Tuesday, March 27, 2007

Khobar Ahad Dalam Aqidah



Bismillaahir- Rahmaanir- Rahiim

Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin

wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa rasuulillaah, wa ‘alaa aalihi wa shohbihi ajma’iin

wa ba’d

Khobar Ahad Dalam Aqidah

Tulisan ini bicara tentang sebuah pernyataan yang berbunyi “khobar ahad tidak menjadi hujjah dalam perkara-perkara aqidah” yang terdapat dalam buku Asy-Syakhshiyah Al Islamiyah juz I karya Taqiyyuddiin An Nabhaaniy rahimahullaah. Kami terdorong untuk membahas permasalahan ini karena sepenggal pernyataan di atas sering dicomot begitu saja tanpa menyertakan penjelasan yang memadai dari penulisnya. Padahal beliau menulis dua bab tersendiri untuk mempertanggungjawab kan pernyataan tersebut. Kemudian -setelah dicomot- sepotong kalimat itu diangkat dan disyarah sekehendak hati oleh orang yang berkeinginan untuk menyerang, mendiskreditkan, membodoh-bodohkan, dan menyesat-nyesatkan penulisnya. Seringkali serangan mereka tidak berpijak pada apa yang sebenarnya dimaksud oleh penulis. Akibatnya muncul tuduhan-tuduhan yang tidak semestinya terlontarkan. Seperti pernyataan seseorang “Taqiyudiin melarang pengikutnya untuk mempercayai apa yang ditunjukkan oleh hadits ahad”. Pernyataan yang berbentuk mutlak tanpa embel-embel dan penjelasan ini sama sekali tidak benar, dan itu akan menjadi suatu perkara besar di pengadilan Allah kelak, yaitu saat siapa saja yang terdzolimi oleh lisan seseorang, maka ia akan mendapat keadilan. Dan kami akan menjadi salah seorang di antara ribuan orang yang akan menuntut keadilan dalam perkara ini. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika masalah ini kita selesaikan di dunia saja. Wallaahu Musta’an.

Bukan Pernyataan Baru Yang “Nyleneh”.

Siapa saja yang tersentak, terheran-heran, bergeleng-geleng kepala ketika mendengar pernyataan bahwa hadits ahad tidak dijadikan hujjah dalam perkara aqidah, maka dapat dipastikan bahwa ia belum berinteraksi dengan khasanah keilmuan islam mengenai masalah ini, meski hanya sedikit. Terlepas dari setuju atau tidak dengan pernyataan itu, siapa saja yang akrab dengan tsaqofah islam, mengikuti perbincangan para ulama dalam bidang ushuluddiin, ushul fiqh mau pun hadits, dia akan menemukan berbagai pernyataan dan polemik seputar masalah ini, mulai dari apa faedah yang didatangkan oleh hadits ahad, sampai dalam masalah apa dibolehkan untuk ber-istid-laal (berdalil) dengan hadits ahad. Dia akan menemukan nama ulama -yang sehari-hari namanya kita sebut- memiliki pendapat yang sama dengan Taqiyyudiin -seperti Hujjatul Islaam Abu hamid Al Ghozali, Al Amidi, Al Bazdawi, As Sam’aani, Al Qosimi sampai ulama kontemporer seperti syaik Al Azhaar Mahmud Syaltut, Sayid Qutb, Dr. Muhammad Al Ghozali, Dr. Said Ramadlon Al Buthi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Kholaf, dll. Sebagaimana dia juga akan menemukan ulama besar yang menentang pernyataan itu -seperti Syaikhul Islaam, Taqiyyuddiin Ibn Taimiyah, syaikh madzhab dhohiri Ibnu Hazm, As Suyuti, Ibnu Hajjar sampai Nashiruddiin Al Albani. Semoga Allah merahmati mereka semua. Dengan kemampuan seadanya, kami baru bisa menyentuhkan satu ujung jari ke kulit terluar dari lautan ilmu yang luas itu. Yang dengan kelemahan itu kami bertambah cinta kepada para ulama dan bertambah kecil di hadapan Allah Ta’alaa. Tapi alhamdulillaah -dengan karunia yang diberikan Allah- kami bisa merasakan betapa para ulama telah memberi perhatian serius terhadap masalah ini. Dan karena kehendak Allah, melalui ilmu yang mereka uraikan, kita bisa berusaha menentukan sikap dalam masalah pelik yang mereka perdebatkan ini. Allah memberikan pertolongan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, maka hanya kepadaNyalah kita minta pertolongan.

Perkara-perkara Aqidah Yang Dimaksud Oleh Taqiyyuddiin

Sebelum lebih jauh mengurai tentang permasalahan hadits ahad dalam aqidah, kepada siapa saja kita hendak bicara, terlebih dahulu harus dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan “perkara-perkara aqidah” (aqooid) dalam pernyataan Taqiyuddiin. Tentu saja untuk itu kita harus merujuk pada apa yang dimaksud oleh si pembuat pernyataan. Dengan begitu, tidak terjadi respon yang salah dikarenakan perbedaan persepsi mengenai apa yang dimaksud dengan “perkara aqidah” dalam pernyataan itu.

Perlu kita tegaskan bahwa istilah aqidah yang kita bicarakan di sini merupakan istilah yang dibuat dan digunakan oleh para ulama ushulud diin. Istilah ini tidak memiliki makna syar’i, tidak seperti kata sholaah, zakaah, jihaad, haj, wudluu’, tayammum, islam, dll. Kata-kata yang disebut terakhir telah digunakan oleh Allah dan rasulNya di dalam Al Qur’an dan hadits dengan pengertian baru (syar’i) yang kita harus terikat dengan pengertian tersebut.

Pembentukan makna aqidah dalam disiplin ushulud diin sama seperti pembentukan pengertian al hadits dalam disiplin ilmu hadits. Al hadits tidak memiliki makna syar’i. Secara bahasa artinya antara lain adalah “pembicaraan” atau “sesuatu yang baru”. Tapi para muhaditsuun rahimahumullaahu membuat kata al hadits memiliki pengertian khusus di dalam disiplin ilmu yang mereka mereka geluti, yaitu sebagai segala macam khobar yang memberitakan tentang kisah kehidupan, perbuatan, perkataan, taqriir, dan sifat-sifat penciptaan (fisik) nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari mana pengertian al hadits seperti ini muncul? Tentu saja ini hanya istilah yang dibuat oleh para muhaditsuun rahimahumullaahu.

Jika kita berpindah ke disiplin ilmu ushul fiqh, maka akan dapati para ahli ushul fiqh menggunakan istilah al hadits dengan pengertian yang berbeda. Al Hadits dalam ushul fiqh merupakan salah satu sumber hukum syara’. Dalam disiplin yang mereka geluti, al hadits adalah segala informasi mengenai perbuatan, perkataan dan taqriir nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama, sementara sifat fisik nabi ‘alaihish-sholaatu was-salaam tidak termasuk dalam pengertian hadits -dalam disiplin ushul fiqh, sebab sifat fisik nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam bukan merupakan sumber hukum syara’.

Perbedaan penggunaan istilah dalam disiplin ilmu yang berbeda sebenarnya bukanlah sebuah perbedaan. Ini seperti kata “shooting” yang sering kita dengar. Jika kata shooting digunakan oleh tentara dalam peperangan, maka artinya adalah menembak; jika digunakan oleh pemain bola di lapangan, maka artinya adalah menendang ke arah gawang; jika digunakan oleh fotografer atau kamerawan, maka artinya adalah mengambil gambar. Dengan demikian, jika kita hendak memahami sebuah istilah yang digunakan oleh seseorang dalam pernyataannya, maka kita harus mengacu pada pengertian atau fakta yang dimaksud oleh si pembuat pernyataan. Artinya, kita tidak bisa mengartikan sebuah istilah yang digunakan oleh orang lain dengan imajenasi kita sendiri.

Kalau kita cermati tulisan Taqiyuddiin dalam Asy-syakhshiyah I dengan seksama, dapat disimpulkan bahwa permasalahan aqidah yang beliau maksud dalam pernyataan di atas adalah hal-hal yang wajib diimani oleh seorang muslim -yang mana apabila seseorang tidak mengimani salah satu dari permasalahan aqidah tersebut maka dirinya tidak dapat disebut sebagai seorang muslim. Keimanan pada hal-hal yang tergolong “wajib untuk diimani” yang memberi batas tegas antara iman dan kufur itulah yang disebut oleh Taqiyyuddiin sebagai aqidah. Untuk menjelaskannya, kita akan mendifinisikan kata iman terlebih dahulu.

Apa pengertian iman yang dimaksud oleh penulis di sini? Iman yang dimaksud oleh penulis -yakni An Nabhaaniy- adalah “pembenaran/ pengakuan (terhadap suatu hal) yang bersifat pasti, sesuai dengan fakta dan didasarkan atas bukti” (tashdiiqul jazm almuthobaqu lil waqii’i ‘an daliilin). Definisi iman ini dirumuskan berdasarkan fakta iman itu sendiri. Ini adalah definisi iman menurut ushuliyuun, bukan ahli bahasa mau pun muhaditsuun. Istilah ini mungkin memiliki pengertian yang berbeda jika diucapkan oleh kalangan muhaditsuun atau lughuun -ahli bahasa. Para ahli hadits misalnya, mereka mengatakan bahwa imaan itu bukan sekedar pembenaran pasti di dalam hati, tapi juga mencakup pengikraran secara lisan, dan pengamalan dalam perbuatan. Mereka mengatakan bahwa iman itu bercabang-cabang, ada yang apa bila diingkari menyebabkan kekafiran, tapi ada cabang iman yang bila diingkari tidak menyebabkan kafir, hanya menyebabkan dosa. Mereka juga mengatakan bahwa iman itu ada yang kuat dan ada yang lemah. Iman yang lemah bisa menguat dan iman yang kuat bisa melemah. Iman bisa diperkuat dengan ketaatan dan bisa diperlemah dengan kemaksiatan. Manusia bertingkat-tingkat dalam beriman, dan para nabi ‘alaihimus-salaam adalah manusia yang memiliki tingkatan iman tertinggi. Sementara Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu merupakan manusia yang paling tinggi imannya setelah para nabi ‘alaihimus-salaam. Begitulah pendapat sebagian besar ahli hadits. Hal itu dirumuskan berdasarkan kata iman yang digunakan oleh nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak sabda beliau. Sebagian dari mereka mengatakan, barang siapa yang menolak hal-hal di atas, maka mereka bukan ahlu sunah, mereka adalah Khowarij -kelompok ekstrim yang menyatakan bahwa orang yang bermaksiyat adalah orang yang tidak beriman- atau Murji’ah -kelompok ekstrim yang mengatakan bahwa kemaksiyatan tidak berhubungan dengan keimanan dan tidak mengurangi iman, sebagaimana mengamalkan ketaatan tidak akan menambah iman bagi orang kafir, sebab iman sekedar keyakinan.

Kenapa ahli ushul dan ahli hadits berbeda dalam mengidentifikasi masalah keimanan? Menurut kami penyebabnya bukan perbedaan madzhab, melainkan perbedaan konsentrasi disiplin ilmu yang mereka geluti. Muhaditsuun lebih berkonsentrasi untuk menjaga lafadz-lafadz yang digunakan oleh rasuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits. Sedangkan para ushuliyuun lebih berkonsentrasi pada aspek praktis dari istilah iman itu sendiri. Para ahli ushul menggunakan istilah “iman” untuk mengidentifikasi “faktor pembatas antara keislaman dan kekufuran” yang tidak lain adalah aspek pembenaran atau keyakinan terhadap masalah-masalah ushuluddiin. Sedangkan masalah ikrar dan amal tidak mereka masukkan dalam pengertian iman, tapi mereka anggap sebagai konsekuensi, tanda, dan dampak dari keimanan. Masalah kualitas kuat-lemahnya iman mereka anggap sebagai kuat-lemahnya pengaruh iman tatkala seseorang menjalankan berbagai aktivitas dalam kehidupannya (idrak shilatu billaah). Kemaksiatan mengurangi iman artinya mengurangi hubungan hamba dengan Allah, dan ketaatan menambah iman artinya menambah hubungan hamba dengan Allah. Bagi kami, pendapat sebagian besar ushuliyuun adalah yang lebih tepat. Beriman dengan keberadaan jin, iblis, dan malaikat adalah pengetahuan dan pembenaran secara pasti saja. Orang beriman harus mengatakan “kami percaya sepenuhnya dengan keberadaan jin”, perkataan ini adalah konsekuensi dari iman, bukan iman itu sendiri.

Tapi yang jelas, para ulama yang berpendapat bahwa iman adalah tashdiq, ikrar, dan amal tidak mengkafirkan orang yang mengamalkan kemaksiyatan, sekali pun maksiyat yang termasuk dosa besar, seperti zina dan riba misalnya. Artinya, mereka tidak menjadikan amal sebagai masalah keimanan dalam pengertian yang digunakan ulama ushuluddiin. Sedangkan amal yang berupa kewajiban-kewajiban dan nawaafil (nafilah-nafilah) tidak pula dianggap remeh oleh ushuliyuun, hal ini sesuai dengan harapan ahli hadits. Jadi jelas, perbedaan di antara mereka sebenarnya bukan perbedaan yang hakiki, ini hanya perbedaan dalam pengistilahan, sedang dalam prakteknya mereka tidak berbeda. Kita tidak berharap karena hanya berbeda dalam mengaplikasikan sebuah kata, kaum muslim harus saling membi’ahkan satu dengan yang lain.

Karena kita sakarang sedang bicara masalah aqidah, maka kita akan menggunakan istilah iman dalam pengertian yang digunakan oleh ulama ushulud diin. Allah berfirman dalam Ash-Shof : “Tu’minuuna billaahi wa rasuulihi”- kalian beriman kepada Allah dan (kepada) rasulNya-. Jika kita aplikasikan definisi imaan menurut ushuliyuun, maka beriman kepada Allah di sini adalah “membenarkan secara pasti tentang kenyataan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilaah -berdasarkan bukti yang pasti”; dan beriman kepada rasulNya adalah “membenarkan secara pasti bahwa Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan seorang rasul Allah berdasarkan dalil yang pasti”.

Yang perlu dijelaskan adalah:

Yang dimaksud dengan “pembenaran secara pasti” adalah pembenaran yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. Dengan kata lain, sebuah keyakinan yang tidak mengandung kemungkinan/ peluang salah walau hanya 1%. Maka batasan ini mengecualikan pembenaran yang tidak bersifat jazm/pasti dari lingkup pengertian iman, seperti pembenaran-kuat (gholabatudz- dzon). Jadi sekedar pembenaran-kuat yang tidak jazm tidak bisa disebut iman.

Yang dimaksud “sesuai dengan fakta” adalah pembenaran tersebut memang sesuai dengan realitas, bukan keyakinan yang membabi-buta. Sebuah keyakinan dikatakan benar tatkala keyakinan itu memang sesuai dengan realitas.

Maksud dari “berdasarkan bukti” adalah bukti yang menunjukkan bahwa keyakinan itu memang sesuai dengan realitas. Pembenaran merupakan dampak dari pengetahuan. Jika kita mengetahui bahwa realitas bumi itu bulat, maka kita akan membenarkan bahwa bumi itu bulat. Dan pengetahuan manusia terhadap realitas itu didapat melalui bukti. Jika kita tidak mendapatkan bukti apa pun yang menunjukkan bahwa bumi itu bulat, maka kita tidak akan pernah tahu bahwa bumi itu bulat -seperti manusia pada masa lalu. Tapi adanya perjalanan mengitari bumi membuat orang tahu secara pasti bahwa bumi itu bulat.

Bukti (dalil) bisa berupa aqli mau pun naqli -tergantung objek yang dibahas. Jika objek yang diahas adalah realitas yang empirik, indrawi, atau yang berhubungan pasti dengan hal-hal empirik, maka dalilnya ‘aqli. Seperti keberadaan manusia, alam semesta, dan kehidupan sebagai makhluq ciptaan Al Kholiq; kenyataan bahwa Muhammad ‘alaihisholaatu was salaam adalah rasulullaah, dan kenyataan bahwa Al Qur’an adalah Kalamullaah. Sedangkan hal-hal non empirik, seperti Nama dan Sifat-sifat Allah, makhluq-makhluq ghoib, peristiwa hari kiamat dll, maka tidak bisa terjangkau realitasnya oleh akal. Tapi, keimanan terhadap hal-hal tersebut bisa dicapai dengan adanya dalil naqli yang qoth’i tsubut (sumber penukilannya qoth’i) sekaligus qoth’i dilalah (aspek maknanya qoth’i), yakni seperti Al Qur’an dan hadits mutawatir yang penunjukkan maknanya muhkam.

Tingkat kekuatan pembenaran manusia terhadap sesuatu berbeda-beda tergantung kekuatan bukti yang dia dapatkan. Jika bukti yang dia dapat lemah, maka pembenarannya akan lemah (ihtimal). Kadang bukti yang dia dapat hanya menghasilkan peluang pembenaran yang sama kuat dengan peluang pengingkarannya, sehingga dia tidak bisa menentukan kecenderungan untuk membenarkan atau pun mengingkari (ragu-ragu/syak) . Kadang dia mendapatkan bukti yang sangat kuat sehingga menghasilkan pembenaran yang kuat pula (gholabatudz- dzon). Dan kadang bukti datang tanpa membawa kemungkinan salah sedikit pun (Qoth’i), ini yang disebut sebagai bukti yang menghasilkan pembenaran yang pasti (tashdiiqul jazm).

Karena aqidah merupakan permasalahan dasar-dasar agama (ushuluddiin), maka ia haruslah merupakan suatu pembenaran yang bersifat pasti dan tidak mentolelir kemungkinan salah, meski kemungkinan salah itu hanya sebutir debu. Tentu saja demikian, karena atas dasar aqidah itulah kita membangun seluruh pendirian kita, memisahkan antara yang haq dengan yang bathil, membedakan antara keimanan dengan kekufuran, menentukan mana yang kita bela dan mana yang kita lawan (al wala’ wa al bara’). bagaimana mungkin kita akan mendasarkan permasalahan fundamental (ushul) seperti itu kepada asas yang masih mengandung peluang kesalahan -meski hanya kecil. Juga kita semua tahu bahwa aqidah adalah yang wajib diyakini secara penuh. Lantas bagaimana mungkin kita bisa meyakini sesuatu secara penuh jika sesuatu itu tidak diketahui kebenarannya secara pasti?

Dengan demikian, masalah aqidah mau/tidak mau harus merupakan suatu hal yang pasti kebenarannya. Dan untuk memastikan bahwa sesuatu itu memiliki kebenaran yang pasti, kita membutuhkan dalil/bukti yang pasti kebenarannya pula (qoth’i). Mengapa demikian? Sebab pembenaran yang pasti (tashdiiqul jazm) tidak mungkin dihasilkan dari bukti yang tidak pasti. Ini suatu hal yang rasional bahwa bukti yang pasti menghasilkan kepastian, bukti yang bersifat dugaan menghasilkan dugaan, bukti yang lemah menghasilkan ihtimal (sangkaan yang lemah).

Jika sesuatu dalam agama islam telah terbukti benar secara pasti melalui dalil-dalil yang pasti, seperti ke-Esa-an Allah, kerasulan Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Alqur’an adalah Kalamullaah, kedatangan hari akhir dsb, maka diwajibkan atas manusia untuk membenarkannya secara pasti pula. Siapa saja yang masih memiliki keraguan dalam masalah-masalah yang qoth’i, atau mengingkari permasalahan tersebut, dia tidak bisa dikelompokkan sebagai orang yang beriman (baca: kafir). Sebab, menyatakan keraguan dalam perkara yang pasti dalam agama sudah cukup untuk membuat seseorang menjadi kafir. Apalagi mendustakan perkara yang tergolong qoth’i tersebut, jelas kafir. Ini bukan berarti islam menjadikan masalah-masalah itu sebagai doktrin yang dipaksakan kepada pemeluknya. Tidak dikatakan demikian karena apa yang wajib diyakini dalam islam itu memang merupakan realitas yang dapat dibenarkan secara pasti melalui dalil-dalil yang pasti pula. Dalil-dalil itu telah memberi pengetahuan kepada manusia sehingga siapa saja yang ragu atau mendustakannya bisa dikatakan bebal dan mengkhianati akal sehatnya sendiri. Seperti halnya orang yang meragukan atau mengingkari bahwa matahari itu panas, padahal jelas telah datang bukti yang membawa pengetahuan yang pasti bahwa matahari itu memang panas. Tidak ada orang sehat yang seperti itu kecuali orang yang mengkhianati akalnya sendiri seperti Walid bin Mughirah. -Tentu saja ini berlaku untuk orang yang normal.

Nah, masalah-masalah yang datang dari dalil yang qoth’i, tidak mungkin salah, yang wajib diimani (baca: dibenarkan secara pasti), yang kalau meragukan atau mendustakannya akan divonis kafir- inilah yang dimaksud dengan masalah-masalah aqidah (aqooid). Atas dasar itu, pendirian penulis tentang aqidah bisa dikemas dengan redaksi: permasalahan yang wajib dibenarkan secara pasti oleh seorang muslim berdasarkan dalil yang pasti, dan jika seseorang tidak membenarkannya secara pasti maka dia kafir.

Mafhum mukholafah dari definisi aqidah di atas adalah “segala sesuatu yang tidak dituntut untuk dibenarkan secara pasti -karena tidak dudukung oleh dalil yang pasti- dan tidak menyebabkan kekafiran jika diingkari maka tidak dinamakan sebagai perkara aqidah”. Artinya, segala sesuatu yang tidak didukung oleh dalil yang qoth’i maka: tidak wajib bagi manusia untuk membenarkannya- secara-pasti; dan siapa saja yang tidak-membenarkanny a-secara- pasti maka dia tidak bisa divonis kafir. Penjelasannya: bagaimana mungkin kita dituntut untuk membenarkan sesuatu dengan pembenaran-yang- pasti sedang sesuatu itu sendiri tidak didukung oleh dalil yang pasti? Dan bagaimana mungkin seseorang divonis kafir hanya karena tidak memastikan sesuatu yang dzonniy (tidak pasti)? Atas dasar itu, aqidah yang wajib diimani (baca: dibenarkan secara pasti), -yang kalau mengingkarinya dianggap kafir- terbatas pada masalah-masalah yang didukung oleh dalil yang qoth’i.

Tapi yang perlu juga dicacat adalah, tidak wajib dibenarkan secara pasti bukan berarti wajib untuk diingkari. Penulis -yakni An Nabhaaniy- tidak bermaksud menyatakan bahwa hadits ahad yang mengandung informasi ghoib harus diingkari. Tidak dibenarkan secara pasti bukan berarti diingkari. Masalah ini akan kita bicarakan pada tempat tersendiri, InsyaaAllaahu ta’ala.

Kenapa Hadits Ahad Tidak Bisa Dijadikan Hujjah Dalam “Masalah-Yang- Wajib-Dibenarkan -Secara-Pasti” (baca : Aqidah)?

Jawabannya adalah: karena pembenaran yang pasti itu menuntut dalil yang pasti pula. Dalil yang pasti adalah dalil yang mendatangkan pengetahuan yang meyakinkan, tidak membawa peluang kesalahan walau sekecil apa pun. Jika kita telah sepakat dengan pendefinisian aqidah di dalam uraian sebelumnya, maka berarti anda setuju bahwa selain dalil yang qoth’i tidak bisa digunakan untuk berhujjah dalam aqidah. Karena aqidah adalah masalah yang wajib dibenarkan secara pasti. Masalahnya sekarang : “apakah hadits ahad itu dalil yang qoth’i atau tidak?”. Jika jawabnya qoth’i, artinya dapat dipastikan bahwa ia dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia digunakan sebagai hujjah dalam aqidah, tapi jika jawabnya tidak qoth’i, maka dia tidak dijadikan hujjah dalam aqidah.

Hadits ahad adalah khobar yang disandarkan kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh rantai perowi yang jumlah rantai itu belum mencapai derajat hadits mutawatir. Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perowi yang menurut adat kebiasaan para rowi itu tidak mungkin bersepakat bohong atau tidak mungkin sama-sama salah dalam periwayatannya.

Para ulama sepakat bahwa hadits yang diriwayatkan secara tawatur dapat menghasilkan ilmu dloruri, yakni dapat dipastikan tanpa ragu sedikit pun bahwa hadits itu memang dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dalam masalah hadits ahad, maka ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa hadits ahad yang shahiih dapat menghasilkan ilmu pasti. Di antara yang menyatakan demikian adalah Ibnu Hazm rahimahullaah. Sebagian lagi menyatakan bahwa hadits ahad tidak dapat menghasilkan ilmu pasti kecuali jika disertai qorinah pendukung. Ibnu Sholah rahimahullaah termasuk kelompok ini, beliau menyatakan bahwa hadits ahad itu dzonniy, tapi jika umat telah sepakat (berijma’) untuk menerima sebuah hadits ahad maka ia berubah menjadi qoth’i. Sebagian lagi menyatakan bahwa hadits ahad paling jauh hanya akan menghasilkan dzon, yaitu pembenaran kuat, dan tidak akan sampai pada derajat qoth’i (menghasilkan ‘ilmu). Pendapat ini disampaikan oleh Al Khotib Al Baghdaadi rahimahullaah dalam Al Kifayah fii ‘ilmir Riwaayah dan An Nawaawi rahimahullaah dalam muqodimah kitab syarah shohih muslim -kedua ulama ini otoritatif ketika bicara mengenai hadits.

Nampaknya, Taqiyuddiin An Nabhaani mengadopsi pendapat terakhir, yang menyatakan bahwa hadits ahad paling jauh hanya menghasilkan pembenaran kuat (gholabatudz dzon), tidak sampai pada pembenaran pasti. Sebab, jika hadist mutawatir dan hadits ahad sama-sama qoth’i lantas buat apa para ulama membuat definisi khusus untuk hadits mutawatir sebagai “hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah bilangan rawi yang banyak dimana secara kebiasaan mustahil bagi mereka untuk sepakat berbohong mengenai hadits yang mereka riwayatkan”.

Salah satu fungsi definisi adalah sebagai pembatas (mani’) terhadap sesuatu yang didefinisikan agar tampak perbedaannya dengan sesuatu yang lain. Hadits ahad dan hadits mutawatir sama-sama hadits. Tapi kalimat dalam ta’rif hadits mutawatir yang berbunyi “yang diriwayatkan oleh banyak rawi dimana secara kebiasaan mustahil bagi mereka untuk sepakat berbohong mengenai hadits yang mereka riwayatkan” merupakan sekat pembeda yang dibuat oleh para ulama untuk membedakan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad. Dari definisi itu kita bisa tahu bahwa hanya dalam hadits mutawatirlah para ulama memastikan bahwa perowi yang banyak itu mustahil salah maupun berbohong secara bersamaan, tidak dalam hadits ahad. Inilah yang membedakan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad. Dengan demikian jelas, bahwa hadits mutawatir itu qoth’i -pasti dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam- sedang hadits ahad itu tidak qoth’i -maksimal diduga kuat bahwa ia berasal dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Pembenaran kuat ini terwujud setelah hadits-hadits ahad melewati proses penelitian dan terhindar dari sebab-sebab yang melemahkan. Artinya, jika hadits itu shohih maka kemungkinan besar memang itu dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan kemungkinan salah adalah kecil.

Perlu ditambahkan bahwa hadits shohih tidak diterima kecuali jika diriwayatkan oleh orang-orang yang adil. Orang yang adil adalah orang islam yang tidak terkenal suka melakukan perbuatan dosa atau hal-hal yang sia-sia, tidak pernah tertuduh bohong, dan diketahui kehati-hatiannya dalam beramal (wara’). Hadits shohih juga harus diriwayatkan oleh orang-orang yang dlobit, yakni orang yang akurat dalam periwayatan, kuat dalam hafalan dan paham mengenai apa yang dia riwayatkan. Oleh karena itu ulama tidak menerima periwayatan orang yang bodoh, pelupa, pernah gila, sudah tua, orang cacat yang bisa mengganggu tingkat akurasi dalam penukilan -seperti buta dan tuli, atau orang yang periwayatannya kacau -suka berubah-ubah dalam redaksi. Jika dua kualitas itu -adil dan dlobit- terkumpul pada diri seorang rawi, maka orang itu secara umum disebut tsiqoh -terpercaya. Demikianlah, hadits shohih harus diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlobit dengan jalur yang bersambung dari satu generasi (thobaqot) ke generasi berikutnya sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam.

Akan tetapi, dengan syarat tersebut para ulama terkadang masih menemukan hadits yang saling berlawanan sehingga mengharuskan mereka untuk melakukan proses tarjih -menguatkan dan memilih salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Untuk bisa melakukan tarjih terhadap hadits yang secara dzohir bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka para ulama membuat tingkatan-tingkatan kualitas perowi dan juga kualitas jalurnya. Jika ada dua hadits yang bertentangan, maka mereka akan memilih hadits yang diriwayatkan oleh jalur yang terdiri dari orang-orang yang lebih kuat, baik dari segi keadilan maupun dari segi kedlobitan. Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullaahu mengklasifikasikan kualitas ketsiqohan para rowi dalam dua belas kelas.

Hanya saja, para ulama sering berbeda pendapat mengenai kualitas seorang rawi. Kadang ulama berpendapat bahwa si A lebih kuat dari B, sedang yang lain menyatakan sebaliknya. Karena itu mereka juga tidak senada mengenai jalur periwayatan mana yang paling kuat. Dalam hal ini ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda. Hal itu mempengaruhi proses pentarjihan yang mereka lakukan. Sebagian ulama menguatkan hadits yang diriwayatkan melalui jalur A dari pada hadits yang diriwayatkan melalui jalur B. Tapi sebagian lain justru memiliki pendapat yang sebaliknya. Bahkan ada hadits yang disebut mudlthorib, yaitu dua hadits yang didapat dari dua jalur yang sama-sama kuat tapi bertentangan satu sama lain dengan pertentangan yang tidak bisa dikompromikan atau pun ditarjih. Yang disebut sama-sama kuat adalah kondisi dimana para ulama sudah kehabisan akal untuk mengkompromikan atau untuk memilih salah satunya, karena memang pertentangannya total dan kualitasnya benar-benar sama.

Yang sebenarnya ingin saya tunjukkan adalah, bahwa ternyata metode yang digunakan untuk menerima hadits dengan menetapkan syarat adil dan dlobit saja belum bisa menjamin kepastian bahwa hadits itu benar-benar dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa keraguan sebutir debu pun. Buktinya, sebuah hadits yang diriwayatkan secara bersambung sampai nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam (muttashil-marfu’) oleh para rawi yang seluruhnya adil dan dlobit masih bisa bertentangan dengan hadits lain yang juga diriwayatkan secara muttashil oleh orang-orang yang juga tsiqoh. Jika periwayatan dari orang-orang yang adil dan dlobit itu sudah 100 % menjamin kebenaran sebuah hadits, seharusnya tidak mungkin terjadi pertentangan antara dua hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqoh. Sebab, dua hal yang bertentangan tidak mungkin sama-sama benar. Salah satu dari keduanya dapat dipastikan salah atau palsu. Contohnya adalah hadits-hadits yang bertentangan mengenai cara menempatkan tangan saat turun untuk sujud dan bangkit dari sujud. Kita berani memastikan salah satu pihak dari hadits-hadits yang bertentangan itu pasti salah, meskipun keduanya diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlobit. Hanya saja kita tidak bisa mematikan mana yang salah.

Artinya masih ada celah dalam metode. Syarat adil dan dlobit masih bisa kebobolan sehingga meloloskan hadits yang salah. Ibarat filter, jaringnya masih kurang rapat, meskipun sudah begitu ketat. Dengan demikian jelas, hadits yang diterima oleh para ulama secara ahad dari orang-orang yang tsiqoh dan musnad (muttashil-marfu’ ) belum menjamin bahwa hadits itu qoth’i 100% dari rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Kita hanya bisa mengatakan, jika sebuah hadits diriwayatkan secara ahad, oleh para rawi yang adil dan dlobit secara bersambung, dan tidak ada pertentangan dengan riwayat lain, maka hadits itu kita duga kuat benar-benar dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kita jadikan hujjah dalam berarmal. Tapi tetap saja dia dzon, seperti yang ditegaskan An Nawawi rahimahullah dalam muqodimah syarh muslim. (lihat, Syarah Shohih Muslim, Jilid I, Penerbit Mustaqim)

Karena hadits ahad itu tidak qoth’i dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits ahad tidak bisa menghasilkan pembenaran yang pasti. Padahal, aqidah yang dibicarakan oleh Taqiyuddiin adalah hal-hal yang wajib (harus) dibenarkan secara pasti dan siapa yang tidak membenarkannya secara pasti maka dia kafir. Sekali lagi kita bertanya: bagaimana mungkin kita bisa mewajibkan manusia untuk membenarkan secara pasti terhadap apa yang datang dari hadits ahad -sedang hadits ahad sendiri bersifat dzonniy? Dan bagaimana mungkin kita bisa mengkafirkan seseorang karena dia tidak memberi pembenaran secara pasti terhadap sesuatu yang datang dari dalil dzonniy -yang hanya mengahsilkan dugaan kuat? Wallaahu a’lamu bish showaab

Kesalahpahaman Yang Perlu Ditepis

1.Tidak Dijadikan Hujjah Dalam “Perkara Yang Wajib Dibenarkan Secara Pasti” (baca: aqidah) Bukan Berarti Diingkari!

Setelah uraian di atas yang panjang-lebar, kami ingin memberi klarifikasi bahwa tidak menjadikan hadits ahad dalam perkara Aqidah bukan berarti menolak atau mengingkari kandungan makna yang dibawa oleh hadits ahad. Yang benar adalah bahwa hadits ahad tetap harus dibenarkan sesuai dengan kapasitas dalil yang datang kepada kita.

Tapi ada sementara orang yang mengatakan “bukankah mengatakan bahwa iman tidak dibangun berdasarkan hadits ahad di satu sisi dan mengatakan hadits ahad tetap harus dibenarkan pada sisi yang lain merupakan pernyataan yang bodoh dan kontradiktif? Seperti seseorang yang mengatakan bahwa “kita harus turun” tapi pada saat bersamaan ia juga mengatakan “kita juga harus naik”, apakah itu bukan mustahil namanya? Bagaimana mungkin seseorang bisa “tidak mengimani” tapi sekaligus “membenarkan” ? Bagaimana mungkin hadits ahad itu “ditolak” dalam aqidah tapi pada saat yang sama dia juga dibenarkan?” . Itulah perkataan mereka.

Jawab: Sesungguhnya pernyataan ini hanya muncul pada orang-orang yang tidak mau menelaah pendapat kami dengan cermat dan sabar. Jika dia mengikuti uraian kami dengan baik tentang apa yang kami maksud dengan tasqiiqul jazm (pembenaran pasti), imaan dan aqiidah, niscaya pertanyaan seperti itu tidak akan muncul.

Berkali-kali kami tegaskan bahwa yang kami maksud dengan iman adalah pembenaran yang pasti-tashdiiqul jazm, yang tidak mengandung keraguan sebutir debu pun. Tashdiiqul jazm itu bukan sembarang pembenaran, ia adalah salah satu jenis pembenaran di antara pembenaran-pembenar an yang ada. Lebih tepatnya adalah tingkat pembenaran yang paling tinggi dan sempurna. Pembenaran yang pasti hanya bisa dicapai dengan adanya dalil yang pasti (qoth’i). Kok bisa? Ya, karena bagaimana mungkin dalil yang tidak pasti akan menghasilkan pembenaran yang pasti? Jadi kesimpulannya, karena iman itu adalah tashdiiqul jazm, maka iman itu bukan sembarang pembenaran, tapi ia adalah pembenaran berdasarkan dalil yang pasti. Pembenaran yang tidak berlandaskan dalil yang bersifat pasti tidak bisa dikatakan iman. Jadi tidak mengimani artinya adalah tidak membenarkannya secara pasti, bukan tidak membenarkannya sama sekali.

Jika dalil-dalil syara’ yang qoth’i (wurut/tsubut) menunjukkan kebenaran sesuatu secara pasti (dalam dilalahnya), maka wajib bagi siapa saja untuk membenarkannya secara pasti (baca = mengimani). Masalah yang wajib dibenarkan secara pasti itu yang disebut sebagai masalah-masalah aqidah. Ada perlakuan khusus bagi orang yang tidak membenarkan secara pasti terhadap masalah aqidah, yakni dia akan dikatakan kafir. Jika dia sebelumnya seorang muslim, maka saat dia tidak-membenarkan- secara-pasti salah satu masalah di antara masalah-masalah yang didalili dengan dalil yang qoth’i, maka dia akan dianggap murtad. Contohnya seperti tidak membenarkan secara pasti bahwa Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul terakhir, maka dia murtad.

Berbeda dengan hal-hal yang tidak datang dari dalil-dalil yang qoth’i, seperti hadits tsumma takuunu khilaafatan ‘alaa minhaajin nubuwwah -kemudian akan ada khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian. Hadits ini hadits ahad yang aspek tsubutnya (sumber pengambilan) dzonniy. Kita membenarkan dan tidak mengingkari isi hadits ini, yaitu bahwa besok akan ada khilafah yang berdiri di atas manhaj kenabian. Kami sering menggunakan hadits ini untuk menyemangati kaum muslimin agar mereka terlibat dalam usaha mengembalikan khilafah. Akan tetapi, karena hadits ini hadits ahad, maka kita tidak bisa membenarkannya dengan pembenaran yang pasti. Dengan demikian masalah akan adanya khilafah ini tidak bisa dimasukkan ke dalam perkara aqidah, dimana kaum muslimin tidak dituntut untuk membenarkannya secara pasti dan siapa saja yang menolaknya maka tidak kita anggap kafir. Maka, siapa saja yang meragukan akan adanya khilafah di masa datang tidak jatuh dalam kekafiran. Hanya saja, dia jatuh pada kesalahan. Yakni menolak sesuatu yang kebenarannya diduga kuat.

Penjelasannya begini: Kami telah tegaskan pendirian kami tentang hadits ahad, bahwa ia bersifat dzonniy -dugaan kuat. Maka dia tidak bisa menghasilkan pembenaran yang pasti. Akan tetapi adalah sebuah kesalahan jika kita mengingkari apa yang dibawa oleh hadits ahad. Mengingkari apa yang telah terbukti kuat kebenarannya -walau pun tidak 100%- adalah sebuah kebodohan yang jelas. Sebab yang disebut dugaan kuat adalah kecenderungan kuat ke arah pembenaran dari pada ke arah pengingkaran. Itu artinya lebih mudah menerima dari pada menolaknya, dan lebih mudah membenarkannya dari pada mendustakannya. Lebih dari itu, sesuatu yang didasarkan pada dalil yang tidak sampai derajat pasti bukan berarti pasti ketiadaannya. Sebab dibutuhkan dalil pengingkaran yang qoth’i untuk memastikan ketiadaan sesuatu yang telah diduga kuat keberadaannya. Sebagai ilustrasi, kembalinya khilafah adalah sesuatu yang tidak pasti/qoth’i, tidak bisa dibenarkan secara jazm, dia hanya gholabatudz- dzon-kepercayaan yang kuat. Akan tetapi tidak bisa dikatakan bahwa karena informasi kembali berdirinya khilafah itu tidak qoth’i maka disimpulkan bahwa khilafah itu tidak akan pernah berdiri. Kesimpulan ini justru merupakan keyakinan yang tidak berdasarkan dalil sama sekali. Contoh lain, pertanyaan dalam kubur didasarkan pada hadits ahad, dan dia tidak qoth’i. Tapi seseorang tidak bisa sama sekali mengingkari adanya pertanyaan dalam kubur hanya dengan alasan bahwa dalil tentang pertanyaan dalam kubur itu tidak qoth’i. Ini salah. Sebab jika seseorang mempercayai pertanyaan kubur sebagai pembenaran yang kuat -meski tidak sampai jazm-, maka pembenaran itu merupakan suatu tindakan yang berdasarkan dalil dzonniy yang memang menghasilkan pembenaran yang kuat (gholabatudz- dzon). Tapi seseorang yang memastikan bahwa pertanyaan dalam kubur itu tidak ada -hanya dengan alasan dalilnya tidak qoth’i- maka orang ini justru tidak mendasarkan keyakinannya pada suatu dalil pun. Orang yang mengingkari apa yang didasarkan pada hadits ahad yang shohih tanpa dalil adalah orang yang salah dan dia berdosa karena kesalahannya itu. Kecuali jika pengingkarannya itu didasarkan pada suatu dalil yang lebih kuat (seperti hadits yang lebih shohih atau mutawatir).

Maka Masalah turunya Isa Al Masih ‘alaihis salam, munculnya Dajjal, Imam Mahdi, berdirinya khilafah kembali, pertanyaan dalam kubur, dan lain-lain, adalah masalah-masalah yang didasarkan pada khobar ahad, maka kami membenarkannya sesuai kualitas dalil yang datang kepada kita. Hanya saja masalah-masalah itu tidak termasuk perkara yang wajib untuk “dibenarkan- dengan-pembenara n-yang-pasti” , dimana siapa saja yang ragu atau mendustakannya tidak bisa dihukumi murtad. Mengapa demikian? Karena memang tidak ada jalan untuk membenarkannya dengan pembenaran yang pasti. Demikianlah, sekarang apakah pernyataan “kami membenarkan apa yang dibawa oleh hadits ahad, tapi kami tidak menganggapnya sebagai perkara keimanan” masih terlihat kontradiktif? wa billaahit taufiq.

2. Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Hujjah Dalam Aqidah Bukan Berarti Menentang Apa Yang Disabdakan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam

Perkataan, perbuatan dan taqriir Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hujjah dalam aqidah dan amal perbuatan. Ini adalah masalah qoth’i, ma’luumun minaddiini bidhorurah -suatu hal yang jelas-jelas jelas dalam agama islam. Perkataan, perbuatan dan taqriir Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam itulah yang diistilahkan sebagai as-sunah dalam disiplin ilmu ushul. Menolak as-sunah secara umum sebagai hujjah dalam agama, baik dalam masalah ushul mau pun furu’ merupakan kekafiran. Sebab banyak ayat dalam Al Qur’an Al Kariim yang menegaskan dengan penunjukkan yang qoth’i bahwa As-sunah juga merupakan wahyu. Disamping itu, Al Qur’an juga memerintahkan kita secara tegas untuk mentaati, meneladani dan berhukum kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam -maksudnya berhukum kepada risalah yang beliau bawa. Oleh karena itu, pengakuan atas keharusan mengambil as sunah sebagai dalil dalam aqidah dan amal merupakan permasalahan i’tiqod. Menolak ini berarti keluar dari islam.

Oleh karena itu, umat islam wajib ber-istidlaal dengan as-sunah, baik dalam perkara aqidah mau pun amal. Taqiyuddiin An Nabhaaniy rahimahullah sudah menegaskan hal itu sebelum beliau memasuki pembahasan masalah berhujjah dengan khobar ahad (lihat bab As-sunnatu daliilun syar’iyyun ka-Al-Qur’aan dan Al Istidlaalu bi As Sunnah dalam Asy-syakhshiyyah juz I). Beliau menjelaskan masalah ini dengan cukup berikut dalil-dalilnya yang qoth’i. Alhamdulillaah perkara ini sangat jelas.

Kemudian jika ada yang menanyakan: kenapa Taqiyuddiin An Nabhaani mengatakan bahwa hadits nabi yang mutawatir itu qoth’i, memberi faedah ilmu, harus dibenarkan secara pasti, sedang hadits nabi yang ahad itu tidak qoth’i, hanya menghasilkan dzon (pembenaran yang tidak sampai pasti), dan tidak boleh dibenarkan secara pasti? Padahal, apakah ada shahabat yang mendengar sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan: “sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar barusan ini qoth’i, ia harus kita benarkan secara pasti dan harus kita gunakan sebagai dalil aqidah, sedangkan sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar tadi pagi maka itu dzonny, tidak bisa kita gunakan sebagai hujjah untuk perkara yang menuntut kepastian (aqidah)!”. Apakah ada shohabat yang membagi-bagi sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi qothi-dzonniy, kemudian menolak yang dzonniy dalam aqidah seperti yang dilakukan Taqiyuddiin?

Jawabnya: memang benar, jika kita mendengar langsung apa yang disabdakan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka kita harus membenarkan dengan pasti seluruh apa yang beliau sabdakan, jika itu menyangkut perkara aqidah dan hukum syara’. Sabda Nabi yang kita dengar dalam aqidah dan hukum itu merupakan wahyu dari Allah, bukan ijtihad beliau sendiri. Sehingga semuanya pasti benar, mendustakannya adalah kafir kepada kerasulan Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dengan begitu sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar secara langsung itu tidak dibagi-bagi menjadi qoth’i dan dzonniy. Tidak juga dibagi menjadi dlo’if, hasan dan shohih. Tidak pula menjadi ghorib, ‘aziz, mustafidl dan mutawatir. Tidak ada yang áliy tidak ada yang nazil. Tidak ada pula yang berta’arudl (bertentangan) sehingga harus ada yang rajih (dipilih) dan yang marjuh (dikalahkan) . Tidak ada yang muttashil, munqothi’, mu’allaq, maupun mursal. Tidak seorang shohabat pun yang mendengar sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam secara langsung membagi-bagi sunah menjadi banyak macam seperti itu.

Tapi kenapa para ulama membagi-bagi hadits yang mereka dengar dari para guru mereka menjadi bermacam-macam? Kemudian mereka menolak hadits yang mereka anggap maudlu’, munkar, syadz, mudlthorob, munqothi’, mu’allaq, mu’allal, dan jenis-jenis hadits dlo’if yang lain? Hal itu telah kita ketahui bersama. Lantas kenapa tidak ditanyakan kepada para ulama itu: “kenapa kalian menolak sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam?”.

Jawabnya kita sudah tahu, bahwa mengimani sunah sebagai hujjah itu berbeda dengan mengambil as sunah dari orang yang meriwayatkannya. Para ulama tidak mendengar sunah langsung dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mendengarnya dari orang lain, yang mana orang itu juga mendengarnya dari orang lain. Maka mereka menyeleksi mana orang-orang yang pantas diterima periwayatannya dan mana yang tidak dengan metode yang ketat. Dengan begitu, mereka mengambil sebagian hadits yang mereka anggap kuat dan menolak yang dianggap lemah. Yang mereka terima pun ada yang tergolong hasan, dan ada yang shohih. Hadits shohih lebih kuat dari hadits hasan. Hadits dari keenam kitab induk lebih kuat dari hadits-hadits yang lain. Hadits shohih yang diriwayatkan bersama antara Al Bukhori dan Muslim lebih kuat dari semua hadits shohih yang bukan diriwayatkan oleh keduanya. Hadits shohih dari Al Bukhori lebih kuat dari hadits Muslim. Lebih dari itu, semua hadits ahad yang shohih tidak lebih kuat dari hadits mutawaatir.

Begitulah, kekuatan hadits itu bertingkat-tingkat. Jika hadits ahad itu semuanya qoth’i, niscaya dia tidak bertingkat-tingkat. Dan jika dia qoth’i, niscaya dia tidak lebih lemah dari hadits mutawaatir. Mana ada sesuatu yang telah qoth’i bisa dianggap lebih lemah dari yang lain? Dan ingat, yang dianggap memiliki kelemahan bukanlah as sunah, melainkan periwayat, atau metode periwayatan. wallaahu a’lam

3. Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Hujjah Dalam Aqidah Bukan Berarti Menentang Orang Yang Meriwayatkannya

Ada orang yang bertanya: “anda tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam aqidah, padahal anda ini bukan ahli hadits. Sedangkan Imam Al Bukhori yang jelas jauh lebih tahu tentang hadits dari pada anda, telah mencantumkan hadits-hadits yang tidak anda pakai dalam aqidah itu. Apakah anda merasa bahwa diri anda lebih paham dari pada Imam Al Bukhori?”.

Maka jawabnya tidak. Kami tidak lebih alim dari Imam Besar itu. Tapi kami hanya mengatakan bahwa apa yang mereka riwayatkan secara ahad tidak qoth’i, tidak bisa dipastikan bahwa nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam memang mengatakan seperti apa yang beliau terima. Tapi kami juga tidak mendustakan apa yang beliau terima. Dengan metode yang beliau gunakan, hadits yang didapat maksimal menghasilkan gholabatudz- dzon, yakni kearah pembenaran yang kuat, kecuali yang mutawaatir maka dia qoth’i.

Kami berpendapat beliau tidak menyatakan bahwa apa yang beliau riwayatkan adalah 100% benar dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Pernyataan seperti ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad -menurut salah satu dari dua riwayat (lihat buku Al Qorodlowi: Sunah Nabi Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Gema Insani Press).

Di samping itu, kebanyakan para pemilik kitab hadits belum melakukan istidlaal dengan hadits-hadits yang mereka riwayatkan. Mereka hanya menyajikan hadits yang mereka anggap shohih dengan apa adanya tanpa syarah dan tanpa menunjukkan aspek pendalilannya. Mereka belum berhujjah dengan hadits-hadits itu untuk menunjukkan sikap mereka dalam masalah aqidah maupun hukum.

Disamping itu, kami tidak berpendapat bahwa meriwayatkan hadits ahad yang mengandung aspek aqidah itu tidak boleh (yang biasanya berupa khobar ghoib). Boleh-boleh saja meriwayatkan hadits tentang Dajjal, Imam Mahdi, atau turunya Isa ‘alaihis salam. Yang tidak bisa dilakukan adalah menjadikan masalah Dajjal ini sebagai bagian dari masalah yang harus dibenarkan secara pasti, sehingga menganggap kafir siapa saja yang meragukannya. Padahal, dalilnya hadits ahad, yang hanya bisa dibenarkan dengan pembenaran yang kuat tapi tidak sampai pasti. Tapi juga tidak boleh mengingkarinya.

Di samping itu, jika hadits ahad yang mengandung masalah aqidah itu tidak boleh diriwayatkan, maka tidak akan pernah ada hadits aqidah yang mutawaatir, seperti tentang adanya syafaat. Sebab hadits mutawaatir pada hakekatnya tersusun dari hadits ahad, yang diriwayatkan dari orang ke orang. Hanya saja riwayat-riwayat yang masing-masing ahad itu jumlahnya banyak sehingga tidak mungkin perowinya sepakat berbohong atau jatuh pada kesalahan yang sama. Wallaahu Al muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq

Shollallaahu ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa ash-haabihi wa sallam

walhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin

***

Jogja, 1 Maret 2007

Titok Priastomo (Penulis adalah Ketua Gema Pembebasan DIY, mahasiswa Fakultas Peternakan UGM)

Thursday, March 22, 2007

Multi Level Marketing

Pada dasarnya, hukum MLM ditentukan oleh bentuk muamalatnya. Jika muamalat yang terkandung di dalamnya adalah muamalat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka absahlah MLM tersebut. Namun, jika muamalatnya bertentangan dengan syariat Islam, maka haramlah MLM tersebut.


Pada faktanya kebanyakan MLM melakukan dua muamalat yang diharamkan di dalam Islam; yakni, (1) mengambil prosentase yang bukan haknya (makelar di atas makelar), dan (2) dua aqad dalam satu aqad.


Mengambil Prosentase Yang Bukan Haknya (makelar di atas makelar)

Yang dimaksud makelar di atas makelar adalah jika seorang makelar menarik atau mengambil prosentase keuntungan dari makelar yang lain. Sebagai contoh, Ami adalah makelar dari Budi untuk menjualkan sebuah rumah. Budi mengatakan, bahwa rumah tersebut dijual seharga 100 juta, dan Amir sebagai makelar akan memperoleh komisi sebesar 10% dari penjualan. Kemudian, Amir bertemu dengan Amar sebagai makelar yang lain. Amir berkata kepada Amar, “Jika kamu bisa menjualkan rumah Budi, maka kamu mendapatkan prosentase 10%, dan saya mendapatkan komisi 5% dari kamu.” Komisi yang diambil Amir dari Amar sesungguhnya bukan komisi yang dibenarkan dalam syariat. Sebab, Amir bukanlah pemilik rumah, dan juga bukan pembeli rumah. Oleh karena itu, ia tidak boleh menetapkan ketetapan apapun, atau membuat perjanjian apapun dengan makelar yang lain, yakni Amar. Sesungguhnya, makelar hanya berhubungan dengan pemilik barang (shahib al-mâl), atau pembeli barang. Ia tidak boleh berhubungan dengan makelar yang lain dalam hal menarik keuntungan, dan komisi.

Akan tetapi, jika Amir mengajak Amar untuk bekerja sama dalam hal menjualkan rumah, kemudian komisi dari Budi sebesar 10% dibagi diantara keduanya, maka praktek semacam ini dibolehkan di dalam Islam.

Kasus makelar di atas makelar tersebut, juga terwajahkan pada MLM. Di dalam MLM, jika seorang berhasil mendapat downline, maka ia juga akan mendapatkan prosentase keuntungan dari penjualan ataupun pembelian yang dilakukan oleh downline tersebut hingga downline ke bawahnya, dan seterusnya. Padahal, orang tersebut tidak berhak mendapatkan prosentase dari downlinenya. Muamalat semacam ini terkategori mengambil prosentase yang bukan menjadi haknya (makelar di atas makelar). Praktek semacam ini hukumnya adalah haram.

Jika praktek semacam ini telah lazim dan menjadi sistem standar bagi MLM, maka kita bisa menyatakan bahwa semua MLM pasti haramnya. Sebab, di dalamnya terjadi aktivitas pengambilan sesuatu yang bukan menjadi haknya. Padahal, prinsip utama di dalam Islam adalah melarang pengambilan sesuatu yang bukan menjadi hak atau bagiannya.

Tidak bisa dinyatakan, jika downline-downline tersebut rela, maka sahlah pengambilan prosentase tersebut. Ini didasarkan pada alasan, bahwa sistem MLM-lah yang menyebabkan diambilnya prosentase yang bukan menjadi hak seseorang. Dengan kata lain, sistem MLM-lah yang menyebabkan seseorang boleh mengambil prosentase dari downlinenya melalui sebuah mekanisme yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Kenyataan ini diperkuat dengan adanya fakta, bahwa kebanyakan downline tidak mengetahui siapa yang menjadi upline-nya hingga ke atas. Jika seorang anggota MLM berhasil menjual barang maupun berhasil menggaet downline yang lain, maka secara otomatis upline-uplinenya berhak mendapatkan prosentase atas penjualannya dan keberhasilannya menggaet downline. Padahal, prosentase yang didapatkan upline dari downline termasuk bentuk penyerobotan atas hak. Jadi, permasalahannya adalah sistem MLM yang telah memaksa siapa saja yang terlibat di dalamnya untuk melakukan pengambilan sesuatu yang bukan haknya, bukan dilihat berdasarkan kerelaan atau keridloan downline-downlinenya atas prosentase yang diambil perusahaan yang kemudian diberikan kepada upline-nya.

Aqad samsarah (makelaran) adalah aqad yang melibatkan seorang makelar dengan pemilik barang (shahib al-mâl); atau pembeli barang. Jika pemilik barang meminta seseorang untuk menjualkan barangnya dengan komisi tertentu, maka ini adalah makelaran yang sah. Demikian pula jika seorang pembeli barang meminta seseorang untuk mencarikan barang tertentu dengan komisi tertentu, maka makelaran seperti ini juga absah menurut syara’.

Seseorang yang menjadi makelar pihak pembeli tidak boleh menerima komisi dari pihak penjual. Sebab, ia berkedudukan sebagai penghubung dari pihak pembeli saja. Jika seseoang menjadi makelar dari pihak penjual, maka ia dilarang mengambil keuntungan dari selisih harga yang diberikan oleh pembeli. Sebab, keuntungan tersebut adalah hak dari pihak penjual, bukan haknya, kecuali jika penjual mengijinkannya.

Seorang makelar dari pihak penjual tidak boleh menerima komisi —bukan selisih harga penjualan— dari pihak pembeli apapun bentuknya, meskipun pihak penjual merelakannya. Sebab, ia adalah penghubung dari pihak penjual, bukan dari pihak pembeli. Pada kasus MLM, seorang up-line yang berposisi sebagai makelar, akan mendapatkan komisi atas pembelian yang dilakukan oleh downline-nya (yang juga makelar). Ini menunjukkan bahwa upline tersebut (dalam posisi sebagai makelar) mendapatkan komisi (prosentase) dari pembeli (yakni downline yang sekaligus menjadi makelar) pula. Praktek semacam ini tentunya adalah praktek yang bertentangan dengan syariat Islam.


Dua Aqad Dalam Satu Aqad

Dua aqad dalam satu aqad (‘aqdaain fi ‘aqd), atau “shafqatain bi shafqah” adalah dua aqad yang terkumpul menjadi satu dalam sebuah muamalah. Rasulullah saw telah melarang kaum muslim melakukan dua aqad dalam sebuah transaksi. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra, bahwasanya ia berkata:

Rasulullah Saw melarang dua aqad dalam sebuah aqad jual beli.” [HR. Imam Ahmad].

Di dalam riwayat lain dituturkan, bahwasanya Abu Hurairah berkata:

Rasulullah Saw telah melarang dua aqad jual beli dalam satu aqad jual beli.” [HR. at-Tirmidzi].

Imam Nasa’i juga mengetengahkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata:

Rasulullah Saw telah melarang dua aqad jual beli dalam satu aqad jual beli.” [HR. Imam Nasa’i].

Dalam riwayat Abu Dawud dituturkan, bahwasanya Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda:

Barangsiapa berjual beli dengan dua aqad jual beli dalam satu aqad jual beli, maka ia berhak mendapatkan kerugian keduanya atau riba.” [HR. Abu Dawud].

Para fuqaha menafsirkan dua aqad dalam sebuah jual beli, atau dua harga dalam sebuah jual beli sebagai berikut:

Pertama, jika seseorang mengatakan orang lain, “Aku jual baju ini kepadamu seharga sepuluh dirham jika kontan, dan dua puluh dirham jika kredit.” Kemudian kedua orang tersebut berpisah dan belum ada menyepakati salah satu model jual beli tersebut. Para ‘ulama menyatakan bahwa jual beli semacam ini adalah fasid. Sebab, keduanya tidak mengetahui (belum jelas benar) harganya. Imam asy-Syaukani menyatakan, “Adapun ‘illat diharamkannya dua aqad dalam satu aqad jual beli adalah tidak disepakatinya salah satu (aqad) harga dari dua (aqad) harga tersebut.” (Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, bab al-Bai’). Akan tetapi, jika kedua orang tersebut menyepakati salah satu aqad (harga) dari dua aqad (harga) jual beli tersebut; misalnya pembeli menerima harga baju tersebut 20 dirham secara kredit; sebelum keduanya berpisah, maka sahlah jual beli tersebut. Sebab, harga baju itu telah ditetapkan, dan kedua belah pihak mengetahui dengan jelas (tidak majhul) harga dari baju tersebut, serta bentuk transaksinya.

Kedua, Imam Syafi’i, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, menafsirkan dua aqad dalam sebuah aqad jual beli sebagai berikut; jika seseorang berkata kepada orang lain, “Saya jual rumahku kepadamu dengan harga sekian, akan tetapi engkau harus menjual anak laki-lakimu kepadaku. Jika kamu menjual anak laki-lakimu, maka aku serahkan rumah ini kepadamu.” Muamalat semacam ini berbeda dengan jual beli dengan harga yang tidak diketahui. Namun demikian, muamalat semacam ini adalah bathil. Sebab, ia termasuk dalam jual beli bersyarat. Sedangkan jual beli bersyarat bisa menyebabkan majhulnya harga (tidak diketahuinya harga secara pasti). Adapun, ‘illat pengharaman transaksi seperti ini (jual beli bersyarat), menurut Imam asy-Syaukani, adalah dikaitkannya jual beli dengan syarat untuk masa depan.

Ketiga, penafsiran ketiga mengenai “shafqatain fi shafqah” adalah jika seseorang melakukan salaf (pemesanan barang [inden]) setakaran gandum dalam jangka waktu satu bulan, dengan harga 1 dinar. Ketika batas waktu telah tiba, dan pemesan meminta gandum yang dipesannya, orang yang dipesani barang berkata, “Juallah gandum yang seharusnya saya berikan kepada anda, dengan dua takar gandum, tapi jangkanya ditambah dua bulan.” Jual beli semacam ini adalah fasid, sebab aqad yang kedua telah masuk pada aqad yang pertama (Imam Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadziy, bab al-bai’ain fi al-bai’ah).

Inilah beberapa tafsir mengenai al-bai’ain fi al-bai’ah (dua aqad jual beli dalam satu aqad jual beli); atau yang dikenal dengan al-‘aqdain fi al-‘aqd, atau al-shafqatain fi al-shafqah.

Salah satu penafsiran mengenai shafqatain fi shafqah adalah dikaitkannya jual beli dengan syarat-syarat tertentu yang bisa membatalkan sebuah transaksi jual beli. Oleh karena itu, bila sebuah transaksi jual beli dikaitkan dengan syarat-syarat fasid, maka transaksi tersebut terkategori dalam “dua aqad dalam sebuah aqad”. Transaksi semacam ini terkategori transaksi yang diharamkan. Namun, jika suatu transaksi dikaitkan dengan syarat-syarat yang lazim, maka pensyaratan atas transaksi tersebut bukanlah perkara yang haram. Dengan kata lain, transaksi tersebut tidak terkategori shafqatain fi shafqah. Untuk itu, kita harus memahami terlebih dahulu syarat-syarat yang lazim dan syarat-syarat yang tidak lazim (syarat fasid), agar kita bisa membedakan, apakah persyaratan tersebut terkategori persyaratan yang bisa membatalkan jual beli atau tidak.

Para fuqaha mengklasifikasi syarat-syarat jual beli (transaksi) menjadi dua bagian. Pertama, syarat shahih lazim. Shahih lazim adalah transaksi yang sesuai dengan tuntunan aqad.

Syarat lazim terbagi menjadi tiga:

1. Syarat yang menjadi tuntutan jual beli. Syarat ini wajib dipenuhi, dan menjadi syarat sahnya sebuah transaksi. Misalnya, sahnya pertukaran adalah adanya pertukaran barang dengan barang; syarat sahnya jual beli adalah adanya pertukaran barang dan pelunasan pembayaran. Suci dari hadats dan najis merupakan syarat sahnya sholat, dan lain sebagainya.

2. Syarat yang berhubungan dengan kemashlahatan aqad. Misalnya, syarat penangguhan pembayaran atas transaksi tertentu. Jika seseorang mensyaratkan transaksi bisa berlangsung jika pembayaran dilakukan secara kredit, maka syarat semacam ini diperbolehkan. Contoh yang lain adalah, pensyaratan atas kriteria barang yang hendak ditransaksikan. Contohnya, seseorang mensyaratkan agar sapi yang hendak dibelinya adalah sapi jenis Benggala, dan berwarna putih. Syarat semacam ini diperbolehkan, karena termasuk syarat yang berhubungan dengan kepentingan aqad. Jika syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka transkasi harus dilaksanakan. Namun, jika syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka pembeli berhak membatalkan aqad, dengan alasan tidak memenuhi syarat.

3. Syarat yang manfaatnya diketahui oleh penjual dan pembeli. Misalnya, jika transaksi jual beli rumah terjadi, maka penjual rumah boleh menempati rumah tersebut selama 1 atau 2 bulan sebelum diserahkan kepada pembeli. Syarat semacam ini tidaklah membatalkan transaksi jual beli tersebut, dan tidak terkategori dua aqad dalam satu aqad. Contoh yang lain, seorang mensyaratkan kepada penjual, agar barangnya dibawa atau ditempatkan di tempat tertentu, jika transaksi jual beli telah deal (disetujui).

Syarat Fasid. Syarat fasid ada beberapa kategori pula:

1. Syarat yang membatalkan aqad sejak dasarnya. Misalnya, seorang penjual berkata, “Aku jual kepadamu rumahku dengan syarat kamu harus menjual barangmu yang ini, atau kamu harus meminjami aku barang ini atau itu…” Syarat semacam ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah Saw:

Tidak dihalalkan salaf (hutang) dengan penjualan, dan tidak pula ada dua syarat dalam satu jual beli.” [HR. at-Tirmidzi].

Contoh yang lain adalah, “Aku jual kepadamu barangku ini, dengan syarat engkau kawini anakku.

2. Persyaratan yang meniadakan tuntutan aqad, tapi aqadnya tetap sah. Transaksi semacam ini batal, misalnya, jika disyaratkan pihak pembeli tidak boleh rugi pada saat menjual; atau penjual budak mensyaratkan agar loyalitas budak tersebut tetap berada di tangannya. Contoh lain adalah, penjual mensyaratkan kepada pembeli tidak boleh menjual barangnya, atau tidak boleh menghibahkannya; dan lain sebagainya.

3. Persyaratan yang tidak memvalidkan aqad. Syarat-syarat semacam ini biasanya dikaitkan dengan waktu yang akan datang. Misalnya, seorang penjual berkata, “Aku jual kepadamu barang ini, jika si fulan telah merelakannya, atau jika kamu menemuiku di tempat ini dan itu.

4. Terdapatnya dua syarat dalam satu transaksi jual beli. Misalnya, pihak pembeli mensyaratkan agar yang memotong dan membawa kayu adalah penjualnya sendiri. Syarat semacam ini batal, berdasarkan sabda Rasulullah Saw:

Tidak dihalalkan salaf (utang) dan penjualan; serta dua syarat dalam satu transaksi jual beli.” [HR. at-Tirmidzi].

Inilah syarat-syarat yang bisa membatalkan aqad dan yang tidak membatalkan aqad.

Secara umum, jika seseorang masuk ke dalam jaringan MLM, maka ia diminta untuk mengisi sejumlah isian administratif, dan disyaratkan untuk melakukan pembelian dengan item dan harga tertentu. Selanjutnya, ia disyaratkan melakukan penjualan dengan cara mencari downline sebanyak-banyaknya. Jika ia berhasil menggaet downline maka ia akan mendapatkan komisi atas keberhasilannya mendapatkan downline, serta komisi atas pembelian (konsumsi) yang dilakukan oleh downline-nya atas barang yang diperjualbelikan dalam MLM tersebut. Demikian seterusnya, jika downline mendapatkan lagi downline berikutnya, maka ia akan mendapatkan komisi. Jika syarat-syarat ini dipenuhi, maka seseorang sah menjadi anggota MLM.

Kebanyakan MLM, memberikan komisi bagi upline dari pembelian yang dilakukan oleh downline-downlinenya hingga ke bawah; atau berasal dari penjualan yang dilakukan oleh upline. Jika downline-downline tersebut tidak aktif, alias tidak melakukan pembelian atas barang (konsumsi) atau penjualan barang, maka upline tidak mendapatkan komisi lagi. Begitu pula jika seorang berada pada posisi downline terakhir (berada pada posisi paling akhir dari rantai MLM), tentunya ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali jika ia sendiri melakukan konsumsi (membeli barang untuk dikonsumsi sendiri).

Dari fakta di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam MLM ada aktivitas mencari downline dengan komisi tertentu (makelaran), penjualan, dan konsumsi barang produk MLM.


Fakta Dua Aqad Dalam Satu Transaksi

Dalam transaksi penjualannya, kebanyakan MLM melakukan dua aktivitas berikut ini:

1. Penjualan oleh member perusahaan MLM kepada orang lain yang tidak mau terikat dengan syarat-syarat keanggotaan tertentu (orang yang tidak ingin menjadi member [anggota] MLM). Pada kasus ini, member hanya mendapatkan prosentase dari penjualan produk saja. Transaksi semacam ini bukanlah sesuatu yang terlarang di dalam Islam.

2. Penjualan oleh member kepada seseorang yang diikat dengan persyaratan tertentu. Pada kasus ini, seorang member MLM disyaratkan untuk membeli sekaligus menjadi makelar dalam mencari down line.

Fakta pengkaitan dan pensyaratan jual beli dengan makelaran (samsarah) semacam ini terlihat tatkala perusahaan tersebut menjual barang pada seseorang yang telah menjadi anggotanya, maka pembeli tersebut disyaratkan menjadi makelarnya dalam urusan mencari downline-downline. Pembeli yang sebenarnya juga makelar perusahaan MLM ini akan mendapatkan komisi dari transaksi jual beli dan makelaran yang dilakukannya. Dengan kata lain, MLM ini sesungguhnya sedang menjual barang kepada seseorang yang disyaratkan menjadi makelarnya.

Praktek semacam ini telah menggabungkan antara jual beli dengan makelaran; sehingga terkategori shafqatain fi shafqah yang diharamkan di dalam Islam. Rasulullah Saw bersabda:

Tidak dihalalkan salaf (hutang) dengan penjualan, dan tidak pula ada dua syarat dalam satu jual beli.” [HR. at-Tirmidzi].

Bathilnya transaksi yang ada di dalam perusahaan MLM tidak hanya berhubungan dengan makelar di atas makelar dan shafqatain bi al-shafqah, akan tetapi kadang-kadang juga berhubungan dengan harga penjualan yang terlalu tinggi (ghabn al-fâkhîs); kadang-kadang juga berhubungan dengan item barang yang dijual. Misalnya, ada sejumlah MLM yang menjual emas dengan sistem kredit. Padahal, penjualan emas dengan kredit dilarang di dalam Islam. Demikianlah, anda telah kami jelaskan hukum mengenai MLM secara rinci dan mendalam. Wallahu a'lam bi al-shawab. [Syamsuddin Ramadhan]

Tuesday, March 13, 2007

Masa kekhilafahan 30 tahun ?

MASA KEKHILAFAHAN HANYA BERLANGSUNG SELAMA 30 TAHUN: BENARKAH DEMIKIAN ?

Oleh

Ust. Abdur Rozaq Al-Jemberi

Rasulullah SAW bersabda:

االخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم تكون ملكا بعد ذلك

Artinya: “Masa kekhilafahan yang ada pada umat sepeninggalku adalah 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan” (HR. Ahmad jilid 5\hal 221\No. 21973, Tirmidzi jilid 4\hal. 503\No. 2226, Abu Ya’la, dengan sanad hasan shahih).

Rasulullah SAW bersabda:

االخلافة ثلاثون سنة وسائرهم ملوك والخلفاء والملوك اثنا عشر

Artinya: “Masa kekhilafahan itu akan berlangsung selama 30 tahun, setelah itu adalah para raja, kemudian para khalifah, kemudian para raja sebanyak 12 orang” (HR. Ibnu Hibban jilid 15\hal. 35\No. 6657).

Rasulullah SAW bersabda:

إن أول دينكم بدأ نبوة و رحمة ثم كائن خلافة ورحمة ثم تكون ملكا وجبرية , وفسادا في الأمة يستحلون الحرير والخمور والفروج والفساد في الأمة , ينصرون على ذلك ويرزقون أبدا حتى يلقوا الله عز وجل

Artinya:“Sesungguhnya awal agama kalian dimulai dengan masa-masa kenabian dan rahmat, kemudian masuk masa kekhilafahan dan rahmat, kemudian masuk masa monarki dan diktator, dan kerusakan pada umatku terjadi karena dihalalkannya sutera, khamr,dan pengrusakan dalam diri umat. Walaupun demikian Allah tetap akan menolong dan memberi rizqi kepada mereka (sebagai bentuk kemurahan Allah SWT kepada hambanya walaupun mereka banyak berbuat dosa dan kerusakan –pent) sampai kemudian mereka bertemu dengan Allah SWT (untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka –pent) (HR. Abu Dawud Ath-Thoyalisi jilid 1\hal. 31\no. 228; HR. Ath-Thobroni jilid 20\hal. 53\No.91 dalam Mu’jam Al-Kabir; HR. Abu Ya’la dan Al-Bazar dengan sanad hasan -- Lihat Majmu’ Az-Zawaid jilid 5\hal.189).

Hadits-hadits ini oleh sebagian kelompok cendekiawan digunakan sebagai dalil bahwa keberadaan daulah Khilafah tidak berlangsung lama, yaitu hanya berlangsung sampai pada masa Khalifah ar-Rasyidun saja. Sehingga sistem kekhilafahan setelah mereka telah berubah menjadi sistem kerajaan-kekaisaran. Mereka melontarkan pendapat ini guna mencabut ide khilafah dalam diri umat Islam, sehingga kaum Muslimin tidak berusaha lagi untuk mengembalikannya. Tuduhan-tuduhan miring ini ditujukan untuk menyerang sistem kekhilafahan dan umat Islam seluruhnya. Bahkan tidak cukup dengan ini, mereka menyerukan agar umat Islam menghentikan upaya-upaya untuk mengembalikan sistem kekhilafahan dan kemudian meninggalkannya. Mereka telah berjalan terlalu jauh, dengan menuduh bahwa sistem kekhilafahan itu bukanlah sistem yang diberikan oleh syara’ dan juga bukan merupakan sistem yang wajib dipegangi oleh kaum Muslim karena sistem tersebut adalah buatan para shahabat (menurut versi mereka –pent). Selain itu seiring dengan perkembangan zaman, sistem ini tidak cocok lagi diterapkan pada era demokrasi seperti sekarang ini.

Benarkah hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa keberadaan sistem khilafah tidak berlangsung lama dan setelah masa Khalifah Ar-Rasyidun, kemudian sistem ini berubah menjadi sistem kerajaan yang dapat diwariskan ?

Barangkali sebagian diantara mereka ini berpegang pada perkataan seorang perawi hadits yang pertama yaitu Safinah maulanya Rasulullah SAW, tatkala seorang tabi’in, yaitu Said bin Jahman ra., bertanya kepadanya: ”Sesungguhnya bani Umayyah mengklaim bahwa kekhilafahan itu adalah untuk mereka”. Safinah menjawab: ”Bani Zarqa berdusta, bahkan bani Umayyah itu adalah raja yang paling jelek”. Zarqa adalah salah seorang ibu dari bani Umayyah. Benarkah bahwa bani Umayyah adalah para raja bukan Khalifah ? Dan benarkah bahwa kekuasaan kekhilafahan bani Umayyah diperoleh secara paksa (ghashab) sehingga mereka tidak berhak untuk menduduki tampuk kekhilafahan ?

Jawabannya bahwa makna hadits pertama yaitu sabda Rasulullah SAW:

االخلافة بعدي ثلاثون سنة

bahwa kekhilafahan yang sebenarnya yang dimaksud itu adalah untuk Rasul, tidak mencakup kekhilafahan secara keseluruhan. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fath Al- Bari mengatakan: “Yang dimaksud kata khilafah (dalam hadis ini –pent) adalah Khilafah Nubuwwah, sedangkan Muawiyah dan orang-orang setelahnya secara praktis mereka menggunakan metode kerajaan, sekalipun demikian mereka tetap disebut Khalifah”.

Makna ini sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah hadits:

االخلافة نبوة ثلاثون سنة

Artinya: “Masa Khilafah Nubuwwah adalah 30 tahun”. (HR. Abu Dawud no. 4646, 4647 dalam Sunan Abi Dawud).

Hadits ini menunjukkan masa kekhilafahan empat Khalifah ar-Rasyidun, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum. Mereka itulah khalifah secara nyata sebagaimana Rasulullah SAW, bukan hanya sebatas sebagai Hukkam (penguasa pemerintahan). Selain itu banyak juga penjelasan (syarah) hadits yang memasukkan Hasan ra. ke dalam jajaran keempat khalifah tersebut. Bahkan para pensyarah hadits tersebut menganggapnya sebagai khalifah ar-rasyidun yang kelima. Adapun setelah itu, yaitu dari kalangan bani Umayyah, bani ‘Abbasiyah, dan bani Utsmaniyah, diantara mereka ada juga yang menjalankan kekhilafahan sebagaimana Khilafah Nubuwwah, seperti Khalifah ar-Rasyidun yang ketujuh yaitu ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang dibaiat pada bulan Shafar 99 Hijriyah. Demikian juga terdapat seorang Khalifah yang mendekati Khilafah Nubuwwah dalam menjalankan kekhilafahannya, yaitu Adh-Dhahir Bi Amrillah yang dibaiat tahun 622 Hijriyah. Dalam hal ini Ibnu Atsir mengatakan: “Ketika Adh-Dhahir bi Amrillah memerintah nampak sekali dalam kekhilafahannya keadilan dan kebaikannya, seolah-olah keadaan itu kembali pada masa dua ‘Umar. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak ada khalifah yang menyamai ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz setelahnya selain Adh-Dhahir, dimana dia selalu berkata benar dan jujur”.

Demikian juga para Khalifah yang lain setelahnya hingga pada masa-masa kemundurannya, mereka tidak pernah mengunakan sistem kerajaan dan merubahnya ke sistem lain yang telah dikenal didunia. Bahkan sistem kekhilafahan ini, merupakan sistem pemersatu yang agung sepanjang masa dan sistem ini terus diterapkan pada masa mereka (yaitu mulai masa para Kholifah Ar-Rasyidun sampai pada masa Khalifah Abdul Hamid II di Turki pada tahun 1924 –pent).

Adapun sabda Rasulullah SAW:

االخلافة ثلاثون سنة وسائرهم ملوك والخلفاء والملوك اثنا عشر

dan

االخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم تكون ملكا بعد ذلك

dimana kata [ملوك] yang dimaksud dalam hadis ini adalah mereka menjalankan sistem pemerintahan dengan menggunakan metode kerajaan pada sebagian urusan, bukan menunjukkan bahwa mereka adalah raja secara hakiki. Fakta sejarah menunjukkan hal itu. Karena itu tidak ada satupun dari para Khalifah, baik Khalifah dari bani Umayyah, bani 'Abbasiyah, ataupun bani 'Utsmaniyah yang berani untuk mengganti sistem kekhilafahan ini. Masing-masing Khalifah menerapkan sistem baiat yang sesuai manhaj Nubuwwah, sekalipun ada juga yang mengangkat putra mahkota untuk menjadi Khalifah ketika Khalifah sebelumnya masih hidup. Sekalipun demikian hal itu tidak menjadikannya sebagai Khalifah dengan pengangkatannya itu, tetapi ia menjadi kholifah karena adanya baiat dari umat atas putra mahkota tersebut. Dan baiat itu ada kalanya dilakukan oleh Ahlu Halli wal ‘Aqdi atau Syaikhul Islam pada masa-masa tertentu.

Demikian juga apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW :

ثم تكون ملكا بعد ذلك

yang dimaksud di sini adalah makna secara bahasa bukan makna secara istilah yaitu pemerintahan, kekuasaan, bukan sistem kerajaan.

Hal ini menunjukkan bahwa Rasul SAW dalam sebagian riwayat menyebut mereka dengan umaro’ dan dalam riwayat yang lain disebut khulafa’ (para Kholifah –pent). Dalam riwayat Thabrani, Beliau bersabda:

سيكون من بعدي خلفاء ومن بعد الخلفاء أمراء ومن بعد الأمراء ملوك ومن بعد الملوك جبابرة ثم يخرج رجل من أهل بيتي يملأ الأرض عدلا كما ملئت جورا

Artinya: “Akan ada setelahku nanti para Khalifah, setelah Khalifah itu akan ada para umaro’, setelah umaro’ itu akan ada para raja, kemudian setelah itu para raja yang otoriter, kemudian akan ada dari kalangan ahli baitku yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana penuhnya penyimpangan” (HR. Al-Haitsami jilid 5\hal. 190 dalam Majma’ Az-Zawaid) .

Dalam riwayat Ibnu Hibban, beliau SAW bersabda:

سيكون بعدي خلفاء يعملون بما يعلمون ويفعلون ما يؤمرون وسيكون من بعدهم خلفاء يعملون بما لا يعلمون ويفعلون ما لا يؤمرون فمن أنكر برىء ومن أمسك سلم ولكن من رضي وتابع

Artinya: “Akan ada setelah para Khalifah yang mengerjakan dengan apa yang mereka ketahui dan mengerjakan apa yang mereka perintah. Setelah masa itu akan ada para Khalifah yang mengerjakan sesuatu dengan apa yang mereka tidak mengetahuinya dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan kepadanya. Maka siapa saja yang mengingkari perbuatan mereka akan terbebas, dan siapa saja yang menahan dirinya akan selamat, tetapi siapa saja yang ridha dan mengikuti akan selaka” (HR. Al-Haitsami jilid 1\hal. 374 dalam Mawarid Adz-Dzomman, jilid 7\hal. 270\Bab Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahi anil Munkar dalam Majma’ Az-Zawa’id; HR. Al-Baihaqi jilid 8\hal. 157 dalam Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro) .

Hadits-hadits ini merupakan penjelas dari maksud sabda rasul SAW :

االخلافة ثلاثون سنة وسائرهم ملوك والخلفاء والملوك اثنا عشر

bahwa mereka itu mengerjakan sesuatu sebagaimana yang dikerjakan oleh para raja. Dan apa yang mereka kerjakan ini bukan dalam semua persoalan tetapi hanya sebagian persoalan saja. Seperti pembaiatan putra mahkota, bermegah-megahan dalam pemerintahannya seperti gelas, pakaian, hijab milik para Khalifah, dan sebagainya.

Tetapi yang dimaksud oleh rasul SAW bahwa sistem khilafah yang ada itu berjalan sebagaimana sistem kerajaan, dan para Khalifah berlaku sebagaimana para raja. Sehingga beliau menyebut mereka dengan sebutan umaro’ dan khalifah.

Adapun orang-orang yang oleh rasul SAW disebut sebagai raja yang otoriter, maka kondisi itu terjadi setelah masa para Khalifah itu berkuasa dan berakhirnya masa kekhilafahan. Inilah yang bisa difahami dari penggabungan dua hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Imam Ibnu Hibban diatas. Demikian juga telah diketahui dalam sejarah bahwa sistem Khilafah itu terus berlangsung, walaupun pernah terjadi kekosongan selama 3,5 tahun (ketika pusat daulah di Kota Baghdad kala itu –pent) dikuasai kaum Tartar. Dan sistem ini baru benar-benar hilang ketika Inggris bersama kaki tangan yang seorang Yahudi yaitu Musthafa Kamal telah bersepakat untuk menghancurkan sistem khilafah.

Tidak ada raja yang menduduki dan menggantikan posisi para Khalifah kecuali pada awal abad 20 ini; seperti raja Faishal bin Husain yang diangkat oleh Inggris untuk menjadi raja di Suriah pada tahun 1920 M., Winston T mencalonkannya juga untuk menduduki Irak pada tahun 1921 M. Demikian pula pencalonan Winston T terhadap Abdullah bin Husain untuk menjadi Amir di wilayah Yordania Timur pada tahun 1921 M, kemudian pada tahun 1936 M dia dipanggil dengan sebutan raja. Demikian juga raja Ahmad Fuad yang memerintah Mesir tahun 1917 M dibawah perlindungan Inggris dan diberi gelar raja pada tahun 1922 M setelah sebelumnya bergelar Sulthan. Kemudian digantikan oleh raja Farouq bin Fuad pada tahun 1936 M. Sebelumnya juga , Inggris telah mengangkat keluarga Sa’ud untuk menjadi penguasa Najed dan Hijaz. Dan raja yang pertama dari keluarga ini adalah Ali bin Husain yang dipilih untuk menjadi raja di Hijaz pada tahun 1925 M. Di Maroko juga ada raja Muhammad V pada tahun 1955 M, yang kemudian dilanjutkan oleh raja Hali Al-Hasan II pada tahun 1961 M yang mendapat dukungan Inggris. Demikian juga muncul di Libya raja Muhammad Idris As -Sanusi , kemudian dia mengumumkan bahwa Libya adalah negara kerajaan dan diwariskan pada tahun 1963 M dan dia juga mendapat dukungan dari Inggris. Demikianlah bahwa sebenarnya para raja itu tidak memegang tampuk kekuasaan di negeri kaum Muslim kecuali setelah daulah khilafah hancur bukan pada masa sebelumnya.

Sedangkan para penguasa otoriter itu telah nampak pada masa kita sekarang seperti para penguasa di Suria, Irak, Mesir, Libya, dan lain-lain yang mereka telah sepakat untuk menyusun kekuatan militer. Dan jadilah kekuasaan mereka bersifat kekuasaan militer yang memerintah kaum muslimin dengan kekuatan, teror, intimidasi, pemaksaan, penumpahkan darah, dan mengurusi urusan mereka berdasarkan pemahaman doktrin-doktrin militer yang menimbulkan ketakutan dan kesengsaraan dalam diri kaum Muslimin.

Semua kedzoliman itu akan hilang dengan munculnya khilafah yang baru di dunia Islam yang akan mengembalikan kemuliaan umat yang telah hilang karena bayang-bayang sistem militer yang menakutkan, serta akan menyelamatkan mereka dari kehinaan, teror yang ditimpakan oleh para penguasa otoriter itu atas mereka. Rasulullah SAW yang mulia telah memberi kabar gembira kepada kita dengan kembalinya kekhilafahan yang tegak dengan metode kenabian setelah masa-masa suram ini. Rasul SAW telah bersabda: "Kenabian akan ada pada diri kalian sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian masa otoriter akan ada kekhilafahan yang sesuai dengan manhaj kenabian sesuai dengan yang dikehendakiNya, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan ada pemerintahan Mulkan Adhan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan ada pemerintahan otoriter sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan ada kekhilafahan yang sesuai dengan Manhaj Kenabian”. (HR. Imam Ahmad no. 17.680\ Musnad Kufiyin, hadis Marfu’ dalam Kitab Musnadnya). Dan ditambahkan lafadznya oleh Al-Hafidz Al-Bazzar rahimahullah …. “ Dimana Institusi ini akan menerapkan Sunnah kepada Umat manusia. Maka penghuni langit dan bumipun meridhoinya. Hingga tidak ada bagian dari langitpun yang tersisa selain diturunkan kepadanya. Dimana kenikmatan dan juga tanaman di bumi pun tidak tersisa kecuali dikeluarkan untuknya “. Dan tatkala hadis ini disampaikan oleh Ibn Nu’man (yaitu salah seorang perawi hadis ini) kepada Umar bin Abdul Aziz ra. maka Umar-pun ta’jub terhadapnya (yaitu hadis yang disampaikan oleh Ibn Nu’man) (HR. Al-Bazzar jilid 7\hal. 224 dalam kitab musnad Al-Bazzar)”.

Kemudian Syeikh Ishom Amirah dalam makalahnya yang beliau sampaikan di Univeristas An-Najah di kota Nablus --- Palestina tentang keruntuhan Daulah Khilafah sbb: “ Sungguh keruntuhan Daulah Khilafah telah membawa pada penolakan berbagai hukum Islam dan terhentinya banyak aktivitas yang dituntut untuk dilaksanakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan firman Allah SWT sbb. :

وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم وحذرهم أن يفتنوك بما أنزل الله اليك

Artinya : “ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu “ (Surat Al-Maidah - ayat 49). Hal ini saja sudah cukup untuk memberikan isyarat akan kemurkaan Allah SWT kepada kita, dan karenanya ia seakan-akan telah menyiapkan Malaikat Adzab untuk menyambar kita, serta menyiapkan neraka jahannam bagi tempat tinggal kita, karena banyaknya dosa yang telah kita lakukan. Disebabkan dengan keruntuhan Institusi ini telah membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai kemungkaran yang dilakukan baik oleh orang-orang kafir maupun kaum muslimin itu sendiri. Orang-orang kafir itu mengusai dan menjajah negeri-negeri kaum muslimin. Serta membunuh jiwa, menjarah harta kekayaan mereka dan merampas hak dan kehormatannya. Laksana binatang ternak yang disantap oleh srigala karena ia tidak dijaga oleh penggembalanya. Sedangkan kaum muslimin ditimpa oleh berbagai kerusakan karena tidak mau mengambil syariat Islam, seperti hukum Had, Qishos, Ta’zir dan lain sebagainya “. Oleh karena itu para Imam telah sepakat bahwa Imamah (Kholifah) adalah wajib, dan kaum muslimin harus memiliki seorang Imam menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang didzolimi. Dan tidak juga diperkenankan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam satu waktu mempunyai dua imam (Lihat Kitab Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah jilid 5\hal. 416). Lalu Syeikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah menambahkan sbb :

يجب أن يعرف أن ولاية ألامر الناس من أعظم واجبات الدين لا قيام الدين الا بها

Artinya: “Wajib diketahui bahwa hal memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agama. Bahkan pengaturan urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama tidak akan tegak kecuali dengannya yaitu institusi Islam yang dipimpin oleh seorang kholifah “ (Lihat kitab Siyasah Asy-Syar’iyah hal. 160-161 dan Majmu Al-Fatawa jilid 28\hal. 320).Oleh karena itu kami menyerukan kepada kaum muslimin seluruhnya untuk bersegera menyongsong masa depan yang lebih baik, dengan terlibat dalam aktifitas untuk mewujudkan kehidupan Islam dibawah naungan Daulah Al-Islamiyah yang akan segera tegak dalam waktu dekat dengan Izin serta pertolongan dari Allah SWT. Wallahu a’lam bi showab .

Kemudian Syeikh Ishom Amirah dalam makalahnya yang beliau sampaikan di Univeristas An-Najah di kota Nablus --- Palestina tentang keruntuhan Daulah Khilafah sbb: “ Sungguh keruntuhan Daulah Khilafah telah membawa pada penolakan berbagai hukum Islam dan terhentinya banyak aktivitas yang dituntut untuk dilaksanakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan firman Allah SWT sbb. :

وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم وحذرهم أن يفتنوك بما أنزل الله اليك

Artinya : “ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu “ (Surat Al-Maidah - ayat 49).

Hal ini saja sudah cukup untuk memberikan isyarat akan kemurkaan Allah SWT kepada kita, dan karenanya ia seakan-akan telah menyiapkan Malaikat Adzab untuk menyambar kita, serta menyiapkan neraka jahannam bagi tempat tinggal kita, karena banyaknya dosa yang telah kita lakukan. Disebabkan dengan keruntuhan Institusi ini telah membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai kemungkaran yang dilakukan baik oleh orang-orang kafir maupun kaum muslimin itu sendiri. Orang-orang kafir itu mengusai dan menjajah negeri-negeri kaum muslimin. Serta membunuh jiwa, menjarah harta kekayaan mereka dan merampas hak dan kehormatannya. Laksana binatang ternak yang disantap oleh srigala karena ia tidak dijaga oleh penggembalanya. Sedangkan kaum muslimin ditimpa oleh berbagai kerusakan karena tidak mau mengambil syariat Islam, seperti hukum Had, Qishos, Ta’zir dan lain sebagainya “. Oleh karena itu Syeikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah menegaskan sbb :

يجب أن يعرف أن ولاية ألامر الناس من أعظم واجبات الدين لا قيام الدين الا بها

Artinya: “Wajib diketahui bahwa hal memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agama. Bahkan pengaturan urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama tidak akan tegak kecuali dengannya yaitu institusi Islam yang dipimpin oleh seorang kholifah “(Lihat kitab Siyasah Asy-Syar’iyah hal. 160-161 dan Majmu Al-Fatawa jilid 28\hal. 320).

Kami menyerukan kepada kaum muslimin seluruhnya untuk menjadi bagian aktif dari proses perubahan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang Islami yang sangat kita damba-dambakan. Karena terbukti sistem selain Islam telah gagal untuk mengatasi krisis di negeri ini, dan sudah tiba saatnya bagi Islam dan Umat Islam untuk mengambil peran dalam menyelamatkan bangsa ini dari kehancurannya dengan penerapan Syariat Islam . Maka tidak ada kemuliaan bagi umat Islam kecuali mentaati Allah SWT, dengan berjuang sepenuh tenaga bersama kelompok-kelompok pejuang Islam di seluruh penjuru dunia untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam salah satu firman-Nya sbb:

عن قتادة قوله--- )من كان يريد العزة فلله العزة جميعا اليه( --- يقول فليتعزز بطاعة الله

Artinya : “Barang siapa menghendaki kemulian maka bagi Allah-lah segala kemuliaan” (Surat Al-Fathir – ayat 10) . Imam Qotodah ra. menjelaskan maksud dari ayat ini bahwa maka dapatkan kemuliaan dengan mentaati Allah SWT (Tafsir Thobari\jilid 22\hal. 120).

Dan takutlah anda sekalian dengan adzab Allah SWT yang sangat pedih diakhirat kelak seandainya anda berada dalam kelompok orang yang menolak syari’atnya. Allah SWT telah berfirman sbb:

ومن أعرض عن ذكري فإن له معيشة ضنكا ونحشره يوم القيامة أعمى

ِArtinya : “Barang siapa berpaling dari peringatan kami maka baginya kehidupan yang sempit dan kami akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta “.

1- Ibn Abbas dan Mujahid ra. tentang (kehidupan yang sempit) adalah kehidupan yang susah\sempit dan penuh kemalangan ( ( ضيقة و الشقاء dan Abi Sa’id Al-Khudri menambahkan : baginya adzab kubur (عذاب القبر).

2- Imam Abi Sholih rahimahullah menjelaskan maksud (dari kami akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta) adalah kami akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan tidak mempunyai hujjah (ليس له حجة) (Tafsir Thobari\jilid 16\hal. 226-230) .

Maka yakinlah anda sekalian dengan pertolongan Allah SWT bagi hamba-hambanya yang mau menolong agamanya, seperti telah ia janjikan dalam sebuah firman-Nya :

( يا أيها الذين آمنوا إن تنصروا لله ينصركم ) --الآية --إنا لننصر رسلنا والذين آمنوا في الحياة الدنيا ويوم يقوم الأشهاد ثم يوم لا ينفع الظالمين معذرتهم ولهم اللعنة ولهم سوء الدار

Yang artinya: “ Al-Hafidz Abu Fida’ Ibn Katsier ra. menjelaskan maksud dari firman Allah SWT ini : Kami akan menolong risalah kami (yaitu Al-Islam) dan juga orang-orang beriman dalam kehidupan dunia dan pada kehidupan di hari kiamat, dimana tidak diterima udzur dari orang-orang yang dzalim dan bagi mereka laknat dan tempat kembali yang buruk (Tafsier Ibn Katsier jilid 1\hal. 432) . Kalau demikian faktanya wahai kaum muslimin bersegeralah kalian untuk menyongsong masa depan kalian dengan mewujudkan kehidupan Islam dibawah naungan Daulah Al-Islamiyah yang akan segera tegak dalam waktu dekat dengan Izin serta pertolongan dari Allah SWT. Wallahu a’lam bi showab .

Custom Search