Wednesday, July 23, 2008

Solusi Islam Dalam Masalah Kemiskinan



SOLUSI ISLAM


DALAM MASALAH KEMISKINAN1




Muhammad Anwar Iman




Muqaddimah


Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tak hanya di desa-desa, namun juga di kota-kota. Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit kita jumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan.


Anehnya, secara statistik jumlah mereka bukan berkurang, tetapi justru terus bertambah. Terlebih lagi setelah krisis ekonomi melanda Indonesia. Disadari atau tidak, semua itu merupakan buah pahit Kapitalisme. Sebab memang sistem kapitalislah yang diterapkan saat ini dan kemiskinan itulah yang terjadi. Bahkan tak sekadar kemiskinan, kesenjangan pun makin lebar antara orang kaya dan miskin. Pada tahun 1985, misalnya, pendapatan per kapita Indonesia sebesar 960 dolar AS per orang per tahun. Dari angka tersebut 80% daripadanya dikuasai hanya oleh 300 grup konglomerat saja. Sedangkan sisanya 20 %, diperebutkan oleh hampir 200 juta penduduk

2.


Harus diakui, kapitalisme memang telah gagal menyelesaikan problem kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang terjadi justru menciptakan kemiskinan. Jika demikian halnya mengapa umat tidak segera berpaling pada Islam? Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki banyak aturan untuk mengatasi berbagai problem kehidupan, termasuk kemiskinan. Bagaimana Islam mengatasi masalah ini, makalah ringkas ini mencoba untuk menguraikannya.



Pandangan Islam Tentang Kemiskinan


Kemiskinan adalah salah satu sebab kemunduran dan kehancuran suatu bangsa. Bahkan Islam memandang kemiskinan merupakan suatu ancaman dari setan. Allah Swt.. berfirman:




الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ


Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (TQS. Al-Baqarah [2]: 268)




Karena itulah, Islam sebagai risalah paripurna dan sebuah ideologi yang shahih, sangat consen terhadap masalah kemisikinan dan upaya-upaya untuk mengatasinya.


Dalam fiqih, dibedakan antara istilah Fakir dan Miskin. Menurut pengertian syara’, Fakir adalah orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sedangkan Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa3.


Dari pengertian kedua istilah di atas, nampak bahwa kriteria Fakir sebenarnya telah mencakup kriteria Miskin. Karena itulah dalam pembahasan selanjutnya, kedua istilah tersebut dilebur dalam satu istilah yaitu miskin, dengan pengertian orang-orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, berupa pangan, sandang dan papan.


Syariat Islam telah menetapkan kebutuhan pokok (primer) bagi setiap individu adalah pangan, sandang, dan papan. Allah Swt. berfirman:




وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ


Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)




أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ


Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu. (TQS. ath-halaq [65]: 6).




Rasulullah saw. bersabda:




Dan kewajiban para suami terhadap para istri adalah memberi mereka belanja (makanan) dan pakaian. (HR. Ibn Majah dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).




Sebagai kebutuhan primer, ketiga hal tersebut, harus terpenuhi secara keseluruhan. Jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka seseorang terkategori sebagai orang miskin.


Pangan, sandang, dan papan yang dimaksud di sini, tidak berarti sekadar apa adanya, melainkan harus mencakup hal-hal yang berkaitan dengannya. Kebutuhan pangan, misalnya, juga termasuk hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti peralatan dapur; kayu bakar, minyak tanah, atau gas; rak piring, lemari makan, meja makan, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk bagian dari kebutuhan pakaian adalah apa-apa yang diperlukan seperti peralatan berhias, parfum, bedak, celak, minyak rambut, lemari pakaian, cermin, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk bagian dari kebutuhan tempat tinggal adalah apa-apa yang diperlukan untuk tempat tinggal, seperti tempat tidur dan perabotan rumah tangga, menurut yang umum diketahui masyarakat, seperti, meja, kursi, karpet, korden, dan lain-lain.4 Demikianlah tolok ukur kemiskinan menurus Islam. Dari sini tampak bagaimana Islam memberikan jaminan kepada manusia untuk hidup secara layak sebagai manusia.


Tolok ukur kemiskinan ini berlaku untuk semua manusia, kapan pun dan di mana pun mereka berada. Tidak boleh ada pembedaan tolok ukur kemiskinan bagi orang yang tinggal di satu tempat dengan tempat lainnya, atau di satu negeri dangan negeri lainnya. Misalnya, orang yang tinggal di Amerika dikatakan miskin jika tidak memiliki mobil pribadi (walaupun tercukupi pangan, sandang dan papannya). Sementara di Indonesia, orang semacam ini tidak dikatakan miskin. Pandangan semacam ini bathil dan tidak adil. Sebab, Syariat Islam diturunkan untuk menusia sebagai manusia, bukan sebagai individu. Sehingga tidak ada perbedaan dari sisi kemanusiaan antara orang yang tinggal di suatu negeri dengan negeri lainnya. Seandainya sebuah Negara memerintah rakyatnya dari berbagai negeri, di Mesir, Yaman, Sudan, Indonesia, Jerman, dan lain-lain; maka tidak sah jika pandangan pemerintah tersebut terhadap kemiskinan berbeda-beda antara rakyat yang satu dengan yang lain.


Lebih dari itu, yang ditetapkan syariat Islam sebagai kebutuhan pokok sebenarnya bukan hanya pangan, sandang, dan papan. Ada hal lain yang juga termasuk kebutuhan pokok yaitu kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Hanya saja, pemenuhan kebutuhan tersebut tidak dibebankan kepada individu masyarakat, melainkan langsung menjadi tanggungjawab negara. Dalam membahas kemiskinan, ketiga hal ini tidak dimasukan dalam perhitungan, karena memang bukan tanggungjawab individu.




Cara Islam Mengatasi Kemiskinan


Allah Swt. sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rizki baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa menyediakan rizki bagi mereka. Allah Swt. berfirman:




اللهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ


Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rizki.(TQS. ar-Rum [30]: 40)




وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا


Tidak ada satu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah yang memberi rizkinya. (TQS. Hud [11]: 6)




Jika demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah.


Dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan dengan fakta.


Secara i’tiqadiy, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt. untuk manusia pasti mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut.


Islam adalah sistem hidup yang shahih. Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiyah, kultural, maupun sruktural. Hanya saja, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi kemiskinan, dapat dijelaskan sebagai berikut:






  1. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Primer


Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia terdiri dari pangan, sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.


Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu, tidak berarti negara akan membagi-bagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap saat. Sehingga terbayang, rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme-mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. Mekanisme tersebut adalah:






  1. Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah Kepada Diri dan Keluarganya.




Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Allah Swt. berfirman:




فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ


Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rizeki-Nya. (TQS. al-Mulk[67]: 15)




Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengan Rasulullah saw. bersabda:




Salah seorang diantara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya5




Ayat dan hadits di atas menunjukan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara’ juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Allah Swt. berfirman:




وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ


Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)




أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ


Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu. (TQS. ath-Thalaq [65]: 6)




Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.






  1. Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya




Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian keadaannya lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya?




Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka. Allah Swt. berfirman:




وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ


Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian… (TQS. al-Baqarah [2]: 233).




Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkan dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi. Melainkan, yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris.6




Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya.


Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.




Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya. Rasulullah saw. bersabda:






Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan (HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah)






Tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan (HR. Nasa’i, Muslim, dan Ahmad dari Abu Harairah)




Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya keperluan) di sini adalah harta di mana manusia (dengan keadaan yang dimilkinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya.7






  1. Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin




Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, akan tetapi hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah Saw. pernah bersabda:




Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang, meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami. (HR. Imam Muslim)




Yang dimaksud kalla adalah oang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua.




Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah Swt.. berfirman:




إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ

Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin… (TQS. at-Taubah [9]: 60)




Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.






  1. Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin




Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum Muslim secara kolektif. Allah Swt. berfirman:




وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bahagian. (TQS. adz-Dzariyat [51]: 19)




Rasulullah saw. juga bersabda:




Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka. (HR. Imam Ahmad)




Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya. (HR. al-Bazzar)




Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum Muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya, hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika, dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.




Demikianlah mekanisme bagaimana Islam mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak mampu, maka kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban beralih ke Baitul Mal dari kas zakat. Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke seluruh kaum Muslim. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum Muslim secara individu membantu orang yang miskin; dan negara memungut dharibah (pajak) dari orang-orang kaya, hingga mencukupi.






  1. Pengaturan Kepemilikan


Pengaturan kepemikikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini, sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Bahkan, pengaturan kepemilikan dalam Islam, memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah.


Pengaturan kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana pengaturan kepemilikan ini dapat mengatasi masalah kemiskinan, dapat dijelaskan secara ringkas sebagai merikut.






  1. Jenis-jenis Kepemilikan


Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin dari as-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu zat atau benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.






  • Kepemilikan individu adalah izin dari Allah Swt.. kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu.




Allah Swt. telah memberi hak kepada individu untuk memiliki harta baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Tentu sepanjang harta tersebut diperoleh melalui sebab-sebab yang dibolehkan, misalnya: hasil kerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan lain-lain.




Adanya kepemilikan individu ini, menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta, guna mencukupi kebutuhannya. Sebab, secara naluriah, manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta. Dengan demikian, seseorang akan berusaha agar kebutuhannya tercukupi. Dengan kata lain, dia akan berusaha untuk tidak hidup miskin.






  • Kepemilikan Umum adalah izin dari Allah Swt.. kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu.




Aset yang tergolong kepemilikan umum ini, tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu, atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan persengkataan jika ia lenyap8, misalnya: padang rumput, air, pembangkit listrik, dan lain-lain; kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu9, misalnya: sungai, danau, laut, jalan umum, dan lain-lain; ketiga, barang tambang yang depositnya sangat besar, misalnya: emas, perak, minyak, batu bara, dan lain-lain.




Dalam prakteknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh negara, dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat. Bisa dalam bentuk harga yang murah, atau bahkan gratis, dan lain-lain. Adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini, jelas menjadikan aset-aset startegis masyakat dapat dinikmati bersama-sama. Tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa; sebagaimana yang tejadi dalam sistem kapitalis. Dengan demikian masalah kemiskinan dapat dikurangi, bahkan diatasi dengan adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini.






  • Kepemilikan Negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum Muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah (sesuai ijtihadnya) sebagai kepala negara




Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini di antaranya adalah: fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat negara, misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain.




Adanya kepemilikan negara dalam Islam, jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan demikian negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin.






  1. Pengelolaan Kepemilikan


Pengelolaan kepemilikan dalam Islam mencakup dua aspek, yaitu pengembangan harta (tanmiyatul Mal) dan penginfaqkan harta (infaqul Mal).




Baik pengembangan harta maupun penginfaqkan harta, Islam telah mengatur dengan berbagai hukum. Islam, misalnya, melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara ribawi, atau melarang seseorang bersifat kikir, dan sebagainya. Atau misalnya, Islam mewajibkan seseorang untuk menginfaqkan (menafkahkan) hartanya untuk anak dan istrinya, untuk membayar zakat, dan lain-lain. Jelaslah, bahwa dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan, akan menjadikan harta itu beredar, perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan bisa diatasi.






  1. Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat


Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat telah menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Oleh karena itu, masalah pengaturan distribusi kekayaan ini, menjadi kunci utama penyelesaian masalah kemiskinan.




Dengan mengamati hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum hukum-hukum tersebut senatiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan secara adil dalam masyarakat. Apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang jenis-jenis kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan, jelas sekali, secara langsung atau tidak langsung mengarah kepada terciptanya distribusi kekayaan.




Kita juga dapat melihat, misalnya, dalam hukum waris. Secara rinci syariat mengatur kepada siapa harta warisan harus dibagikan. Jadi seseorang tidak bisa dengan bebas mewariskan hartanya kepada siapa saja yang dikehendaki. Sebab, bisa berpotensi pada distribusi yang tidak adil.




Lebih dari itu, negara berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada soseorang yang mampu untuk mengelolanya. Bahkan setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan, bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.






  1. Penyediaan Lapangan Kerja


Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadits Rasululah saw.:




Seorang iman (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya). (HR. Bukhari dan Muslim)


Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau saw. bersabda:




Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja.




Demikianlah, ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif, sehingga kemiskinan dapat teratasi.






  1. Penyediaan Layanan Pendidikan


Masalah kemiskinan sering muncul akibat rendahnya kualitas sumberdaya manusia, baik dari sisi kepribadian maupun ketrampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural. Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layana pendidikan oleh negara. Hal ini dimungkinkan, karena pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki ketrampilan untuk berkarya.


Syariat Islam telah mewajibkan negara untuk menyediakan layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sebab, pendidikan memang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat. Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan selanjutnya akan mewujudkan individu-individu yang kreatif, onovatif, dan produktif. Dengan demkian kemiskinan kultural akan dapat teratasi.



Keberhasilan Islam dalam Mengatasi Kemiskinan


Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, sebagimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah.


Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah: “Jika kamu meberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya berkata lagi: “Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang diantara mereka memiliki seratus onta”.10 Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum Muslim yang tidak mampu; membayar hutang-hutang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.


Kodisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu rakyat sudah sampai pada taraf hidup dimana mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut: “Telitilah, barang siapa berhutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah hutangnya”. Kemudian gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau: “Sesungguhnya aku telah melunasi hutang orang-orang yang mempunyai tanggungan hutang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai hutang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban: “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya” Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perinahnya, tetapi harta masih juga tersisa. Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya: “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah11 yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat mensejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah diantara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Kemanakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.12


Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim. Dalam hal ini, orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah, mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam aqad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Dan untuk selajutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum Muslim.”13 Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra.


Umar bin Khatab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar detapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaanya. Umar berkata: “Kita telah bertindak tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian menelantarkannya kala dia sudah lajut usia.14


Demikianlah beberapa gambaran sejarah kaum Muslim, yang menunjukkan betapa Islam yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat Muslim tapi juga bagi umat non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam.



Khatimah


Islam bukanlah agama ritual semata, melainkan sebuah ideologi. Sebagai sebuah ideologi yang shahih, tentu Islam memiliki cara-cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problematika manusia, termasuk problem kemiskinan. Dari pebahasan ini, tampak bagaimana kehandalan Islam dalam mengatasi problem kemiskinan. Apabila saat ini kita menyaksikan banyak kemiskinan yang justru melanda umat Islam, hal itu disebabkan karena mereka tidak hidup secara Islam. Sistem hidup selain Islam-lah (Kapitalis, Sosialis/Komunis) yang mereka terapkan saat ini, sehingga meskipun kekayaan alamnya melimpah, tetap saja hidup dalam kemiskinan. Allah Swt. berfirman:




وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (TQS. Thahaa[20]: 124)




Jika demikian halnya, masihkah umat ini tetap rela hidup tanpa syariat Islam?



1 Disampaikan dalam acara Diskusi Publik “Selamatkan Indonesia dengan Syariah” Hizbut Tahrir Indonesia, di Jakarta 4 Agustus 2002.



2 Republika, 28 Agustus 2000



3 An-Nabhani, Taqiyuddin., Nadzamul Iqtishadiy fil Islam, hal. 207; Abdul Qadim Zallum, al-Amwal fi Daulatil Khilafah, hal 192; Sulaman Rasjid, Fiqh Islam, hal 207.



4 Al-Maliki, Abdurahman., as-Siyasatu al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, hal. 176. 1963



5 HR. Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi dari Abu Hurairah



6 Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzamul Iqtishadi fil Islam,. Daarul Ummah, Cetakan ke-4, 1990, hal. 210



7 Al-Maliki, Abdurahman., as-Siyasatu al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, hal. 176. 1963



8 Rasulullah bersabda: “Manusia berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api”



9 Rasulullah bersabda: “Tidak ada pagar pembatas kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya” Artinya tidak ada hak bagi seorang pun untuk membuat batas atau pagar atas segala sesuatu yang diperuntukkan bagi masyarakat.



10 Abdurrahman al-Bagdadi, Ulama dan Penguasa di Masa Kejayaan dan Kemunduran, Gema Insani Press, Jakarta, 1988, hal. 38.



11 Orang non-Muslim yang hidup di bawah naungan Negara Khilafah.



12 Ibid. hal. 39



13 Diriwayatkan dari Abu Yusuf dalam kitabnya al-Kharaj, hal. 144.



14 Ibid, hal. 126.

Sunday, July 20, 2008

Documentary: Khilafah the need for change



Source : www.khilafah.com

Notes and coins of the Khilafah's currency



Source : www.khilafah.com

Currency of the Khilafah

Oleh Abdul-Kareem

The Khilafah's currency is based on the gold and silver standards where the coins and notes in circulation are 100% backed by gold and silver. Islam did not leave any question unanswered, especially questions concerning the complexities of economic life. The Shari'ah has therefore defined the Islamic currency as gold dinars and silver dirhams along with their corresponding weights in gold or silver. The Shari'ah rules related to money such as zakat, blood money (diyah) and hoarding all specify values in gold and silver.[1]

Unlike the paper standard operating in the world today, the Bait ul-Mal (State Treasury) is not allowed to print any money unless it has the corresponding amounts of gold and silver in its reserves. This means the persistent inflation found in the world today would not exist in the Khilafah as the currency always keeps its value.


To illustrate this point when the UK operated the gold standard in the 19th and early 20th century its price level in 1914 was the same as in 1816.[2] However, after abolishing the gold standard and operating a purely paper currency, the UK faced persistent inflation with a yearly increase in the price level. Over a fifty year period from 1948 to 1998 the price level was 19 times higher in 1998 than in 1948.[3]

Nowadays, it's impractical to actually use gold and silver coins for transactions as happened historically, so paper banknotes and copper, nickel and zinc coins would be used for day to day purchases. However, these paper notes and metal coins must be 100% redeemable at any time in to their corresponding amounts of gold and silver, with a small administrative charge to cover the minting process.

The Khilafah operates a bi-metallic standard with gold and silver currency circulating within the economy at the same time. This means the Khilafah is in fact operating two separate currencies.

At the time of the Messenger (saw) and the Khulufa'a Rashideen the Muslims traded with gold and silver by weight. They did not mint a distinct currency for the state and instead used gold and silver in many forms. They used Byzantine Dinars and Persian Dirhams as well as gold dust, ingots and jewellery. The traders would weigh the gold and silver, and value it accordingly. This continued until the time of Khaleefah Abdul-Malik ibn Marwan in 77AH, when he began minting Islamic dinars and dirhams in their Shari'ah weights of gold and silver.

When the future Khilafah is established it will take some time before the old currency notes and coins in circulation e.g. Pakistani PKR's or Indonesian IDR's, can be completely abolished and replaced with minted dinars and dirhams. This is not a problem as long as the Khilafah from day one makes the PKR or IDR 100% backed by gold or silver.

A simplified example of how this would work is as follows. The Khilafah calculates the total value of its gold and silver reserves and then fixes their value to the total amount of PKR's or IDR's in circulation as best it can. Depending on its reserves it may decide to link the existing currency in circulation to silver and then issue a separate currency for gold or vice-versa.

The current market rate for silver is $18.12.[4] A silver dirham is 2.975g in weight. An Islamic dirham is therefore worth approx. $1.90, PKR 132.57 or IDR 17,511.70.

The current market rate for gold is $934.00.[5] A gold dinar is 4.25g in weight. An Islamic dinar is therefore worth approx. $140.02, PKR 9,762.19 or IDR 1,289,493.11.

Therefore silver is a better choice for small to medium transactions whereas gold is more suited for medium to high transactions, especially in the short term before the Khilafah mints a new currency that formally replaces PKR's or IDR's in circulation.

Since Allah (swt) has blessed the Muslim Ummah with an abundance of wealth and natural resources increasing the gold and silver reserves of the state is not a problem. The Khilafah will immediately price all sales of oil, gas and other resources in gold and silver and therefore break the link between these resources and the dollar. The international money markets would be forced to deal in gold dinars and silver dirhams since the west's addiction to oil will continue for many years to come. Interestingly at the time of writing the oil price is $144.18 and a gold dinar is worth $140.02. A barrel of oil therefore equals roughly 1 dinar.

As regards the practicalities of minting notes and coins, what monetary units should be produced and designs etc., these are all styles and up to the Khaleefah to adopt as he deems best for the economy.

The gold dinar (4.25g) is the monetary unit of the Islamic State's gold currency. The dinar can be sub-divided in to 1000 fulus. Historically fils (p. fulus) was the name given to copper coins. Today the name fils will mean gold coins that are divisions of a dinar.

The silver dinar (2.975.g) is the monetary unit of the Islamic State's silver currency. The dirham was historically divided into 100 piastres in the Ottoman State. Piastres are therefore silver coins that are divisions of a dirham.

The following tables show examples of how gold dinars and silver dirhams can be minted by the Khilafah for use in everyday transactions. It also shows the current levels of the Zakat Nisab (limit over which zakat must be paid). The fils and piastre are small enough for purchasing everyday items such as bread and milk. The table uses four currencies for illustrative purposes: US dollars, UK Pounds, Pakistan Rupees (PKR) and Indonesian Rupiah (IDR).




1ounce gold = $934.00

1g gold = $32.95

Source: NY Gold Market. http://www.kitco.com/ 4th July 2008

Please note gold prices change on a daily basis.



1oz silver = $18.12

1g silver = $0.64

Source: NY Silver Market. http://www.kitco.com/ 4th July 2008

Please note silver prices change on a daily basis.

=================================================================

[1] Abdul-Qadeem Zalloom, ‘Funds in the Khilafah State,' translation of Al-Amwal fi Dowlat Al-Khilafah, Al-Khilafah Publications, 1988, p. 169

[2] Begg, Fischer, Dornbusch, ‘Economics,' 8th Edition, Mcgraw Hill, 2005, p. 591

[3] Robert Twigger, ‘Inflation: the Value of the Pound 1750-1998,' ECONOMIC POLICY AND STATISTICS SECTION, House of Commons Library,' 1999

[4] NY Silver Market. http://www.kitco.com/ 4th July 2008

[5] NY Gold Market. http://www.kitco.com/ 4th July 2008


Source : www.khilafah.com

Monday, July 07, 2008

Penerapan Syariah Islam di Indonesia : Tantangan dan Agenda




Ir. Muhammad Ismail Yusanto, MM

1.Pendahuluan
Aspirasi umat Islam di Indonesia untuk menerapkan syariah Islam sebenarnya tidak pernah sirna dari waktu ke waktu. Bahkan selepas era Suharto yang represif, aspirasi umat itu makin bergelora. Sebagai bukti misalnya, setelah berlaku UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah beberapa bagian syariah Islam mulai diterapkan di beberapa daerah di Indonesia. Selain di propinsi Aceh, sebagian elemen syariah diformalisasikan melalui peraturan daerah di beberapa propinsi lain, seperti di Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat (Kabupaten Tasikmalaya dan Cianjur), Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur (Kabupaten Pamekasan).
Selain upaya legislasi formal di atas, aspirasi syariah Islam juga dapat dilihat pada perkembangan wacana, sikap individu, dan tindakan konkret. Pada tahun 1999-2001 misalnya, digelar berbagai seminar tentang syariah Islam dengan topik beragam, mulai perbankan Islam, hukum pidana Islam, sampai pemerintahan Islam. Pada akhir Maret 2001, dijatuhkan hukuman rajam terhadap seorang pemerkosa oleh sebagian masyarakat Ambon di bawah inisiatif Ustadz Ja’far Umar Thalib (pimpinan Laskar Jihad). Pada bulan Mei 2001, di daerah Aceh, pasangan Zulkarnaen dan Upik dari desa Mata Ie, Blang Pidie, dicambuk 100 kali karena berzina. Ini semua merefleksikan keinginan sebagian masyarakat Indonesia untuk menerapkan syariah Islam.

Namun demikian, segera saja berbagai tantangan dan problem menghadang aspirasi ini. Sekelompok kaum muda sekuler –yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal— malah menyerukan wacana “deformalisasi syariah Islam.” Menurut mereka, syariah Islam secara formal tidaklah perlu, karena poin dasar keberislaman adalah komitmen kepada agama secara substansialistik, bukan legalistik-formalistik. Indonesia menurut mereka bukan negara agama, sehingga tidak layak menerapkan syariah Islam secara total. Berbagai dalih untuk menolak syariah Islam pun banyak bermunculan di media. Misalnya jika syariah Islam diterapkan akan menzalimi penganut agama lain, jika syariah Islam diterapkan lalu syariah yang manakah sebab di sana keberagaman syariah, juga misalnya syariah Islam rawan intervensi negara.
Sampai di sini, jelas bahwa menerapkan syariah bukan sesuatu yang mudah di Indonesia. Banyak tantangan yang menghadang dan menghambat. Namun tentu saja tantangan ini bukanlah untuk dihindari, melainkan untuk dijawab dan dihadapi. Selain itu, diperlukan pula suatu agenda yang jelas dan terarah mengenai perjuangan menerapkan syariah di Indonesia.

2.Tantangan Terbesar : Sekularisme
Tantangan terbesar penerapan syariah di Indonesia adalah ketidakmampuan sistem hukum nasional untuk mendukung penerapan syariah secara total (kaffah). Dengan kata lain, negara Indonesia pada dasarnya tidak didesain untuk menerapkan seluruh syariah Islam dalam segala aspek kehidupan. Syariah hanya mengurusi sebgian kecil aspek kehidupan rakyat, khususnya dalam hukum-hukum keluarga, seperti nikah, waris, perceraian, dan sebagainya. Syariah tidak punya peran dalam mengatur kehidupan publik, seperti sistem pemerintahan dan sistem ekonomi.
Ini sebenarnya kembali pada satu sebab mendasar, yakni negara Indonesia adalah negara sekuler yang tidak menjadikan agama sebagai landasan pengaturan kehidupan secara menyeluruh. Sekularisme --pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah)-- yang dibawa oleh kolonialisme-imperialisme Barat di Indonesia ternyata telah menghasilkan reduksi atau pengkerdilan syariah Islam dari cakupan kewenangan yang seharusnya. Semestinya syariah mengatur segala aspek kehidupan, tapi kenyataannya hanya mengatur sebagian kecil dari aspek kehidupan umat Islam di Indonesia.
Sebagai buktinya, bisa kita lihat sejauh mana kewenangan dari Peradilan Agama yang dianggap mencerminkan penerapan syariah Islam di Indonesia. Pada dasarnya, dapat dikatakan bahwa kewenangan Peradilan Agama yang didasarkan pada UU No. 7 tahun 1989 (disahkan 29 Desember 1989), tidak banyak berbeda dengan kewenangan Peradilan Agama (Priesterraad) di masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1823, dengan Resolusi Gubernur Jenderal No. 12 tertanggal 3 Juni 1823, diresmikan Pengadilan Agama di Palembang dengan wewenang meliputi : (1) Perkawinan, (2) Perceraian, (3) Pembagian Harta, (4) Kepada siapa anak diserahkan jika orang tuanya bercerai, (5) Apakah hak tiap-tiap orang tua yang bercerai itu terhadap anak mereka, (6) Pusaka dan wasiat, (7) Perwalian, dan (8) Perkara-perkara lain yang menyangkut agama.
Tetapi, pada tahun 1854, terjadilah pembatasan kewenangan Peradilan Agama oleh penjajah Belanda. Melalui pasal 78 Regeeringsreglement (RR) 1854 (Stbl. 1855 No. 2) diputuskan bahwa : (1) Peradilan Agama tidak berwenang dalam perkara pidana, dan (2) Peradilan agama baru berwenang jika menurut hukum-hukum agama atau adat-adat lama, suatu perkara harus diputus oleh Peradilan Agama.
Jelaslah, berbagai kewenangan Pengadilan Agama pada masa penjajahan lebih banyak mengatur hukum keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah) dan sama sekali dilarang mengatur urusan publik, seperti hukum pidana. Karena dilarang oleh penjajah. Mari kita bandingkan fakta masa penjajahan tersebut dengan fakta saat ini. Sesuai UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kewenangan Peradilan Agama meliputi : (1) Perkawinan, (2) Sengketa Perkawinan dan Perceraian, (3) Kewarisan, Wasiat, dan Hibah, (4) Wakaf dan Sedekah. Adapun urusan perkawinan, pada masa Orde Baru diterapkan juga UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 sebagai koreksi dari beberapa persepsi ganda –antara UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dengan UU Peradilan Agama No. 7 tahun 1989-- kewenangan Peradilan Agama meliputi : (1) Perkawinan, (2), Kewarisan, dan (3) Hukum Perwakafan.
Jelaslah, bahwa kewenangan-kewenangan di masa kemerdekaan ini tidak banyak berbeda dengan kewenangan pada masa penjajahan Belanda dahulu, yang hanya menerapkan hukum-hukum keluarga. Padahal, syariah Islam tidak hanya mencakup hukum keluarga. Syariah Islam juga meliputi hukum pidana, hukum dagang, hukum tata negara, hukum acara, hukum ekonomi, hukum sosial, hukum internasional, hukum perang dan damai, dan sebagainya.
Jadi, mengapa Peradilan Agama pada masa kemerdekaan ini tidak mempunyai kewenangan yang lebih luas sehingga juga mengatur hukum pidana, atau hukum tata negara, misalnya? Apakah syariah Islam hanya mengatur hukum-hukum keluarga saja?
Jawaban pertanyaan ini kembali pada satu akar mendasar, yaitu karena secara ideologis negara Indonesia memang negara yang diformat secara sekularistik, sehingga tidak mempunyai kesiapan untuk menegakkan syariah Islam secara totalitas. Syariah Islam mengalami distorsi atau bahkan reduksi otoritas yang sedemikian parah.
Dan ironinya, prinsip sekularisme yang menyebabkan keterbatasan kewenangan syariah Islam ini, sesungguhnya adalah warisan dari kebijakan politik penjajah Belanda yang cenderung memarjinalkan agama dari ranah politik dan kekuasaan. Sikap dan kebijakan penguasa Indonesia sekarang tidak berbeda banyak dengan sikap penjajah Belanda dalam memposisikan agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Snouck Hurgronje dulu pernah memberi advis kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengekalkan jajahannya di Indonesia. Snouck Hurgronje membagi Islam ke dalam tiga kategori: (1) bidang agama murni dan ibadah, (2) bidang sosial kemasyarakatan, (3) bidang politik. Masing-masing bidang mendapat perlakuan yang berbeda. Resep Snouck Hurgronje inilah yang dikenal sebagai "Islam Politiek", atau kebijakan pemerintah kolonial untuk menangani masalah Islam di Indonesia. Dalam bidang agama murni atau ibadah, seperti ibadah haji, pemerintah kolonial pada dasarnya memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda, dan bahkan membantu rakyat menempuh jalan tersebut. Dan dalam bidang politik, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan-Islamisme. Sebab hal ini dianggap akan bisa menimbulkan perlawanan kepada penjajah Belanda. Jadi, seperti ungkapan Aqib Suminto dalam bukunya Politik Islam Hindia Belanda, Snouck Hurgronje hendak membatasi Islam menjadi agama masjid belaka.
Semestinya pandangan yang sekularistik dari penjajah itu lenyap dengan merdekanya Indonesia tahun 1945. Tapi sayang itu tak terjadi. Padahal sekularisme itu sendiri adalah konsep partikular dan lokal, yaitu tumbuh di masyarakat Barat, seperti Belanda, serta tidak bisa dipaksakan berlaku secara universal atas Dunia selain-Barat, seperti Indonesia. Dalam kaitan ini Th. Sumartana mengatakan :

“Apa yang sudah terjadi di Barat sehubungan dengan hubungan antara agama dan negara, sesungguhnya dari awal bercorak lokal dan berlaku terbatas, tidak universal. Dan prinsip-prinsip yang dilahirkannya bukan pula bisa dianggap sebagai resep mujarab untuk mengobati komplikasi yang terjadi antara negara dan agama di bagian dunia yang lain.”

Negara Indonesia yang lahir tahun 1945 ternyata malah meneruskan dan melestarikan paham sekularisme yang sesungguhnya merupakan pengalaman lokal dan sempit dari masyarakat Barat. Kendatipun tidak pernah secara terus terang diakui Indonesia sebagai negara sekuler, tapi fakta membuktikan, bahwa posisi agama Islam masih saja dianggap sebagai “agama masjid” seperti keinginan Snouck Hurgronje. Ini menunjukkan bahwa negara ini memang tidak didesain untuk menerapkan syariah secara total sebagai peraturan bermasyarakat dan bernegara. Inilah tantangan terbesar yang dihadapi dalam upaya penerapan syariah Islam di Indonesia.

3.Tantangan Lain Akibat Sekularisme
Diyakini, suatu pondasi yang rapuh tidak mungkin dapat menegakkan suatu bangunan yang kukuh. Pondasi yang rapuh malah akan banyak menimbulkan bahaya dan masalah bagi penghuninya. Demikian pula sistem hukum Indonesia yang didasarkan pada falsafah sekularisme, ternyata banyak menimbulkan problem-problem cabang yang menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam di Indonesia.
Tantangan-tantangan ini secara umum muncul karena kedudukan syariah Islam yang tidak menguntungkan dalam sistem hukum di Indonesia. Sebab sekularisme telah mengakibatkan syariah Islam tidak mungkin menjadi hukum tunggal bagi Indonesia. Secara ringkas, sistem hukum Indonesia terdiri dari 3 (tiga) macam hukum : (1) Hukum Sipil, (2) Hukum Adat, dan (3) Hukum Islam (syariah).
Kondisi tersebut melahirkan problem antara lain :

3.1. Kontradiksi Hukum Positif dengan Norma Syariah Islam
Masalah lain akan timbul tatkala hukum Barat (Belanda) dihadapkan dengan syariah Islam. Sebab hukum sipil Belanda, sebagaimana hukum pidana Belanda, didasarkan pada falsafah hidup yang sangat berbeda dengan syariah Islam. Hukum sipil Belanda tumbuh dan berkembang dari asas-asas moral dan etika Kristen. Ini adalah pendapat sarjana hukum Belanda sendiri, antara lain Prof. Von L.J.V. Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot Studie van Het Nederlandse Recht. Di bidang hukum pidana (KUHP) yang juga peninggalan penjajah Belanda, falsafah yang mendasarinya pun sangat bertolak belakang dengan syariah Islam. Misalnya dalam kejahatan kesusilaan, KUHP pasal 284 berbunyi : "Barangsiapa melakukan persetubuhan dengan laki-laki atau perempuan yang bukan suami atau istrinya, maka diancam dengan sanksi pidana." Jadi perzinaan hanya terjadi jika kedua pelakunya sudah menikah. Pasal ini tidak melarang hubungan seksual yang dilakukan secara suka sama suka oleh kedua orang yang belum menikah (fornication), tidak melarang homoseksual, dan tidak melarang hubungan seksual dengan binatang (bestiality).

3.2. Lemahnya Kedudukan Syariah Islam
Walaupun sebagian syariah Islam sudah diberlakukan di lingkunga Peradilan Agama dengan adanya KHI (Kompilasi Hukum Islam) berdasarkan Inpres No. 1/1991, tetapi kedudukannya sangat lemah. Sebab, KHI tidak termasuk jenis perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. KHI tidak termasuk hukum tertulis, meskipun ia dituliskan, tetapi hanya menunjukkan adanya hukum tidak tertulis yang hidup secara nyata di masyarakat.
Karena KHI bukan hukum tertulis, maka jika terjadi “persaingan” antara hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis, berarti hukum yang tertulis-lah yang diutamakan. Jadi, KHI adalah anak tiri dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.

3.3. Munculnya Kemunafikan Akibat Praktik Pilihan Hukum
Soal pilihan hukum, ditegaskan dalam penjelasan UU No. 7/1989 (Peradilan Agama) yang berbunyi,”Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian waris.” Hal inilah yang umum dikenal dengan sebagai “pilihan hukum”.
Jika ditafsirkan secara negatif, berarti umat Islam boleh tidak tunduk kepada hukum Islam dan Pengadilan Agama. Ini sangat menyedihkan, sebab berarti orang Islam dipersilahkan menjadi orang munafik yang ambigu atau “manusia-manusia yang terbelah” antara hukum Islam dan hukum selain Islam.
Kondisi ini sebenarnya melestarikan apa yang pernah ada pada masa penjajahan. Pada tahun 1937, berdasarkan Stbl. 1937:116, kewenangan waris Pengadilan Agama dipindahkan ke Pengadilan Negeri di Jawa, Madura, dan Kalimantan. Sejak itu ambiguitas umat Islam muncul dalam masalah pembagian waris.
Lahirnya keadaan ini memang tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip yang berlaku dalam lembaga-lembaga hukum penjajah yang kafir, seperti prinsip “tunduk dengan sukarela pada hukum lain’ (vrijwillige onderwerping), “wajib berlakunya hukum golongan lain” (toepassellige verklaring), dan “penerimaan hukum atau sistem hukum lain” (positief-rechtelijke receptie).

3.4. Tidak Mandirinya Peradilan Agama
Dalam sistem peradilan di Indonesia, syariah Islam bukan satu-satunya hukum positif yang berlaku. Syariah Islam hanya berlaku dalam lingkungan Pengadilan Agama. Sedang pada tiga lingkungan pengadilan lain, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara, syariah Islam tidak berlaku.
Situasi tersebut jelas menjadikan Peradilan Agama tidak mempunyai kemandirian yang penuh. Dalam hal sengketa perdata (selain hukum keluarga) seperti utang piutang, faktanya Pengadilan Agama hanyalah sekedar subordinasi pengadilan umum.

4.Tantangan Terhadap Penerapan Syariah
Di samping berbagai masalah sistemik yang lahir akibat sistem hukum sekularistik seperti diuraikan di atas, berbagai tantangan juga muncul di tengah masyarakat, khususnya bagi mereka yang memperjuangkan penerapan syariah Islam. Secara umum, tantangan ini ada dua macam :

4.1.Tantangan Pemikiran (Fikrah)
Tantangan ini merupakan tantangan konseptual mengenai gambaran syariah Islam seperti apa yang ingin diterapkan. Paling kurang tantangan ini terwujud pada dua pihak :
Pertama, pihak yang hendak memperjuangkan syariah. Bagi yang pro-syariah ini, tantangan pemikiran ini terletak pada kejelasan konsep syariah yang akan diterapkan. Selama ini belum ada individu atau gerakan yang mengajukan tawaran paripurna mengenai bagaimana syariah Islam diterapkan secara totalitas, baik dalam sistem pidana, sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Memang sudah ada beberapa pihak yang mencobanya, namun sifatnya hanya parsial, misalnya konsep hukum pidana Islam yang digagas oleh Topo Santoso dalam bukunya Membumikan Hukum Pidana Islam. Para pejuang syariah ini masih juga mendapat hambatan dari sementara kalangan sekuler yang anti syariah, sehingga beban perjuangannya menjadi semakin berat, justru oleh orang Islam itu sendiri.
Kedua, pihak masyarakat umumnya, yang kesadarannya terhadap perjuangan penegakan syariah masih rendah. Ini dapat dilihat misalnya dari hasil survei Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada Juli-Agustus 2003 di 32 propinsi tentang alasan apa yang membuat umat Islam tertarik pada partai Islam pada Pemilu 2004. Di antara pertanyaannya : Apakah umat Islam Indonesia tahu alasan memilih partai Islam (PPP, PBB, PKS, PBR, PNUI)? Ternyata jawabannya : 30 % pemilih tahu alasannya, sedang 60 % pemilih tidak tahu alasannya. Kemudian, dari 30 % yang tahu alasannya itu ditanya lebih jauh, apakah alasan mereka memilih partai Islam? Jawabannya : 15 % karena partai Islam menegakkan nilai-nilai Islam; 12 % beralasan,”Karena kami anggota partai Islam itu; dan hanya 3 % yang beralasan karena partai Islam akan memperjuangkan Syariah.

4.2. Tantangan Metode Penerapan Pemikiran (Thariqah)
Tantangan berikutnya berupa tantangan metode (thariqah) yang bersifat praktis, yaitu apa dan bagaimana jalan yang akan ditempuh untuk merealisasikan konsep yang ada. Dalam masalah ini kebanyakan pihak mencoba merealisasikan konsepnya melalui sistem formal yang ada di Indonesia. Misalnya saja jalan amandemen UUD ’45 yang digagas oleh Majelis Mujahidin Indonesia. Pada tahun 2001 Majelis Mujahidin Indonesia menerbitkan buku berjudul Amandemen UUD ’45 Disesuaikan Dengan Syariat Islam.
Sementara itu Topo Santoso mengajukan beberapa langkah alternatif untuk penerapan syariah Islam di Indonesia. Yaitu melalui : (1) perubahan konstitusi, (2) mengubah sistem hukum nasional menjadi sistem hukum Islam, (3) islamisasi hukum nasional, (4) perluasan kompetensi Peradilan Agama, (5) memasukkan unsur/konsep hukum Islam tertentu dalam hukum nasional, dan (6) optimalisasi UU Pemerintahan Daerah.
Namun meski demikian, Topo Santoso sendiri pada akhirnya tidak menjelaskan mana metode yang menjadi pilihan utamanya.

5. Konsep dan Agenda Penerapan Syariah Islam
Dari uraian di atas, jelaslah diperlukan sebuah konsep dan agenda penerapan syariah yang paripurna, yang dimaksudkan untuk menjawab berbagai tantangan yang ada. Baik tantangan ideologis yang mendasar, yakni eksistensi sekularisme, maupun tantangan sistemik yang lahir akibat sistem hukum yang sekularistik itu. Termasuk juga tantangan penerapan syariah, baik dalam tataran fikrah (ide) maupun thariqah (metode).
Konsep dan agenda penerapan syariah ini meliputi 3 (tiga) hal pokok :
Konsep perubahan total (taghyir), untuk menjawab tantangan bercokolnya sekularisme di Indonesia,
Konsep formalisasi syariah, untuk menjawab tantangan fikrah dalam penerapan syariah secara garis besar dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
Agenda penerapan syariah, untuk menjawab tantangan thariqah dalam upaya mengubah kondisi Indoensia yang sekularistik saat ini menjadi kondisi Islami yang kondusif untuk formalisasi syariah.

5.1. Konsep Perubahan Total
Kami secara radikal memandang bahwa keberadaan sekularisme di Indonesia adalah problem utama yang harus diselesaikan. Dan solusinya tidak dapat dilakukan dengan melakukan perubahan reformatif yang bersifat parsial (ishlah), misalnya mengubah sistem hukum, atau salah unsur sistem hukum yang sekarang ada di Indonesia. Yang seharusnya dilakukan adalah melakukan perubahan revolusioner yang bersifat total secara mendasar (taghyir).
Taghyir adalah perubahan yang bersifat total yang diawali dari asas (ide dasar/aqidah). Asas ini merupakan ide dasar yang melahirkan berbagai ide cabang. Dalam individu seorang muslim, juga dalam masyarakat Islam, yang menjadi asas, adalah Aqidah Islamiyah. Perubahan total ini tertuju pada kerusakan sesuatu yang bersifat mendasar dan fatal, sehingga harus diadakan perubahan pada asasnya, yang berlanjut pada cabang-cabangnya. Ishlah adalah perubahan yang bersifat parsial. Asumsinya, asas yang ada masih selamat/benar, atau hanya terkotori oleh sesuatu ide asing. Yang mengalami kerusakan bukan pada asasnya, tetapi cabang-cabangnya. Maka, perubahan parsial ini hanya tertuju pada aspek cabang, bukan aspek asas.
Itulah konsep perubahan Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW kepada Muadz bin Jabal yang beliau utus ke Yaman :

“Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Maka ajaklah mereka bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Kalau mereka memenuhi seruan itu, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka melakukan shalat lima kali sehari-semalam. Kalau mereka memenuhi seruan itu, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat pada harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari, hadits no. 686 dan no. 721. H.R. Muslim, hadits no. 501).

Hadits di atas jelas menunjukkan, bahwa untuk melakukan perubahan pada aspek cabang (pelaksanaan shalat dan zakat), tidaklah bisa dilakukan langsung pada orang non-muslim. Tetapi harus diawali dan didahului dengan mengubah aspek asas, yaitu mengajak orang non-muslim untuk memeluk Aqidah Islamiyah.
Metode perubahan pada individu tersebut juga berlaku untuk perubahan pada negara. Sebab sebuah negara pada dasarnya juga didasarkan pada suatu asas, sebagaimana halnya individu. Negara diatur oleh berbagai peraturan yang berpangkal pada konstitusi (UUD). Konsitusi ini lahir dari sumber-sumber hukum (mashadir al-ahkam), dan pada akhirnya sumber-sumber hukum ini berasal dari sebuah asas (ide dasar/aqidah).
Maka dari itu, jika sebuah negara mengalami kerusakan dan penyimpangan, haruslah dilihat dulu faktanya. Apakah negara itu merupakan negara yang berasaskan Aqidah Islamiyah, ataukah sebuah negara yang asasnya bukan Aqidah Islamiyah. Jika asasnya Aqidah Islamiyah, maka negara itu hanya membutuhkan ishlah, bukan taghyir. Negara Khilafah Utsmaniyah di Turki pada abad ke-18 dan ke-19, misalnya membutuhkan ishlah, bukan taghyir. Sebab negara itu asasnya sudah benar, yakni Aqidah Islamiyah. Hanya saja negara tersebut mengalami kemerosotan dalam pemahaman Islam dan penerapannya dalam realitas kehidupan. Maka dari itu, tidak tepat jika dilakukan upaya taghyir, dengan mengubah sistem kenegaraan secara total, seperti yang dilakukan Musthofa Kamal Ataturk. Upaya ini jelas salah alamat. Ini seperti halnya ada orang muslim yang malas shalat, lalu diperbaiki dengan cara dimurtadkan sekalian. Padahal seharusnya cukup dinasehati dan didakwahi.
Adapun jika negara yang ada tidak didirikan atas asas Islam, seperti negara-negara yang ada di Dunia Islam saat ini, maka yang diperlukan bukanlah ishlah, tetapi taghyir. Jika sebuah negara mengalami kerusakan dalam sistem hukumnya, misalkan, maka mereformasi sistem hukumnya tidaklah cukup. Apalagi sekedar substansi atau sturukturnya. Yang wajib dilakukan adalah melakukan taghyir yang total, sejak dari asasnya yang kemudian menjangkau asas-asasnya, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem hukum, sistem pendidikan, dan seterusnya. Maka dari itu, tidaklah benar jika untuk negara semacam ini dilakukan ishlah, yaitu hanya sekedar memperbaiki sistem hukumnya, atau salah satu unsurnya, tanpa mengubah keseluruhannya sejak dari asas. Ini tak ubahnya seperti mengajak orang kafir untuk shalat. Padahal seharusnya dia harus diajak lebih dulu masuk Islam.

5.2. Konsep Formalisasi Syariah
Konsep formalisasi syariah ini paling tidak meliputi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut :
Apa definisi syariah?
Apa definisi formalisasi syariah ?
2. Mengapa harus formalisasi syariah ?
3. Siapa otoritas yang berhak melakukan formalisasi syariah ?
4. Apa instrumen formalisasi syariah ?
5. Bidang kehidupan apa saja yang diatur dalam formalisasi syariah ?

Definisi Syariah. Syariah menurut bahasa mempunyai beberapa arti. Di antaranya adalah mawrid al-maa` alladzi yustaqaa minhu bi-laa risyaa` (sumber air yang menjadi tempat pengambilan air tanpa tali timba), ath- thariqah (jalan), dan ‘atabah (tangga/pintu).
Secara terminologis syariah mempunyai dua makna, makna umum dan makna khusus. Makna umum syariah adalah sama dengan diinul Islam itu sendiri, yaitu keseluruhan agama Islam secara holistik yang meliputi aqidah dan hukum. Ibrahim Anis (1972) mendefinisikan syariah sebagai maa syara’a-llaahu li ibaadihi min ‘aqaaid wa ahkaam, yakni apa-apa yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, yang berupa aqidah (aqa`id) dan hukum-hukum (ahkam). Jadi syariah mencakup aqidah dan hukum.
Sedang makna khusus syariah, adalah hukum syara’ (al-hukm asy- syar’i), tidak mencakup masalah aqidah. Hukum syara’ adalah khithab asy- syari’ al-muta’alliqu bi af’al al-‘ibad (khithab Asy Syari’ [seruan/firman Allah] yang berkaitan dengan perbuatan hamba-hamba-Nya). Makna khusus inilah yang dimaksud dalam makalah ini. Dengan demikian istilah syariah dalam makna khusus ini --yang bermakna hukum syara’-- merupakan makna majazi (metaforis), bukan dalam makna hakikinya, yakni menyebutkan istilah syariah yang mencakup keseluruhan (aqidah dan hukum) tapi yang dimaksud adalah sebagian dari keseluruhan itu, yaitu masalah hukum saja. Dalam bahasan ilmu balaghah, penggunaan majazi ini disebut dengan ithlaqul kulli wa iradatul juz’i (totem pro parte).
Jadi pengertian syariah yang dimaksud di sini adalah hukum-hukum syara’ (al-ahkam asy-syar’iyyah). Syariah di sini tidak mencakup masalah-masalah keimanan (aqidah). Adapun fiqih, adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ tersebut yang diperoleh dari dalil-dalil syar’i yang rinci. Syariah menurut Muhammad Husain Abdullah (1995) mempunyai 3 cakupan : pertama, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, yaitu hukum-hukum ibadat; kedua, yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yaitu hukum-hukum makanan, minuman, pakaian, dan akhlaq; ketiga, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, yaitu muamalat dan uqubat (sanksi-sanksi).
Formalisasi Syariah. Pengertiannya dalam bahasa Arab sama dengan tabanni (adopsi/legislasi hukum), atau sann ad-dustur wa al-qawanin (penetapan UUD dan UU). Pengertiannya menurut Mufti dan Al Wakil (1992) adalah ja’l al-ahkam asy-syar’iyyah mulzimah (menjadikan hukum-hukum syara’ menjadi bersifat mengikat). Jadi formalisasi syariah adalah penetapan hukum-hukum syara’ menjadi peraturan yang mengikat dan berlaku secara umum bagi masyarakat.
Dengan pengertian ini, berarti suatu hukum syara’ itu pada asalnya tidaklah mengikat secara umum bagi masyarakat. Ia berlaku bagi mujtahid yang mengistinbath hukum syara’ itu dan juga bagi para muqallid yang mengikuti mujtahid itu. Namun hukum syara’ itu dapat berlaku mengikat secara umum bila telah diadopsi oleh penguasa umat Islam (khalifah) dan ditetapkannya sebagai undang-undang (qanun). Hukum syara’ itu lalu berlaku secara mengikat bagi para hakim, wali (gubernur) dan seluruh rakyat, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Khalifah Abu Bakar telah mengadopsi hukum bahwa ucapan thalaq yang diucapkan tiga kali jatuh thalaq satu, dan bahwa pembagian harta dari Baitul Mal adalah sama rata tanpa melihat siapa yang lebih dulu masuk Islam dan tanpa pertimbangan kebutuhan (al hajah). Sementara itu ketika Umar menjadi khalifah, dia mengadopsi hukum yang berbeda, yaitu bahwa ucapan thalaq yang diucapkan tiga kali jatuh thalaq tiga, dan bahwa pembagian harta dari Baitul Mal adalah tidak sama, tergantung pertimbangan siapa yang lebih dulu masuk Islam dan pertimbangan kebutuhan (a-l hajah). Hukum-hukum tersebut setelah diadopsi oleh khalifah menjadi mengikat dan berlaku secara umum bagi para hakim, wali (gubernur) dan seluruh rakyat. Umar bin Khaththab juga pernah mengadopsi hukum mengenai tanah Irak yang diperoleh sebagai ghanimah perang yang semuanya dijadikan milik Baitul Mal dan tidak dibagikan baik kepada para prajurit yang ikut perang maupun kepada kaum muslimin.
Dengan uraian singkat di atas juga diketahui bahwa masalah formalisasi syariah (tabanni al-hukm asy-syar’i) secara historis telah mulai ada sejak masa Khalifah Abu Bakar. Hanya saja sifatnya terbatas, yakni pada hukum-hukum khusus. Dalam perjalanan sejarahnya, pernah pula terjadi formalisasi syariah dalam arti luas, yakni yang diadopsi oleh khalifah bukan lagi hukum-hukum tertentu, tetapi satu madzhab tertentu. Kekuasaan Bani Ayyub mengadopsi madzhab Asy Syafi’i dan Daulah Utsmaniyyah mengadopsi madzhab Abu Hanifah.
Mengapa Formalisasi Syariah. Mengapa umat Islam perlu melakukan formalisasi syariah ? Jawaban untuk pertanyaan ini dapat ditinjau dari beberapa alasan berikut :
Pertama, alasan aqidah. Para ulama telah menjelaskan mengapa formalisasi syariah perlu dilakukan. Pada dasarnya, menerapkan syariah adalah suatu kewajiban sebagai konsekuensi keimanan seorang muslim. Tidak boleh ada hukum yang mengatur kehidupan umat Islam yang beriman kecuali hanya syariah Islam semata. Keterikatan pada syariah adalah konsekuensi iman seorang muslim. Allah SWT berfirman :

“Maka demi Tuhanmu (Muhammad), mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan...” (QS An Nisaa` : 65)

“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al Maaidah : 44)

Kedua, alasan filsafat hukum. Formalisasi syariah menemukan urgensi dan relevansinya tatkala di suatu masyarakat diterapkan sistem hukum Barat yang secara filosofis bertentangan dengan syariah. Jadi formalisasi syariah perlu dilakukan karena ia merupakan upaya untuk menggantikan sistem hukum Barat yang prinsip-prinsip dasarnya tidak sesuai untuk umat Islam.
Filsafat (prinsip dasar) hukum Barat bertentangan dengan Islam. Misalnya : (1) pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah), (2) relativitas/kenisbian undang-undang dan hukum (nisbiyyah al-qawanin wa at-tasyri’at), (3) pemeliharaan kebebasan individu (hifzh al-hurriyah al-fardiyyah).
Prinsip pemisahan agama dari kehidupan telah menghilangkan unsur agama dalam pembuatan hukum, sehingga hukum akhirnya tunduk kepada keinginan orang banyak (volonte generale), bukan mengikuti ketentuan agama. Prinsip pemisahan agama dari kehidupan itu juga melahirkan prinsip kenisbian hukum, sebab setelah hukum dilepaskan dari agama, hukum akhirnya dipahami secara positivistik sebagai anak kandung yang lahir dari situasi dan kondisi masyarakat yang selalu berubah sesuai waktu dan tempat. Prinsip pemisahan agama dari kehidupan juga melahirkan prinsip pemeliharaan kebebasan individu, sebab setelah agama dipisahkan dari kehidupan, berarti manusia menjadi bebas dari keterikatannya dengan agama. Maka hukum dibuat untuk memelihara kebebasan individu dan negara dianggap tidak boleh melanggar kebebasan individu ini, walaupun kebebasan individu itu berarti melanggar agama. Semua filsafat hukum Barat ini bertentangan dengan Islam karena Islam tidak mengenal pemisahan agama dari kehidupan, yang sebenarnya lahir dalam konteks sosio-historis Eropa setelah lepas dari dominasi gereja pada Abad Pertengahan (abad V-XV M).
Dengan demikiran, formalisasi syariah sesungguhnya sangat perlu dilakukan, karena ia merupakan kritik terhadap filsafat hukum Barat yang mencengkeram pola pikir umat Islam saat ini. Sebaliknya, deformalisasi syariah berarti taqlid buta kepada filsafat hukum Barat yang batil dan sekaligus upaya mengajak umat Islam bergabung ke dalam masyarakat kapitalis yang rusak.
Ketiga, alasan ideologis-politis. Selama tiga abad terakhir (abad ke-18, 19, dan 20 M) negara-negara kapitalis penjajah telah melancarkan serangan pemikiran (ash-shira’ al-fikri) dan serangan politik (ash-shira’ al-siyasi) yang ganas untuk memaksakan ideologi kapitalisme yang kafir ke Dunia Islam. Mereka memaksakan sistem politik, sosial, dan ekonomi Barat terutama sebagai akibat hancurnya Khilafah di Turki pada tahun 1924. Selain itu, mereka juga melakukan upaya distorsi bangunan pemikiran Islam di bidang politik, ekonomi, dan sosial untuk mengacaukan pemikiran umat di Dunia Islam dengan tujuan akhir agar sistem-sistem Barat tersebut dapat menancap kuat di Dunia Islam.
Segala perilaku kejam penjajah itu dalam banyak hal telah mengakibatkan : (1) kacau dan rusaknya pemahaman umat terhadap Islam (yang sebenarnya sudah lemah secara internal itu), khususnya aspek politik Islam, (2) lahirnya sikap lemah dalam jiwa umat Islam tatkala berhadapan dengan berbagai pemikiran dan pola kehidupan Barat (seperti nasionalisme, sekularisme, liberalisme). Semua ini pada gilirannya telah menggiring umat Islam untuk mengadopsi secara total terhadap sistem hukum Barat tanpa melihat lagi pertentangannya dengan syariah. Muncul juga perasaan pesimis dan putus asa di kalangan umat untuk membangun kembali institusi politik Islam sebagai akibat terpecah-belahnya Dunia Islam.
Secara politis, kondisi tersebut mengakibatkan para penguasa Dunia Islam tidak lagi merasa berdosa ketika membatasi penerapan Islam hanya pada aspek ibadah ritual (dan sedikit aspek muamalat), seraya mengabaikan aspek politis dan pengaturan urusan publik menurut perspektif syariah.
Di tengah hegemoni ideologi kapitalisme dan sikap politik penguasa Dunia Islam yang sekularistik ini, maka upaya formalisasi syariah menjadi sangat dibutuhkan, karena ia sesungguhnya adalah perlawanan terhadap kekalahan ideologis dan politis tersebut. Formalisasi syariah merupakan upaya pengembalian Islam kepada jatidirinya yang hakiki, sekaligus upaya untuk melepaskan diri dari dominasi Barat. Sebaliknya, dengan demikian, deformalisasi syariah adalah kepasrahan tanpa syarat terhadap ideologi kapitalisme dan sekaligus legitimasi terhadap sikap politis penguasa Dunia Islam yang sekularistik dan mengekor kepada negara-negara imperialis.
Keempat, alasan khilafiyah fiqhiyah. Kendatipun seorang muslim wajib mengamalkan syariah, namun pada hukum-hukum syariah yang cabang, banyak terjadi perbedaan pendapat (khilafiyah) pada satu masalah yang sama sebagai hasil perbedaan ijtihad para mujtahidin. Padahal khalifah sebagai kepala negara Khilafah wajib mengatur urusan-urusan publik (ri’ayatu syu`un) dengan ketentuan syariah, seperti hukum-hukum zakat, dhara`ib (pajak), kharaj, dan hubungan luar negeri (alaqat kharijiyyah). Maka dari itu, wajiblah khalifah melakukan tabanni (adopsi) hukum syara’ dari sekian hukum syara’ yang ada sedemikian sehingga menjamin kesatuan negara dan pemerintahan (wihdah ad daulah wa wihdah al hukm). Jadi melakukan tabanni bagi khalifah –yang hukum asalnya mubah bagi khalifah— telah menjadi wajib secara syar’i jika kewajiban pengaturan urusan publik tidak dapat terlaksana kecuali dengan melakukan tabanni terhadap salah satu hukum syara’ yang ada. Kaidah syara’ menyatakan bahwa jika suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya (maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib).
Dengan demikian, formalisasi syariah dalam kerangka negara Islam (Khilafah) perlu dilakukan karena pada umumnya pengaturan urusan-urusan publik tidak mungkin diselenggarakan dengan hukum syara’ yang berbeda-beda. Karenanya, jika pengaturan urusan publik tidak mungkin terlaksana dengan tertib dan teratur kecuali dengan penetapan satu hukum syara’ dari sekian hukum syara’ yang ada, maka wajib atas khalifah untuk melakukan formalisasi syariah dalam arti mentabanni satu hukum syara’ yang berlaku secara mengikat untuk seluruh rakyat.
Otoritas Formalisasi Syariah. Pihak yang berhak melakukan formalisasi syariah dalam sistem pemerintahan Islam adalah khalifah sebagai kepala negara Khilafah Islamiyah, bukan yang lain. Kaidah syara’ menetapkan bahwa : lil khalifah wahdahu haqqu tabanni al-ahkam asy-syar’iyyah fa huwa alladzi yasunnu ad-dustur wa al-qawanin (Khalifah saja yang berhak melakukan adopsi/legislasi hukum dan Khalifah-lah yang menetapkan UUD dan UU).
Dasar kaidah di atas adalah Ijma’ Shahabat (sebagai salah satu sumber hukum Islam), yakni para shahabat Nabi Muhammad SAW telah berijma’ (bersepakat) dan tidak ada seorang pun yang mengingkari bahwa hanya khalifah saja yang berhak melakukan adopsi hukum, bukan yang lain. Adanya Ijma’ Shahabat ini nampak jelas pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, tatkala keduanya mengadopsi hukum-hukum tertentu dari sejumlah pemahaman hukum syara’ pada satu masalah, seperti telah diuraikan sebelumnya. Hukum syara’ yang telah diadopsi oleh khalifah itu lalu berlaku secara mengikat bagi para hakim, wali (gubernur) dan seluruh rakyat. Dari Ijma’ Shahabat ini lalu diambil beberapa kaidah syara’ yang masyhur di kalangan ulama fiqih, yaitu : “Amrul Imaam yarfa’ul khilaaf” (Perintah Imam [Khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat), “Amrul Imam naafidz” (Perintah Imam [Khalifah] wajib dilaksanakan), dan “Li as- sulthaan an yuhditsa min al-aqdhiyah bi qadari maa yahdutsu min musykilaat” (Penguasa berhak menetapkan keputusan-keputusan hukum baru sesuai problem-problem baru yang terjadi).
Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut, maka jika khalifah telah melakukan formalisasi syariah, wajib atas rakyat untuk melaksanakannya, meskipun hukum syara’ yang diadopsi khalifah berbeda dengan yang dianut oleh rakyat. Dalam kondisi demikian, rakyat wajib meninggalkan pengamalan/pelaksanaan hukum syara’ yang dianutnya, untuk selanjutnya mengamalkan hukum syara’ yang diadopsi khalifah.
Namun perlu diketahui bahwa kewajiban rakyat dalam hal ini hanya dari segi pelaksanaan hukum saja. Rakyat tidak wajib mengubah pendapat pribadinya sedemikian sehingga pendapat mereka sama persis dengan pendapat khalifah, misalnya harus mengajarkan atau mendakwahkan pendapat khalifah. Rakyat tetap boleh berijtihad, mengajarkan, atau mendakwahkan pendapat/hukum syara’ yang berbeda dengan hukum syara’ yang diadopsi khalifah. Jadi formalisasi syariah tidak memacetkan ijtihad dan juga tidak menghilangkan keanekaragaman hukum syara’ di kalangan rakyat. Kewajiban rakyat hanya dari segi pelaksanaan saja, bukan yang lain.
Hal itu karena Ijma’ Shahabat membatasi ketaataan rakyat terhadap hukum syara’ yang diadopsi khalifah hanya pada pelaksanaan/pengamalan hukum saja, tidak termasuk yang selain itu seperti mengajarkan dan mendakwahkan hukum. Karena itu, kita dapati ketika Abu Bakar membagi harta Baitul Mal secara sama rata tanpa melihat siapa yang lebih dulu masuk Islam, Umar bin Khaththab mendebat Abu Bakar karena Umar berpendapat lain, yakni pembagian harta seharusnya tidak sama rata tetapi melihat siapa yang lebih dulu masuk Islam dan melihat pertimbangan lainnya. Meskipun demikian, Umar tunduk pada pendapat yang diadopsi Abu Bakar seraya tetap mengadopsi pendapatnya sendiri (meskipun tidak diamalkan).
Perlu ditambahkan bahwa meskipun yang berhak melakukan formalisasi syariah hanya khalifah saja, namun bukan berarti rakyat tidak mempunyai peran dalam hal ini. Peran rakyat adalah melakukan kontrol atau kritik kepada khalifah dalam penerapan hukum syara’ yang diadopsi khalifah. Dan melalui Majelis Ummat yang menjadi lembaga wakil rakyat dalam hal musyawarah dan pengawasan penguasa, Majelis Ummat dapat mendiskusikan berbagai undang-undang sebelum secara resmi dilegislasi oleh khalifah.
Instrumen Formalisasi Syariah. Instrumen formalisasi syariah wujudnya berupa undang-undang dasar (dustur/qanun asasi) dan berbagai undang-undang (qanun), baik qanun tasyri’i (peraturan perundang-undangan) maupun qanun ijra`i / qanun idari (peraturan prosedural / administratif).
Meskipun istilah undang-undang dasar (dustur/qanun asasi) dan undang-undang (qanun) merupakan istilah asing (bukan asli dari khazanah fiqih Islam), namun inti pengertiannya ada fiqih Islam. Undang-undang didefinisikan sebagai “majmu’ah al-qawa’id allati yujbiru biha as-sulthanu an- naasa ‘ala it-tiba’iha fi ‘alaqatihim” (Seperangkat aturan yang ditetapkan oleh pemerintah dan memiliki kekuatan yang mengikat rakyat, dalam hubungan antar mereka), atau sebagai “majmu’ah al-awamir wa an-nawahi al-wajib al-iltizamu biha fi al-bilad” (Seperangkat perintah dan larangan yang wajib untuk diikuti [rakyat] di sebuah negeri).
Dalam pengertian yang demikian, penggunaan istilah undang-undang dasar dan undang-undang adalah mubah dan tidak haram menurut syara’, sebab pengertian ini ada dalam khazanah Islam, yaitu “al-ahkam allati tabannaaha al- khalifatu min al-ahkam asy-syar’iyyah” (hukum-hukum syara’ yang diadopsi oleh seorang khalifah). Ini sebagaimana yang terjadi pada masa shahabat ketika Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khaththab menetapkan hukum-hukum syara’ tertentu yang diberlakukan secara mengikat untuk seluruh rakyat.
Hanya saja tentu undang-undang Islam berbeda dengan undang-undang non-Islam dalam hukum positif sekarang, baik dari segi sumber hukum (mashdar al-ahkam) maupun tempat lahirnya (mansya` al-ahkam). Undang-undang yang ada sekarang sumbernya berasal dari adat-istiadat, yurisprudensi, dan lain-lain; dan tempat lahirnya, untuk undang-undang dasar adalah panitia ad hoc penyusun undang-undang dasar, sementara untuk undang-undang adalah parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini karena dalam sistem demokrasi rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan (as-sulthan/authority), dan kedaulatan (as-siyadah/sovereignty) juga berada di tangan rakyat. Adapun undang-undang dasar dan undang-undang Islami, sumbernya adalah Al Quran dan As Sunnah, tidak ada yang lain; sedang tempat lahirnya adalah ijtihad para mujtahid, di mana khalifah akan memilih beberapa hukum tertentu dari hasil ijtihad tersebut lalu melegislasikannya dan memerintahkan rakyat untuk melaksanakannya. Hal ini karena kedaulatan menurut Islam hanya milik syara' semata. Sementara ijtihad untuk mengambil hukum-hukum syara' adalah hak bagi seluruh kaum muslimin yang hukumnya fardhu kifayah. Akan tetapi hanya khalifah saja yang berhak melegislasi hukum-hukum syara'.
Undang-undang dasar mengatur bentuk negara, sistem pemerintahan, batas-batas hak dan kewenangan lembaga-lembaga negara, hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyat serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah.
Sedangkan undang-undang merupakan peraturan yang lahir dan tercabang dari ketentuan dalam undang-undang dasar. Undang-undang secara garis besar ada 2 (dua) macam, yaitu qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun ijra`i (peraturan prosedural).
Qanun tasyri’i (peraturan perundangan) adalah undang-undang yang materinya berupa hukum syara’, atau aqidah, atau kaidah kulliyah syar’iyyah, atau sumber-sumber hukum syara’. Qanun tasyri’i ini hanya diambil dari sumber-sumber hukum Islam (Al Qur`an dan As Sunnah), tidak boleh diambil dari selainnya secara mutlak. Misalnya undang-undang yang isinya hukum-hukum prinsip konstitusional (mabadi` dusturiyah) seperti kewajiban mentaati ulil amri, baiat, syura, atau hukum-hukum cabang yang parsial (ahkam far’iyah juz’iyah) seperti : (1) undang-undang pidana (qanun jina`i) yang mengatur hukum potong tangan pencuri, rajam bagi pezina muhshan, (2) undang-undang hukum keluarga (al ahwal asy syakhshiyyah) yang mengatur perkawinan dan cerai, (3) undang-undang perdata (qanun al madani) yang mengatur perdagangan dan jual beli dan segala sesuatu yang berkaiatan dengannya seperti syarat, sebab, dan mani’ (pencegah berlakunya hukum). Qanun tasyri’i juga dapat mencakup kaidah kulliyah seperti kaidah izalatul dharar (kewajiban menghilangkan bahaya/dharar).
Sedang qanun ijra’i (peraturan prosedural) adalah undang-undang yang materinya berkaitan dengan sekumpulan cara (uslub), sarana (wasilah), dan alat (adawat) untuk melaksanakan hukum syara’ tertentu. Undang-undang ini intinya menjelaskan aspek-aspek teknis –yang tidak diterangkan Al Qur`an dan As Sunnah— untuk melaksanakan hukum syara’ tertentu. Undang-undang ini dapat diambil dari sumber mana pun, dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan hukum syara’. Sifatnya dinamis, dalam arti dapat berubah-ubah sesuai waktu dan tempat dan mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan manusia. Misalnya tentang ketentuan teknis syura (musyawarah). Dalam Al Qur`an diterangkan bahwa syura adalah hak umat terhadap penguasa (QS Asy Syuraa : 38). Namun teknis pelaksanaan hukum syara’ ini tidak diterangkan Al Qur`an dan As Sunnah, misalnya apakah dilaksanakan satu kali atau dua kali dalam satu tahun, atau di mana tempat pelaksanaannya, bagaimana agenda sidangnya, bagaimana sarananya, dan sebagainya. Semua ini diatur dalam qanun ijra`i.
Keberadaan qanun ijra`i didasarkan pada beberapa dalil dari As Sunnah dan juga contoh shahabat, antara lain sabda Nabi,”Antum a’lamu bi umuri dunyaakum” (Kamu lebih mengetahui urusan duniamu). (HR Muslim dan Ibnu Majah). Begitu pula Nabi SAW pernah mengambil pendapat Salman Al Farisi dalam penggalian parit sebagai sarana mempertahankan diri dalam Perang Ahzab. Umar bin Khaththab pernah mengambil peraturan administrasi untuk mengatur pembagian harta Baitul Mal.
Cakupan Formalisasi Syariah. Bidang kehidupan yang diatur adalah hubungan sesama manusia, yang meliputi aspek muamalat dan uqubat. Aspek muamalat misalnya sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, pergaulan pria-wanita, dan hubungan luar negeri. Aspek uqubat (sanksi-sanksi) meliputi hudud (seperti hukum rajam), jinayat (seperti hukum qishash), ta’zir (sanksi atas pelanggar syara’ yang tak dijelaskan ketentuan sanksinya dalam nash), dan mukhalafat (sanksi terhadap penyimpangan aturan administrasi negara). Inilah yang diatur dalam formalisasi syariah.
Sedangkan dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, yaitu ibadat, pada dasarnya khalifah tidak melakukan adopsi, misalnya khalifah tidak menetapkan qunut pada sholat Shubuh atau tarawih 20 rakaat pada bulkan Ramadhan. Khalifah tidak mentabanni hukum dalam hukum ibadat karena : (1) tidak sesuai dengan fakta adopsi hukum, yaitu hanya menyangkut hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan (2) dapat menimbulkan haraj (kesulitan/kesempitan) padahal Islam memerintahkan menghilangkan haraj (QS Al Hajj : 78).
Namun demikian, untuk hukum-hukum ibadat yang ada kaitannya dengan interaksi masyarakat dan menyangkut kesatuan negara dan masyarakat, khalifah wajib melakukan adopsi hukum, misalnya dalam hukum jihad, zakat, dan juga penetapan hari-hari untuk mengawali/mengakhiri puasa Ramadhan, dan penetapan Iedul Fitri dan Iedul Adha.
Mengenai hubungan manusia dengan Tuhan yang berupa pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan aqidah, khalifah juga tidak melakukan adopsi. Misalnya khalifah tidak mengadopsi pemikiran bahwa Al Qur`an adalah makhluk. Hal ini disebabkan adopsi pemikiran seperti itu telah menyalahi realitas adopsi dan juga menimbulkan haraj (kesulitan/kesempitan), seperti halnya dahulu Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah--yang mengalami siksaan penguasa karena menolak mengikuti pendirian penguasa yang menyatakan Al Qur`an adalah makhluk.

5.3. Agenda Menuju Penerapan Syariah
Untuk menuju terwujudnya formalisasi syariah seperti diuraikan sebelumnya, dengan perubahan yang menyeluruh (taghyir), diperlukan agenda khusus.
Bagi Hizbut Tahrir, agenda ini berupa metode untuk melakukan aktivitas dakwah Islam (haml al-da’wah al-islamiyah), yang pada hakikatnya adalah hukum-hukum syara’ yang diambil dari thariqah (metode) dakwah Rasulullah SAW, sebab thariqah itu wajib diikuti. Sebagaimana firman Allah SWT :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah).” (QS Al Ahzab : 21)

“Katakan : Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS Ali Imran : 31)

“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambillah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (QS Al Hasyr : 7)

Dan banyak lagi ayat lain yang menunjukkan wajibnya mengikuti perjalanan dakwah Rasulullah SAW, menjadikan beliau suri teladan, dan mengambil ketentuan hukum dari beliau. Berhubung kaum muslimin saat ini hidup di Darul Kufur --karena diterapkan atas mereka hukum-hukum kulfur yang tidak diturunkan Allah SWT-- maka keadaan negeri mereka serupa dengan Makkah ketika Rasulullah SAW diutus (menyampaikan risalah Islam). Untuk itu fase Makkah wajib dijadikan sebai tempat berpijak dalam mengemban dakwah dan mensuriteladani Rasulullah SAW.
Dengan mendalami sirah Rasulullah SAW di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah akan tampak jelas beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan nyata tujuan-tujuannya. Dari sirah Rasulullah SAW inilah Hizbut Tahrir mengambil metode dakwah dann tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukannya pada seluruh tahapan ini, karena Hizbut Tahrir mensuriteladani kegiatan-kegiatan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam seluruh tahapan perjalanan dakwahnya.
Agenda Secara Global. Berdasarkan sirah Rasulullah SAW tersebut, Hizbut Tahrir menetapkan metode perjalanan dakwahnya dalam 3 (tiga) tahapan berikut :
Pertama, Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah At Tatqit), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran dan metode Hizbut Tahrir, dalam rangka pembentukan kerangka tubuh partai.
Kedua, Tahapan berinteraksi dengan Umat (Marhalah Tafa’ul Ma’a Al Ummah). Yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan.
Ketiga, Tahapan Pengambilalihan Kekuasaan (Marhalah Istilaam Al Hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
Tahap pertama tersebut, serupa dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW pada tahap awal dakwah beliau yang berlangsung selama tiga tahun. Beliau berdakwah melalui individu dan menyam­paikan kepada orang-orang (yang ada di Makkah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepada­nya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka ia diikat dengan kelompoknya (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah SAW berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan membacakan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat Al-Quran, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia dan membina mereka secara rahasia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu mereka melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebaran Islam makin meluas dan menjadi buah bibir masyarakat (Makkah), yang pada akhirnya secara berangsur-angsur mereka masuk ke dalam Islam
Adapun tahap kedua, dilaksanakan Rasulullah SAW setelah turunnya firman Allah SWT :

"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpa linglah dari orang-orang yang musyrik." (QS Al-Hijr : 94)

Rasulullah SAW diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-terangan. Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu bahwasanya beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan, kerusakan dan kesalahannya.
Beliau menyerang dan mencela setiap aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada saat itu, sementara ayat Al-Quran masih turun secara berangsur-angsur. Ayat Al-Quran tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy, seperti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan (hidup-hidup), mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat Al-Quran turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya sebagai orang bodoh, termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-sahabatnya.
Sedang tahap ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan, ditempuh dengan cara melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan dan dukungan) untuk menjamin keberlangsungan dakwah secara aman dan memperoleh kekuasaan. Dalam sirah Rasulullah SAW, beliau mendapatkan nushrah dari kabilah Aus dan Khazraj yang dengan peristiwa Baiat Aqabah II, mereka akhirnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada beliau. Secara nyata kekuasaan ini dilaksanakan dan dijalankan oleh Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah sebagai Daulah Islamiyah pertama di muka bumi, untuk menegakkan hukum Allah di dalam negeri dan menyebarluaskan Islam dengan jalan dakwah dan jihad ke luar negeri.
Agenda Secara Rinci. Adapun rincian lebih jauh dari ketiga tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
Pada tahap pertama pembentukan kader ini, aktivitas hanya pada kegiatan pembinaan saja, yakni penyampaian tsaqafah saja. Perhatian diutamakan untuk membentuk kerangka gerakan, memperbanyak anggota/pendukung, membina mereka secara berkelompok dan intensif dalam halaqah-halaqah dengan tsaqafah yang telah ditentukan sehingga berhasil membentuk satu kelompok partai yang terdiri dari orang-orang yang telah menyatu dengan Islam, mentabanni (menerima dan mengamalkan) ide-ide partai, serta telah berinteraksi dengan masyarakat dan mengembangkannya ke seluruh lapisan ummat.
Setelah Hizbut Tahrir dapat membentuk kelompok partai sebagaimana yang dimaksud di atas, juga setelah masyarakat mulai merasakan kehadirannya, mengenal ide-ide dan cita-citanya, pada saat itu sampailah Hizbut Tahrir ke tahap kedua.
Tahap kedua adalah tahap berinteraksi dengan masyarakat, agar umat turut memikul kewajiban menerapkan Islam serta menjadikannya sebagai masalah utama dalam hidupnya. Caranya, yaitu dengan membentuk opini umum (ar-ra’yu al-‘am) yang didasarkan pada kesadaran umum (al-wa’yu al- ‘am) pada masyarakat terhadap ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah ditabanni oleh Hizbut Tahrir, sehingga mereka menjadikan ide-ide dan hukum-hukum tersebut sebagai pemikiran-pemikiran mereka, yang mereka perjuangkan di tengah-tengah kehidupan, dan mereka akan berjalan bersama-sama Hizbut Tahrir dalam usahanya menegakkan Daulah Khilafah, mengangkat seorang Khalifah untuk melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Pada tahap ini Hizbut Tahrir mulai beralih menyampaikan dakwah kepada masyarakat banyak secara kolektif. Pada tahap ini Hizbut Tahrir melakukan kegiatan-kegiatan seperti berikut:

(1) Pembinaan Tsaqafah Murakkazah (pembinaan intensif) melalui halaqah-halaqah untuk para pengikutnya, dalam rangka membentuk kerangka gerakan dan memperbanyak pengikut serta mewujudkan pribadi-pribadi yang Islami, yang mampu memikul tugas dakwah dan siap mengarungi pergolakan pemikiran (ash-shira’ al-fikri) serta perjuangan politik (al-kifah as-siyasi).

(2) Pembinaan Tsaqafah Jama'iyah (pembinaan kolektif) bagi umat dengan cara menyampaikan ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah ditabanni/ditetapkan Hizbut Tahrir, secara terbuka kepada masyarakat umum. Aktivitas ini dapat dilakukan melalui pengajian-pengajian di masjid, di aula atau di tempat-tempat pertemuan umum lainnya. Bisa juga melalui media massa, buku-buku, atau selebaran-selebaran. aktivitas ini bertujuan untuk mewujudkan kesadaran umum (al-wa’yu al-‘am) di tengah masyarakat, agar dapat berinteraksi dengan umat sekaligus menyatukannya dengan Islam; juga untuk menggalang basis dukungan rakyat (qa’idah sya’biyah) sehingga mereka dapat dipimpin untuk menegakkan Daulah Khilafah dan mengembalikan penerapan hukum sesuai dengan yang diturunkan Allah SWT.

(3) Ash Shira' al-Fikri (pergolakan pemikiran) untuk menentang ideologi, peraturan-peraturan dan ide-ide kufur, selain untuk menentang aqidah yang rusak, ide-ide yang sesat dan pemahaman-pemahaman yang rancu. Aktivitas ini dilakukan dengan cara menjelaskan kepalsuan, kekeliruan dan kontradiksi ide-ide tersebut dengan Islam, untuk memurnikan dan menyelamatkan masyarakat dari ide-ide yang sesat itu, serta dari pengaruh dan dampak buruknya.

(4) Al-Kifaah as-Siyasi (perjuangan politik) yang mencakup aktivitas-aktivitas:

a) Berjuang menghadapi negara-negara kafir imperialis yang menguasai atau mendominasi negeri-negeri Islam; berjuang menghadapi segala bentuk penjajahan, baik penjajahan pemi- kiran, politik, ekonomi, maupun militer; mengungkap strategi yang mereka rancang; membongkar persekongkolan mereka, demi untuk menyelamatkan ummat dari kekuasaan mereka dan membebaskannya dari seluruh pengaruh dominasi mereka.

b) Menentang para penguasa di negara-negara Arab maupun negeri-negeri Islam lainnya; mengungkapkan (rencana) kejahatan mereka; menyampaikan nasehat/ kritik kepada mereka; dan berusaha untuk meluruskan mereka setiap kali mereka merampas hak-hak rakyat atau pada saat mereka melalaikan kewajibannya terhadap ummat, atau pada saat mengabaikan salah satu urusan mereka. Disamping berusaha untuk menggulingkan sistem pemerintahan mereka, yang menerapkan perundang-undangan dan hukum-hukum kufur, yaitu dengan tujuan menegakkan dan menerapkan hukum Islam untuk menggantikan hukum-hukum kufur tersebut.

(5) Menetapkan kemaslahatan ummat (Tabbani Mashalih Al-Ummah), yaitu dengan cara melayani dan mengatur seluruh urusan ummat, sesuai dengan hukum-hukum syara'.
Di samping aktivitas-aktivitas tersebut, Hizbut Tahrir politik dalam tahap kedua ini juga dilakukan aktivitas Thalabun Nushrah yang telah digabungkan dengan aktivitas dakwah lainnya. Hizbut Tahrir meminta pertolongan tersebut kepada mereka yang memiliki kemampuan (kekuatan), yakni para Ahlun Nushrah. Tujuannya ada dua macam, yaitu:
Pertama, untuk mendapatkan perlindungan (himayah) sehingga tetap dapat melakukan aktivitas dakwah dalam keadaan aman dan terlindung.
Kedua, untuk mencapai tingkat pemerintahan/ kekuasaan dalam rangka menegakkan Daulah Khilafah dan menerapkan kembali hukum-hukum berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah SWT dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Sekalipun Hizbut Tahrir telah melakukan upaya mencari pertolongan ini, namun Hizbut Tahrir tetap melanjutkan seluruh aktivitas-aktivitas yang telah dilakukannya selama ini; mulai dari pembinaan dalam halaqah intensif untuk anggotanya maupun untuk masyarakat umum; memberi perhatian penuh kepada umat agar mereka dapat mengemban Islam; mewujudkan opini umum di tengah-tengah umat; berjuang menentang negara-negara kafir imperialis, mengungkap rencana jahat mereka, membongkar persekongkolan mereka; dan menentang para penguasa; hingga aktivitas menetapkan kemaslahatan umat. Hizbut Tahrir tetap melanjutkan aktivitas-aktivitasnya ini, dengan harapan mudah-mudahan Allah segera memberikan kepadanya dan kepada seluruh umat Islam suatu kemenangan, keberhasilan dan kesuksesan. Ketika itulah orang-orang yang beriman akan bergembira karena telah tiba nashrullah (pertolongan Allah).

6. Penutup
Kami ingin menutup makalah kami ini dengan suatu keyakinan dan optimisme yang tinggi, bahwa pada akhirnya Islam-lah (dengan seizin Allah) yang akan tampil kembali di panggung dunia untuk mewujudkan kembali kebajikan dan rahmat bagi alam semesta. Sekaligus Islam-lah yang akan menghancurkan segala kebatilan dan kepalsuan yang telah merusak dan menghinakan umat manusia di seluruh dunia. Allah SWT berfirman :

“Dia-lah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, agar Dia memenagkannya atas segala agama, meskipun orang-orang musyrik membencinya.” (QS Ash-Shaff : 9). ***
Custom Search