Tuesday, July 10, 2007

DARI MASJID AL-AQSHA MENUJU KHILAFAH: SEJARAH AWAL PERJUANGAN HIZBUT TAHRIR

DARI MASJID AL-AQSHA MENUJU KHILAFAH:
SEJARAH AWAL PERJUANGAN HIZBUT TAHRIR


Bisyarah Rasulullah saw.:

Dari Nu'man bin Basyir berkata, Rasulullah saw. bersabda:



"Di tengah kalian terdapat kenabian, dengan izin Allah ia akan tetap ada. Kemudian Dia mencabutnya, ketika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian ada Khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian, dengan izin Allah ia akan tetap ada. Kemudian Dia mencabutnya, ketika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian setelah ada penguasa zalim, dengan izin Allah ia akan tetap ada. Kemudian Dia mencabutnya, ketika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian ada penguasa diktator, dengan izin Allah ia akan tetap ada. Kemudian Dia mencabutnya, ketika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian ada Khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian. Kemudian beliau diam. (H.r. Ahmad)


Pendahuluan

Pada hari-hari ini, tengah berlangsung peringatan Isra' Mikraj, dimana Rasulullah saw. telah diperjalankan dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsa, kiblat pertama dari dua kiblat, masjid kedua di antara dua masjid, dan tanah suci ketiga. Kini, al-Aqsa masih tetap menjadi tawanan, yang menanti untuk dibebaskan. Sungguh, al-Aqsa tidak akan pernah menjadi tawanan, seandainya kaum Muslim mempunyai satu negara yang menerapkan syariat Allah, menjaga kemuliaan dan kehormatan mereka.

Sultan 'Abdul Hamid II, khalifha 'Utsmaniyah kala itu, menolak mentah-mentah permintaan Dr. Theodore Hertzl, bapak Zionis, seraya menyatakan:

"Nasehatilah temanmu Hertzl agar tidak mengambil langkah-langkah baru dalam masalah ini. Sebab, saya tidak akan bisa mundur dari tanah suci (Palestina) ini, walau hanya sejengkal. Karena tanah ini bukanlah milikku. Tanah ini adalah milik bangsa dan rakyatku. Para pendahuluku telah berjuang demi mendapatkan tanah ini. Mereka telah menyiraminya dengan tetesan darah. Biarlah orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan uang mereka. Jika negeriku tercabik-cabik, maka sangat mungkin mendapatkan Palestina tanpa imbalan dan balasan apapun. Namun patut diingat, bahwa hendaknya pencabik-cabikan itu dimulai dari tubuh dan raga kami. Namun, tentu aku tidak menerima ragaku dicabik-cabik selama hayat masih di kandung badan."

Tepat sekali, apa yang dinyatakan oleh Sultan Abdul Hamid. Maka, untuk mengambil Palestina, kaum Zionis itu menyusun rencana untuk menghancurkan Khilafah, dan setelah itu semuanya bisa dengan mudah mereka dapatkan, tanpa imbalan apapun. Itulah nasib Palestina, setelah Khilafah yang menaunginya tidak ada lagi.

Allah Berjanji Akan Mengembalikan Khilafah

Dalam al-Qur'an, surat an-Nur [24]: 55, Allah berjanji untuk mengembalikan khilafah (istikhlaf), melalui firman-Nya:



"Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik." (Q.s. an-Nur [24]: 55)



Benar. Itu adalah janji diberikannya kekuasaan (istikhlaf). Itulah janji ilahiyah yang agung, yang telah mendarah daging dalam kehidupan umat Islam yang agung, yang pernah diberi kekuasaan oleh Allah di muka bumi. Maka, umat ini pun telah memeluk akidah Islam, mengimani Allah sebagai tuhannya, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya, serta Islam sebagai agamanya. Umat ini telah memerintah dengan apa yang diturunkan oleh Allah, dan mendirikan negara Khilafah Islam, yang telah berdiri sepanjang zaman, yang pertama adalah Abu Bakar as-Shiddiq dan terakhir Abdul Majid II, rahimahullah. Semuanya itu telah berlangsung sekian lama, kurang lebih 13 abad.

Kaum Muslim telah hidup sepanjang kurun yang lama di bawah naungan negara Khilafah, yang memberlakukan hukum-hukum syara' kepada mereka dalam seluruh aspek kehidupan, serta mengemban dakwah kepada seluruh umat manusia melalui jihad fi sabilillah, sehingga terjadilah berbagai pembebasan dan kemenangan. Orang-orang pun dengan berbondong-bondong masuk ke dalam agama ini. Akhirnya umat ini pun benar-benar telah memperoleh kemuliaan dan kekuasaan (istikhlaf). Semua kesempatan itu diperoleh karena mereka mempertahankan negara yang menjaga kehormatan hukum, menjalankan syariah Allah, mempertahankan wilayah kaum Muslim, mengemban Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. Dengan begitu, ia berhak mendapatkan janji Allah, sekaligus membenarkan kabar gembira Rasulullah yang berdabda:



"Akan ada para Khalifah, dan jumlah mereka banyak." (H.r. Muslim)


Memang benar, itu adalah janji Allah SWT. yang telah berhasil didirikan oleh Rasulullah saw. Setelah itu, diterima oleh para Khulafa' Rasyidin. Kaum Muslim setelahnya pun tetap konsisten mengikutinya, hingga negara itu runtuh. Namun, dengan izin Allah, ia pun akan kembali lagi, sebagaimana janji Allah, dan kabar gembira Rasulullah saw.

Hakikat Khilafah:

Al-Ustadz 'Utsman Abu Khalil, Juru bicara Hizbut Tahrir Sudan, menyatakan, bahwa dengan sistem Khilafah itulah semua urusan umat Islam ini berhasil disatukan, dan itulah yang akan mempersatukan umat, menaungi dan melindunginya. Masih menurutnya, saat ini kita menyaksikan, bagaimana umat Islam telah dihinakan dan dikerubuti oleh umat manusia dari berbagai sisi, karena tidak ada negara (Khilafah) yang melindunginya.

Sungguh tepat sekali ungkapan al-Imam al-'Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ketika menggambarkan Khilafah ini dengan gambaran yang sangat akurat, seraya mengatakan, "Khilafah adalah arus utama Islam, dan apa yang selalu dikelilingi... Dengannya, agama akan terjaga, dan Islam pun akan terlindungi. Hudud akan bisa ditegakkan. Berbagai kejahatan akan bisa dicegah. Dengannya perbatasan akan bisa dijaga. Wilayah yang dilindungi akan tetap terjaga, dan tidak akan dilanggar..

Namun, "arus utama" ini nyaris ditinggalkan oleh kaum Muslim, seiring dengan terpisahnya mereka dengan negara Khilafah, yang telah runtuh pada tanggal 28 Rajab 1342 H, bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924 M di tangan seorang Yahudi, Freemasonry, Mustafa Kamal Attaturk, antek Inggeris. Dengan menyingkirkan pemerintahan Islam, mengusir khalifah dan keluarga 'Utsmani untuk meninggalkan ibukota Istambul dengan arahan dan dukungan penjajah Inggeris-Kafir. Semuanya itu untuk melaksanakan apa yang ditetapkan oleh Menlu Inggeris kala itu, Lord Curzon, sebagai persyaratan busuk yang ditetapkan kepada bangsa Turki dalam Konferensi Lausanne, yang dipenuhi kebusukan. Setelah penandatanganan Perjanjian Lausanne pada tanggal 24 Juli 1923, tentara Inggeris meninggalkan Istambul dan Madzahiq.

Dengan bangga, Curzon menyatakan di depan Parlemen Iggeris ketika itu, "Turki telah dihancurkan, dan tidak akan pernah bisa bangkit kembali, karena kita telah menghancurkan kekuatan moralnya, yaitu Khilafah dan Islam."

Al-Ustadz Fauzi Sinnuqarth, penulis buku at-Taqarrub Ila-Llah, Thariqu at-Taufiq, menyatakan:

Saya ingat, pada tahun 1924 di kota al-Khalil (Palestina), ada salah seorang Yahudi berkata kepada tetangganya yang Muslim, "Umatmu kemarin benar-benar telah mati." Orang (Muslim) tersebut tidak paham apa makna kalimat ini, kecuali setelah beberapa hari kemudian, setelah dia tahu bahwa negara Khilafah telah dihancurkan. Sementara Yahudi yang busuk itu sudah memahami makna kehancuran Khilafah, bahwa ia bagaikan ibu (induk) yang mengumpulkan anak-anaknya. Khilafahlah yang menyatukan kaum Muslim dalam satu negara, satu kepemimpinan, satu tentara, dan satu tujuan.

Begitulah, Khilafah benar-benar telah runtuh dengan mudahnya, dan benar-benar telah dihancurkan. Islam telah dihancurkan sebagai UUD negara, perundang-undangan umat dan sistem kehidupan, melalui tangan Inggeris dengan menggunakan antek dan orang upahannya, sang pengkhianat, Mustafa Kamal Attaturk. Tak ada lagi pemerintahan Islam, setelah runtuhnya Khilafah 'Utsmaniyah, kecuali hukum-hukum syara' telah diubah. Makna persatuan dan ikatan jamaah di antara sesama Muslim pun telah dihancurkan. Negeri-negeri Islam telah dikerat-kerat menjadi beberapa entitas, keratan dan negara-negara kecil yang tidak mampu menghadapi musuh tanpa bantuan dari negara Kafir. Akhirnya negeri-negeri itu telah berubah menjadi wilayah kekuasaan negara-negara besar, atau setidaknya menjadi pasien negara-negara besar, atas nama sejumlah negara.

Padahal, Rasulullah saw. telah bersabda:


"Jika telah dibai'at dua khalifah, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya."

Beliau juga bersabda:

"Jika kalian didatangi oleh orang yang ingin mematahkan tongkat kalian, dan memecah belah jamaah kalain, maka penggallah lehernya, siapapun dia."

Allah Menyiapkan Lahirnya Hizbut Tahrir

Allah telah menyiapkan dari rahim umat ini sebuah partai yang telah didirikan oleh putra-puterinya, yang berjuang dan terus-menerus berjuang guna melanjutkan kehidupan Islam dengan mendirikan negara Khilafah. Negara Khilafah yang akan menerapkan Islam dan menyatukan kaum Muslim. Berdirinya Hizbut Tahrir adalah memenuhi panggilan Allah SWT:


"Hendaknya ada di antara kalian satu umat yang menyeru pada kebaikan (Islam), mengajak pada kemakrufan dan mencegah dari kemunkaran, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.s. Ali 'Imran [03]: 110)

Bertujuan untuk membangkitkan umat Islam dari kemerosotan luar biasa yang telah menimpanya, membebaskan mereka dari pemikiran Kufur, sistem dan hukumnya, juga dari hegemoni dan cengkraman negara-negara Kafir.

Juga bertujuan untuk mengembalikan Khilafah kembali, sehingga pemerintahan berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah itu benar-benar kembali. Dari tangan al-'Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, kelompok ini lahir. Kelompok yang kemudian diberi nama Hizbut Tahrir, yang berarti partai pembebasan.

Sosok Pendiri dan Amir Pertama Hizbut Tahrir

As-Syaikh Fathi Muhammad Salim, penulis buku al-Istidlal bi ad-Dzan fi al-'Aqidah, menuturkan sejarah singkat al-'Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, rahimahu-Llah. Dalam penuturannya beliau menyatakan, bahwa an-Nabhani lahir dari gudang ilmu (bait al-'ilm). Kakeknya, as-Syaikh Husein an-Nabhani, adalah ulama' besar di era Khilafah 'Utsmaniyyah. Beliau, al-'Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani --rahimahu-Llah-- mendapatkan pendidikan agama Islam dalam sebuah keluarga yang Islami. Kemudian berpindah ke al-Azhar, dan belajar di sana. Beliau telah memperoleh 4 ijazah:

(1) Ijazah Tsanawiyah al-Azhar,

(2) Ijazah al-Ghuraba',

(3) Ijazah di Bidang Peradilan,

(4) Ijazah al-'Alamiyyah.


Ijazah al-'Alamiyyah ini saat ini setara dengan ijazah doktor. Beliau kemudian kembali ke Palestina, dan aktif dalam tugas di bidang pendidikan. Setelah itu, beralih ke tugas di bidang peradilan, dan aktif di Mahkamah Tinggi di sana.

Ini dari sisi suasana keislaman, baik dalam kontek belajar maupun mengajar. Beliau adalah orang yang mempunyai kepekaan dan kejeniusan yang luar biasa. Beliau bisa merasakan dan menggambarkan kebangkitan, akibat dari berbagai kemerosotan yang telah menimpa umat ini, dan berbagai musibah yang menderanya.

Setelah melalui kajian yang panjang, beliau terinspirasi dengan gagasannya yang pertama, yaitu tentang kebangkitan. Karena itu, Islam harus dikembalikan dalam kehidupan, dan Khilafah Islam yang dinyatakan oleh Rasul saw. sebagai kabar gembira yang akan kembali berdasarkan tuntunan kenabian juga harus ditegakkan. Beliau kemudian kembali ke Palestina, dan merasakan kemerosotan yang telah terjadi. Kemudian hijrah ke Beirut, dan setelah itu kembali lagi. Artinya, berbagai musibah tersebut telah menimpanya persis seperti yang beliau rasakan. Karena itu, beliau sangat terpengaruh dengan kemerosotan dan apa yang telah terjadi dalam Krisis Palestina. Dari situlah, memicu munculnya pertanyaan; apa tugas kaum Muslim yang ada di seluruh dunia? Beliau melihat, bahwa realitas tersebut hanya bisa diselesaikan dengan Islam.

Setelah itu, hasil kajian beliau yang dilakukan secara terus-menerus dan konstan, baik terhadap fakta ataupun berbagai gerakan yang tengah berjuang di tengah-tengah masyarakat, dengan menyarikan dan mendiskusikannya, semuanya itu telah menghasilkan buah. Intinya, bahwa harus ada perjuangan, tapi bukan hanya sekedar berjuang, melainkan perjuangan yang terukur.

Tentu, dan perjuangan itu untuk membangun pemikiran, dengan tujuan yang jelas, sebagaimana gagasan yang menginspirasi pikiran beliau sebelumnya, yaitu kebangkitan.

Hizbut Tahrir Lahir di Masjid al-Aqsa:

Al-Ustadz Fauzi Sinnuqarth, menuturkan sejarah awal terbentuknya Hizbut Tahrir:

Saya ingat, bahwa pertama kali beliau menjelaskan masalah Khilafah, ketika berada di Masjid al-Aqsa yang penuh berkah, di salah satu sudut sebelah barat daya. Di sana terdapat ruangan yang memanjang. Beliau berbicara kepada banyak orang setelah shalat Jum'at, suatu pembicaan yang sangat menyentuh dan jelas. Di sekeliling beliau ketika itu berkumpul ratusan orang. Beliau menceritakan kepada mereka Sirah Nabawiyyah. Sesekali beliau menceritakan wafatnya Rasulullah saw, dan bagaimana kaum Muslim setelah beliau wafat, mereka menyibukkan diri di Saqifah Bani Sa'adah untuk mengangkat seorang khalifah bagi mereka, sementara mereka membiarkan pemakaman beliau sampai bia'at kepada Abu Bakar as-Shiddiq berhasil dilakukan.

Jadi, itu merupakan pembahasan, dan pembicaraan pertama tentang penegakan khalifah serta seruan untuk menegakkannya. Peristiwa itu terjadi tepat pada tahun 1950 M. Syaikh Taqiyuddin kemudian melanjutkan kontak beliau dengan orang yang menginginkan kebaikan, yaitu para pemuda dari al-Quds. Lalu beliau pun mengontak para pemuda yang lain lagi, yang menginginkan kebaikan, atau beliau tahu kalau mereka itu baik dari daerah al-Khalil dan Tulkarim. Ketika beliau mendengar ada seseorang yang menginginkan kebaikan, atau beliau merasa bahwa dia baik, pasti akan beliau kontak. Dengan cara seperti itu, beliau berhasil merekrut banyak orang.

Beliau mengajak mereka berdiskusi dengan mendalam. Misalnya, diskusi beliau dengan salah seorang dari keluarga 'Azzah, dan keluarga Hammad, sebuah diskusi yang mendalam. Melalui diskusi tersebut, beliau menulis pembahasan al-Qiyadah al-Fikriyyah fi al-Islam (kepemimpinan intelektual dalam Islam) yang telah dimasukkan dalam kitab Nidzam al-Islam. Diskusi beliau dengan seseorang, namanya Said Ramadhan tentang akhlak. Setelah itu, beliau menulis al-Akhlaq fi al-Islam (Akhlak di dalam Islam) dalam kitab Nidzam al-Islam.

Hizbut Tahrir di Yordania

Tokoh Hizbut Tahrir asal Yordania, as-Syaikh Fathi Muhammad Salim, menuturkan bahwa di Yordania, ada orang yang bertugas mengontrol gerakan politik, gerakan atau kelompok. Dia mengirim utusan kepada as-Syaikh Taqiyuddin, dengan membawa sejumlah uang, yaitu beberapa Dinar. Utusan tersebut kemudian mengatakan kepada Syaikh, "Ini merupakan kompensasi untuk Anda dari kelompok." Tak lama kemudian beliau menyatakan kepada utusan tersebut, dan ternyata di bawah sebuah traktor ada dua bekas roda, di sana ada buah tomat, seraya berkata, "Ini cukup bagiku, dan aku tidak butuh uang dari Inggeris."

Ini yang pertama. Beliau terus melangkah dengan dakwahnya, sehingga nyaris menghadapi kesulitan. Dengan kata lain, aktivitas beliau mulai meluas, dan tertanam di tengah masyarakat, dan mulai banyak pengikut. Sehingga personil tentara ketika itu ratusan orang telah bersama Hizb, dan setiap orang yang siap halqah jumlahnya ribuan. Setiap orang telah diatur menjadi sebuah sistem, dan meyakini Hizb. Pada saat itu, kelompok tersebut berpikir tentang sesuatu yang lain, yaitu usaha untuk mengenyahkan Syaikh Taqiyuddin.

'Abbas al-Haj Naji, salah seorang mantan personil tentara Yordania, menuturkan pengalamannya tentang as-Syaikh Taqiyuddin, ketika memberikan ceramah di Jami'ah al-Kulliyah al-'Ilmiyyah al-Islamiyyah. Beliau menyatakan, "Tahun 1952, beliau memberian ceramah di Jami'ah al-Kulliyah al-'Ilmiyyah al-Islamiyyah, dan saya waktu itu sedang shalat di belakang beliau. Ketika sosok ini berceramah di atas mimbar, satu-satunya masjid di 'Amman (Yordania), dimana para duta dan menteri semuanya shalat di masjid itu.

Mukaddimah khutbah Syaikh Taqiyuddin, yang selalu saya ulang-ulang, ketika saya masih di kesatuan tentara, dan sampai sekarang masih ada di atas mimbar tersebut. Beliau membuka khutbah dengan mukaddimah,

"Segala puji hanya milik Allah, yang telah memberikan hidayah kepada kita dalam perkara ini. Dan kita tidak akan mendapatkan hidayah, kalau bukan karena kita telah diberi hidayah oleh Allah. Tak ada yang aku yakini, aku jadikan tempat berlari dan berserah diri, kecuali kepada Allah. Wahai hamba Allah, aku wasiatkan kepada Anda dan diriku untuk senantiasa bertakwa dan taat kepada Allah yang Maha Agung. Aku peringatkan Anda dan diriku, dari maksiat dan menyimpang dari perintah dan larangan-Nya, berdasarkan firman-Nya:

"Siapa saja yang melakukan kebaikan, itu adalah untuk dirinya, dan siapa saja yang melakukan keburukan, sesungguhnya itu adalah untuk dirinya. Dan tuhanmu tidak akan pernah berbuat zalim kepada para hamba-Nya."

Saya bersaksi, bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dialah yang mempunyai kerajaan, dan segala puji hanya untuk-Nya. Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Dia Dzat yang Maha Hidup, dan tak kan pernah mati. Kepada-Nya tempat kembali. Aku bersaksi, bahwa Muhammad adalah hamba-Nya, rasul-Nya, orang yang paling loyal kepada-Nya, teman setia-Nya, makluk terbaik-Nya, Nabi-Nya, peyampai risalah-Nya, yang menunaikan amanah-Nya, yang menasehati umat, dan yang berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya hingga bukti (Islam) itu datang kepadanya.

Inilah mukaddimah Syaikh Taqiyuddin di Jami'ah al-Kulliyah al-Islamiyyah, dengan impresi yang luar biasa. Ketika itu berhasil menarik imam masjid tersebut, dan dia pun menyampaikannya di atas mimbar. Ketika itu, saya mendengarkannya, dan Allah memberikan taufik kepada saya. Alhamdulillah.
Custom Search