedua di antara dua masjid, dan tanah suci ketiga. Kini, al-Aqsa masih tetap menjadi tawanan, yang menanti untuk dibebaskan. Sungguh, al-Aqsa tidak akan pernah menjadi tawanan, seandainya kaum Muslim mempunyai satu negara yang menerapkan syariat Allah, menjaga kemuliaan dan kehormatan mereka.

Sultan 'Abdul Hamid II, khalifha 'Utsmaniyah kala itu, menolak mentah-mentah permintaan Dr. Theodore Hertzl, bapak Zionis, seraya menyatakan:

"Nasehatilah temanmu Hertzl agar tidak mengambil langkah-langkah baru dalam masalah ini. Sebab, saya tidak akan bisa mundur dari tanah suci (Palestina) ini, walau hanya sejengkal. Karena tanah ini bukanlah milikku. Tanah ini adalah milik bangsa dan rakyatku. Para pendahuluku telah berjuang demi mendapatkan tanah ini. Mereka telah menyiraminya dengan tetesan darah. Biarlah orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan uang mereka. Jika negeriku tercabik-cabik, maka sangat mungkin mendapatkan Palestina tanpa imbalan dan balasan apapun. Namun patut diingat, bahwa hendaknya pencabik-cabikan itu dimulai dari tubuh dan raga kami. Namun, tentu aku tidak menerima ragaku dicabik-cabik selama hayat masih di kandung badan."

Tepat sekali, apa yang dinyatakan oleh Sultan Abdul Hamid. Maka, untuk mengambil Palestina, kaum Zionis itu menyusun rencana untuk menghancurkan Khilafah, dan setelah itu semuanya bisa dengan mudah mereka dapatkan, tanpa imbalan apapun. Itulah nasib Palestina, setelah Khilafah yang menaunginya tidak ada lagi.

Allah Berjanji Akan Mengembalikan Khilafah

Dalam al-Qur'an, surat an-Nur [24]: 55, Allah berjanji untuk mengembalikan khilafah (istikhlaf), melalui firman-Nya:



"Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik." (Q.s. an-Nur [24]: 55)



Benar. Itu adalah janji diberikannya kekuasaan (istikhlaf). Itulah janji ilahiyah yang agung, yang telah mendarah daging dalam kehidupan umat Islam yang agung, yang pernah diberi kekuasaan oleh Allah di muka bumi. Maka, umat ini pun telah memeluk akidah Islam, mengimani Allah sebagai tuhannya, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya, serta Islam sebagai agamanya. Umat ini telah memerintah dengan apa yang diturunkan oleh Allah, dan mendirikan negara Khilafah Islam, yang telah berdiri sepanjang zaman, yang pertama adalah Abu Bakar as-Shiddiq dan terakhir Abdul Majid II, rahimahullah. Semuanya itu telah berlangsung sekian lama, kurang lebih 13 abad.

Kaum Muslim telah hidup sepanjang kurun yang lama di bawah naungan negara Khilafah, yang memberlakukan hukum-hukum syara' kepada mereka dalam seluruh aspek kehidupan, serta mengemban dakwah kepada seluruh umat manusia melalui jihad fi sabilillah, sehingga terjadilah berbagai pembebasan dan kemenangan. Orang-orang pun dengan berbondong-bondong masuk ke dalam agama ini. Akhirnya umat ini pun benar-benar telah memperoleh kemuliaan dan kekuasaan (istikhlaf). Semua kesempatan itu diperoleh karena mereka mempertahankan negara yang menjaga kehormatan hukum, menjalankan syariah Allah, mempertahankan wilayah kaum Muslim, mengemban Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. Dengan begitu, ia berhak mendapatkan janji Allah, sekaligus membenarkan kabar gembira Rasulullah yang berdabda:



"Akan ada para Khalifah, dan jumlah mereka banyak." (H.r. Muslim)


Memang benar, itu adalah janji Allah SWT. yang telah berhasil didirikan oleh Rasulullah saw. Setelah itu, diterima oleh para Khulafa' Rasyidin. Kaum Muslim setelahnya pun tetap konsisten mengikutinya, hingga negara itu runtuh. Namun, dengan izin Allah, ia pun akan kembali lagi, sebagaimana janji Allah, dan kabar gembira Rasulullah saw.

Hakikat Khilafah:

Al-Ustadz 'Utsman Abu Khalil, Juru bicara Hizbut Tahrir Sudan, menyatakan, bahwa dengan sistem Khilafah itulah semua urusan umat Islam ini berhasil disatukan, dan itulah yang akan mempersatukan umat, menaungi dan melindunginya. Masih menurutnya, saat ini kita menyaksikan, bagaimana umat Islam telah dihinakan dan dikerubuti oleh umat manusia dari berbagai sisi, karena tidak ada negara (Khilafah) yang melindunginya.

Sungguh tepat sekali ungkapan al-Imam al-'Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ketika menggambarkan Khilafah ini dengan gambaran yang sangat akurat, seraya mengatakan, "Khilafah adalah arus utama Islam, dan apa yang selalu dikelilingi... Dengannya, agama akan terjaga, dan Islam pun akan terlindungi. Hudud akan bisa ditegakkan. Berbagai kejahatan akan bisa dicegah. Dengannya perbatasan akan bisa dijaga. Wilayah yang dilindungi akan tetap terjaga, dan tidak akan dilanggar..

Namun, "arus utama" ini nyaris ditinggalkan oleh kaum Muslim, seiring dengan terpisahnya mereka dengan negara Khilafah, yang telah runtuh pada tanggal 28 Rajab 1342 H, bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924 M di tangan seorang Yahudi, Freemasonry, Mustafa Kamal Attaturk, antek Inggeris. Dengan menyingkirkan pemerintahan Islam, mengusir khalifah dan keluarga 'Utsmani untuk meninggalkan ibukota Istambul dengan arahan dan dukungan penjajah Inggeris-Kafir. Semuanya itu untuk melaksanakan apa yang ditetapkan oleh Menlu Inggeris kala itu, Lord Curzon, sebagai persyaratan busuk yang ditetapkan kepada bangsa Turki dalam Konferensi Lausanne, yang dipenuhi kebusukan. Setelah penandatanganan Perjanjian Lausanne pada tanggal 24 Juli 1923, tentara Inggeris meninggalkan Istambul dan Madzahiq.

Dengan bangga, Curzon menyatakan di depan Parlemen Iggeris ketika itu, "Turki telah dihancurkan, dan tidak akan pernah bisa bangkit kembali, karena kita telah menghancurkan kekuatan moralnya, yaitu Khilafah dan Islam."

Al-Ustadz Fauzi Sinnuqarth, penulis buku at-Taqarrub Ila-Llah, Thariqu at-Taufiq, menyatakan:

Saya ingat, pada tahun 1924 di kota al-Khalil (Palestina), ada salah seorang Yahudi berkata kepada tetangganya yang Muslim, "Umatmu kemarin benar-benar telah mati." Orang (Muslim) tersebut tidak paham apa makna kalimat ini, kecuali setelah beberapa hari kemudian, setelah dia tahu bahwa negara Khilafah telah dihancurkan. Sementara Yahudi yang busuk itu sudah memahami makna kehancuran Khilafah, bahwa ia bagaikan ibu (induk) yang mengumpulkan anak-anaknya. Khilafahlah yang menyatukan kaum Muslim dalam satu negara, satu kepemimpinan, satu tentara, dan satu tujuan.

Begitulah, Khilafah benar-benar telah runtuh dengan mudahnya, dan benar-benar telah dihancurkan. Islam telah dihancurkan sebagai UUD negara, perundang-undangan umat dan sistem kehidupan, melalui tangan Inggeris dengan menggunakan antek dan orang upahannya, sang pengkhianat, Mustafa Kamal Attaturk. Tak ada lagi pemerintahan Islam, setelah runtuhnya Khilafah 'Utsmaniyah, kecuali hukum-hukum syara' telah diubah. Makna persatuan dan ikatan jamaah di antara sesama Muslim pun telah dihancurkan. Negeri-negeri Islam telah dikerat-kerat menjadi beberapa entitas, keratan dan negara-negara kecil yang tidak mampu menghadapi musuh tanpa bantuan dari negara Kafir. Akhirnya negeri-negeri itu telah berubah menjadi wilayah kekuasaan negara-negara besar, atau setidaknya menjadi pasien negara-negara besar, atas nama sejumlah negara.

Padahal, Rasulullah saw. telah bersabda:


"Jika telah dibai'at dua khalifah, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya."

Beliau juga bersabda:

"Jika kalian didatangi oleh orang yang ingin mematahkan tongkat kalian, dan memecah belah jamaah kalain, maka penggallah lehernya, siapapun dia."

Allah Menyiapkan Lahirnya Hizbut Tahrir

Allah telah menyiapkan dari rahim umat ini sebuah partai yang telah didirikan oleh putra-puterinya, yang berjuang dan terus-menerus berjuang guna melanjutkan kehidupan Islam dengan mendirikan negara Khilafah. Negara Khilafah yang akan menerapkan Islam dan menyatukan kaum Muslim. Berdirinya Hizbut Tahrir adalah memenuhi panggilan Allah SWT:


"Hendaknya ada di antara kalian satu umat yang menyeru pada kebaikan (Islam), mengajak pada kemakrufan dan mencegah dari kemunkaran, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.s. Ali 'Imran [03]: 110)

Bertujuan untuk membangkitkan umat Islam dari kemerosotan luar biasa yang telah menimpanya, membebaskan mereka dari pemikiran Kufur, sistem dan hukumnya, juga dari hegemoni dan cengkraman negara-negara Kafir.

Juga bertujuan untuk mengembalikan Khilafah kembali, sehingga pemerintahan berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah itu benar-benar kembali. Dari tangan al-'Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, kelompok ini lahir. Kelompok yang kemudian diberi nama Hizbut Tahrir, yang berarti partai pembebasan.

Sosok Pendiri dan Amir Pertama Hizbut Tahrir

As-Syaikh Fathi Muhammad Salim, penulis buku al-Istidlal bi ad-Dzan fi al-'Aqidah, menuturkan sejarah singkat al-'Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, rahimahu-Llah. Dalam penuturannya beliau menyatakan, bahwa an-Nabhani lahir dari gudang ilmu (bait al-'ilm). Kakeknya, as-Syaikh Husein an-Nabhani, adalah ulama' besar di era Khilafah 'Utsmaniyyah. Beliau, al-'Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani --rahimahu-Llah-- mendapatkan pendidikan agama Islam dalam sebuah keluarga yang Islami. Kemudian berpindah ke al-Azhar, dan belajar di sana. Beliau telah memperoleh 4 ijazah:

(1) Ijazah Tsanawiyah al-Azhar,

(2) Ijazah al-Ghuraba',

(3) Ijazah di Bidang Peradilan,

(4) Ijazah al-'Alamiyyah.


Ijazah al-'Alamiyyah ini saat ini setara dengan ijazah doktor. Beliau kemudian kembali ke Palestina, dan aktif dalam tugas di bidang pendidikan. Setelah itu, beralih ke tugas di bidang peradilan, dan aktif di Mahkamah Tinggi di sana.

Ini dari sisi suasana keislaman, baik dalam kontek belajar maupun mengajar. Beliau adalah orang yang mempunyai kepekaan dan kejeniusan yang luar biasa. Beliau bisa merasakan dan menggambarkan kebangkitan, akibat dari berbagai kemerosotan yang telah menimpa umat ini, dan berbagai musibah yang menderanya.

Setelah melalui kajian yang panjang, beliau terinspirasi dengan gagasannya yang pertama, yaitu tentang kebangkitan. Karena itu, Islam harus dikembalikan dalam kehidupan, dan Khilafah Islam yang dinyatakan oleh Rasul saw. sebagai kabar gembira yang akan kembali berdasarkan tuntunan kenabian juga harus ditegakkan. Beliau kemudian kembali ke Palestina, dan merasakan kemerosotan yang telah terjadi. Kemudian hijrah ke Beirut, dan setelah itu kembali lagi. Artinya, berbagai musibah tersebut telah menimpanya persis seperti yang beliau rasakan. Karena itu, beliau sangat terpengaruh dengan kemerosotan dan apa yang telah terjadi dalam Krisis Palestina. Dari situlah, memicu munculnya pertanyaan; apa tugas kaum Muslim yang ada di seluruh dunia? Beliau melihat, bahwa realitas tersebut hanya bisa diselesaikan dengan Islam.

Setelah itu, hasil kajian beliau yang dilakukan secara terus-menerus dan konstan, baik terhadap fakta ataupun berbagai gerakan yang tengah berjuang di tengah-tengah masyarakat, dengan menyarikan dan mendiskusikannya, semuanya itu telah menghasilkan buah. Intinya, bahwa harus ada perjuangan, tapi bukan hanya sekedar berjuang, melainkan perjuangan yang terukur.

Tentu, dan perjuangan itu untuk membangun pemikiran, dengan tujuan yang jelas, sebagaimana gagasan yang menginspirasi pikiran beliau sebelumnya, yaitu kebangkitan.

Hizbut Tahrir Lahir di Masjid al-Aqsa:

Al-Ustadz Fauzi Sinnuqarth, menuturkan sejarah awal terbentuknya Hizbut Tahrir:

Saya ingat, bahwa pertama kali beliau menjelaskan masalah Khilafah, ketika berada di Masjid al-Aqsa yang penuh berkah, di salah satu sudut sebelah barat daya. Di sana terdapat ruangan yang memanjang. Beliau berbicara kepada banyak orang setelah shalat Jum'at, suatu pembicaan yang sangat menyentuh dan jelas. Di sekeliling beliau ketika itu berkumpul ratusan orang. Beliau menceritakan kepada mereka Sirah Nabawiyyah. Sesekali beliau menceritakan wafatnya Rasulullah saw, dan bagaimana kaum Muslim setelah beliau wafat, mereka menyibukkan diri di Saqifah Bani Sa'adah untuk mengangkat seorang khalifah bagi mereka, sementara mereka membiarkan pemakaman beliau sampai bia'at kepada Abu Bakar as-Shiddiq berhasil dilakukan.

Jadi, itu merupakan pembahasan, dan pembicaraan pertama tentang penegakan khalifah serta seruan untuk menegakkannya. Peristiwa itu terjadi tepat pada tahun 1950 M. Syaikh Taqiyuddin kemudian melanjutkan kontak beliau dengan orang yang menginginkan kebaikan, yaitu para pemuda dari al-Quds. Lalu beliau pun mengontak para pemuda yang lain lagi, yang menginginkan kebaikan, atau beliau tahu kalau mereka itu baik dari daerah al-Khalil dan Tulkarim. Ketika beliau mendengar ada seseorang yang menginginkan kebaikan, atau beliau merasa bahwa dia baik, pasti akan beliau kontak. Dengan cara seperti itu, beliau berhasil merekrut banyak orang.

Beliau mengajak mereka berdiskusi dengan mendalam. Misalnya, diskusi beliau dengan salah seorang dari keluarga 'Azzah, dan keluarga Hammad, sebuah diskusi yang mendalam. Melalui diskusi tersebut, beliau menulis pembahasan al-Qiyadah al-Fikriyyah fi al-Islam (kepemimpinan intelektual dalam Islam) yang telah dimasukkan dalam kitab Nidzam al-Islam. Diskusi beliau dengan seseorang, namanya Said Ramadhan tentang akhlak. Setelah itu, beliau menulis al-Akhlaq fi al-Islam (Akhlak di dalam Islam) dalam kitab Nidzam al-Islam.

Hizbut Tahrir di Yordania

Tokoh Hizbut Tahrir asal Yordania, as-Syaikh Fathi Muhammad Salim, menuturkan bahwa di Yordania, ada orang yang bertugas mengontrol gerakan politik, gerakan atau kelompok. Dia mengirim utusan kepada as-Syaikh Taqiyuddin, dengan membawa sejumlah uang, yaitu beberapa Dinar. Utusan tersebut kemudian mengatakan kepada Syaikh, "Ini merupakan kompensasi untuk Anda dari kelompok." Tak lama kemudian beliau menyatakan kepada utusan tersebut, dan ternyata di bawah sebuah traktor ada dua bekas roda, di sana ada buah tomat, seraya berkata, "Ini cukup bagiku, dan aku tidak butuh uang dari Inggeris."

Ini yang pertama. Beliau terus melangkah dengan dakwahnya, sehingga nyaris menghadapi kesulitan. Dengan kata lain, aktivitas beliau mulai meluas, dan tertanam di tengah masyarakat, dan mulai banyak pengikut. Sehingga personil tentara ketika itu ratusan orang telah bersama Hizb, dan setiap orang yang siap halqah jumlahnya ribuan. Setiap orang telah diatur menjadi sebuah sistem, dan meyakini Hizb. Pada saat itu, kelompok tersebut berpikir tentang sesuatu yang lain, yaitu usaha untuk mengenyahkan Syaikh Taqiyuddin.

'Abbas al-Haj Naji, salah seorang mantan personil tentara Yordania, menuturkan pengalamannya tentang as-Syaikh Taqiyuddin, ketika memberikan ceramah di Jami'ah al-Kulliyah al-'Ilmiyyah al-Islamiyyah. Beliau menyatakan, "Tahun 1952, beliau memberian ceramah di Jami'ah al-Kulliyah al-'Ilmiyyah al-Islamiyyah, dan saya waktu itu sedang shalat di belakang beliau. Ketika sosok ini berceramah di atas mimbar, satu-satunya masjid di 'Amman (Yordania), dimana para duta dan menteri semuanya shalat di masjid itu.

Mukaddimah khutbah Syaikh Taqiyuddin, yang selalu saya ulang-ulang, ketika saya masih di kesatuan tentara, dan sampai sekarang masih ada di atas mimbar tersebut. Beliau membuka khutbah dengan mukaddimah,

"Segala puji hanya milik Allah, yang telah memberikan hidayah kepada kita dalam perkara ini. Dan kita tidak akan mendapatkan hidayah, kalau bukan karena kita telah diberi hidayah oleh Allah. Tak ada yang aku yakini, aku jadikan tempat berlari dan berserah diri, kecuali kepada Allah. Wahai hamba Allah, aku wasiatkan kepada Anda dan diriku untuk senantiasa bertakwa dan taat kepada Allah yang Maha Agung. Aku peringatkan Anda dan diriku, dari maksiat dan menyimpang dari perintah dan larangan-Nya, berdasarkan firman-Nya:

"Siapa saja yang melakukan kebaikan, itu adalah untuk dirinya, dan siapa saja yang melakukan keburukan, sesungguhnya itu adalah untuk dirinya. Dan tuhanmu tidak akan pernah berbuat zalim kepada para hamba-Nya."

Saya bersaksi, bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dialah yang mempunyai kerajaan, dan segala puji hanya untuk-Nya. Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Dia Dzat yang Maha Hidup, dan tak kan pernah mati. Kepada-Nya tempat kembali. Aku bersaksi, bahwa Muhammad adalah hamba-Nya, rasul-Nya, orang yang paling loyal kepada-Nya, teman setia-Nya, makluk terbaik-Nya, Nabi-Nya, peyampai risalah-Nya, yang menunaikan amanah-Nya, yang menasehati umat, dan yang berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya hingga bukti (Islam) itu datang kepadanya.

Inilah mukaddimah Syaikh Taqiyuddin di Jami'ah al-Kulliyah al-Islamiyyah, dengan impresi yang luar biasa. Ketika itu berhasil menarik imam masjid tersebut, dan dia pun menyampaikannya di atas mimbar. Ketika itu, saya mendengarkannya, dan Allah memberikan taufik kepada saya. Alhamdulillah.

Thursday, May 17, 2007

Mengkritisi Konsep Theo - Demokrasi




MENGKRITISI
KONSEP THEO-DEMOKRASI

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi


Makna Theo-Demokrasi



Konsep theo-demokrasi merupakan konsep sistem politik Islam yang digagas oleh Abul A’la Al-Maududi (lahir 1903), ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978.
Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep theo-demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).
Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan,”Dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat...” (Al-Maududi, 1988:67).



Mengenai theokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-demokrasi, sebenarnya juga ditolak oleh Al-Maududi. Terutama theokrasi model Eropa pada Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan (Amien Rais, 1988:22). Meskipun demikian, ada anasir theokrasi yang diambil Al-Maududi, yakni dalam pengertian kedaulatan tertinggi ada berada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah SWT (Al-Maududi, 1988:67).
Walhasil, secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau, seperti diistilahkan Al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of God (Amien Rais, 1988:23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu Islamic Law and Constitution (1962:138-139), Al-Maududi menggunakan istilah divine democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam (Asshidiqie, 1995:17).

Penggunaan Istilah Theo-Demokrasi



Catatan kritis pertama adalah penggunaan istilah theo-demokrasi itu sendiri. Bolehkah kita menggunakan istilah Barat yang maknanya bertentangan dengan Islam, seperti theokrasi dan demokrasi, lalu diberi makna baru atau catatan-catatan agar tidak bertentangan dengan Islam?
Memang, Al-Maududi sendiri menolak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat yang sekuler. Benar pula bahwa dia pun lalu memberikan muatan makna baru yang Islami seraya menolak muatan makna yang sekuler. Namun dia sendiri tidak pernah menjelaskan argumentasi yang membolehkan pemaknaan ulang suatu istilah asing seperti yang dia lakukan. Inilah kiranya satu celah kelemahan konsep theo-demokrasi.



Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan (An-Nabhani, 2001: 85-86). Dalam hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman :
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104)

“Raa’ina” artinya adalah “sudilah kiranya Anda memperhatikan kami.” Di kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut “Raa’ina”, padahal yang mereka katakan adalah “Ru’uunah” yang artinya “kebodohan yang sangat.” Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan “Raa’ina” dengan “Unzhurna” yang sama artinya dengan “Raa’ina”. Oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhum Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir (1991), ayat ini dijadikan dalil untuk menolak penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami. Karena itu, penggunaan istilah demokrasi, theokrasi, atau theo-demokrasi tidak dapat diterima, karena pengertiannya mengandung ambivalensi antara yang mengartikannya menurut perspektif sekular dan yang mengartikannya menurut perspektif Islami (Abdullah, 1996:10-11).

Kedaulatan dan Kekuasaan



Catatan kritis kedua, bahwa konsep theo-demokrasi tidak secara jernih membedakan “kedaulatan” dan “kekuasaan” dalam perspektif Islam. Ada semacam kerancuan. Bahkan terkesan keduanya dicampuradukkan menjadi satu, karena kata “theo” mewakili konsep kedaulatan Tuhan (theokrasi), sedang kata “demokrasi” mewakili konsep kekuasaan rakyat. Meski disayangkan, namun hal ini wajar terjadi, karena dalam pemikiran politik Barat yang dominan di seluruh dunia, kedua hal tersebut memang berasal dari satu sumber yang sama, yaitu rakyat. Sebab rakyat menurut Barat adalah sumber legislasi (source of legislation) sekaligus sumber kekuasaan (source of power).
Meski demikian, sesungguhnya kedaulatan dan kekuasaan dapat dibedakan. Kedaulatan (as-siyadah, sovereignty) merupakan konsep yang berkaitan dengan kewenangan membuat hukum (legislasi). Sedang kekuasaan (as-sulthan, power) berkaitan dengan siapa yang berwenang menerapkan hukum itu dalam kekuasaan (Al-Khalidi, 1980:24; Al-Jawi, 2003:209-210).
Berdasarkan pembedaan inilah, maka An-Nabhani (1990:38-40) merumuskan konsepnya mengenai kedaulatan dan kekuasaan dalam Islam. Kedaulatan (as-siyadah) dalam Islam, adalah di tangan syara’ (as-siyadah li asy-syar’i), bukan di tangan rakyat. Rakyat tidak berhak membuat hukum, sebab yang menjadi Pembuat Hukum (Al-Musyarri’, Law Maker) hanyalah Allah SWT (lihat misalnya QS Al-An’aam : 57). Adapun kekuasaan (as-sulthan), adalah di tangan umat (as-sulthan li al-ummah), sebab umatlah yang berhak membaiat siapa saja yang dikehendakinya untuk menjadi penguasa (khalifah). Dengan pembedaan yang tegas antara konsep kedaulatan dan kekuasaan ini, seperti dirumuskan oleh An-Nabhani, kerancuan berpikir tidak akan terjadi. Ini tentu berbeda dengan konsep theo-demokrasi yang menggabungkan konsep kedaulatan dan kekuasaan menjadi satu, sehingga masih berpeluang merancukan dan menggelincirkan pemahaman.

Kedaulatan Tuhan



Catatan kritis ketiga, berkaitan dengan diakomodasinya konsep “kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dalam konsep theo-demokrasi Al-Maududi. Dalam hal ini perlu kiranya dicermati, bahwa An-Nabhani mengusulkan konsep “kedaulatan di tangan syara’”, dan bukannya konsep “kedaulatan Tuhan”. Secara substansial memang tak ada perbedaan antara An-Nabhani dengan Al-Maududi mengenai maknanya, yakni bahwa yang berhak membuat hukum hanya Allah semata dan manusia tidak berhak membuat hukum. Namun di sini terlihat dengan jelas bahwa An-Nabhani berusaha dengan amat hati-hati untuk tidak menggunakan istilah “kedaulatan Tuhan” yang bisa menimbulkan kesalahpahaman.



Sikap An-Nabhani tersebut akan dapat dipahami karena dalam teori “kedaulatan Tuhan” terkandung konsep yang bertentangan dengan Islam. Teori “kedaulatan Tuhan” tak dapat dilepaskan dari konsep theokrasi yang berkembang di Barat pada Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d ke-15 M). Menurut The Concise Oxford Dictionary, hal. 1321, istilah theokrasi dikaitkan dengan pemerintahan atau negara yang diperintah oleh Tuhan, baik secara langsung maupun melalui kelas kependetaan (Asshidiqie, 1995:23). Dalam theokrasi Barat ini, konsep “kedaulatan Tuhan” mempunyai arti bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah Tuhan. Selanjutnya, Tuhan mewakilkan kekuasaan-Nya kepada raja atau Paus (Amiruddin, 2000:103-104). Oleh karena mewakili Tuhan, maka segala perilaku raja atau Paus selalu terjaga dari kesalahan atau suci (ma’shum, infellible). Jadi, negara theokrasi --yang menjalankan teori kedaulatan Tuhan-- merupakan negara yang dipimpin oleh gerejawan atau raja yang menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan dan suci. Maka dari itu, apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang mereka haramkan di dunia, tentu diharamkan pula di langit (lihat Dr. Yusuf Qardhawy, Fiqih Daulah, hal. 81). Bahkan menurut Imam Khomeini, tokoh kaum Syiah yang sangat terpengaruh dengan konsep theokrasi Eropa, kesucian para pemimpin/penguasa, berada pada martabat yang sangat tinggi yang bahkan tak bisa dijangkau oleh para nabi maupun malaikat muqarrabin (lihat Al-Imam Al-Khomeini, “Al-Wilayah At-Takwiniyah”, Al-Hukumah Al-Islamiyah, hal. 52).



Dari uraian sekilas ini, nampak teori “kedaulatan Tuhan” sungguh tak dapat dilepaskan dari konsep theokrasi yang bertentangan dengan Islam. Setidaknya ada tiga poin krusial yang menunjukkan kontradiksi teori “kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dengan Islam. Pertama, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa adalah wakil Tuhan di muka bumi. Sedang dalam Islam, seorang khalifah dalam negara Khilafah adalah wakil umat -–bukan wakil Tuhan-- dalam urusan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum Syariah Islam (An-Nabhani, 1990:48). Kedua, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa bersifat ma’shum. Sedang dalam Islam seorang khalifah bukan orang ma’shum. Bisa saja dia berbuat dosa dan kesalahan. Karena itulah, amar ma’ruf nahi munkar disyariatkan (An-Nabhani, 1990:119-121). Ketiga, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa atau gerejawan membuat undang-undang atau hukum yang berasal dari dirinya sendirinya, tanpa suatu acuan dan pedoman yang jelas dari wahyu Tuhan. Sedang dalam Islam, penguasa mengadopsi hukum-hukum syara’ berdasarkan ijtihad yang sahih dengan acuan dan pedoman yang jelas, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (Djaelani, 1994:86-87). Walhasil, adanya kontradiksi tajam antara “kedaulatan Tuhan” dengan Islam inilah yang kemungkinan membuat An-Nabhani berhati-hati merumuskan konsepnya sebagai “kedaulatan di tangan syara’ “ (as-siyadah li asy-syar’i), bukan kedaulatan di tangan Allah (as-siyadah li-llah), demi kejernihan pemikiran.

Penutup



Dari uraian di atas, jelaslah bahwa konsep theo-demokrasi lebih banyak mendatangkan masalah dan kerumitan baru, daripada mendatangkan kecemerlangan dan penyelesaian berbagai masalah. Dalam beberapa hal, konsep theo-demokrasi cukup bisa membedakan dengan kontras sistem Khilafah dan Kerajaan. Tapi konsep ini tidak bisa membedakan secara jelas perbedaan sistem republik –atau republik Islam-- dengan sistem Khilafah. Ini tentunya wajar karena konsep theo-demokrasi memang didasarkan pada sikap akomodatif antara Islam dan ide demokrasi, sebagai dasar sistem republik. Jika ini yang terjadi, maka terwujudnya sistem Khilafah akan mengalami hambatan dan akan memakan waktu lebih lama, karena bisa jadi para aktivisnya terkecoh dengan jalan perjuangan kooperatif melalui perbaikan sistem republik yang ada. Apalagi kalau namanya sedikit diganti menjadi “republik Islam”, seperti misalnya Republik Islam Pakistan.
Sudah selayaknya, kejernihan dan kecemerlangan berpikir selalu dikedepankan dalam upaya menuju kebangkitan umat. Sebab umat Islam tidak akan mungkin mengalami kebangkitan pemikiran, kecuali dengan kembali mengambil pemikiran-pemikiran yang cemerlang (mustanir). Konsep yang kabur atau kurang jelas sudah selayaknya dikesampingkan, untuk menuju konsep yang lebih jernih dan cemerlang. Bukankah Nabi SAW telah bersabda : “Tinggalkan apa yang meragukanmu (untuk) menuju apa yang tidak meragukanmu.” (HR. Ahmad, An-Nasa`i, dan Ath-Thabrani) [ ]


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Husain. 1996. Mafahim Islamiyah. Juz II. Cetakan I.Beirut : Darul Bayariq.
Al-Jawi, M. Shiddiq. 2003. “Must Islam Accept Democracy?” dalam David Bourchier & Vedi R. Hadiz (Editor). Indonesian Politics and Society : A Reader. London-New York : RoutledgeCurzon. hal. 207-211
Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. Cetakan I. Kuwait : Darul Buhuts Al-‘Ilmiyah.
Al-Maududi, Abul A’la. 1988. Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II. Bandung : Mizan.
Amiruddin, M. Hasbi. 2000.”Teori Kedaulatan Tuhan”. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. Cetakan I. Yogyakarta : UII Press. hal. 103-105.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Nizham Al-Islam. Cetakan VI. t.tp. : t.p.
Asshidiqie, Jimly. 1995. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Cetakan I. Jakarta : Gema Insani Press.
Djaelani, Abdul Qadir. 1994. “Kedaulatan Tertinggi dalam Negara”. Sekitar Pemikiran Politik Islam. Jakarta : Media Dakwah. Hal. 83-87.
Khomeini, Imam. Tanpa tahun. Al-Hukumah Al-Islamiyah. T.tp. : t.p.
Rais, Amien. 1988. “Kata Pengantar”. Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II. Bandung : Mizan.
Sammarah, Ihsan. 1991. Mafhum Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir. Cetakan II. Beirut : Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah.



Monday, April 23, 2007

Syura Bukan Demokrasi


SYURA BUKAN DEMOKRASI

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi



Pengantar


Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi, telah masyhur dan sudah lama adanya, meski anggapan ini sesungguhnya tidak benar. “Demokrasi bagi kita ialah musyawarah,” kata Sukarno, presiden pertama RI, ketika menyampaikan pidato berjudul "Negara Nasional dan Cita-Cita Islam" di Universitas Indonesia, di Jakarta 7 Mei 1953.
Namun demikian, tak sedikit pandangan kritis yang memandang syura bukanlah demokrasi. Abdul Qadim Zallum (1990), misalnya, menegaskan,”Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra`y). Sedangkan demokrasi, adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem [pemerintahan] ...”
Tulisan ini bertujuan menjelaskan bahwa syura (musyawarah) bukanlah demokrasi, dengan menguraikan dua hal utama, yaitu : (1) hakikat syura dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dan (2) perbedaan fundamental antara syura dengan demokrasi. Untuk itu, akan ditelaah secara komprehensif tiga kitab berikut : kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz I (Bab Asy-Syura hal. 246-261), karya Taqiyuddin an-Nabhani (1994), kitab Nizham Al-Hukm fi Al-Islam (Bab Majelis Ummat, hal. 214-224), karya Abdul Qadim Zallum (2002), dan kitab Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, karya Abdul Qadim Zallum (1990).

Hakikat Syura


Menurut pengertian bahasa, syura adalah mashdar (kata-dasar) dari kata syaawara (Zallum, 2002:216). Syura secara bahasa memiliki banyak makna. Menurut Ibnu Manzhur, dalam Lisan Al-‘Arab, Jilid II hal. 379-381, pada pasal sya-wa-ra, makna syura antara lain mengeluarkan madu dari sarang lilin [lebah] (istikhraj al-‘asl min qursh asy-syama’), memeriksa tubuh hamba sahaya perempuan dan binatang ternak pada saat pembelian (tafahhush badan al-amah wa al-daabbah ‘inda asy-syira`), menampakkan diri dalam medan perang (isti’radh an-nafs f imaydan al-qital), dan sebagainya (Al-Khalidi, 1980:141; Zallum, 2002:216).


Adapun menurut pengertian syariat --yang didasarkan pada nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah-- syura adalah mengambil pendapat (akhdh ar-ra`y[i]) (An-Nabhani, 1994:246). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (thalab ar-ra`y[i] min al-mustasyaar) (Zallum, 2002:216). Istilah lain syura adalah masyurah (An-Nabhani, 2001:111) atau at-tasyaawur (An-Nabhani, 1994:246).


Taqiyuddin An-Nabhani (1994:246) mengatakan bahwa syura dilakukan oleh setiap amir (pemimpin) terhadap orang-orang yang dipimpinnya, misalnya oleh seorang khalifah, komandan pasukan (qa`id), atau oleh setiap orang yang mempunyai kewenangan/otoritas (shahib ash-shalahiyah). Syura dapat dilakukan juga di antara suami isteri, misalnya untuk memusyawarahkan penyapihan anak mereka sebelum dua tahun (lihat QS Al-Baqarah : 233). Dalam sistem Khilafah, syura secara kelembagaan formal dilaksanakan dalam Majelis Ummat, yang merupakan lembaga wakil-wakil umat dalam musyawarah dan muhasabah (pengawasan) terhadap khalifah (Zallum, 2002:222). Maka fungsinya antara lain melakukan musyawarah dengan khalifah. Namun Majelis Ummat dalam negara Khilafah tidak mempunyai kewenangan legislatif seperti parlemen dalam sistem demokrasi. Fungsi legislasi dalam arti melakukan adopsi (tabanni) hukum syara’ dari sejumlah hukum syara’ yang ada dalam satu masalah untuk mengatur urusan rakyat, hanya menjadi otoritas khalifah, bukan yang lain (Zallum, 2002:44).


Hukum melakukan syura menurut Abdul Qadim Zallum adalah mandub, bukan wajib (2002:217-218). Ini sejalan dengan pandangan para ahli tafsir terkemuka yang menyatakan perintah Allah SWT kepada Rasulullah Saw untuk melakukan syura dalam Al-Qur`an surat Ali Imran : 159, adalah perintah mandub, bukan perintah wajib. Mereka itu misalnya Ibn Jarir Ath-Thabari (Jami’ Al-Bayan, IV/153), Al-Alusi (Ruhul Ma’ani, IV/106-107), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf. I/474), Imam Al-Qurthubi (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, IV/249-252), dan Ibnul ‘Arabi (Ahkamul Qur`an, I/298).


Jadi, meskipun ada tuntutan (thalab) dari Al-Qur`an untuk melakukan syura, misalnya dalam frasa “wa syaawir hum fil amri” (bermusyawarahlah kamu dalam urusan itu) (QS Ali ‘Imraan : 159), tetapi ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan tuntutan tersebut bukanlah tuntutan pasti (thalab jazim) --yang kesimpulan hukumnya wajib-- melainkan tuntutan tidak pasti (thalab ghayr jazim), yang kesimpulan hukumnya mandub. Qarinah tersebut antara lain, bahwa pada ayat tersebut terdapat frasa “fa idza azamta fatawakkal ‘ala-llah” (kemudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah). Ayat ini jelas menyandarkan ‘azam (tekad bulat) –yaitu maksud untuk melaksanakan sesuatu dan mengambil keputusan— hanya kepada Rasulullah, bukan kepada orang-orang yang diajak musyawarah. Karenanya, dalam banyak kebijakannya, Rasul mengambil keputusan tanpa bermusyawarah dengan para shahabat, seperti dalam pengangkatan para wali (gubernur), pengangkatan para qadhi (hakim), para sekretaris (kuttab), dan para pemimpian sariyah dan pasukan, juga penandatanganan gencatan senjata, dan sebagainya (Zallum, 2002:217-218). Ini menunjukkan syura adalah mandub, bukan wajib. Yang melakukannya akan mendapat pahala, sedang yang meninggalkannya tidak berdosa.


Siapa yang berhak melakukan syura? Syura sesungguhnya adalah hak kaum muslimin semata. Artinya, pihak pemegang kewenangan (shahib ash-shalahiyah), seperti khalifah, ketika hendak meminta atau mengambil pendapat, ia tidak mengambilnya kecuali dari kaum muslimin. Tegasnya, syura adalah proses pengambilan pendapat yang khusus di kalangan internal sesama orang Islam. Tidak boleh dalam syura mengambil pendapat dari orang kafir, meskipun boleh (ja`iz) orang kafir menyampaikan pendapat (ibda` ar-ra`y) kepada orang Islam dan boleh kaum muslimin mendengarkan pendapat (sama’ ar-ra`y) dari orang kafir tersebut (An-Nabhani, 2001:111). Kekhususan syura hanya untuk kaum muslimin, ditunjukkan misalnya oleh firman Allah SWT :

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka...” (QS Ali Imran [3] : 159)

Ayat ini menunjukkan menunjukkan bahwa sikap-sikap Rasul, seperti memohonkan ampunan kepada Allah, tidak mungkin beliau lakukan, kecuali bagi kaum muslimin. Sebab, Allah telah melarang Rasul memintakan ampunan kepada orang musyrik (Lihat QS At-Taubah : 113). Maka, demikian pula, bermusyawarah juga tidaklah dilakukan Rasul, kecuali dengan kaum muslimin (An-Nabhani, 1994:247).


Lalu, apakah dalam musyawarah, pendapat yang diambil selalu berdasarkan suara mayoritas seperti halnya dalam demokrasi? Memang, dalam sistem demokrasi suara mayoritas-lah yang menjadi penentu dalam segala bidang permasalahan. Sedangkan dalam syura, kriteria pendapat yang diambil tergantung pada bidang permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1990) dalam Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, adalah sebagai berikut :


Pertama, dalam masalah penentuan hukum syara’ (at-tasyri’), kriterianya tidak tergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syara' (nash Al-Qur`an dan As-Sunnah). Sebab, yang menjadi Pembuat Hukum (Musyarri' , The Law Giver) hanyalah Allah SWT, bukan umat atau rakyat. Sedang pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi) hukum-hukum syara' dalam sistem Khilafah, adalah khalifah saja. Bukan Majelis Ummat. Khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Ummat mengenai hukum-hukum syara’ yang akan dilegislasikannya, meskipun hal ini boleh dia lakukan. Jika khalifah meminta pendapat Majelis Ummat mengenai hukum-hukum syara' yang hendak diadopsinya, maka pendapat Majelis Ummat tidak mengikat khalifah, meskipun pendapat itu diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas.


Dalilnya adalah karena Rasulullah SAW pernah mengesampingkan pendapat kaum muslimin yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum muslimin waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Tetapi toh Rasulullah menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah SAW bersabda kepada mereka :

إِنِّي عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُوَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ

"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya." (HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Fathul Bari, VI/276; Shahih Muslim XII/141; Majma’ Az-Zawa`id wa Manba’ Al-Fawa`id, V/225)

Kedua, Dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya yang berkompeten. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat. Jadi, masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar kemiliteran. Masalah-masalah fiqih dikembalikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan kepada para pemikir besar. Demikianlah seterusnya.


Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah SAW mengikuti pendapat Al Hubab bin Al Mundzir pada Perang Badar —yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis— yang mengusulkan kepada Nabi agar meninggalkan tempat yang dipilih Nabi, kalau sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu. Al Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Maka Rasulullah mengikuti pendapat Al Hubab dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Al Hubab. Jadi Rasulullah SAW telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah tersebut (Lihat kisah Perang Badar ini selengkapnya dalam Sirah Ibnu Hisyam, II/272; Thabaqat Ibnu Sa’ad, II/15; Tarikh Ibnu Khaldun, II/751; As-Sirah li Ibn Katsir, II/380-402).


Ketiga, masalah-masalah yang langsung menuju kepada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, maka yang menjadi patokan adalah suara mayoritas, sebab mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Masalah-masalah seperti ini contohnya, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya), apakah kita akan keluar kota atau tidak, apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari, apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pendapatnya. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah seperti ini suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.


Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah SAW ketika Perang Uhud. Rasulullah SAW dan para shahabat senior berpendapat bahwa kaum muslimin tidak perlu keluar dari kota Madinah. Sedang mayoritas shahabat —khususnya para pemudanya— berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah. Jadi pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan, keluar kota Madinah atau tidak. Dikarenakan mayoritas shahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, maka Nabi SAW mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para shahabat senior, serta berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy (Lihat kisah Perang Uhud ini selengkapnya dalam Sirah Ibnu Hisyam, III/67; Thabaqat Ibnu Sa’ad, II/38; Tarikh Ibnu Khaldun, II/765; Zadul Ma’ad, II/62; Fathul Bari, XVII/103).

Perbedaan Syura dengan Demokrasi


Dari uraian di atas tentang syura, dapat kita pahami adanya perbedaan fundamental antara syura dan demokrasi. Seperti telah dikutip sebelumnya, Abdul Qadim Zallum (1990) secara ringkas membandingkan sekaligus membedakan demokrasi dan syura dengan perkataannya, ”Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra`y). Sedangkan demokrasi, adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem [pemerintahan] ...”


Ini berarti, menyamakan syura dengan demokrasi bagaikan menyamakan sebuah sekrup dengan sebuah mobil. Tidak tepat dan tidak proporsional. Mengapa? Sebab syura hanyalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam, sebagai bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Sedang demokrasi bukan sekedar proses pengambilan pendapat berdasarkan mayoritas, namun sebuah jalan hidup (the way of life) yang holistik yang terrepresentasikan dalam sistem pemerintahan menurut peradaban Barat. Bahwa demokrasi adalah sebuah sebuah tipe sistem pemerintahan, dapat dibuktikan misalnya dengan pernyataan Presiden Lincoln pada peresmian makam nasional Gettysburg (1863) di tengah berkecamuknya Perang Saudara di AS. Lincoln menyatakan,”[Demokrasi adalah] pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” (Melvin I. Urofsky, 2003:2). Maka, menyamakan syura dengan demokrasi tidaklah tepat dan jelas tak proporsional. Jika ingin tepat dan proporsional, sistem demokrasi seharusnya dibandingkan dengan sistem Khilafah, bukan dengan syura. Atau syura seharusnya dibandingkan dengan prinsip suara mayoritas, bukan dengan demokrasi.


Memang, ada kemiripan antara syura dan demokrasi, yang mungkin dapat menyesatkan orang untuk menganggap syura identik dengan demokrasi. Kemiripan itu ialah, dalam syura ada proses pengambilan pendapat berdasarkan suara mayoritas, seperti terjadi dalam Perang Uhud, identik dengan yang ada dalam demokrasi (An-Nahwi, 1985:93-94). Namun dengan mencermati penjelasan tentang syura di atas, masalah kemiripan ini akan gamblang dengan sendirinya. Sebab tak selalu syura berpatokan pada suara mayoritas. Ini sangat berbeda dengan demokrasi yang selalu menggunakan kriteria suara mayoritas untuk segala bidang permasalahan. Selain itu, syura hanyalah hak kaum muslimin yang dilaksanakan di antara sesama umat Islam ketika mereka bertukar pikiran untuk mengambil suatu pendapat. Orang kafir tidak boleh ikut serta dalam proses syura. Ini jelas beda dengan demokrasi yang menjadikan muslim dan non-muslim bisa bercampur-aduk untuk menetapkan suatu pendapat. Jika demikian kontras bedanya, sekontras perbedaan warna putih dan hitam, lalu di mana lagi letak kesamaan syura dan demokrasi? Samakah yang putih dengan yang hitam?


Kemiripan syura dan demokrasi dalam tersebut, menjadi lebih tak bermakna jika kita mengkaji ciri-ciri sistem demokrasi secara lebih mendasar dan komprehensif. Menurut Zallum (1990) sistem demokrasi mempunyai ciri-ciri : berlandaskan pada falsafah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), dibuat oleh manusia, didasarkan pada 2 (dua) ide pokok : (1) kedaulatan di tangan rakyat dan (2) rakyat sebagai sumber kekuasaan, memegang prinsip suara mayoritas, dan menuntut kebebasan individu (freedom) agar kehendak rakyat dapat diekspresikan tanpa tekanan.


Hanya dengan memperhatikan falsafah demokrasi, yaitu sekularisme, maka jurang perbedaan syura dan demokrasi akan semakin lebar. Sedemikian lebarnya sehingga mustahil terjembatani. Sebab, syura tidak lahir dari aqidah (falsafah) sekularisme, melainkan lahir dari Aqidah Islamiyah. Syura adalah hukum syara’ yang dilaksanakan sebagai bagian dari perintah Allah. Sedang demokrasi, lahir dari rahim ide sekularisme yang kufur. Sebab, setelah terjadi sekularisasi, yakni setelah agama dipisahkan dari kehidupan sehingga agama tidak lagi mengatur urusan kehidupan manusia seperti politik, maka dengan sendirinya manusia itu sendirilah yang membuat aturan hidupnya. Inilah asal-usul ideologis lahirnya demokrasi di negara-negara Eropa pasca Abad Pertengahan (V-XV M), setelah sebelumnya masyarakat Eropa ditindas oleh kolaborasi antara raja/kaisar --yang berkuasa secara despotik dan absolut-- dengan para agamawan Katolik yang memperalat agama, korup, dan manipulatif (An-Nabhani, 2001:27).

Kesimpulan


Berdasarkan seluruh uraian di atas, jelaslah bahwa syura tidak identik dengan demokrasi. Syura bukanlah demokrasi, sebab syura adalah pengambilan pendapat sedang demokrasi adalah sistem pemerintahan Barat yang berasaskan pada ide sekularisme yang kufur. Adanya kemiripan antara syura dan demokrasi tidak ada maknanya sama sekali, sebab keduanya mempunyai basis ideologi yang berbeda secara diametral.


Perlu diingat, sistem demokrasi telah dijadikan salah satu senjata Barat untuk menghancurkan Islam. Ini nampak ketika ketika negara-negara Barat mengadakan Konferensi Berlin pada akhir abad ke-18 M. Negara-negara penjajah itu memang tidak mencapai kata sepakat bagaimana membagi-bagi Negara Khilafah Utsmaniyah –mereka sebut sebagai The Sick Man-- andaikata “orang sakit” ini telah masuk liang lahat. Namun mereka menyepakati satu hal, yaitu memaksa Khilafah untuk menerapkan sistem demokrasi. Akhirnya Khilafah menerapkan sistem kementerian (al-wuzarah) seperti dalam sistem demokrasi, akibat tekanan dan paksaan Barat. Ketika Khilafah hancur pada 1924, Barat segera meracuni pemikiran umat Islam dengan menulis berbagai buku yang menyatakan bahwa Islam adalah agama demokratis, atau bahwa demokrasi berasal dari ajaran Islam (Zallum, 1994:135-136).


Maka dari itu, siapa saja yang mengatakan bahwa demokrasi adalah bagian ajaran Islam, misalnya dengan mengatakan demokrasi adalah syura itu sendiri, berarti dia telah bersekongkol dengan para penjajah yang kafir untuk turut menghancurkan Islam dan menyesatkan umat Islam. Propaganda demokrasi yang palsu dan penuh pemaksaan ini tak punya tujuan lain, kecuali untuk mencegah bangkitnya ideologi Islam dalam sebuah sistem Khilafah, sekaligus untuk melestarikan hegemoni ideologi kapitalisme-demokratik yang kufur di seluruh dunia, agar umat manusia tetap terus-menerus hidup dalam ketertindasan, penderitaan, dan kesengsaraan di dunia dan akhirat. Ini tentu sangat kejam. Sangat biadab. Dan gila. [ ]





DAFTAR PUSTAKA

Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. Cetakan I. (Kuwait : Dar Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah).

Anonim. 1990. "Negara Nasional dan Cita-Cita Islam". Bung Karno dan Islam. (Jakarta: Haji Masagung).

----------. 1994. Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).

----------. 2001. Nizham Al-Islam. Cetakan VI. (t.tp. : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

An-Nahwi, Adnan Ali. 1985. Asy-Syuura Laa Ad-Dimuqrathiyah. Cetakan II. (Kairo : Dar Ash-Shahwah).

Ibnu Manzhur. 1889. Lisanul ‘Arab. (Bulaq : Al-Mathba’ah Al-Amiriyah).

Urofsky, Melvin I. et.al.. 2003. Demokrasi. Office of International Information Programs-U.S. Department of State. http:/usinfo.state.gov

Zallum, Abdul Qadim. 1990. Ad-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr. (t.tp. : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

----------. 1994. Afkar Siyasiyah. Cetakan I. (Beirut : Darul Ummah).

----------. 2002. Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. Cetakan VI. (t.tp. : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

Friday, April 20, 2007

Ilmu dan Tsaqofah




ILMU DAN TSAQAFAH

Oleh : MR Kurnia





Makna Ilmu (Sains) dan Tsaqafah


Bila dalam bahasa dikatakan “’alima al rajulu ‘ilman” artinya hakekat suatu ilmu telah dimilikinya, dan “’alima al syai-a” artinya dia telah mengetahui sesuatu. Adapun bila dikatakan “a’lamahu al amra wa bi al amri” maka artinya memberitahukan sesuatu kepadanya. Berkaitan dengan tsaqafah, dalam bahasa Arab dikatakan “tsaqifa tsaqâfatan” artinya menjadi mahir atau piawai. Pelakunya disebut “tsâqifun” dan “tsaqîfun”. Dan “tsaqafa al kalâma tsaqâfatan” artinya dia mahir dan memahaminya (perkataan) dengan cepat tanggap. Makna-makna secara bahasa ini merupakan pokok dalam pemakaian lafazh-lafazh. Hanya saja apabila lafazh-lafazh tersebut dibuat untuk memberikan makna suatu istilah yang memiliki hubungan dengan makna bahasanya boleh-boleh saja. Misalnya, memberikan istilah kata fa’il dalam ilmu nahwu misalnya. Makna bahasanya adalah orang yang mengerjakan atau melakukan suatu perbuatan. Namun, dalam istilah nahu, istilah tersebut memiliki makna subjek dari setiap predikat.


Dalam konteks ini, orang-orang terdahulu memakai lafazh ilmu untuk semua pengetahuan bagaimanapun macamnya, mereka tidak membedakan antara al ‘uluum dan al ma’aarif. Kemudian, pada masa berikutnya, jadilah orang-orang menganggap pengetahuan yang bersifat rasional (al ma’aarif al ‘aqliyyah) dan pengetahuan alam ( wa al thabii’iyyah) berlaku umum untuk seluruh manusia. Mereka menganggap pengetahuan di luar itu sebagai pengetahuan yang bersifat pemberitaan (al ma’aarif al naqliyyah) yang berlaku khusus untuk ummat yang mendapat pemberitaan itu saja. Waktu pun maju terus. Mulailah ilmu digunakan untuk mendefinisikan pengetahuan-pengetahuan tertentu dan tsaqafah untuk pengetahuan-pengetahuan tertentu lainnya. Jadilah ilmu memiliki makna istilah dan tsaqafah juga memiliki makna istilah yang berbeda makna keduanya menurut bahasa.
Berangkat dari perjalanan istilah seperti itu, ilmu mengandung makna istilah spesifik, begitu pula tsaqafah. Ilmu merupakan pengetahuan yang diambil melalui cara pengamatan, percobaan/eksperimen dan penarikan kesimpulan. Diantara pengetahuan yang tergolong ilmu tersebut adalah ilmu fisika, ilmu kimia dan berbagai ilmu eksperimental yang lain. Istilah ilmu tersebut sekarang sepadan dengan istilah sains. Karakter dari sains itu adalah dapat diulang, diuji coba di laboratorium, dan hasilnya relatif tidak berubah. Sekedar contoh, kalau dahulu ditemukan bahwa bentuk sel gabus itu kosong, siapapun yang menelaahnya di mikroskop sekarang akan menemukan hal yang sama. Atau, boleh jadi berbeda. Begitu pula, dulu diketahui bahwa molekul air itu terdiri dari satu unsur O dan dua unsur H (H2O). Kapan pun kebenaran atau ketidakbenaran hal tersebut terbuka untuk dikaji ulang dengan melakukan percobaan yang persis dengan percobaan terdahulu itu. Begitulah semua jenis sains. Ringkasnya, benar tidaknya produk sains dapat diuji ulang oleh siapa saja dan kapan saja. Itulah ilmu (sains).


Adapun tsaqafah didefinisikan sebagai pengetahuan yang diambil melalui berita-berita, talaqqiy (pertemuan secara langsung) dan istimbath (penggalian/penarikan kesimpulan dari berita-berita tersebut). Karenanya, tsaqafah tergantung kepada bangsa masing-masing, kepercayaan terhadap orang-orang yang memberitakannya, serta landasan dan cara berpikir orang dalam menarik kesimpulan dari berita-berita yang diterimanya. Misalnya, sejarah. Sejarah tidak dapat diujicobakan, tidak bisa dieksperimentasikan. Sejarah tidak dapat diulang, sebab sejarah merupakan kejadian masa lalu. Generasi sekarang mendapatkan cerita tentang penjajahan Belanda, awal masuknya Islam ke Indonesia, dulu ada yang namanya Musthafa Kamal dan sebagainya sampai ke generasi searang melalui jalur pemberitaan. Bila yang meriwayatkan itu adalah Belanda maka penjajahan belanda itu bukanlah penjajahan melainkan sebuah ekspedisi dan penyebaran suci agama Kristen. Pemahaman sebaliknya akan terjadi bila yang membeberkannya adalah kaum muslim yang ada di Indonesia, misalnya. Ada yang menyatakan bahwa Islam sampai ke Indonesia pada abad ke-17 M, namun ada juga yang menegaskan Islam masuk abad ke-12 M. Ada yang menulis bahwa Islam di Indonesia disebarkan oleh para pedagang Persi dan Gujarat, namun ada pula yang menegaskan bahwa para pengemban dakwah di Indonesia itu merupakan utusan dari khalifah Islam yang kebutuhan hidup sehari-harinya dipenuhi melalui cara berdagang. Mereka datang bukan untuk berdagang melainkan berdakwah. Demikian pula orang-orang Barat memuja dan memuji Musthafa Kamal sebagai tokoh dan pahlawan modern yang mensekulerkan Turki. Sebaliknya, kaum muslim generasi terdahulu meriwayatkan bahwa dia itu Yahudi yang mengaku muslim sebagai antek Inggris yang menghancurkan Daulah Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki. Begitulah, sejarah dipercaya tergantung kepada berita yang sampai kepadanya. Untuk menguji kebenarannya tidak dapat dieksperimentasikan, melainkan tergantung kepada siapa yang dapat dipercaya beritanya. Bahasa termasuk tsaqafah. Mengapa orang yang telentang diatas kasur dinamai ‘tidur’ bukan ‘mencangkul’, mengapa alat untuk menulis dinamai ‘pensil’ bukan ‘pancing’, mengapa orang yang melahirkan anak dikategorikan ‘perempuan’ bukan ‘jantan’, dan lain-lain. Tidak ada orang yang dapat menjawab pertanyaan ‘mengapa’ tersebut. Sebab, sudah dari sananya begitu. Demikianlah generasi terdahulu menyampaikan. Hal yang sama berlaku bagi fiqih, filsafat dan seluruh pengetahuan non eksperimesial lainnya. Semuanya termasuk tsaqafah.


Terdapat pula pengetahuan-pengetahuan yang non eksperimental yang berkaitan dengan ilmu sekalipun pengetahuan-pengetahuan tersebut masuk dalam tsaqafah seperti matematika, teknik dan perindustrian. Pengetahuan-pengetahuan ini kendati tergolong tsaqafah akan tetapi ia dapat dianggap dalam katagori ilmu dari segi keberadaannya umum untuk seluruh manusia bukan dikhususkan untuk suatu ummat saja. Demikian juga hal yang menyerupai perindustrian tergolong dalam tsaqafah yang berhubungan dengan al hiraf (profesi/kerajinan), seperti perdagangan dan pelayaran, hal ini dianggap dalam katagori ilmu dan ia umum sifatnya. Adapun kesenian seperti melukis, memahat dan musik adalah termasuk kedalam tsaqafah karena dia mengikuti persepsi tertentu, dan ia merupakan tsaqafah khusus. Perbedaan antara tsaqafah dan ilmu adalah ilmu bersifat universal untuk seluruh ummat tidak dikhususkan kepada satu ummat saja tanpa ummat yang lain, sedangkan tsaqafah adalah khusus sifatnya dan dinisbahkan kepada ummat yang memproduksinya atau ia merupakan karekteristiknya/ciri khasnya dan keistimewaannya, seperti sastra dan sejarah para pahlawan, filsafatnya tentang kehidupan, dan terkadang tsaqafah ini bersifat umum seperti perdagangan, pelayaran, dan yang semisalnya. Oleh karena itu ilmu diambil secara universal, artinya diambil dari ummat mana saja karena ilmu bersifat universal tidak dikhususkan untuk satu ummat saja. Sedangkan tsaqafah maka ummat mulai dengan tsaqafahnya sehingga apabila dia telah mempelajarinya, memahaminya dan telah mengakar dalam benaknya baru dia mempelajari tsaqafah-tsaqafah yang lain.


Tsaqafah Islamiyyah


Tsaqafah islamiyyah adalah segala pengetahuan yang mana ‘aqidah islamiyyah merupakan sebab dalam pembahasannya, segala pengetahuan tersebut mengandung ‘aqidah islamiyyah dan membahas tentang aqidah tersebut seperti ilmu tauhid. Atau, segala pengetahuan tersebut berdasarkan kepada ‘aqidah Islam seperti fikih, tafsir dan hadits, ataupun segala pengetahuan yang diniscayakan untuk memahami sesuatu yang terpancar dari aqidah Islam berupa hukum-hukum, seperti pengetahuan-pengetahuan yang mewajibkan ijtihad dalam Islam. Contohnya, ilmu-ilmu bahasa arab, musthalah hadits dan ilmu ushul. Semuanya ini adalah tsaqafah islamiyyah karena ‘aqidah islamiyyah merupakan sebab dalam pembahasannya.


Dan tsaqafah islamiyyah semuanya kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Dari keduanya dan dengan memahami keduanyalah semua cabang tsaqafah islamiyyah. Dan keduanya ini pula termasuk tsaqafah islamiyyah karena ‘aqidah Islam mewajibkan mengambil keduanya dan terikat dengan apa yang dibawa oleh keduanya. Al qur’an menyuruh kaum muslimin agar mereka mengambil apa yang telah dibawa oleh Rasul SAW. Allah SWT berfirman : “Dan apapun yang dibawa oleh Rasul maka ambillah, dan apapun yang dicegah oleh Rasul maka jauhilah” (TQS. Al Hasyr : 7).

Padahal mengambil apa yang telah dibawa oleh Rasul tidak mungkin kecuali setelah memahami dan telah mempelajarinya. Akibatnya, terdapatlah pengetahuan-pengetahuan yang diniscayakan untuk dapat memahami Al Qur’an dan As Sunnah. Muncullah macam-macam pengetahuan Islam. Dengan kata lain, lahirlah tsaqafah islamiyyah yang memiliki makna tertentu yaitu Al Qur’an, As Sunnah, bahasa, sharaf, nahwu, balaghah, tafsir, hadits, mushthalah hadits, ushul, taihid dan lain-lain yang termasuk dalam pengetahuan-pengetahuan Islam.

Daftar Bacaan
1. Shabir Ahmed, A. A. Muntaqim, dan Abdul Sattar. 1997. Islam and Science. Islamic Cultural Workshop, USA. 2nd edition. 72p.
2. Abdurrahman Al Baghdadi. 1991. Islam Bangkitlah. Gema Insani Press, Jakarta. 174p.
3. ______________________. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Penerbit Al-Izzah, Bangil. 153p.
4. Taqiyyuddin An Nabhani. 2001. Nizhâm al Islâm. Min Mantsûrât Hizbit Tahrîr. Edisi 6. 136p.

Wednesday, April 18, 2007

AL - KHILAFAH



AL KHILAFAH*

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi**



Definisi Khilafah



Al Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari'at Islam dan mengemban da'wah Islam ke segenap penjuru dunia. Kata lain dari Khilafah adalah Imamah. Imamah dan Khilafah mempunyai arti yang sama. Banyak hadits shahih yang menunjukkan bahwa dua kata itu memiliki makna yang sama. Bahkan tidak ada satu nash pun, baik dalam Al Qur`an maupun Al Hadits, yang menyebutkan kedua istilah itu dengan makna yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Kaum muslimin boleh menggunakan salah satu dari keduanya, apakah istilah Khilafah ataupun Imamah. Sebab yang menjadi pegangan adalah makna yang ditunjukkan oleh kedua istilah itu.

Hukum Menegakkan Khilafah



Menegakkan Khilafah hukumnya fardlu (wajib) bagi seluruh kaum muslimin. Melaksanakan kewajiban ini —sebagaimana melaksanakan kewajiban lain yang telah dibebankan Allah kepada kaum muslimin— adalah suatu keharusan yang menuntut pelaksanaan tanpa tawar menawar lagi dan tidak pula ada kompromi. Melalaikannya adalah salah satu perbuatan maksiat yang terbesar dan Allah akan mengazab para pelakunya dengan azab yang sangat pedih.

Dalil-Dalil Wajibnya Khilafah



Dalil-dalil mengenai kewajiban menegakkan Khilafah bagi seluruh kaum muslimin adalah Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma' Shahabat.

A. Dalil Al-Quran



Dalam Al Qur`an, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk menegakkan hukum di antara kaum muslimin dengan hukum yang telah diturunkan-Nya. Dan perintah itu datang dalam bentuk yang pasti (jazim). Allah SWT berfirman :



فَا�­ْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَائَهُمْ عَمَّا جَائَكَ مِنَ الْ�­َقِّ



"Maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al Maa`idah: 48).

وَأَنِ ا�­ْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنَزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَائَهُمْ وَا�­ْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ



"(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (Al Maa`idah: 49).

Khithab (firman) Allah SWT yang ditujukan kepada Rasul-Nya juga merupakan seruan untuk umatnya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa khithab itu dikhususkan untuk beliau. Dalam hal ini tidak ditemukan dalil yang mengkhususkannya kepada Nabi, sehingga menjadi seruan yang juga ditujukan kepada kaum muslimin untuk menegakkan hukum. Tidak ada arti lain dalam mengangkat Khalifah kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan.



Allah SWT juga memerintahkan agar kaum muslimin mentaati Ulil Amri, yaitu penguasa. Perintah ini juga termasuk di antara dalil yang menunjukkan kewajiban adanya penguasa atas kaum muslimin. Allah SWT berfirman:




يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ



"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu sekalian."
(An Nisaa`: 59).

Tentu saja Allah SWT tidak memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati seseorang yang tidak berwujud. Allah juga tidak mewajibkan mereka untuk mentaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub. Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajiban menegakkan hukum syara', sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara'. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara'.

B. Dalil As-Sunnah



Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nafi' yang berkata: Umar radliyallahu 'anhu telah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:



مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةِ اللهِ لَقِيَ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ �­ُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً



"Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang mati sedangkan di lehernya tidak ada bai'at, maka matinya adalah mati jahiliyyah".

Nabi SAW mewajibkan adanya bai'at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai'at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai'at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Rasulullah telah mewajibkan atas setiap muslim agar di lehernya selalu ada bai'at kepada seorang Khalifah, namun tidak mewajibkan setiap muslim untuk melakukan bai'at kepada Khalifah secara langsung. Yang wajib adalah adanya bai'at pada leher setiap muslim, yaitu adanya seorang Khalifah yang dengan keberadaannya menyebabkan terwujudnya bai'at pada leher setiap muslim. Jadi keberadaan Khalifah itulah yang akan memenuhi tuntutan hukum adanya bai'at di atas leher setiap muslim, baik dia berbai'at secara langsung maupun tidak. Oleh karena itu, hadits di atas lebih tepat dijadikan dalil kewajiban mengangkat seorang Khalifah daripada dalil kewajiban berbai'at. Sebab, dalam hadits tersebut yang dicela oleh Rasulullah SAW adalah keadaan tiadanya bai'at pada leher setiap muslim hingga ia mati, bukan karena dia tidak melaksanakan bai'at.



Imam Muslim telah meriwayatkan dari Al A'raj dari Abi Hurairah dari Nabi SAW bersabda:

إِنَّمَا الإمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
"Sesungguhnya seorang Imam adalah laksana perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung.”

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abi Hazim yang berkata:

قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِيْنَ فَسَمِعْتُهُ يُ�­َدِّثُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءٌ فَتَكْثُرُ، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا ؟ قَالَ: فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ، وَأَعْطُوهُمْ �­َقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
"Aku telah mengikuti majelis Abi Hurairah selama lima tahun, pernah aku mendengarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah SAW yang bersabda: 'Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, dia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak Khalifah'. Para shahabat bertanya: 'Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?' Beliau menjawab: 'Penuhilah bai'at bagi yang pertama dan bagi yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggung-jawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka'".

Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَ�­َدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
"Siapa saja yang membenci sesuatu dari amirnya (pemimpinnya) hendaknya ia tetap bersabar. Sebab, siapa saja yang keluar dari penguasa sejengkal saja kemudian mati dalam keadaan demikian, maka matinya adalah mati jahiliyyah".

Hadits-hadits ini di antaranya merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahwa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin, dan bahwa seorang Khalifah adalah laksana perisai. Pernyataan Rasulullah SAW bahwa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya fungsi-fungsi dari keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan. Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan, atau merupakan larangan; dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan. Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara' atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara', maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu berarti bersifat pasti.



Dalam hadits-hadits ini juga disebutkan bahwa yang memimpin dan mengatur kaum muslimin adalah para Khalifah. Ini menunjukkan adanya tuntutan untuk mendirikan khilafah. Salah satu hadits tersebut ada yang menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar dari penguasa. Semua ini menegaskan bahwa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Selain itu, Rasululah SAW juga memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيَطِعْهُ إِنِّ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَآءَ آخَرُ يُنَازِعَهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرَ
"Siapa saja yang telah membai'at seorang Imam (Khalifah), lalu ia memberikan kepadanya genggaman tangan dan buah hatinya, hendaknya ia mentaatinya sesanggup-sanggupnya. Apabila ada orang lain hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu".

Jadi perintah mentaati Imam berarti pula perintah mewujudkan sistem khilafahnya, sedang perintah memerangi orang yang merebut kekuasaannya merupakan isyarat (qarinah) yang menegaskan secara pasti akan keharusan melestarikan adanya Imam yang tunggal.

C. Dalil Ijma’ Shahabat



Adapun dalil Ijma' Shahabat menunjukkan bahwa para shahabat ridlwanullahi 'alaihim, telah bersepakat mengenai keharusan mengangkat seorang Khalifah sebagai pengganti Rasulullah SAW setelah beliau wafat. Mereka juga bersepakat mengangkat Khalifah sebagai pengganti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan.
Ijma' Shahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu keharusan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para shahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan upaya-upaya untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian shahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahwa seluruh shahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma' Shahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.

D. Dalil Qaidah Syar’iyyah



Selain itu, menegakkan agama dan melaksanakan hukum syara' pada seluruh aspek kehidupan dunia maupun akhirat adalah kewajiban yang dibebankan atas seluruh kaum muslimin berdasarkan dalil yang qath'iyuts tsubut (pasti sumbernya) dan qath'iyud dalalah (pasti maknanya). Kewajiban tersebut tidak mungkin bisa dilaksanakan dengan sempurna kecuali dengan adanya seorang penguasa. Kaidah syara' menyatakan:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِب
"Apabila suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya adalah wajib."
Ditinjau dari kaidah ini, mengangkat seorang Khalifah hukumnya wajib pula.
Dalil-dalil ini semuanya menegaskan wajibnya mewujudkan pemerintahan dan kekuasaan bagi kaum muslimin; dan juga menegaskan wajibnya mengangkat seorang Khalifah untuk memegang wewenang pemerintahan dan kekuasaan. Kewajiban mengangkat Khalifah tersebut adalah demi melaksanakan hukum-hukum syara', bukan demi mewujudkan pemerintahan dan kekuasaan itu sendiri. Perhatikanlah sabda Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui jalan 'Auf bin Malik:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُ�­ِبُّوْنَهُمْ وَيُ�­ِبُّوْنَكُمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَارَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالْسَيْفِ، فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمْ الصَّلاَةَ،
"Sebaik-baik Imam (Khalifah) kalian ialah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk Imam kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian". Ditanyakan kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?' Beliau menjawab, "Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam) di tengah-tengah kamu sekalian."

Hadits ini menegaskan akan adanya Imam-Imam yang baik dan Imam-Imam yang jahat, selain menegaskan keharaman memerangi mereka dengan senjata selama mereka masih menegakkan agama. Karena ungkapan “menegakkan shalat” merupakan kinayah (kiasan) untuk mendirikan agama dan sistem pemerintahan. Dengan demikian jelaslah bahwa kewajiban kaum muslimin untuk mengangkat seorang Khalifah —demi menegakkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah— merupakan suatu perkara yang tidak ada lagi syubhat (kesamaran) pada dalil-dalilnya. Selain itu, mewujudkan kekuasaan adalah wajib ditinjau dari segi bahwa ia diharuskan oleh suatu kewajiban yang difardlukan Allah SWT atas kaum muslimin, yakni terlaksananya hukum Islam dan terpeliharanya kesatuan kaum muslimin.
Hanya saja kewajiban ini termasuk fardlu kifayah. Artinya, apabila sebagian kaum muslimin telah melaksanakannya sehingga kewajiban tadi terpenuhi, maka gugurlah tuntutan pelaksanaan kewajiban itu bagi yang lain. Namun bila sebagian dari mereka belum mampu melaksanakan kewajiban itu, walaupun mereka telah melaksanakan upaya-upaya yang bertujuan mengangkat seorang Khalifah, maka status kewajiban tersebut tetap ada dan tidak gugur atas seluruh kaum muslimin, selama mereka belum mempunyai Khalifah.


Berdiam Diri dari Kewajiban Ini



Berdiam diri terhadap kewajiban mengangkat seorang Khalifah bagi kaum muslimin adalah satu perbuatan maksiat yang paling besar. Karena, hal itu berarti berdiam diri terhadap salah satu kewajiban yang amat penting dalam Islam, dimana tegaknya hukum-hukum Islam —bahkan eksistensi Islam dalam realitas kehidupan— bertumpu padanya. Oleh karena itu, seluruh kaum muslimin berdosa besar apabila berdiam diri terhadap kewajiban mengangkat seorang Khalifah. Kalau ternyata seluruh kaum muslimin bersepakat untuk tidak mengangkat seorang Khalifah, maka dosa itu akan ditanggung oleh setiap muslim di seantero penjuru bumi. Namun apabila sebagian kaum muslimin melaksanakan kewajiban itu sedangkan sebagian yang lain tidak melaksanakannya, maka dosa itu akan gugur bagi mereka yang telah berusaha mengangkat Khalifah, sekalipun kewajiban itu tetap dibebankan atas mereka sampai berhasil diangkatnya seorang Khalifah. Sebab, menyibukkan diri untuk melaksanakan suatu kewajiban akan menggugurkan dosa atas ketidak-mampuannya melaksanakan kewajiban tersebut dan atau penundaannya dari waktu yang telah ditetapkan. Hal ini karena dia telah terlibat melaksanakan fardlu dan juga karena adanya suatu kondisi yang memaksanya sehingga gagal melaksanakan fardlu itu dengan sempurna.
Ada pun bagi mereka yang memang tidak terlibat dalam aktivitas menegakkan Khilafah, akan tetap menanggung dosa sejak tiga hari setelah tidak adanya Khalifah. Dosa itu akan terus dipikulnya hingga hari pengangkatan Khalifah yang baru. Sebab, Allah SWT telah mewajibkan kepada mereka suatu kewajiban tetapi mereka tidak mengerjakannya, bahkan tidak terlibat dalam upaya-upaya yang menyebabkan terlaksananya kewajiban tersebut. Oleh karena itu, mereka layak menanggung dosa, serta layak menerima azab Allah dan kehinaan di dunia dan di akhirat. Kelayakan mereka menanggung dosa tersebut adalah suatu perkara yang jelas dan pasti sebagaimana halnya seorang muslim yang layak menerima azab karena meninggalkan suatu kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah. Apalagi kewajiban tersebut merupakan tumpuan pelaksanaan kewajiban-kewajiban lain, tumpuan penerapan syari'at Islam secara menyeluruh, bahkan menjadi tumpuan eksistensi tegaknya Islam agar panji-panji Allah dapat berkibar di negeri-negeri Islam dan di seluruh penjuru dunia.
Adapun hadits-hadits yang menyebut tentang uzlah atau mengasingkan diri dari masyarakat, dan bahwa seorang muslim cukup membatasi diri hanya berpegang teguh pada perkara-perkara agama yang khusus mengenai diri sendiri; tidak dapat dijadikan dalil dibolehkannya berdiam diri dari kewajiban mengangkat seorang Khalifah dan tidak pula menggugurkan dosanya.
Bagi orang yang meneliti hadits-hadits tersebut dengan seksama akan mengerti bahwa sebenarnya hadits-hadits itu berkaitan erat dengan persoalan berpegang teguh pada agama, bukan berkaitan dengan rukhshah (keringanan) bolehnya berdiam diri dari kewajiban mengangkat Khalifah bagi kaum muslimin. Sebagai contoh Imam Bukhari meriwayatkan dari Bisr bin Ubaidillah Al Hadlrami bahwa dia mendengar Abu Idris Al Khaulani mendengar Hudzaifah bin Yaman berkata:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَني، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: وَهَلْ بَعْدَ ذلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ، قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ ؟ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدِيِي، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ، قُلْتُ: فَهَلْ بَعْدَ ذلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ: نَعَمْ، دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا، قَالَ: هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا، قُلْتُ: فَمَا تَأمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذلِكَ ؟ قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ، قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ، قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ �­َتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

"Dahulu, biasanya orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan itu menimpaku. Maka aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, kami dahulu berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?' Beliau menjawab, 'Ya'. Aku bertanya, 'Apakah setelah keburukan itu nanti ada kebaikan?' Beliau menjawab, 'Ya, tetapi di dalamnya ada asap.' Aku bertanya, 'Apakah asap itu?' Beliau menjawab, 'Suatu kaum yang memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka ingkarilah.' Aku bertanya, 'Apakah setelah kebaikan tersebut nanti ada keburukan?' Beliau menjawab, 'Ya, yaitu munculnya da'i-da'i yang mengajak ke pintu Jahannam. Siapa saja yang menyambut ajakan mereka, niscaya akan mereka lemparkan ke dalam neraka itu.' Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, jelaskanlah ciri-ciri mereka kepada kami.' Beliau menjawab, 'Mereka itu mempunyai kulit seperti kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita.' Aku bertanya, 'Apakah yang engkau perintahkan kepadaku, jika hal itu menimpaku?’ Beliau bersabda, 'Ikatkanlah dirimu kepada jama'ah kaum muslimin dan imam mereka.' Aku bertanya, 'Kalau tidak ada jama'ah dan tidak ada imam?' Beliau menjawab, 'Tinggalkanlah semua firqah yang ada, walau sampai engkau menggigit akar pohon hingga engkau mati dalam keadaan demikian.'"
Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan seorang muslim agar menetapi jama'ah kaum muslimin dan Imam (Khalifah) mereka, serta meninggalkan da'i-da'i yang mengajak ke pintu neraka jahannam. Kemudian seseorang bertanya apa yang harus dikerjakan dalam keadaan tidak ada jama'ah dan Imam sehubungan dengan menculnya da'i-da'i yang mengajak ke pintu jahannam. Pada situasi dan kondisi demikian, Rasulullah memerintahkan orang itu agar menjauhi semua firqah yang ada, dan bukan menjauhi kaum muslimin serta tidak pula memerintahkan berdiam diri dari kewajiban mengangkat seorang imam. Perintah beliau tegas, "Maka jauhilah semua firqah yang ada" . Dan beliau sangat menekankan perintah ini, sampai-sampai beliau menegaskan walaupun dalam rangka menjauhi firqah-firqah tersebut, seseorang terpaksa menggigit akar pohon sampai mati.
Makna hadits ini ialah “pegang teguhlah agamamu dan jauhilah da'i-da'i yang menyesatkan dan mengajak ke pintu jahannam”. Hadits ini tidak mengandung sedikit pun alasan untuk meninggalkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah dan tidak pula mengandung sedikit pun rukhshah dalam pelaksanaannya. Perintah dalam hadits di atas terbatas pada perintah memegang teguh agama Islam dan menjauhi para da'i yang mengajak ke pintu Jahannam. Jadi setiap muslim akan tetap menanggung dosa apabila tidak berupaya mengangkat Khalifah. Sebab dalam hal ini dia diperintahkan untuk menjauhi semua firqah yang sesat demi menyelamatkan agamanya dari para da'i yang menyesatkan, walaupun harus menggigit akar pohon; dan bukan diperintahkan agar menjauhi jama'ah kaum muslimin dan berdiam diri dari kewajiban menegakkan hukum-hukum agama dan kewajiban mengangkat seorang Imam bagi kaum muslimin.
Contoh yang lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abi Sa'id Al Khudri RA yang berkata: Rasulullah SAW bersabda:

يُوْشِك أَنْ يَكُوْنَ خَيْرُ مَال الْمُسْلِمِ غَنَم يُتْبَعُ بِهَا شَعْفَ الْجَبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِيْنِهِ مِنَ الْفِتَنِ
"Hampir-hampir terjadi sebaik-baik harta seorang muslim ialah kambing yang selalu dia ikuti di puncak gunung dan tempat-tempat jatuhnya hujan, demi menjaga agamanya dari banyak fitnah".

Hadits ini tidak berarti boleh mengasingkan diri dari jama'ah kaum muslimin dan berdiam diri dari kewajiban menegakkan hukum-hukum agama dan mengangkat Khalifah bagi kaum muslimin. Seluruh kandungan hadits ini adalah penjelasan tentang sebaik-baik harta seorang muslim di masa fitnah dan sebaik-baik tindakan yang dilakukan dalam melarikan diri dari fitnah. Jadi hadits ini bukan sebagai anjuran menjauhi dan ber-uzlah dari kaum muslimin.

Penutup


Berdasarkan semua penjelasan di atas, maka tidak ada lagi alasan bagi seorang muslim di permukaan bumi ini untuk berdiam diri dari kewajiban yang telah dibebankan Allah kepada mereka untuk menegakkan agama. Kewajiban ini tidak lain adalah mengangkat seorang Khalifah bagi kaum muslimin tatkala di seluruh dunia tidak ada Khilafah; ketika tidak ada orang yang menegakkan hukum-hukum Allah untuk memelihara segala sesuatu yang harus dijaga kehormatannya; ketika tidak ada orang yang menegakkan hukum-hukum agama dan menyatukan kaum muslimin di bawah bendera La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah. Tidak ada dalam Islam sedikit pun keringanan untuk berdiam diri dari kewajiban ini hingga Khilafah benar-benar berhasil ditegakkan. [ ]

- - - - -
*Disampaiikan dalam Diskusi Panel dengan Tema “Mengupas Konsep Khilafah”, diselenggarakan oleh IMM Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Yogyakarta, Sabtu, 24 Mei 2003.
**Aktivis Hizbut Tahrir.

Tuesday, March 27, 2007

Khobar Ahad Dalam Aqidah



Bismillaahir- Rahmaanir- Rahiim

Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin

wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa rasuulillaah, wa ‘alaa aalihi wa shohbihi ajma’iin

wa ba’d

Khobar Ahad Dalam Aqidah

Tulisan ini bicara tentang sebuah pernyataan yang berbunyi “khobar ahad tidak menjadi hujjah dalam perkara-perkara aqidah” yang terdapat dalam buku Asy-Syakhshiyah Al Islamiyah juz I karya Taqiyyuddiin An Nabhaaniy rahimahullaah. Kami terdorong untuk membahas permasalahan ini karena sepenggal pernyataan di atas sering dicomot begitu saja tanpa menyertakan penjelasan yang memadai dari penulisnya. Padahal beliau menulis dua bab tersendiri untuk mempertanggungjawab kan pernyataan tersebut. Kemudian -setelah dicomot- sepotong kalimat itu diangkat dan disyarah sekehendak hati oleh orang yang berkeinginan untuk menyerang, mendiskreditkan, membodoh-bodohkan, dan menyesat-nyesatkan penulisnya. Seringkali serangan mereka tidak berpijak pada apa yang sebenarnya dimaksud oleh penulis. Akibatnya muncul tuduhan-tuduhan yang tidak semestinya terlontarkan. Seperti pernyataan seseorang “Taqiyudiin melarang pengikutnya untuk mempercayai apa yang ditunjukkan oleh hadits ahad”. Pernyataan yang berbentuk mutlak tanpa embel-embel dan penjelasan ini sama sekali tidak benar, dan itu akan menjadi suatu perkara besar di pengadilan Allah kelak, yaitu saat siapa saja yang terdzolimi oleh lisan seseorang, maka ia akan mendapat keadilan. Dan kami akan menjadi salah seorang di antara ribuan orang yang akan menuntut keadilan dalam perkara ini. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika masalah ini kita selesaikan di dunia saja. Wallaahu Musta’an.

Bukan Pernyataan Baru Yang “Nyleneh”.

Siapa saja yang tersentak, terheran-heran, bergeleng-geleng kepala ketika mendengar pernyataan bahwa hadits ahad tidak dijadikan hujjah dalam perkara aqidah, maka dapat dipastikan bahwa ia belum berinteraksi dengan khasanah keilmuan islam mengenai masalah ini, meski hanya sedikit. Terlepas dari setuju atau tidak dengan pernyataan itu, siapa saja yang akrab dengan tsaqofah islam, mengikuti perbincangan para ulama dalam bidang ushuluddiin, ushul fiqh mau pun hadits, dia akan menemukan berbagai pernyataan dan polemik seputar masalah ini, mulai dari apa faedah yang didatangkan oleh hadits ahad, sampai dalam masalah apa dibolehkan untuk ber-istid-laal (berdalil) dengan hadits ahad. Dia akan menemukan nama ulama -yang sehari-hari namanya kita sebut- memiliki pendapat yang sama dengan Taqiyyudiin -seperti Hujjatul Islaam Abu hamid Al Ghozali, Al Amidi, Al Bazdawi, As Sam’aani, Al Qosimi sampai ulama kontemporer seperti syaik Al Azhaar Mahmud Syaltut, Sayid Qutb, Dr. Muhammad Al Ghozali, Dr. Said Ramadlon Al Buthi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Kholaf, dll. Sebagaimana dia juga akan menemukan ulama besar yang menentang pernyataan itu -seperti Syaikhul Islaam, Taqiyyuddiin Ibn Taimiyah, syaikh madzhab dhohiri Ibnu Hazm, As Suyuti, Ibnu Hajjar sampai Nashiruddiin Al Albani. Semoga Allah merahmati mereka semua. Dengan kemampuan seadanya, kami baru bisa menyentuhkan satu ujung jari ke kulit terluar dari lautan ilmu yang luas itu. Yang dengan kelemahan itu kami bertambah cinta kepada para ulama dan bertambah kecil di hadapan Allah Ta’alaa. Tapi alhamdulillaah -dengan karunia yang diberikan Allah- kami bisa merasakan betapa para ulama telah memberi perhatian serius terhadap masalah ini. Dan karena kehendak Allah, melalui ilmu yang mereka uraikan, kita bisa berusaha menentukan sikap dalam masalah pelik yang mereka perdebatkan ini. Allah memberikan pertolongan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, maka hanya kepadaNyalah kita minta pertolongan.

Perkara-perkara Aqidah Yang Dimaksud Oleh Taqiyyuddiin

Sebelum lebih jauh mengurai tentang permasalahan hadits ahad dalam aqidah, kepada siapa saja kita hendak bicara, terlebih dahulu harus dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan “perkara-perkara aqidah” (aqooid) dalam pernyataan Taqiyuddiin. Tentu saja untuk itu kita harus merujuk pada apa yang dimaksud oleh si pembuat pernyataan. Dengan begitu, tidak terjadi respon yang salah dikarenakan perbedaan persepsi mengenai apa yang dimaksud dengan “perkara aqidah” dalam pernyataan itu.

Perlu kita tegaskan bahwa istilah aqidah yang kita bicarakan di sini merupakan istilah yang dibuat dan digunakan oleh para ulama ushulud diin. Istilah ini tidak memiliki makna syar’i, tidak seperti kata sholaah, zakaah, jihaad, haj, wudluu’, tayammum, islam, dll. Kata-kata yang disebut terakhir telah digunakan oleh Allah dan rasulNya di dalam Al Qur’an dan hadits dengan pengertian baru (syar’i) yang kita harus terikat dengan pengertian tersebut.

Pembentukan makna aqidah dalam disiplin ushulud diin sama seperti pembentukan pengertian al hadits dalam disiplin ilmu hadits. Al hadits tidak memiliki makna syar’i. Secara bahasa artinya antara lain adalah “pembicaraan” atau “sesuatu yang baru”. Tapi para muhaditsuun rahimahumullaahu membuat kata al hadits memiliki pengertian khusus di dalam disiplin ilmu yang mereka mereka geluti, yaitu sebagai segala macam khobar yang memberitakan tentang kisah kehidupan, perbuatan, perkataan, taqriir, dan sifat-sifat penciptaan (fisik) nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari mana pengertian al hadits seperti ini muncul? Tentu saja ini hanya istilah yang dibuat oleh para muhaditsuun rahimahumullaahu.

Jika kita berpindah ke disiplin ilmu ushul fiqh, maka akan dapati para ahli ushul fiqh menggunakan istilah al hadits dengan pengertian yang berbeda. Al Hadits dalam ushul fiqh merupakan salah satu sumber hukum syara’. Dalam disiplin yang mereka geluti, al hadits adalah segala informasi mengenai perbuatan, perkataan dan taqriir nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama, sementara sifat fisik nabi ‘alaihish-sholaatu was-salaam tidak termasuk dalam pengertian hadits -dalam disiplin ushul fiqh, sebab sifat fisik nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam bukan merupakan sumber hukum syara’.

Perbedaan penggunaan istilah dalam disiplin ilmu yang berbeda sebenarnya bukanlah sebuah perbedaan. Ini seperti kata “shooting” yang sering kita dengar. Jika kata shooting digunakan oleh tentara dalam peperangan, maka artinya adalah menembak; jika digunakan oleh pemain bola di lapangan, maka artinya adalah menendang ke arah gawang; jika digunakan oleh fotografer atau kamerawan, maka artinya adalah mengambil gambar. Dengan demikian, jika kita hendak memahami sebuah istilah yang digunakan oleh seseorang dalam pernyataannya, maka kita harus mengacu pada pengertian atau fakta yang dimaksud oleh si pembuat pernyataan. Artinya, kita tidak bisa mengartikan sebuah istilah yang digunakan oleh orang lain dengan imajenasi kita sendiri.

Kalau kita cermati tulisan Taqiyuddiin dalam Asy-syakhshiyah I dengan seksama, dapat disimpulkan bahwa permasalahan aqidah yang beliau maksud dalam pernyataan di atas adalah hal-hal yang wajib diimani oleh seorang muslim -yang mana apabila seseorang tidak mengimani salah satu dari permasalahan aqidah tersebut maka dirinya tidak dapat disebut sebagai seorang muslim. Keimanan pada hal-hal yang tergolong “wajib untuk diimani” yang memberi batas tegas antara iman dan kufur itulah yang disebut oleh Taqiyyuddiin sebagai aqidah. Untuk menjelaskannya, kita akan mendifinisikan kata iman terlebih dahulu.

Apa pengertian iman yang dimaksud oleh penulis di sini? Iman yang dimaksud oleh penulis -yakni An Nabhaaniy- adalah “pembenaran/ pengakuan (terhadap suatu hal) yang bersifat pasti, sesuai dengan fakta dan didasarkan atas bukti” (tashdiiqul jazm almuthobaqu lil waqii’i ‘an daliilin). Definisi iman ini dirumuskan berdasarkan fakta iman itu sendiri. Ini adalah definisi iman menurut ushuliyuun, bukan ahli bahasa mau pun muhaditsuun. Istilah ini mungkin memiliki pengertian yang berbeda jika diucapkan oleh kalangan muhaditsuun atau lughuun -ahli bahasa. Para ahli hadits misalnya, mereka mengatakan bahwa imaan itu bukan sekedar pembenaran pasti di dalam hati, tapi juga mencakup pengikraran secara lisan, dan pengamalan dalam perbuatan. Mereka mengatakan bahwa iman itu bercabang-cabang, ada yang apa bila diingkari menyebabkan kekafiran, tapi ada cabang iman yang bila diingkari tidak menyebabkan kafir, hanya menyebabkan dosa. Mereka juga mengatakan bahwa iman itu ada yang kuat dan ada yang lemah. Iman yang lemah bisa menguat dan iman yang kuat bisa melemah. Iman bisa diperkuat dengan ketaatan dan bisa diperlemah dengan kemaksiatan. Manusia bertingkat-tingkat dalam beriman, dan para nabi ‘alaihimus-salaam adalah manusia yang memiliki tingkatan iman tertinggi. Sementara Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu merupakan manusia yang paling tinggi imannya setelah para nabi ‘alaihimus-salaam. Begitulah pendapat sebagian besar ahli hadits. Hal itu dirumuskan berdasarkan kata iman yang digunakan oleh nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak sabda beliau. Sebagian dari mereka mengatakan, barang siapa yang menolak hal-hal di atas, maka mereka bukan ahlu sunah, mereka adalah Khowarij -kelompok ekstrim yang menyatakan bahwa orang yang bermaksiyat adalah orang yang tidak beriman- atau Murji’ah -kelompok ekstrim yang mengatakan bahwa kemaksiyatan tidak berhubungan dengan keimanan dan tidak mengurangi iman, sebagaimana mengamalkan ketaatan tidak akan menambah iman bagi orang kafir, sebab iman sekedar keyakinan.

Kenapa ahli ushul dan ahli hadits berbeda dalam mengidentifikasi masalah keimanan? Menurut kami penyebabnya bukan perbedaan madzhab, melainkan perbedaan konsentrasi disiplin ilmu yang mereka geluti. Muhaditsuun lebih berkonsentrasi untuk menjaga lafadz-lafadz yang digunakan oleh rasuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits. Sedangkan para ushuliyuun lebih berkonsentrasi pada aspek praktis dari istilah iman itu sendiri. Para ahli ushul menggunakan istilah “iman” untuk mengidentifikasi “faktor pembatas antara keislaman dan kekufuran” yang tidak lain adalah aspek pembenaran atau keyakinan terhadap masalah-masalah ushuluddiin. Sedangkan masalah ikrar dan amal tidak mereka masukkan dalam pengertian iman, tapi mereka anggap sebagai konsekuensi, tanda, dan dampak dari keimanan. Masalah kualitas kuat-lemahnya iman mereka anggap sebagai kuat-lemahnya pengaruh iman tatkala seseorang menjalankan berbagai aktivitas dalam kehidupannya (idrak shilatu billaah). Kemaksiatan mengurangi iman artinya mengurangi hubungan hamba dengan Allah, dan ketaatan menambah iman artinya menambah hubungan hamba dengan Allah. Bagi kami, pendapat sebagian besar ushuliyuun adalah yang lebih tepat. Beriman dengan keberadaan jin, iblis, dan malaikat adalah pengetahuan dan pembenaran secara pasti saja. Orang beriman harus mengatakan “kami percaya sepenuhnya dengan keberadaan jin”, perkataan ini adalah konsekuensi dari iman, bukan iman itu sendiri.

Tapi yang jelas, para ulama yang berpendapat bahwa iman adalah tashdiq, ikrar, dan amal tidak mengkafirkan orang yang mengamalkan kemaksiyatan, sekali pun maksiyat yang termasuk dosa besar, seperti zina dan riba misalnya. Artinya, mereka tidak menjadikan amal sebagai masalah keimanan dalam pengertian yang digunakan ulama ushuluddiin. Sedangkan amal yang berupa kewajiban-kewajiban dan nawaafil (nafilah-nafilah) tidak pula dianggap remeh oleh ushuliyuun, hal ini sesuai dengan harapan ahli hadits. Jadi jelas, perbedaan di antara mereka sebenarnya bukan perbedaan yang hakiki, ini hanya perbedaan dalam pengistilahan, sedang dalam prakteknya mereka tidak berbeda. Kita tidak berharap karena hanya berbeda dalam mengaplikasikan sebuah kata, kaum muslim harus saling membi’ahkan satu dengan yang lain.

Karena kita sakarang sedang bicara masalah aqidah, maka kita akan menggunakan istilah iman dalam pengertian yang digunakan oleh ulama ushulud diin. Allah berfirman dalam Ash-Shof : “Tu’minuuna billaahi wa rasuulihi”- kalian beriman kepada Allah dan (kepada) rasulNya-. Jika kita aplikasikan definisi imaan menurut ushuliyuun, maka beriman kepada Allah di sini adalah “membenarkan secara pasti tentang kenyataan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilaah -berdasarkan bukti yang pasti”; dan beriman kepada rasulNya adalah “membenarkan secara pasti bahwa Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan seorang rasul Allah berdasarkan dalil yang pasti”.

Yang perlu dijelaskan adalah:

Yang dimaksud dengan “pembenaran secara pasti” adalah pembenaran yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. Dengan kata lain, sebuah keyakinan yang tidak mengandung kemungkinan/ peluang salah walau hanya 1%. Maka batasan ini mengecualikan pembenaran yang tidak bersifat jazm/pasti dari lingkup pengertian iman, seperti pembenaran-kuat (gholabatudz- dzon). Jadi sekedar pembenaran-kuat yang tidak jazm tidak bisa disebut iman.

Yang dimaksud “sesuai dengan fakta” adalah pembenaran tersebut memang sesuai dengan realitas, bukan keyakinan yang membabi-buta. Sebuah keyakinan dikatakan benar tatkala keyakinan itu memang sesuai dengan realitas.

Maksud dari “berdasarkan bukti” adalah bukti yang menunjukkan bahwa keyakinan itu memang sesuai dengan realitas. Pembenaran merupakan dampak dari pengetahuan. Jika kita mengetahui bahwa realitas bumi itu bulat, maka kita akan membenarkan bahwa bumi itu bulat. Dan pengetahuan manusia terhadap realitas itu didapat melalui bukti. Jika kita tidak mendapatkan bukti apa pun yang menunjukkan bahwa bumi itu bulat, maka kita tidak akan pernah tahu bahwa bumi itu bulat -seperti manusia pada masa lalu. Tapi adanya perjalanan mengitari bumi membuat orang tahu secara pasti bahwa bumi itu bulat.

Bukti (dalil) bisa berupa aqli mau pun naqli -tergantung objek yang dibahas. Jika objek yang diahas adalah realitas yang empirik, indrawi, atau yang berhubungan pasti dengan hal-hal empirik, maka dalilnya ‘aqli. Seperti keberadaan manusia, alam semesta, dan kehidupan sebagai makhluq ciptaan Al Kholiq; kenyataan bahwa Muhammad ‘alaihisholaatu was salaam adalah rasulullaah, dan kenyataan bahwa Al Qur’an adalah Kalamullaah. Sedangkan hal-hal non empirik, seperti Nama dan Sifat-sifat Allah, makhluq-makhluq ghoib, peristiwa hari kiamat dll, maka tidak bisa terjangkau realitasnya oleh akal. Tapi, keimanan terhadap hal-hal tersebut bisa dicapai dengan adanya dalil naqli yang qoth’i tsubut (sumber penukilannya qoth’i) sekaligus qoth’i dilalah (aspek maknanya qoth’i), yakni seperti Al Qur’an dan hadits mutawatir yang penunjukkan maknanya muhkam.

Tingkat kekuatan pembenaran manusia terhadap sesuatu berbeda-beda tergantung kekuatan bukti yang dia dapatkan. Jika bukti yang dia dapat lemah, maka pembenarannya akan lemah (ihtimal). Kadang bukti yang dia dapat hanya menghasilkan peluang pembenaran yang sama kuat dengan peluang pengingkarannya, sehingga dia tidak bisa menentukan kecenderungan untuk membenarkan atau pun mengingkari (ragu-ragu/syak) . Kadang dia mendapatkan bukti yang sangat kuat sehingga menghasilkan pembenaran yang kuat pula (gholabatudz- dzon). Dan kadang bukti datang tanpa membawa kemungkinan salah sedikit pun (Qoth’i), ini yang disebut sebagai bukti yang menghasilkan pembenaran yang pasti (tashdiiqul jazm).

Karena aqidah merupakan permasalahan dasar-dasar agama (ushuluddiin), maka ia haruslah merupakan suatu pembenaran yang bersifat pasti dan tidak mentolelir kemungkinan salah, meski kemungkinan salah itu hanya sebutir debu. Tentu saja demikian, karena atas dasar aqidah itulah kita membangun seluruh pendirian kita, memisahkan antara yang haq dengan yang bathil, membedakan antara keimanan dengan kekufuran, menentukan mana yang kita bela dan mana yang kita lawan (al wala’ wa al bara’). bagaimana mungkin kita akan mendasarkan permasalahan fundamental (ushul) seperti itu kepada asas yang masih mengandung peluang kesalahan -meski hanya kecil. Juga kita semua tahu bahwa aqidah adalah yang wajib diyakini secara penuh. Lantas bagaimana mungkin kita bisa meyakini sesuatu secara penuh jika sesuatu itu tidak diketahui kebenarannya secara pasti?

Dengan demikian, masalah aqidah mau/tidak mau harus merupakan suatu hal yang pasti kebenarannya. Dan untuk memastikan bahwa sesuatu itu memiliki kebenaran yang pasti, kita membutuhkan dalil/bukti yang pasti kebenarannya pula (qoth’i). Mengapa demikian? Sebab pembenaran yang pasti (tashdiiqul jazm) tidak mungkin dihasilkan dari bukti yang tidak pasti. Ini suatu hal yang rasional bahwa bukti yang pasti menghasilkan kepastian, bukti yang bersifat dugaan menghasilkan dugaan, bukti yang lemah menghasilkan ihtimal (sangkaan yang lemah).

Jika sesuatu dalam agama islam telah terbukti benar secara pasti melalui dalil-dalil yang pasti, seperti ke-Esa-an Allah, kerasulan Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Alqur’an adalah Kalamullaah, kedatangan hari akhir dsb, maka diwajibkan atas manusia untuk membenarkannya secara pasti pula. Siapa saja yang masih memiliki keraguan dalam masalah-masalah yang qoth’i, atau mengingkari permasalahan tersebut, dia tidak bisa dikelompokkan sebagai orang yang beriman (baca: kafir). Sebab, menyatakan keraguan dalam perkara yang pasti dalam agama sudah cukup untuk membuat seseorang menjadi kafir. Apalagi mendustakan perkara yang tergolong qoth’i tersebut, jelas kafir. Ini bukan berarti islam menjadikan masalah-masalah itu sebagai doktrin yang dipaksakan kepada pemeluknya. Tidak dikatakan demikian karena apa yang wajib diyakini dalam islam itu memang merupakan realitas yang dapat dibenarkan secara pasti melalui dalil-dalil yang pasti pula. Dalil-dalil itu telah memberi pengetahuan kepada manusia sehingga siapa saja yang ragu atau mendustakannya bisa dikatakan bebal dan mengkhianati akal sehatnya sendiri. Seperti halnya orang yang meragukan atau mengingkari bahwa matahari itu panas, padahal jelas telah datang bukti yang membawa pengetahuan yang pasti bahwa matahari itu memang panas. Tidak ada orang sehat yang seperti itu kecuali orang yang mengkhianati akalnya sendiri seperti Walid bin Mughirah. -Tentu saja ini berlaku untuk orang yang normal.

Nah, masalah-masalah yang datang dari dalil yang qoth’i, tidak mungkin salah, yang wajib diimani (baca: dibenarkan secara pasti), yang kalau meragukan atau mendustakannya akan divonis kafir- inilah yang dimaksud dengan masalah-masalah aqidah (aqooid). Atas dasar itu, pendirian penulis tentang aqidah bisa dikemas dengan redaksi: permasalahan yang wajib dibenarkan secara pasti oleh seorang muslim berdasarkan dalil yang pasti, dan jika seseorang tidak membenarkannya secara pasti maka dia kafir.

Mafhum mukholafah dari definisi aqidah di atas adalah “segala sesuatu yang tidak dituntut untuk dibenarkan secara pasti -karena tidak dudukung oleh dalil yang pasti- dan tidak menyebabkan kekafiran jika diingkari maka tidak dinamakan sebagai perkara aqidah”. Artinya, segala sesuatu yang tidak didukung oleh dalil yang qoth’i maka: tidak wajib bagi manusia untuk membenarkannya- secara-pasti; dan siapa saja yang tidak-membenarkanny a-secara- pasti maka dia tidak bisa divonis kafir. Penjelasannya: bagaimana mungkin kita dituntut untuk membenarkan sesuatu dengan pembenaran-yang- pasti sedang sesuatu itu sendiri tidak didukung oleh dalil yang pasti? Dan bagaimana mungkin seseorang divonis kafir hanya karena tidak memastikan sesuatu yang dzonniy (tidak pasti)? Atas dasar itu, aqidah yang wajib diimani (baca: dibenarkan secara pasti), -yang kalau mengingkarinya dianggap kafir- terbatas pada masalah-masalah yang didukung oleh dalil yang qoth’i.

Tapi yang perlu juga dicacat adalah, tidak wajib dibenarkan secara pasti bukan berarti wajib untuk diingkari. Penulis -yakni An Nabhaaniy- tidak bermaksud menyatakan bahwa hadits ahad yang mengandung informasi ghoib harus diingkari. Tidak dibenarkan secara pasti bukan berarti diingkari. Masalah ini akan kita bicarakan pada tempat tersendiri, InsyaaAllaahu ta’ala.

Kenapa Hadits Ahad Tidak Bisa Dijadikan Hujjah Dalam “Masalah-Yang- Wajib-Dibenarkan -Secara-Pasti” (baca : Aqidah)?

Jawabannya adalah: karena pembenaran yang pasti itu menuntut dalil yang pasti pula. Dalil yang pasti adalah dalil yang mendatangkan pengetahuan yang meyakinkan, tidak membawa peluang kesalahan walau sekecil apa pun. Jika kita telah sepakat dengan pendefinisian aqidah di dalam uraian sebelumnya, maka berarti anda setuju bahwa selain dalil yang qoth’i tidak bisa digunakan untuk berhujjah dalam aqidah. Karena aqidah adalah masalah yang wajib dibenarkan secara pasti. Masalahnya sekarang : “apakah hadits ahad itu dalil yang qoth’i atau tidak?”. Jika jawabnya qoth’i, artinya dapat dipastikan bahwa ia dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia digunakan sebagai hujjah dalam aqidah, tapi jika jawabnya tidak qoth’i, maka dia tidak dijadikan hujjah dalam aqidah.

Hadits ahad adalah khobar yang disandarkan kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh rantai perowi yang jumlah rantai itu belum mencapai derajat hadits mutawatir. Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perowi yang menurut adat kebiasaan para rowi itu tidak mungkin bersepakat bohong atau tidak mungkin sama-sama salah dalam periwayatannya.

Para ulama sepakat bahwa hadits yang diriwayatkan secara tawatur dapat menghasilkan ilmu dloruri, yakni dapat dipastikan tanpa ragu sedikit pun bahwa hadits itu memang dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dalam masalah hadits ahad, maka ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa hadits ahad yang shahiih dapat menghasilkan ilmu pasti. Di antara yang menyatakan demikian adalah Ibnu Hazm rahimahullaah. Sebagian lagi menyatakan bahwa hadits ahad tidak dapat menghasilkan ilmu pasti kecuali jika disertai qorinah pendukung. Ibnu Sholah rahimahullaah termasuk kelompok ini, beliau menyatakan bahwa hadits ahad itu dzonniy, tapi jika umat telah sepakat (berijma’) untuk menerima sebuah hadits ahad maka ia berubah menjadi qoth’i. Sebagian lagi menyatakan bahwa hadits ahad paling jauh hanya akan menghasilkan dzon, yaitu pembenaran kuat, dan tidak akan sampai pada derajat qoth’i (menghasilkan ‘ilmu). Pendapat ini disampaikan oleh Al Khotib Al Baghdaadi rahimahullaah dalam Al Kifayah fii ‘ilmir Riwaayah dan An Nawaawi rahimahullaah dalam muqodimah kitab syarah shohih muslim -kedua ulama ini otoritatif ketika bicara mengenai hadits.

Nampaknya, Taqiyuddiin An Nabhaani mengadopsi pendapat terakhir, yang menyatakan bahwa hadits ahad paling jauh hanya menghasilkan pembenaran kuat (gholabatudz dzon), tidak sampai pada pembenaran pasti. Sebab, jika hadist mutawatir dan hadits ahad sama-sama qoth’i lantas buat apa para ulama membuat definisi khusus untuk hadits mutawatir sebagai “hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah bilangan rawi yang banyak dimana secara kebiasaan mustahil bagi mereka untuk sepakat berbohong mengenai hadits yang mereka riwayatkan”.

Salah satu fungsi definisi adalah sebagai pembatas (mani’) terhadap sesuatu yang didefinisikan agar tampak perbedaannya dengan sesuatu yang lain. Hadits ahad dan hadits mutawatir sama-sama hadits. Tapi kalimat dalam ta’rif hadits mutawatir yang berbunyi “yang diriwayatkan oleh banyak rawi dimana secara kebiasaan mustahil bagi mereka untuk sepakat berbohong mengenai hadits yang mereka riwayatkan” merupakan sekat pembeda yang dibuat oleh para ulama untuk membedakan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad. Dari definisi itu kita bisa tahu bahwa hanya dalam hadits mutawatirlah para ulama memastikan bahwa perowi yang banyak itu mustahil salah maupun berbohong secara bersamaan, tidak dalam hadits ahad. Inilah yang membedakan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad. Dengan demikian jelas, bahwa hadits mutawatir itu qoth’i -pasti dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam- sedang hadits ahad itu tidak qoth’i -maksimal diduga kuat bahwa ia berasal dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Pembenaran kuat ini terwujud setelah hadits-hadits ahad melewati proses penelitian dan terhindar dari sebab-sebab yang melemahkan. Artinya, jika hadits itu shohih maka kemungkinan besar memang itu dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan kemungkinan salah adalah kecil.

Perlu ditambahkan bahwa hadits shohih tidak diterima kecuali jika diriwayatkan oleh orang-orang yang adil. Orang yang adil adalah orang islam yang tidak terkenal suka melakukan perbuatan dosa atau hal-hal yang sia-sia, tidak pernah tertuduh bohong, dan diketahui kehati-hatiannya dalam beramal (wara’). Hadits shohih juga harus diriwayatkan oleh orang-orang yang dlobit, yakni orang yang akurat dalam periwayatan, kuat dalam hafalan dan paham mengenai apa yang dia riwayatkan. Oleh karena itu ulama tidak menerima periwayatan orang yang bodoh, pelupa, pernah gila, sudah tua, orang cacat yang bisa mengganggu tingkat akurasi dalam penukilan -seperti buta dan tuli, atau orang yang periwayatannya kacau -suka berubah-ubah dalam redaksi. Jika dua kualitas itu -adil dan dlobit- terkumpul pada diri seorang rawi, maka orang itu secara umum disebut tsiqoh -terpercaya. Demikianlah, hadits shohih harus diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlobit dengan jalur yang bersambung dari satu generasi (thobaqot) ke generasi berikutnya sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam.

Akan tetapi, dengan syarat tersebut para ulama terkadang masih menemukan hadits yang saling berlawanan sehingga mengharuskan mereka untuk melakukan proses tarjih -menguatkan dan memilih salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Untuk bisa melakukan tarjih terhadap hadits yang secara dzohir bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka para ulama membuat tingkatan-tingkatan kualitas perowi dan juga kualitas jalurnya. Jika ada dua hadits yang bertentangan, maka mereka akan memilih hadits yang diriwayatkan oleh jalur yang terdiri dari orang-orang yang lebih kuat, baik dari segi keadilan maupun dari segi kedlobitan. Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullaahu mengklasifikasikan kualitas ketsiqohan para rowi dalam dua belas kelas.

Hanya saja, para ulama sering berbeda pendapat mengenai kualitas seorang rawi. Kadang ulama berpendapat bahwa si A lebih kuat dari B, sedang yang lain menyatakan sebaliknya. Karena itu mereka juga tidak senada mengenai jalur periwayatan mana yang paling kuat. Dalam hal ini ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda. Hal itu mempengaruhi proses pentarjihan yang mereka lakukan. Sebagian ulama menguatkan hadits yang diriwayatkan melalui jalur A dari pada hadits yang diriwayatkan melalui jalur B. Tapi sebagian lain justru memiliki pendapat yang sebaliknya. Bahkan ada hadits yang disebut mudlthorib, yaitu dua hadits yang didapat dari dua jalur yang sama-sama kuat tapi bertentangan satu sama lain dengan pertentangan yang tidak bisa dikompromikan atau pun ditarjih. Yang disebut sama-sama kuat adalah kondisi dimana para ulama sudah kehabisan akal untuk mengkompromikan atau untuk memilih salah satunya, karena memang pertentangannya total dan kualitasnya benar-benar sama.

Yang sebenarnya ingin saya tunjukkan adalah, bahwa ternyata metode yang digunakan untuk menerima hadits dengan menetapkan syarat adil dan dlobit saja belum bisa menjamin kepastian bahwa hadits itu benar-benar dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa keraguan sebutir debu pun. Buktinya, sebuah hadits yang diriwayatkan secara bersambung sampai nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam (muttashil-marfu’) oleh para rawi yang seluruhnya adil dan dlobit masih bisa bertentangan dengan hadits lain yang juga diriwayatkan secara muttashil oleh orang-orang yang juga tsiqoh. Jika periwayatan dari orang-orang yang adil dan dlobit itu sudah 100 % menjamin kebenaran sebuah hadits, seharusnya tidak mungkin terjadi pertentangan antara dua hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqoh. Sebab, dua hal yang bertentangan tidak mungkin sama-sama benar. Salah satu dari keduanya dapat dipastikan salah atau palsu. Contohnya adalah hadits-hadits yang bertentangan mengenai cara menempatkan tangan saat turun untuk sujud dan bangkit dari sujud. Kita berani memastikan salah satu pihak dari hadits-hadits yang bertentangan itu pasti salah, meskipun keduanya diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlobit. Hanya saja kita tidak bisa mematikan mana yang salah.

Artinya masih ada celah dalam metode. Syarat adil dan dlobit masih bisa kebobolan sehingga meloloskan hadits yang salah. Ibarat filter, jaringnya masih kurang rapat, meskipun sudah begitu ketat. Dengan demikian jelas, hadits yang diterima oleh para ulama secara ahad dari orang-orang yang tsiqoh dan musnad (muttashil-marfu’ ) belum menjamin bahwa hadits itu qoth’i 100% dari rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Kita hanya bisa mengatakan, jika sebuah hadits diriwayatkan secara ahad, oleh para rawi yang adil dan dlobit secara bersambung, dan tidak ada pertentangan dengan riwayat lain, maka hadits itu kita duga kuat benar-benar dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kita jadikan hujjah dalam berarmal. Tapi tetap saja dia dzon, seperti yang ditegaskan An Nawawi rahimahullah dalam muqodimah syarh muslim. (lihat, Syarah Shohih Muslim, Jilid I, Penerbit Mustaqim)

Karena hadits ahad itu tidak qoth’i dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits ahad tidak bisa menghasilkan pembenaran yang pasti. Padahal, aqidah yang dibicarakan oleh Taqiyuddiin adalah hal-hal yang wajib (harus) dibenarkan secara pasti dan siapa yang tidak membenarkannya secara pasti maka dia kafir. Sekali lagi kita bertanya: bagaimana mungkin kita bisa mewajibkan manusia untuk membenarkan secara pasti terhadap apa yang datang dari hadits ahad -sedang hadits ahad sendiri bersifat dzonniy? Dan bagaimana mungkin kita bisa mengkafirkan seseorang karena dia tidak memberi pembenaran secara pasti terhadap sesuatu yang datang dari dalil dzonniy -yang hanya mengahsilkan dugaan kuat? Wallaahu a’lamu bish showaab

Kesalahpahaman Yang Perlu Ditepis

1.Tidak Dijadikan Hujjah Dalam “Perkara Yang Wajib Dibenarkan Secara Pasti” (baca: aqidah) Bukan Berarti Diingkari!

Setelah uraian di atas yang panjang-lebar, kami ingin memberi klarifikasi bahwa tidak menjadikan hadits ahad dalam perkara Aqidah bukan berarti menolak atau mengingkari kandungan makna yang dibawa oleh hadits ahad. Yang benar adalah bahwa hadits ahad tetap harus dibenarkan sesuai dengan kapasitas dalil yang datang kepada kita.

Tapi ada sementara orang yang mengatakan “bukankah mengatakan bahwa iman tidak dibangun berdasarkan hadits ahad di satu sisi dan mengatakan hadits ahad tetap harus dibenarkan pada sisi yang lain merupakan pernyataan yang bodoh dan kontradiktif? Seperti seseorang yang mengatakan bahwa “kita harus turun” tapi pada saat bersamaan ia juga mengatakan “kita juga harus naik”, apakah itu bukan mustahil namanya? Bagaimana mungkin seseorang bisa “tidak mengimani” tapi sekaligus “membenarkan” ? Bagaimana mungkin hadits ahad itu “ditolak” dalam aqidah tapi pada saat yang sama dia juga dibenarkan?” . Itulah perkataan mereka.

Jawab: Sesungguhnya pernyataan ini hanya muncul pada orang-orang yang tidak mau menelaah pendapat kami dengan cermat dan sabar. Jika dia mengikuti uraian kami dengan baik tentang apa yang kami maksud dengan tasqiiqul jazm (pembenaran pasti), imaan dan aqiidah, niscaya pertanyaan seperti itu tidak akan muncul.

Berkali-kali kami tegaskan bahwa yang kami maksud dengan iman adalah pembenaran yang pasti-tashdiiqul jazm, yang tidak mengandung keraguan sebutir debu pun. Tashdiiqul jazm itu bukan sembarang pembenaran, ia adalah salah satu jenis pembenaran di antara pembenaran-pembenar an yang ada. Lebih tepatnya adalah tingkat pembenaran yang paling tinggi dan sempurna. Pembenaran yang pasti hanya bisa dicapai dengan adanya dalil yang pasti (qoth’i). Kok bisa? Ya, karena bagaimana mungkin dalil yang tidak pasti akan menghasilkan pembenaran yang pasti? Jadi kesimpulannya, karena iman itu adalah tashdiiqul jazm, maka iman itu bukan sembarang pembenaran, tapi ia adalah pembenaran berdasarkan dalil yang pasti. Pembenaran yang tidak berlandaskan dalil yang bersifat pasti tidak bisa dikatakan iman. Jadi tidak mengimani artinya adalah tidak membenarkannya secara pasti, bukan tidak membenarkannya sama sekali.

Jika dalil-dalil syara’ yang qoth’i (wurut/tsubut) menunjukkan kebenaran sesuatu secara pasti (dalam dilalahnya), maka wajib bagi siapa saja untuk membenarkannya secara pasti (baca = mengimani). Masalah yang wajib dibenarkan secara pasti itu yang disebut sebagai masalah-masalah aqidah. Ada perlakuan khusus bagi orang yang tidak membenarkan secara pasti terhadap masalah aqidah, yakni dia akan dikatakan kafir. Jika dia sebelumnya seorang muslim, maka saat dia tidak-membenarkan- secara-pasti salah satu masalah di antara masalah-masalah yang didalili dengan dalil yang qoth’i, maka dia akan dianggap murtad. Contohnya seperti tidak membenarkan secara pasti bahwa Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul terakhir, maka dia murtad.

Berbeda dengan hal-hal yang tidak datang dari dalil-dalil yang qoth’i, seperti hadits tsumma takuunu khilaafatan ‘alaa minhaajin nubuwwah -kemudian akan ada khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian. Hadits ini hadits ahad yang aspek tsubutnya (sumber pengambilan) dzonniy. Kita membenarkan dan tidak mengingkari isi hadits ini, yaitu bahwa besok akan ada khilafah yang berdiri di atas manhaj kenabian. Kami sering menggunakan hadits ini untuk menyemangati kaum muslimin agar mereka terlibat dalam usaha mengembalikan khilafah. Akan tetapi, karena hadits ini hadits ahad, maka kita tidak bisa membenarkannya dengan pembenaran yang pasti. Dengan demikian masalah akan adanya khilafah ini tidak bisa dimasukkan ke dalam perkara aqidah, dimana kaum muslimin tidak dituntut untuk membenarkannya secara pasti dan siapa saja yang menolaknya maka tidak kita anggap kafir. Maka, siapa saja yang meragukan akan adanya khilafah di masa datang tidak jatuh dalam kekafiran. Hanya saja, dia jatuh pada kesalahan. Yakni menolak sesuatu yang kebenarannya diduga kuat.

Penjelasannya begini: Kami telah tegaskan pendirian kami tentang hadits ahad, bahwa ia bersifat dzonniy -dugaan kuat. Maka dia tidak bisa menghasilkan pembenaran yang pasti. Akan tetapi adalah sebuah kesalahan jika kita mengingkari apa yang dibawa oleh hadits ahad. Mengingkari apa yang telah terbukti kuat kebenarannya -walau pun tidak 100%- adalah sebuah kebodohan yang jelas. Sebab yang disebut dugaan kuat adalah kecenderungan kuat ke arah pembenaran dari pada ke arah pengingkaran. Itu artinya lebih mudah menerima dari pada menolaknya, dan lebih mudah membenarkannya dari pada mendustakannya. Lebih dari itu, sesuatu yang didasarkan pada dalil yang tidak sampai derajat pasti bukan berarti pasti ketiadaannya. Sebab dibutuhkan dalil pengingkaran yang qoth’i untuk memastikan ketiadaan sesuatu yang telah diduga kuat keberadaannya. Sebagai ilustrasi, kembalinya khilafah adalah sesuatu yang tidak pasti/qoth’i, tidak bisa dibenarkan secara jazm, dia hanya gholabatudz- dzon-kepercayaan yang kuat. Akan tetapi tidak bisa dikatakan bahwa karena informasi kembali berdirinya khilafah itu tidak qoth’i maka disimpulkan bahwa khilafah itu tidak akan pernah berdiri. Kesimpulan ini justru merupakan keyakinan yang tidak berdasarkan dalil sama sekali. Contoh lain, pertanyaan dalam kubur didasarkan pada hadits ahad, dan dia tidak qoth’i. Tapi seseorang tidak bisa sama sekali mengingkari adanya pertanyaan dalam kubur hanya dengan alasan bahwa dalil tentang pertanyaan dalam kubur itu tidak qoth’i. Ini salah. Sebab jika seseorang mempercayai pertanyaan kubur sebagai pembenaran yang kuat -meski tidak sampai jazm-, maka pembenaran itu merupakan suatu tindakan yang berdasarkan dalil dzonniy yang memang menghasilkan pembenaran yang kuat (gholabatudz- dzon). Tapi seseorang yang memastikan bahwa pertanyaan dalam kubur itu tidak ada -hanya dengan alasan dalilnya tidak qoth’i- maka orang ini justru tidak mendasarkan keyakinannya pada suatu dalil pun. Orang yang mengingkari apa yang didasarkan pada hadits ahad yang shohih tanpa dalil adalah orang yang salah dan dia berdosa karena kesalahannya itu. Kecuali jika pengingkarannya itu didasarkan pada suatu dalil yang lebih kuat (seperti hadits yang lebih shohih atau mutawatir).

Maka Masalah turunya Isa Al Masih ‘alaihis salam, munculnya Dajjal, Imam Mahdi, berdirinya khilafah kembali, pertanyaan dalam kubur, dan lain-lain, adalah masalah-masalah yang didasarkan pada khobar ahad, maka kami membenarkannya sesuai kualitas dalil yang datang kepada kita. Hanya saja masalah-masalah itu tidak termasuk perkara yang wajib untuk “dibenarkan- dengan-pembenara n-yang-pasti” , dimana siapa saja yang ragu atau mendustakannya tidak bisa dihukumi murtad. Mengapa demikian? Karena memang tidak ada jalan untuk membenarkannya dengan pembenaran yang pasti. Demikianlah, sekarang apakah pernyataan “kami membenarkan apa yang dibawa oleh hadits ahad, tapi kami tidak menganggapnya sebagai perkara keimanan” masih terlihat kontradiktif? wa billaahit taufiq.

2. Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Hujjah Dalam Aqidah Bukan Berarti Menentang Apa Yang Disabdakan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam

Perkataan, perbuatan dan taqriir Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hujjah dalam aqidah dan amal perbuatan. Ini adalah masalah qoth’i, ma’luumun minaddiini bidhorurah -suatu hal yang jelas-jelas jelas dalam agama islam. Perkataan, perbuatan dan taqriir Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam itulah yang diistilahkan sebagai as-sunah dalam disiplin ilmu ushul. Menolak as-sunah secara umum sebagai hujjah dalam agama, baik dalam masalah ushul mau pun furu’ merupakan kekafiran. Sebab banyak ayat dalam Al Qur’an Al Kariim yang menegaskan dengan penunjukkan yang qoth’i bahwa As-sunah juga merupakan wahyu. Disamping itu, Al Qur’an juga memerintahkan kita secara tegas untuk mentaati, meneladani dan berhukum kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam -maksudnya berhukum kepada risalah yang beliau bawa. Oleh karena itu, pengakuan atas keharusan mengambil as sunah sebagai dalil dalam aqidah dan amal merupakan permasalahan i’tiqod. Menolak ini berarti keluar dari islam.

Oleh karena itu, umat islam wajib ber-istidlaal dengan as-sunah, baik dalam perkara aqidah mau pun amal. Taqiyuddiin An Nabhaaniy rahimahullah sudah menegaskan hal itu sebelum beliau memasuki pembahasan masalah berhujjah dengan khobar ahad (lihat bab As-sunnatu daliilun syar’iyyun ka-Al-Qur’aan dan Al Istidlaalu bi As Sunnah dalam Asy-syakhshiyyah juz I). Beliau menjelaskan masalah ini dengan cukup berikut dalil-dalilnya yang qoth’i. Alhamdulillaah perkara ini sangat jelas.

Kemudian jika ada yang menanyakan: kenapa Taqiyuddiin An Nabhaani mengatakan bahwa hadits nabi yang mutawatir itu qoth’i, memberi faedah ilmu, harus dibenarkan secara pasti, sedang hadits nabi yang ahad itu tidak qoth’i, hanya menghasilkan dzon (pembenaran yang tidak sampai pasti), dan tidak boleh dibenarkan secara pasti? Padahal, apakah ada shahabat yang mendengar sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan: “sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar barusan ini qoth’i, ia harus kita benarkan secara pasti dan harus kita gunakan sebagai dalil aqidah, sedangkan sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar tadi pagi maka itu dzonny, tidak bisa kita gunakan sebagai hujjah untuk perkara yang menuntut kepastian (aqidah)!”. Apakah ada shohabat yang membagi-bagi sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi qothi-dzonniy, kemudian menolak yang dzonniy dalam aqidah seperti yang dilakukan Taqiyuddiin?

Jawabnya: memang benar, jika kita mendengar langsung apa yang disabdakan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka kita harus membenarkan dengan pasti seluruh apa yang beliau sabdakan, jika itu menyangkut perkara aqidah dan hukum syara’. Sabda Nabi yang kita dengar dalam aqidah dan hukum itu merupakan wahyu dari Allah, bukan ijtihad beliau sendiri. Sehingga semuanya pasti benar, mendustakannya adalah kafir kepada kerasulan Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dengan begitu sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar secara langsung itu tidak dibagi-bagi menjadi qoth’i dan dzonniy. Tidak juga dibagi menjadi dlo’if, hasan dan shohih. Tidak pula menjadi ghorib, ‘aziz, mustafidl dan mutawatir. Tidak ada yang áliy tidak ada yang nazil. Tidak ada pula yang berta’arudl (bertentangan) sehingga harus ada yang rajih (dipilih) dan yang marjuh (dikalahkan) . Tidak ada yang muttashil, munqothi’, mu’allaq, maupun mursal. Tidak seorang shohabat pun yang mendengar sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam secara langsung membagi-bagi sunah menjadi banyak macam seperti itu.

Tapi kenapa para ulama membagi-bagi hadits yang mereka dengar dari para guru mereka menjadi bermacam-macam? Kemudian mereka menolak hadits yang mereka anggap maudlu’, munkar, syadz, mudlthorob, munqothi’, mu’allaq, mu’allal, dan jenis-jenis hadits dlo’if yang lain? Hal itu telah kita ketahui bersama. Lantas kenapa tidak ditanyakan kepada para ulama itu: “kenapa kalian menolak sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam?”.

Jawabnya kita sudah tahu, bahwa mengimani sunah sebagai hujjah itu berbeda dengan mengambil as sunah dari orang yang meriwayatkannya. Para ulama tidak mendengar sunah langsung dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mendengarnya dari orang lain, yang mana orang itu juga mendengarnya dari orang lain. Maka mereka menyeleksi mana orang-orang yang pantas diterima periwayatannya dan mana yang tidak dengan metode yang ketat. Dengan begitu, mereka mengambil sebagian hadits yang mereka anggap kuat dan menolak yang dianggap lemah. Yang mereka terima pun ada yang tergolong hasan, dan ada yang shohih. Hadits shohih lebih kuat dari hadits hasan. Hadits dari keenam kitab induk lebih kuat dari hadits-hadits yang lain. Hadits shohih yang diriwayatkan bersama antara Al Bukhori dan Muslim lebih kuat dari semua hadits shohih yang bukan diriwayatkan oleh keduanya. Hadits shohih dari Al Bukhori lebih kuat dari hadits Muslim. Lebih dari itu, semua hadits ahad yang shohih tidak lebih kuat dari hadits mutawaatir.

Begitulah, kekuatan hadits itu bertingkat-tingkat. Jika hadits ahad itu semuanya qoth’i, niscaya dia tidak bertingkat-tingkat. Dan jika dia qoth’i, niscaya dia tidak lebih lemah dari hadits mutawaatir. Mana ada sesuatu yang telah qoth’i bisa dianggap lebih lemah dari yang lain? Dan ingat, yang dianggap memiliki kelemahan bukanlah as sunah, melainkan periwayat, atau metode periwayatan. wallaahu a’lam

3. Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Hujjah Dalam Aqidah Bukan Berarti Menentang Orang Yang Meriwayatkannya

Ada orang yang bertanya: “anda tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam aqidah, padahal anda ini bukan ahli hadits. Sedangkan Imam Al Bukhori yang jelas jauh lebih tahu tentang hadits dari pada anda, telah mencantumkan hadits-hadits yang tidak anda pakai dalam aqidah itu. Apakah anda merasa bahwa diri anda lebih paham dari pada Imam Al Bukhori?”.

Maka jawabnya tidak. Kami tidak lebih alim dari Imam Besar itu. Tapi kami hanya mengatakan bahwa apa yang mereka riwayatkan secara ahad tidak qoth’i, tidak bisa dipastikan bahwa nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam memang mengatakan seperti apa yang beliau terima. Tapi kami juga tidak mendustakan apa yang beliau terima. Dengan metode yang beliau gunakan, hadits yang didapat maksimal menghasilkan gholabatudz- dzon, yakni kearah pembenaran yang kuat, kecuali yang mutawaatir maka dia qoth’i.

Kami berpendapat beliau tidak menyatakan bahwa apa yang beliau riwayatkan adalah 100% benar dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Pernyataan seperti ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad -menurut salah satu dari dua riwayat (lihat buku Al Qorodlowi: Sunah Nabi Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Gema Insani Press).

Di samping itu, kebanyakan para pemilik kitab hadits belum melakukan istidlaal dengan hadits-hadits yang mereka riwayatkan. Mereka hanya menyajikan hadits yang mereka anggap shohih dengan apa adanya tanpa syarah dan tanpa menunjukkan aspek pendalilannya. Mereka belum berhujjah dengan hadits-hadits itu untuk menunjukkan sikap mereka dalam masalah aqidah maupun hukum.

Disamping itu, kami tidak berpendapat bahwa meriwayatkan hadits ahad yang mengandung aspek aqidah itu tidak boleh (yang biasanya berupa khobar ghoib). Boleh-boleh saja meriwayatkan hadits tentang Dajjal, Imam Mahdi, atau turunya Isa ‘alaihis salam. Yang tidak bisa dilakukan adalah menjadikan masalah Dajjal ini sebagai bagian dari masalah yang harus dibenarkan secara pasti, sehingga menganggap kafir siapa saja yang meragukannya. Padahal, dalilnya hadits ahad, yang hanya bisa dibenarkan dengan pembenaran yang kuat tapi tidak sampai pasti. Tapi juga tidak boleh mengingkarinya.

Di samping itu, jika hadits ahad yang mengandung masalah aqidah itu tidak boleh diriwayatkan, maka tidak akan pernah ada hadits aqidah yang mutawaatir, seperti tentang adanya syafaat. Sebab hadits mutawaatir pada hakekatnya tersusun dari hadits ahad, yang diriwayatkan dari orang ke orang. Hanya saja riwayat-riwayat yang masing-masing ahad itu jumlahnya banyak sehingga tidak mungkin perowinya sepakat berbohong atau jatuh pada kesalahan yang sama. Wallaahu Al muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq

Shollallaahu ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa ash-haabihi wa sallam

walhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin

***

Jogja, 1 Maret 2007

Titok Priastomo (Penulis adalah Ketua Gema Pembebasan DIY, mahasiswa Fakultas Peternakan UGM)

Custom Search