Monday, April 23, 2007

Syura Bukan Demokrasi


SYURA BUKAN DEMOKRASI

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi



Pengantar


Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi, telah masyhur dan sudah lama adanya, meski anggapan ini sesungguhnya tidak benar. “Demokrasi bagi kita ialah musyawarah,” kata Sukarno, presiden pertama RI, ketika menyampaikan pidato berjudul "Negara Nasional dan Cita-Cita Islam" di Universitas Indonesia, di Jakarta 7 Mei 1953.
Namun demikian, tak sedikit pandangan kritis yang memandang syura bukanlah demokrasi. Abdul Qadim Zallum (1990), misalnya, menegaskan,”Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra`y). Sedangkan demokrasi, adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem [pemerintahan] ...”
Tulisan ini bertujuan menjelaskan bahwa syura (musyawarah) bukanlah demokrasi, dengan menguraikan dua hal utama, yaitu : (1) hakikat syura dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dan (2) perbedaan fundamental antara syura dengan demokrasi. Untuk itu, akan ditelaah secara komprehensif tiga kitab berikut : kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz I (Bab Asy-Syura hal. 246-261), karya Taqiyuddin an-Nabhani (1994), kitab Nizham Al-Hukm fi Al-Islam (Bab Majelis Ummat, hal. 214-224), karya Abdul Qadim Zallum (2002), dan kitab Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, karya Abdul Qadim Zallum (1990).

Hakikat Syura


Menurut pengertian bahasa, syura adalah mashdar (kata-dasar) dari kata syaawara (Zallum, 2002:216). Syura secara bahasa memiliki banyak makna. Menurut Ibnu Manzhur, dalam Lisan Al-‘Arab, Jilid II hal. 379-381, pada pasal sya-wa-ra, makna syura antara lain mengeluarkan madu dari sarang lilin [lebah] (istikhraj al-‘asl min qursh asy-syama’), memeriksa tubuh hamba sahaya perempuan dan binatang ternak pada saat pembelian (tafahhush badan al-amah wa al-daabbah ‘inda asy-syira`), menampakkan diri dalam medan perang (isti’radh an-nafs f imaydan al-qital), dan sebagainya (Al-Khalidi, 1980:141; Zallum, 2002:216).


Adapun menurut pengertian syariat --yang didasarkan pada nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah-- syura adalah mengambil pendapat (akhdh ar-ra`y[i]) (An-Nabhani, 1994:246). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (thalab ar-ra`y[i] min al-mustasyaar) (Zallum, 2002:216). Istilah lain syura adalah masyurah (An-Nabhani, 2001:111) atau at-tasyaawur (An-Nabhani, 1994:246).


Taqiyuddin An-Nabhani (1994:246) mengatakan bahwa syura dilakukan oleh setiap amir (pemimpin) terhadap orang-orang yang dipimpinnya, misalnya oleh seorang khalifah, komandan pasukan (qa`id), atau oleh setiap orang yang mempunyai kewenangan/otoritas (shahib ash-shalahiyah). Syura dapat dilakukan juga di antara suami isteri, misalnya untuk memusyawarahkan penyapihan anak mereka sebelum dua tahun (lihat QS Al-Baqarah : 233). Dalam sistem Khilafah, syura secara kelembagaan formal dilaksanakan dalam Majelis Ummat, yang merupakan lembaga wakil-wakil umat dalam musyawarah dan muhasabah (pengawasan) terhadap khalifah (Zallum, 2002:222). Maka fungsinya antara lain melakukan musyawarah dengan khalifah. Namun Majelis Ummat dalam negara Khilafah tidak mempunyai kewenangan legislatif seperti parlemen dalam sistem demokrasi. Fungsi legislasi dalam arti melakukan adopsi (tabanni) hukum syara’ dari sejumlah hukum syara’ yang ada dalam satu masalah untuk mengatur urusan rakyat, hanya menjadi otoritas khalifah, bukan yang lain (Zallum, 2002:44).


Hukum melakukan syura menurut Abdul Qadim Zallum adalah mandub, bukan wajib (2002:217-218). Ini sejalan dengan pandangan para ahli tafsir terkemuka yang menyatakan perintah Allah SWT kepada Rasulullah Saw untuk melakukan syura dalam Al-Qur`an surat Ali Imran : 159, adalah perintah mandub, bukan perintah wajib. Mereka itu misalnya Ibn Jarir Ath-Thabari (Jami’ Al-Bayan, IV/153), Al-Alusi (Ruhul Ma’ani, IV/106-107), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf. I/474), Imam Al-Qurthubi (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, IV/249-252), dan Ibnul ‘Arabi (Ahkamul Qur`an, I/298).


Jadi, meskipun ada tuntutan (thalab) dari Al-Qur`an untuk melakukan syura, misalnya dalam frasa “wa syaawir hum fil amri” (bermusyawarahlah kamu dalam urusan itu) (QS Ali ‘Imraan : 159), tetapi ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan tuntutan tersebut bukanlah tuntutan pasti (thalab jazim) --yang kesimpulan hukumnya wajib-- melainkan tuntutan tidak pasti (thalab ghayr jazim), yang kesimpulan hukumnya mandub. Qarinah tersebut antara lain, bahwa pada ayat tersebut terdapat frasa “fa idza azamta fatawakkal ‘ala-llah” (kemudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah). Ayat ini jelas menyandarkan ‘azam (tekad bulat) –yaitu maksud untuk melaksanakan sesuatu dan mengambil keputusan— hanya kepada Rasulullah, bukan kepada orang-orang yang diajak musyawarah. Karenanya, dalam banyak kebijakannya, Rasul mengambil keputusan tanpa bermusyawarah dengan para shahabat, seperti dalam pengangkatan para wali (gubernur), pengangkatan para qadhi (hakim), para sekretaris (kuttab), dan para pemimpian sariyah dan pasukan, juga penandatanganan gencatan senjata, dan sebagainya (Zallum, 2002:217-218). Ini menunjukkan syura adalah mandub, bukan wajib. Yang melakukannya akan mendapat pahala, sedang yang meninggalkannya tidak berdosa.


Siapa yang berhak melakukan syura? Syura sesungguhnya adalah hak kaum muslimin semata. Artinya, pihak pemegang kewenangan (shahib ash-shalahiyah), seperti khalifah, ketika hendak meminta atau mengambil pendapat, ia tidak mengambilnya kecuali dari kaum muslimin. Tegasnya, syura adalah proses pengambilan pendapat yang khusus di kalangan internal sesama orang Islam. Tidak boleh dalam syura mengambil pendapat dari orang kafir, meskipun boleh (ja`iz) orang kafir menyampaikan pendapat (ibda` ar-ra`y) kepada orang Islam dan boleh kaum muslimin mendengarkan pendapat (sama’ ar-ra`y) dari orang kafir tersebut (An-Nabhani, 2001:111). Kekhususan syura hanya untuk kaum muslimin, ditunjukkan misalnya oleh firman Allah SWT :

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka...” (QS Ali Imran [3] : 159)

Ayat ini menunjukkan menunjukkan bahwa sikap-sikap Rasul, seperti memohonkan ampunan kepada Allah, tidak mungkin beliau lakukan, kecuali bagi kaum muslimin. Sebab, Allah telah melarang Rasul memintakan ampunan kepada orang musyrik (Lihat QS At-Taubah : 113). Maka, demikian pula, bermusyawarah juga tidaklah dilakukan Rasul, kecuali dengan kaum muslimin (An-Nabhani, 1994:247).


Lalu, apakah dalam musyawarah, pendapat yang diambil selalu berdasarkan suara mayoritas seperti halnya dalam demokrasi? Memang, dalam sistem demokrasi suara mayoritas-lah yang menjadi penentu dalam segala bidang permasalahan. Sedangkan dalam syura, kriteria pendapat yang diambil tergantung pada bidang permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1990) dalam Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, adalah sebagai berikut :


Pertama, dalam masalah penentuan hukum syara’ (at-tasyri’), kriterianya tidak tergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syara' (nash Al-Qur`an dan As-Sunnah). Sebab, yang menjadi Pembuat Hukum (Musyarri' , The Law Giver) hanyalah Allah SWT, bukan umat atau rakyat. Sedang pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi) hukum-hukum syara' dalam sistem Khilafah, adalah khalifah saja. Bukan Majelis Ummat. Khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Ummat mengenai hukum-hukum syara’ yang akan dilegislasikannya, meskipun hal ini boleh dia lakukan. Jika khalifah meminta pendapat Majelis Ummat mengenai hukum-hukum syara' yang hendak diadopsinya, maka pendapat Majelis Ummat tidak mengikat khalifah, meskipun pendapat itu diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas.


Dalilnya adalah karena Rasulullah SAW pernah mengesampingkan pendapat kaum muslimin yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum muslimin waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Tetapi toh Rasulullah menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah SAW bersabda kepada mereka :

إِنِّي عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُوَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ

"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya." (HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Fathul Bari, VI/276; Shahih Muslim XII/141; Majma’ Az-Zawa`id wa Manba’ Al-Fawa`id, V/225)

Kedua, Dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya yang berkompeten. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat. Jadi, masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar kemiliteran. Masalah-masalah fiqih dikembalikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan kepada para pemikir besar. Demikianlah seterusnya.


Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah SAW mengikuti pendapat Al Hubab bin Al Mundzir pada Perang Badar —yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis— yang mengusulkan kepada Nabi agar meninggalkan tempat yang dipilih Nabi, kalau sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu. Al Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Maka Rasulullah mengikuti pendapat Al Hubab dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Al Hubab. Jadi Rasulullah SAW telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah tersebut (Lihat kisah Perang Badar ini selengkapnya dalam Sirah Ibnu Hisyam, II/272; Thabaqat Ibnu Sa’ad, II/15; Tarikh Ibnu Khaldun, II/751; As-Sirah li Ibn Katsir, II/380-402).


Ketiga, masalah-masalah yang langsung menuju kepada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, maka yang menjadi patokan adalah suara mayoritas, sebab mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Masalah-masalah seperti ini contohnya, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya), apakah kita akan keluar kota atau tidak, apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari, apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pendapatnya. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah seperti ini suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.


Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah SAW ketika Perang Uhud. Rasulullah SAW dan para shahabat senior berpendapat bahwa kaum muslimin tidak perlu keluar dari kota Madinah. Sedang mayoritas shahabat —khususnya para pemudanya— berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah. Jadi pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan, keluar kota Madinah atau tidak. Dikarenakan mayoritas shahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, maka Nabi SAW mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para shahabat senior, serta berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy (Lihat kisah Perang Uhud ini selengkapnya dalam Sirah Ibnu Hisyam, III/67; Thabaqat Ibnu Sa’ad, II/38; Tarikh Ibnu Khaldun, II/765; Zadul Ma’ad, II/62; Fathul Bari, XVII/103).

Perbedaan Syura dengan Demokrasi


Dari uraian di atas tentang syura, dapat kita pahami adanya perbedaan fundamental antara syura dan demokrasi. Seperti telah dikutip sebelumnya, Abdul Qadim Zallum (1990) secara ringkas membandingkan sekaligus membedakan demokrasi dan syura dengan perkataannya, ”Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra`y). Sedangkan demokrasi, adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem [pemerintahan] ...”


Ini berarti, menyamakan syura dengan demokrasi bagaikan menyamakan sebuah sekrup dengan sebuah mobil. Tidak tepat dan tidak proporsional. Mengapa? Sebab syura hanyalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam, sebagai bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Sedang demokrasi bukan sekedar proses pengambilan pendapat berdasarkan mayoritas, namun sebuah jalan hidup (the way of life) yang holistik yang terrepresentasikan dalam sistem pemerintahan menurut peradaban Barat. Bahwa demokrasi adalah sebuah sebuah tipe sistem pemerintahan, dapat dibuktikan misalnya dengan pernyataan Presiden Lincoln pada peresmian makam nasional Gettysburg (1863) di tengah berkecamuknya Perang Saudara di AS. Lincoln menyatakan,”[Demokrasi adalah] pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” (Melvin I. Urofsky, 2003:2). Maka, menyamakan syura dengan demokrasi tidaklah tepat dan jelas tak proporsional. Jika ingin tepat dan proporsional, sistem demokrasi seharusnya dibandingkan dengan sistem Khilafah, bukan dengan syura. Atau syura seharusnya dibandingkan dengan prinsip suara mayoritas, bukan dengan demokrasi.


Memang, ada kemiripan antara syura dan demokrasi, yang mungkin dapat menyesatkan orang untuk menganggap syura identik dengan demokrasi. Kemiripan itu ialah, dalam syura ada proses pengambilan pendapat berdasarkan suara mayoritas, seperti terjadi dalam Perang Uhud, identik dengan yang ada dalam demokrasi (An-Nahwi, 1985:93-94). Namun dengan mencermati penjelasan tentang syura di atas, masalah kemiripan ini akan gamblang dengan sendirinya. Sebab tak selalu syura berpatokan pada suara mayoritas. Ini sangat berbeda dengan demokrasi yang selalu menggunakan kriteria suara mayoritas untuk segala bidang permasalahan. Selain itu, syura hanyalah hak kaum muslimin yang dilaksanakan di antara sesama umat Islam ketika mereka bertukar pikiran untuk mengambil suatu pendapat. Orang kafir tidak boleh ikut serta dalam proses syura. Ini jelas beda dengan demokrasi yang menjadikan muslim dan non-muslim bisa bercampur-aduk untuk menetapkan suatu pendapat. Jika demikian kontras bedanya, sekontras perbedaan warna putih dan hitam, lalu di mana lagi letak kesamaan syura dan demokrasi? Samakah yang putih dengan yang hitam?


Kemiripan syura dan demokrasi dalam tersebut, menjadi lebih tak bermakna jika kita mengkaji ciri-ciri sistem demokrasi secara lebih mendasar dan komprehensif. Menurut Zallum (1990) sistem demokrasi mempunyai ciri-ciri : berlandaskan pada falsafah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), dibuat oleh manusia, didasarkan pada 2 (dua) ide pokok : (1) kedaulatan di tangan rakyat dan (2) rakyat sebagai sumber kekuasaan, memegang prinsip suara mayoritas, dan menuntut kebebasan individu (freedom) agar kehendak rakyat dapat diekspresikan tanpa tekanan.


Hanya dengan memperhatikan falsafah demokrasi, yaitu sekularisme, maka jurang perbedaan syura dan demokrasi akan semakin lebar. Sedemikian lebarnya sehingga mustahil terjembatani. Sebab, syura tidak lahir dari aqidah (falsafah) sekularisme, melainkan lahir dari Aqidah Islamiyah. Syura adalah hukum syara’ yang dilaksanakan sebagai bagian dari perintah Allah. Sedang demokrasi, lahir dari rahim ide sekularisme yang kufur. Sebab, setelah terjadi sekularisasi, yakni setelah agama dipisahkan dari kehidupan sehingga agama tidak lagi mengatur urusan kehidupan manusia seperti politik, maka dengan sendirinya manusia itu sendirilah yang membuat aturan hidupnya. Inilah asal-usul ideologis lahirnya demokrasi di negara-negara Eropa pasca Abad Pertengahan (V-XV M), setelah sebelumnya masyarakat Eropa ditindas oleh kolaborasi antara raja/kaisar --yang berkuasa secara despotik dan absolut-- dengan para agamawan Katolik yang memperalat agama, korup, dan manipulatif (An-Nabhani, 2001:27).

Kesimpulan


Berdasarkan seluruh uraian di atas, jelaslah bahwa syura tidak identik dengan demokrasi. Syura bukanlah demokrasi, sebab syura adalah pengambilan pendapat sedang demokrasi adalah sistem pemerintahan Barat yang berasaskan pada ide sekularisme yang kufur. Adanya kemiripan antara syura dan demokrasi tidak ada maknanya sama sekali, sebab keduanya mempunyai basis ideologi yang berbeda secara diametral.


Perlu diingat, sistem demokrasi telah dijadikan salah satu senjata Barat untuk menghancurkan Islam. Ini nampak ketika ketika negara-negara Barat mengadakan Konferensi Berlin pada akhir abad ke-18 M. Negara-negara penjajah itu memang tidak mencapai kata sepakat bagaimana membagi-bagi Negara Khilafah Utsmaniyah –mereka sebut sebagai The Sick Man-- andaikata “orang sakit” ini telah masuk liang lahat. Namun mereka menyepakati satu hal, yaitu memaksa Khilafah untuk menerapkan sistem demokrasi. Akhirnya Khilafah menerapkan sistem kementerian (al-wuzarah) seperti dalam sistem demokrasi, akibat tekanan dan paksaan Barat. Ketika Khilafah hancur pada 1924, Barat segera meracuni pemikiran umat Islam dengan menulis berbagai buku yang menyatakan bahwa Islam adalah agama demokratis, atau bahwa demokrasi berasal dari ajaran Islam (Zallum, 1994:135-136).


Maka dari itu, siapa saja yang mengatakan bahwa demokrasi adalah bagian ajaran Islam, misalnya dengan mengatakan demokrasi adalah syura itu sendiri, berarti dia telah bersekongkol dengan para penjajah yang kafir untuk turut menghancurkan Islam dan menyesatkan umat Islam. Propaganda demokrasi yang palsu dan penuh pemaksaan ini tak punya tujuan lain, kecuali untuk mencegah bangkitnya ideologi Islam dalam sebuah sistem Khilafah, sekaligus untuk melestarikan hegemoni ideologi kapitalisme-demokratik yang kufur di seluruh dunia, agar umat manusia tetap terus-menerus hidup dalam ketertindasan, penderitaan, dan kesengsaraan di dunia dan akhirat. Ini tentu sangat kejam. Sangat biadab. Dan gila. [ ]





DAFTAR PUSTAKA

Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. Cetakan I. (Kuwait : Dar Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah).

Anonim. 1990. "Negara Nasional dan Cita-Cita Islam". Bung Karno dan Islam. (Jakarta: Haji Masagung).

----------. 1994. Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).

----------. 2001. Nizham Al-Islam. Cetakan VI. (t.tp. : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

An-Nahwi, Adnan Ali. 1985. Asy-Syuura Laa Ad-Dimuqrathiyah. Cetakan II. (Kairo : Dar Ash-Shahwah).

Ibnu Manzhur. 1889. Lisanul ‘Arab. (Bulaq : Al-Mathba’ah Al-Amiriyah).

Urofsky, Melvin I. et.al.. 2003. Demokrasi. Office of International Information Programs-U.S. Department of State. http:/usinfo.state.gov

Zallum, Abdul Qadim. 1990. Ad-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr. (t.tp. : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

----------. 1994. Afkar Siyasiyah. Cetakan I. (Beirut : Darul Ummah).

----------. 2002. Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. Cetakan VI. (t.tp. : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

Friday, April 20, 2007

Ilmu dan Tsaqofah




ILMU DAN TSAQAFAH

Oleh : MR Kurnia





Makna Ilmu (Sains) dan Tsaqafah


Bila dalam bahasa dikatakan “’alima al rajulu ‘ilman” artinya hakekat suatu ilmu telah dimilikinya, dan “’alima al syai-a” artinya dia telah mengetahui sesuatu. Adapun bila dikatakan “a’lamahu al amra wa bi al amri” maka artinya memberitahukan sesuatu kepadanya. Berkaitan dengan tsaqafah, dalam bahasa Arab dikatakan “tsaqifa tsaqâfatan” artinya menjadi mahir atau piawai. Pelakunya disebut “tsâqifun” dan “tsaqîfun”. Dan “tsaqafa al kalâma tsaqâfatan” artinya dia mahir dan memahaminya (perkataan) dengan cepat tanggap. Makna-makna secara bahasa ini merupakan pokok dalam pemakaian lafazh-lafazh. Hanya saja apabila lafazh-lafazh tersebut dibuat untuk memberikan makna suatu istilah yang memiliki hubungan dengan makna bahasanya boleh-boleh saja. Misalnya, memberikan istilah kata fa’il dalam ilmu nahwu misalnya. Makna bahasanya adalah orang yang mengerjakan atau melakukan suatu perbuatan. Namun, dalam istilah nahu, istilah tersebut memiliki makna subjek dari setiap predikat.


Dalam konteks ini, orang-orang terdahulu memakai lafazh ilmu untuk semua pengetahuan bagaimanapun macamnya, mereka tidak membedakan antara al ‘uluum dan al ma’aarif. Kemudian, pada masa berikutnya, jadilah orang-orang menganggap pengetahuan yang bersifat rasional (al ma’aarif al ‘aqliyyah) dan pengetahuan alam ( wa al thabii’iyyah) berlaku umum untuk seluruh manusia. Mereka menganggap pengetahuan di luar itu sebagai pengetahuan yang bersifat pemberitaan (al ma’aarif al naqliyyah) yang berlaku khusus untuk ummat yang mendapat pemberitaan itu saja. Waktu pun maju terus. Mulailah ilmu digunakan untuk mendefinisikan pengetahuan-pengetahuan tertentu dan tsaqafah untuk pengetahuan-pengetahuan tertentu lainnya. Jadilah ilmu memiliki makna istilah dan tsaqafah juga memiliki makna istilah yang berbeda makna keduanya menurut bahasa.
Berangkat dari perjalanan istilah seperti itu, ilmu mengandung makna istilah spesifik, begitu pula tsaqafah. Ilmu merupakan pengetahuan yang diambil melalui cara pengamatan, percobaan/eksperimen dan penarikan kesimpulan. Diantara pengetahuan yang tergolong ilmu tersebut adalah ilmu fisika, ilmu kimia dan berbagai ilmu eksperimental yang lain. Istilah ilmu tersebut sekarang sepadan dengan istilah sains. Karakter dari sains itu adalah dapat diulang, diuji coba di laboratorium, dan hasilnya relatif tidak berubah. Sekedar contoh, kalau dahulu ditemukan bahwa bentuk sel gabus itu kosong, siapapun yang menelaahnya di mikroskop sekarang akan menemukan hal yang sama. Atau, boleh jadi berbeda. Begitu pula, dulu diketahui bahwa molekul air itu terdiri dari satu unsur O dan dua unsur H (H2O). Kapan pun kebenaran atau ketidakbenaran hal tersebut terbuka untuk dikaji ulang dengan melakukan percobaan yang persis dengan percobaan terdahulu itu. Begitulah semua jenis sains. Ringkasnya, benar tidaknya produk sains dapat diuji ulang oleh siapa saja dan kapan saja. Itulah ilmu (sains).


Adapun tsaqafah didefinisikan sebagai pengetahuan yang diambil melalui berita-berita, talaqqiy (pertemuan secara langsung) dan istimbath (penggalian/penarikan kesimpulan dari berita-berita tersebut). Karenanya, tsaqafah tergantung kepada bangsa masing-masing, kepercayaan terhadap orang-orang yang memberitakannya, serta landasan dan cara berpikir orang dalam menarik kesimpulan dari berita-berita yang diterimanya. Misalnya, sejarah. Sejarah tidak dapat diujicobakan, tidak bisa dieksperimentasikan. Sejarah tidak dapat diulang, sebab sejarah merupakan kejadian masa lalu. Generasi sekarang mendapatkan cerita tentang penjajahan Belanda, awal masuknya Islam ke Indonesia, dulu ada yang namanya Musthafa Kamal dan sebagainya sampai ke generasi searang melalui jalur pemberitaan. Bila yang meriwayatkan itu adalah Belanda maka penjajahan belanda itu bukanlah penjajahan melainkan sebuah ekspedisi dan penyebaran suci agama Kristen. Pemahaman sebaliknya akan terjadi bila yang membeberkannya adalah kaum muslim yang ada di Indonesia, misalnya. Ada yang menyatakan bahwa Islam sampai ke Indonesia pada abad ke-17 M, namun ada juga yang menegaskan Islam masuk abad ke-12 M. Ada yang menulis bahwa Islam di Indonesia disebarkan oleh para pedagang Persi dan Gujarat, namun ada pula yang menegaskan bahwa para pengemban dakwah di Indonesia itu merupakan utusan dari khalifah Islam yang kebutuhan hidup sehari-harinya dipenuhi melalui cara berdagang. Mereka datang bukan untuk berdagang melainkan berdakwah. Demikian pula orang-orang Barat memuja dan memuji Musthafa Kamal sebagai tokoh dan pahlawan modern yang mensekulerkan Turki. Sebaliknya, kaum muslim generasi terdahulu meriwayatkan bahwa dia itu Yahudi yang mengaku muslim sebagai antek Inggris yang menghancurkan Daulah Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki. Begitulah, sejarah dipercaya tergantung kepada berita yang sampai kepadanya. Untuk menguji kebenarannya tidak dapat dieksperimentasikan, melainkan tergantung kepada siapa yang dapat dipercaya beritanya. Bahasa termasuk tsaqafah. Mengapa orang yang telentang diatas kasur dinamai ‘tidur’ bukan ‘mencangkul’, mengapa alat untuk menulis dinamai ‘pensil’ bukan ‘pancing’, mengapa orang yang melahirkan anak dikategorikan ‘perempuan’ bukan ‘jantan’, dan lain-lain. Tidak ada orang yang dapat menjawab pertanyaan ‘mengapa’ tersebut. Sebab, sudah dari sananya begitu. Demikianlah generasi terdahulu menyampaikan. Hal yang sama berlaku bagi fiqih, filsafat dan seluruh pengetahuan non eksperimesial lainnya. Semuanya termasuk tsaqafah.


Terdapat pula pengetahuan-pengetahuan yang non eksperimental yang berkaitan dengan ilmu sekalipun pengetahuan-pengetahuan tersebut masuk dalam tsaqafah seperti matematika, teknik dan perindustrian. Pengetahuan-pengetahuan ini kendati tergolong tsaqafah akan tetapi ia dapat dianggap dalam katagori ilmu dari segi keberadaannya umum untuk seluruh manusia bukan dikhususkan untuk suatu ummat saja. Demikian juga hal yang menyerupai perindustrian tergolong dalam tsaqafah yang berhubungan dengan al hiraf (profesi/kerajinan), seperti perdagangan dan pelayaran, hal ini dianggap dalam katagori ilmu dan ia umum sifatnya. Adapun kesenian seperti melukis, memahat dan musik adalah termasuk kedalam tsaqafah karena dia mengikuti persepsi tertentu, dan ia merupakan tsaqafah khusus. Perbedaan antara tsaqafah dan ilmu adalah ilmu bersifat universal untuk seluruh ummat tidak dikhususkan kepada satu ummat saja tanpa ummat yang lain, sedangkan tsaqafah adalah khusus sifatnya dan dinisbahkan kepada ummat yang memproduksinya atau ia merupakan karekteristiknya/ciri khasnya dan keistimewaannya, seperti sastra dan sejarah para pahlawan, filsafatnya tentang kehidupan, dan terkadang tsaqafah ini bersifat umum seperti perdagangan, pelayaran, dan yang semisalnya. Oleh karena itu ilmu diambil secara universal, artinya diambil dari ummat mana saja karena ilmu bersifat universal tidak dikhususkan untuk satu ummat saja. Sedangkan tsaqafah maka ummat mulai dengan tsaqafahnya sehingga apabila dia telah mempelajarinya, memahaminya dan telah mengakar dalam benaknya baru dia mempelajari tsaqafah-tsaqafah yang lain.


Tsaqafah Islamiyyah


Tsaqafah islamiyyah adalah segala pengetahuan yang mana ‘aqidah islamiyyah merupakan sebab dalam pembahasannya, segala pengetahuan tersebut mengandung ‘aqidah islamiyyah dan membahas tentang aqidah tersebut seperti ilmu tauhid. Atau, segala pengetahuan tersebut berdasarkan kepada ‘aqidah Islam seperti fikih, tafsir dan hadits, ataupun segala pengetahuan yang diniscayakan untuk memahami sesuatu yang terpancar dari aqidah Islam berupa hukum-hukum, seperti pengetahuan-pengetahuan yang mewajibkan ijtihad dalam Islam. Contohnya, ilmu-ilmu bahasa arab, musthalah hadits dan ilmu ushul. Semuanya ini adalah tsaqafah islamiyyah karena ‘aqidah islamiyyah merupakan sebab dalam pembahasannya.


Dan tsaqafah islamiyyah semuanya kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Dari keduanya dan dengan memahami keduanyalah semua cabang tsaqafah islamiyyah. Dan keduanya ini pula termasuk tsaqafah islamiyyah karena ‘aqidah Islam mewajibkan mengambil keduanya dan terikat dengan apa yang dibawa oleh keduanya. Al qur’an menyuruh kaum muslimin agar mereka mengambil apa yang telah dibawa oleh Rasul SAW. Allah SWT berfirman : “Dan apapun yang dibawa oleh Rasul maka ambillah, dan apapun yang dicegah oleh Rasul maka jauhilah” (TQS. Al Hasyr : 7).

Padahal mengambil apa yang telah dibawa oleh Rasul tidak mungkin kecuali setelah memahami dan telah mempelajarinya. Akibatnya, terdapatlah pengetahuan-pengetahuan yang diniscayakan untuk dapat memahami Al Qur’an dan As Sunnah. Muncullah macam-macam pengetahuan Islam. Dengan kata lain, lahirlah tsaqafah islamiyyah yang memiliki makna tertentu yaitu Al Qur’an, As Sunnah, bahasa, sharaf, nahwu, balaghah, tafsir, hadits, mushthalah hadits, ushul, taihid dan lain-lain yang termasuk dalam pengetahuan-pengetahuan Islam.

Daftar Bacaan
1. Shabir Ahmed, A. A. Muntaqim, dan Abdul Sattar. 1997. Islam and Science. Islamic Cultural Workshop, USA. 2nd edition. 72p.
2. Abdurrahman Al Baghdadi. 1991. Islam Bangkitlah. Gema Insani Press, Jakarta. 174p.
3. ______________________. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Penerbit Al-Izzah, Bangil. 153p.
4. Taqiyyuddin An Nabhani. 2001. Nizhâm al Islâm. Min Mantsûrât Hizbit Tahrîr. Edisi 6. 136p.

Wednesday, April 18, 2007

AL - KHILAFAH



AL KHILAFAH*

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi**



Definisi Khilafah



Al Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari'at Islam dan mengemban da'wah Islam ke segenap penjuru dunia. Kata lain dari Khilafah adalah Imamah. Imamah dan Khilafah mempunyai arti yang sama. Banyak hadits shahih yang menunjukkan bahwa dua kata itu memiliki makna yang sama. Bahkan tidak ada satu nash pun, baik dalam Al Qur`an maupun Al Hadits, yang menyebutkan kedua istilah itu dengan makna yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Kaum muslimin boleh menggunakan salah satu dari keduanya, apakah istilah Khilafah ataupun Imamah. Sebab yang menjadi pegangan adalah makna yang ditunjukkan oleh kedua istilah itu.

Hukum Menegakkan Khilafah



Menegakkan Khilafah hukumnya fardlu (wajib) bagi seluruh kaum muslimin. Melaksanakan kewajiban ini —sebagaimana melaksanakan kewajiban lain yang telah dibebankan Allah kepada kaum muslimin— adalah suatu keharusan yang menuntut pelaksanaan tanpa tawar menawar lagi dan tidak pula ada kompromi. Melalaikannya adalah salah satu perbuatan maksiat yang terbesar dan Allah akan mengazab para pelakunya dengan azab yang sangat pedih.

Dalil-Dalil Wajibnya Khilafah



Dalil-dalil mengenai kewajiban menegakkan Khilafah bagi seluruh kaum muslimin adalah Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma' Shahabat.

A. Dalil Al-Quran



Dalam Al Qur`an, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk menegakkan hukum di antara kaum muslimin dengan hukum yang telah diturunkan-Nya. Dan perintah itu datang dalam bentuk yang pasti (jazim). Allah SWT berfirman :



فَا�­ْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَائَهُمْ عَمَّا جَائَكَ مِنَ الْ�­َقِّ



"Maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al Maa`idah: 48).

وَأَنِ ا�­ْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنَزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَائَهُمْ وَا�­ْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ



"(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (Al Maa`idah: 49).

Khithab (firman) Allah SWT yang ditujukan kepada Rasul-Nya juga merupakan seruan untuk umatnya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa khithab itu dikhususkan untuk beliau. Dalam hal ini tidak ditemukan dalil yang mengkhususkannya kepada Nabi, sehingga menjadi seruan yang juga ditujukan kepada kaum muslimin untuk menegakkan hukum. Tidak ada arti lain dalam mengangkat Khalifah kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan.



Allah SWT juga memerintahkan agar kaum muslimin mentaati Ulil Amri, yaitu penguasa. Perintah ini juga termasuk di antara dalil yang menunjukkan kewajiban adanya penguasa atas kaum muslimin. Allah SWT berfirman:




يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ



"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu sekalian."
(An Nisaa`: 59).

Tentu saja Allah SWT tidak memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati seseorang yang tidak berwujud. Allah juga tidak mewajibkan mereka untuk mentaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub. Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajiban menegakkan hukum syara', sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara'. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara'.

B. Dalil As-Sunnah



Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nafi' yang berkata: Umar radliyallahu 'anhu telah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:



مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةِ اللهِ لَقِيَ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ �­ُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً



"Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang mati sedangkan di lehernya tidak ada bai'at, maka matinya adalah mati jahiliyyah".

Nabi SAW mewajibkan adanya bai'at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai'at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai'at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Rasulullah telah mewajibkan atas setiap muslim agar di lehernya selalu ada bai'at kepada seorang Khalifah, namun tidak mewajibkan setiap muslim untuk melakukan bai'at kepada Khalifah secara langsung. Yang wajib adalah adanya bai'at pada leher setiap muslim, yaitu adanya seorang Khalifah yang dengan keberadaannya menyebabkan terwujudnya bai'at pada leher setiap muslim. Jadi keberadaan Khalifah itulah yang akan memenuhi tuntutan hukum adanya bai'at di atas leher setiap muslim, baik dia berbai'at secara langsung maupun tidak. Oleh karena itu, hadits di atas lebih tepat dijadikan dalil kewajiban mengangkat seorang Khalifah daripada dalil kewajiban berbai'at. Sebab, dalam hadits tersebut yang dicela oleh Rasulullah SAW adalah keadaan tiadanya bai'at pada leher setiap muslim hingga ia mati, bukan karena dia tidak melaksanakan bai'at.



Imam Muslim telah meriwayatkan dari Al A'raj dari Abi Hurairah dari Nabi SAW bersabda:

إِنَّمَا الإمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
"Sesungguhnya seorang Imam adalah laksana perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung.”

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abi Hazim yang berkata:

قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِيْنَ فَسَمِعْتُهُ يُ�­َدِّثُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءٌ فَتَكْثُرُ، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا ؟ قَالَ: فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ، وَأَعْطُوهُمْ �­َقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
"Aku telah mengikuti majelis Abi Hurairah selama lima tahun, pernah aku mendengarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah SAW yang bersabda: 'Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, dia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak Khalifah'. Para shahabat bertanya: 'Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?' Beliau menjawab: 'Penuhilah bai'at bagi yang pertama dan bagi yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggung-jawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka'".

Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَ�­َدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
"Siapa saja yang membenci sesuatu dari amirnya (pemimpinnya) hendaknya ia tetap bersabar. Sebab, siapa saja yang keluar dari penguasa sejengkal saja kemudian mati dalam keadaan demikian, maka matinya adalah mati jahiliyyah".

Hadits-hadits ini di antaranya merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahwa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin, dan bahwa seorang Khalifah adalah laksana perisai. Pernyataan Rasulullah SAW bahwa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya fungsi-fungsi dari keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan. Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan, atau merupakan larangan; dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan. Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara' atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara', maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu berarti bersifat pasti.



Dalam hadits-hadits ini juga disebutkan bahwa yang memimpin dan mengatur kaum muslimin adalah para Khalifah. Ini menunjukkan adanya tuntutan untuk mendirikan khilafah. Salah satu hadits tersebut ada yang menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar dari penguasa. Semua ini menegaskan bahwa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Selain itu, Rasululah SAW juga memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيَطِعْهُ إِنِّ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَآءَ آخَرُ يُنَازِعَهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرَ
"Siapa saja yang telah membai'at seorang Imam (Khalifah), lalu ia memberikan kepadanya genggaman tangan dan buah hatinya, hendaknya ia mentaatinya sesanggup-sanggupnya. Apabila ada orang lain hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu".

Jadi perintah mentaati Imam berarti pula perintah mewujudkan sistem khilafahnya, sedang perintah memerangi orang yang merebut kekuasaannya merupakan isyarat (qarinah) yang menegaskan secara pasti akan keharusan melestarikan adanya Imam yang tunggal.

C. Dalil Ijma’ Shahabat



Adapun dalil Ijma' Shahabat menunjukkan bahwa para shahabat ridlwanullahi 'alaihim, telah bersepakat mengenai keharusan mengangkat seorang Khalifah sebagai pengganti Rasulullah SAW setelah beliau wafat. Mereka juga bersepakat mengangkat Khalifah sebagai pengganti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan.
Ijma' Shahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu keharusan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para shahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan upaya-upaya untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian shahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahwa seluruh shahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma' Shahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.

D. Dalil Qaidah Syar’iyyah



Selain itu, menegakkan agama dan melaksanakan hukum syara' pada seluruh aspek kehidupan dunia maupun akhirat adalah kewajiban yang dibebankan atas seluruh kaum muslimin berdasarkan dalil yang qath'iyuts tsubut (pasti sumbernya) dan qath'iyud dalalah (pasti maknanya). Kewajiban tersebut tidak mungkin bisa dilaksanakan dengan sempurna kecuali dengan adanya seorang penguasa. Kaidah syara' menyatakan:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِب
"Apabila suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya adalah wajib."
Ditinjau dari kaidah ini, mengangkat seorang Khalifah hukumnya wajib pula.
Dalil-dalil ini semuanya menegaskan wajibnya mewujudkan pemerintahan dan kekuasaan bagi kaum muslimin; dan juga menegaskan wajibnya mengangkat seorang Khalifah untuk memegang wewenang pemerintahan dan kekuasaan. Kewajiban mengangkat Khalifah tersebut adalah demi melaksanakan hukum-hukum syara', bukan demi mewujudkan pemerintahan dan kekuasaan itu sendiri. Perhatikanlah sabda Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui jalan 'Auf bin Malik:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُ�­ِبُّوْنَهُمْ وَيُ�­ِبُّوْنَكُمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَارَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالْسَيْفِ، فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمْ الصَّلاَةَ،
"Sebaik-baik Imam (Khalifah) kalian ialah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk Imam kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian". Ditanyakan kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?' Beliau menjawab, "Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam) di tengah-tengah kamu sekalian."

Hadits ini menegaskan akan adanya Imam-Imam yang baik dan Imam-Imam yang jahat, selain menegaskan keharaman memerangi mereka dengan senjata selama mereka masih menegakkan agama. Karena ungkapan “menegakkan shalat” merupakan kinayah (kiasan) untuk mendirikan agama dan sistem pemerintahan. Dengan demikian jelaslah bahwa kewajiban kaum muslimin untuk mengangkat seorang Khalifah —demi menegakkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah— merupakan suatu perkara yang tidak ada lagi syubhat (kesamaran) pada dalil-dalilnya. Selain itu, mewujudkan kekuasaan adalah wajib ditinjau dari segi bahwa ia diharuskan oleh suatu kewajiban yang difardlukan Allah SWT atas kaum muslimin, yakni terlaksananya hukum Islam dan terpeliharanya kesatuan kaum muslimin.
Hanya saja kewajiban ini termasuk fardlu kifayah. Artinya, apabila sebagian kaum muslimin telah melaksanakannya sehingga kewajiban tadi terpenuhi, maka gugurlah tuntutan pelaksanaan kewajiban itu bagi yang lain. Namun bila sebagian dari mereka belum mampu melaksanakan kewajiban itu, walaupun mereka telah melaksanakan upaya-upaya yang bertujuan mengangkat seorang Khalifah, maka status kewajiban tersebut tetap ada dan tidak gugur atas seluruh kaum muslimin, selama mereka belum mempunyai Khalifah.


Berdiam Diri dari Kewajiban Ini



Berdiam diri terhadap kewajiban mengangkat seorang Khalifah bagi kaum muslimin adalah satu perbuatan maksiat yang paling besar. Karena, hal itu berarti berdiam diri terhadap salah satu kewajiban yang amat penting dalam Islam, dimana tegaknya hukum-hukum Islam —bahkan eksistensi Islam dalam realitas kehidupan— bertumpu padanya. Oleh karena itu, seluruh kaum muslimin berdosa besar apabila berdiam diri terhadap kewajiban mengangkat seorang Khalifah. Kalau ternyata seluruh kaum muslimin bersepakat untuk tidak mengangkat seorang Khalifah, maka dosa itu akan ditanggung oleh setiap muslim di seantero penjuru bumi. Namun apabila sebagian kaum muslimin melaksanakan kewajiban itu sedangkan sebagian yang lain tidak melaksanakannya, maka dosa itu akan gugur bagi mereka yang telah berusaha mengangkat Khalifah, sekalipun kewajiban itu tetap dibebankan atas mereka sampai berhasil diangkatnya seorang Khalifah. Sebab, menyibukkan diri untuk melaksanakan suatu kewajiban akan menggugurkan dosa atas ketidak-mampuannya melaksanakan kewajiban tersebut dan atau penundaannya dari waktu yang telah ditetapkan. Hal ini karena dia telah terlibat melaksanakan fardlu dan juga karena adanya suatu kondisi yang memaksanya sehingga gagal melaksanakan fardlu itu dengan sempurna.
Ada pun bagi mereka yang memang tidak terlibat dalam aktivitas menegakkan Khilafah, akan tetap menanggung dosa sejak tiga hari setelah tidak adanya Khalifah. Dosa itu akan terus dipikulnya hingga hari pengangkatan Khalifah yang baru. Sebab, Allah SWT telah mewajibkan kepada mereka suatu kewajiban tetapi mereka tidak mengerjakannya, bahkan tidak terlibat dalam upaya-upaya yang menyebabkan terlaksananya kewajiban tersebut. Oleh karena itu, mereka layak menanggung dosa, serta layak menerima azab Allah dan kehinaan di dunia dan di akhirat. Kelayakan mereka menanggung dosa tersebut adalah suatu perkara yang jelas dan pasti sebagaimana halnya seorang muslim yang layak menerima azab karena meninggalkan suatu kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah. Apalagi kewajiban tersebut merupakan tumpuan pelaksanaan kewajiban-kewajiban lain, tumpuan penerapan syari'at Islam secara menyeluruh, bahkan menjadi tumpuan eksistensi tegaknya Islam agar panji-panji Allah dapat berkibar di negeri-negeri Islam dan di seluruh penjuru dunia.
Adapun hadits-hadits yang menyebut tentang uzlah atau mengasingkan diri dari masyarakat, dan bahwa seorang muslim cukup membatasi diri hanya berpegang teguh pada perkara-perkara agama yang khusus mengenai diri sendiri; tidak dapat dijadikan dalil dibolehkannya berdiam diri dari kewajiban mengangkat seorang Khalifah dan tidak pula menggugurkan dosanya.
Bagi orang yang meneliti hadits-hadits tersebut dengan seksama akan mengerti bahwa sebenarnya hadits-hadits itu berkaitan erat dengan persoalan berpegang teguh pada agama, bukan berkaitan dengan rukhshah (keringanan) bolehnya berdiam diri dari kewajiban mengangkat Khalifah bagi kaum muslimin. Sebagai contoh Imam Bukhari meriwayatkan dari Bisr bin Ubaidillah Al Hadlrami bahwa dia mendengar Abu Idris Al Khaulani mendengar Hudzaifah bin Yaman berkata:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَني، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: وَهَلْ بَعْدَ ذلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ، قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ ؟ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدِيِي، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ، قُلْتُ: فَهَلْ بَعْدَ ذلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ: نَعَمْ، دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا، قَالَ: هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا، قُلْتُ: فَمَا تَأمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذلِكَ ؟ قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ، قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ، قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ �­َتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

"Dahulu, biasanya orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan itu menimpaku. Maka aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, kami dahulu berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?' Beliau menjawab, 'Ya'. Aku bertanya, 'Apakah setelah keburukan itu nanti ada kebaikan?' Beliau menjawab, 'Ya, tetapi di dalamnya ada asap.' Aku bertanya, 'Apakah asap itu?' Beliau menjawab, 'Suatu kaum yang memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka ingkarilah.' Aku bertanya, 'Apakah setelah kebaikan tersebut nanti ada keburukan?' Beliau menjawab, 'Ya, yaitu munculnya da'i-da'i yang mengajak ke pintu Jahannam. Siapa saja yang menyambut ajakan mereka, niscaya akan mereka lemparkan ke dalam neraka itu.' Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, jelaskanlah ciri-ciri mereka kepada kami.' Beliau menjawab, 'Mereka itu mempunyai kulit seperti kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita.' Aku bertanya, 'Apakah yang engkau perintahkan kepadaku, jika hal itu menimpaku?’ Beliau bersabda, 'Ikatkanlah dirimu kepada jama'ah kaum muslimin dan imam mereka.' Aku bertanya, 'Kalau tidak ada jama'ah dan tidak ada imam?' Beliau menjawab, 'Tinggalkanlah semua firqah yang ada, walau sampai engkau menggigit akar pohon hingga engkau mati dalam keadaan demikian.'"
Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan seorang muslim agar menetapi jama'ah kaum muslimin dan Imam (Khalifah) mereka, serta meninggalkan da'i-da'i yang mengajak ke pintu neraka jahannam. Kemudian seseorang bertanya apa yang harus dikerjakan dalam keadaan tidak ada jama'ah dan Imam sehubungan dengan menculnya da'i-da'i yang mengajak ke pintu jahannam. Pada situasi dan kondisi demikian, Rasulullah memerintahkan orang itu agar menjauhi semua firqah yang ada, dan bukan menjauhi kaum muslimin serta tidak pula memerintahkan berdiam diri dari kewajiban mengangkat seorang imam. Perintah beliau tegas, "Maka jauhilah semua firqah yang ada" . Dan beliau sangat menekankan perintah ini, sampai-sampai beliau menegaskan walaupun dalam rangka menjauhi firqah-firqah tersebut, seseorang terpaksa menggigit akar pohon sampai mati.
Makna hadits ini ialah “pegang teguhlah agamamu dan jauhilah da'i-da'i yang menyesatkan dan mengajak ke pintu jahannam”. Hadits ini tidak mengandung sedikit pun alasan untuk meninggalkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah dan tidak pula mengandung sedikit pun rukhshah dalam pelaksanaannya. Perintah dalam hadits di atas terbatas pada perintah memegang teguh agama Islam dan menjauhi para da'i yang mengajak ke pintu Jahannam. Jadi setiap muslim akan tetap menanggung dosa apabila tidak berupaya mengangkat Khalifah. Sebab dalam hal ini dia diperintahkan untuk menjauhi semua firqah yang sesat demi menyelamatkan agamanya dari para da'i yang menyesatkan, walaupun harus menggigit akar pohon; dan bukan diperintahkan agar menjauhi jama'ah kaum muslimin dan berdiam diri dari kewajiban menegakkan hukum-hukum agama dan kewajiban mengangkat seorang Imam bagi kaum muslimin.
Contoh yang lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abi Sa'id Al Khudri RA yang berkata: Rasulullah SAW bersabda:

يُوْشِك أَنْ يَكُوْنَ خَيْرُ مَال الْمُسْلِمِ غَنَم يُتْبَعُ بِهَا شَعْفَ الْجَبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِيْنِهِ مِنَ الْفِتَنِ
"Hampir-hampir terjadi sebaik-baik harta seorang muslim ialah kambing yang selalu dia ikuti di puncak gunung dan tempat-tempat jatuhnya hujan, demi menjaga agamanya dari banyak fitnah".

Hadits ini tidak berarti boleh mengasingkan diri dari jama'ah kaum muslimin dan berdiam diri dari kewajiban menegakkan hukum-hukum agama dan mengangkat Khalifah bagi kaum muslimin. Seluruh kandungan hadits ini adalah penjelasan tentang sebaik-baik harta seorang muslim di masa fitnah dan sebaik-baik tindakan yang dilakukan dalam melarikan diri dari fitnah. Jadi hadits ini bukan sebagai anjuran menjauhi dan ber-uzlah dari kaum muslimin.

Penutup


Berdasarkan semua penjelasan di atas, maka tidak ada lagi alasan bagi seorang muslim di permukaan bumi ini untuk berdiam diri dari kewajiban yang telah dibebankan Allah kepada mereka untuk menegakkan agama. Kewajiban ini tidak lain adalah mengangkat seorang Khalifah bagi kaum muslimin tatkala di seluruh dunia tidak ada Khilafah; ketika tidak ada orang yang menegakkan hukum-hukum Allah untuk memelihara segala sesuatu yang harus dijaga kehormatannya; ketika tidak ada orang yang menegakkan hukum-hukum agama dan menyatukan kaum muslimin di bawah bendera La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah. Tidak ada dalam Islam sedikit pun keringanan untuk berdiam diri dari kewajiban ini hingga Khilafah benar-benar berhasil ditegakkan. [ ]

- - - - -
*Disampaiikan dalam Diskusi Panel dengan Tema “Mengupas Konsep Khilafah”, diselenggarakan oleh IMM Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Yogyakarta, Sabtu, 24 Mei 2003.
**Aktivis Hizbut Tahrir.
Custom Search