Monday, August 18, 2008

Seputar Gerakan Islam - Membentuk Kesatuan Antar Gerakan





Membentuk Kesatuan Antar Gerakan


Jika masih memungkinkan membentuk suatu kesatuan dan kerjasama antara organisasi/gerakan Islam saat ini seperti, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama'ah Islamiyah, Jama'ah Tabligh, Salafiyah, dan seterusnya, maka bagaimana seharusnya bentuk-bentuk konkrit dari kesatuan tersebut? Segi-segi kerjasama serta koordinasi apa saja yang merupakan bentuk nyata dari kesatuan tersebut?


Sebelum kita berbicara tentang kesatuan dan penyatuan gerakan-gerakan Islam, maka terlebih dahulu harus dibicarakan segi-segi apa yang wajib dipersatukan dan segi-segi apa pula yang tidak wajib dipersatukan. Setelah itu, barulah dibicarakan penyatuan gerakan-gerakan Islam, kemudian menyusul pembicaraan tentang bentuk hubungan antara berbagai gerakan Islam. Pembagian segi-segi pembicaraan seperti ini dimaksudkan agar jawaban yang ingin diketengahkan dapat lebih menyeluruh.


Kalau kita meneliti jama'ah/organisasi/kelompok gerakan atau harakah Islam yang ada pada setiap masa, maka akan kita jumpai keberagaman yang majemuk. Keadaan tersebut disebabkan oleh dua faktor:

(1) Bahwa Syara' membolehkan adanya banyak gerakan/kelompok harakah Islam, serta mazhab yang berbeda, sebagaimana yang telah dialami oleh kaum Muslimin terdahulu. Misalnya, munculnya gerakan Khawarij, harakah Abbasiyah. Atau, timbulnya berbagai mazhhab ijtihad seperti Hanafi, Syafi'i, Hanbali dan Maliki, dan sebagainya. Semua mazhab ini posisinya sama seperti kelompok /gerakan Islam lainnya. Dasar kebolehan adanya beraneka ragam kelompok dakwah adalah berdasarkan firman Allah SWT:

"(Dan) hendaklah ada di antara kamu segolongan umat (jama'ah, kelompok dakwah, partai Islam, dan yang sejenis) yang menyeru kepada bebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
(Ali Imran: 104).

Lafazh "ummah" pada ayat di atas, tidak membatasi jumlah jama'ah atau kelompok gerakan Islam, walaupun ayat itu mewajibkan kaum Muslimin untuk membentuk suatu jama'ah yang melaksanakan tugas dakwah, sebagaimana yang tertera pada ayat di atas. Seandainya telah terbentuk suatu jama'ah, maka kewajiban tersebut tidak lagi dibebankan kepada yang lain. Karena itu, tidaklah wajib membentuk dua jama' ah. Dengan demikian, bila telah terbentuk suatu jama'ah, maka tujuan dari ayat tersebut telah terlaksana. Kalau ternyata kemudian muncul jama'ah yang kedua, maka pembentukan itu hukumnya mubah (boleh ada).

Begitu pula kata _________ ("merekalah") dalam ayat tersebut sesungguhnya adalah penunjukan ("isim isyarah") untuk jamak yang merujuk kepada lafazh "ummah", yakni bahwa jama'ah-jama'ah atau kelompok-kelompok dakwah yang ada semuanya adalah termasuk golongan "muflihun" (orang-orang yang beruntung). Jadi, dengan menunjuk kepada lafazh "ummah", atau dengan menggunakan redaksi (sighah) jamak, berarti boleh terbentuk banyak jama'ah yang beragam.

(2) Setiap gerakan berdiri atas dasar pemahaman tertentu terhadap pola operasional da'wahnya, di samping pemahaman mereka dalam menentukan prioritas utama terhadap masalah-masalah vital umat. Mengenai pola operasional da'wah bagi suatu gerakan, memang nash-nash syara' memungkinkan adanya lebih dari satu macam pemahaman. Sebab, nash-nash tersebut khususnya yang berkaitan dengan pola operasional gerakan, menunjukkan lebih dari satu pengertian, karena sifatnya zhanniyatud-dilalah.

Misalnya, ada gerakan yang menganalogikan situasi sekarang dengan situasi da'wah Rasulullah saw di Makkah, sehingga mereka beranggapan bahwa menggunakan tindakan fisik (kekerasan) adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan da'wah Rasulullah saw1). Ada juga gerakan yang bersandar pada Hadits-hadits yang mengharuskan umat menentang penguasa dengan pedang atau kekerasan. Mereka beranggapan bahwa hadits-hadits tersebut memang mengharuskan agar umat bertindak demikian2).

Dari sudut tinjauan lain, ada sebagian harakah Islam menganalisis bahwa penyebab utama munculnya berbagai krisis politik, ekonomi, militer, maupun pendidikan, dan krisis lainnya dewasa ini, adalah karena tidak adanya negara Islam3). Selain itu, ada pula yang beranggapan bahwa semua krisis tersebut muncul karena lemahnya aspek keimanan dan rendahnya segi kerohanian kaum Muslimin4). Sedangkan kelompok lain beranggapan bahwa kelemaham umat Islam pada masa sekarang disebabkan oleh lemahnya bidang penghidupan ekonomi, keterbelakangan umat di bidang pendidikan, termasuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi5).

Berdasarkan dua faktor di atas, maka munculnya beraneka ragam gerakan merupakan suatu hal yang wajar. Bahkan menurut sunnatullah, ini merupakah suatu keharusan, sebagaimana firmanNya:
"Jika Tuhanmu menghendaki, tentulah Dia menjadikan manusia menjadi umat yang satu. Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhannya. Dan untuk itu, Allah menciptakan mereka" (Hud: 118-119).

-------------------
1) Pendapat Hizbut Tahrir. Lihat Ta'rif li Hizbit Tahrir, hal. 41
2) Pendapat Ikhwanul Muslimin. Lihat Jundullah Tsaqafatan Wa Akhlaqan, Sa'id Hawwa, hal. 391-393; juga pendapat Tanzhimul Jihad, serta DI/TTI.
3) Pendapat Hizbut Tahrir. Lihat Nidaa Al Haar Ilal Muslimin Min Hizbit Tahrir, hal 87-89
4) Pendapat Salafiyah, kelompok Thariqat Shufiyah, Jama'ah Tabligh, serta kebanyakan dari kelompok yang tidak ingin melibatkan diri dalam masalah politik atas dasar Islam.
5) Pendapat sejumlah besar organisasi sosial-ekonomi (sosek), semisal Ikhwanul Muslimin (Mesir), Jama'atul Islam (Pakistan), Darul Arqam (Malaysia), dan lain-lain.

Oleh karena itu, tidak boleh dipandang bahwa perbedaan pendapat antargerakan sebagai sesuatu yang diharamkan oleh syara'. Apabila ada seseorang atau kelompok dakwah tertentu yang berpendapat demikian, maka ini adalah suatu kekeliruan terhadap fakta nash-nash syara', tabi'at manusia, hakikat gerakan, dan pola operasional da'wah.

Sepengetahuan kami, tidak terdapat di dalam Al Qurâan maupun Sunnah satu dalil syara' pun yang mengharuskan adanya kesatuan antargerakan Islam; dalam arti bergabung dalam satu wadah gerakan di bawah perintah seorang Amir/pemimpin, dan menjalankan tugas da'wah dengan satu pemahaman serta satu pola operasional da'wah. Sungguh, tidak ada dalil Syar'i yang mengharuskan kesatuan semacam ini. Oleh karena itu, tidak dilarang adanya keberagaman gerakan Islam.

Penyatuan berbagai gerakan ke dalam satu wadah, bukanlah merupakan tujuan yang harus dicapai. Sebab, sesungguhnya adanya keragaman tersebut justru dibolehkan. Bahkan wajar pula apabila suatu gerakan mencanangkan dan mengutamakan suatu pola operasional da'wah sesuai dengan pemahamannya sendiri.

Namun demikian, perbedaan paham dan pendapat yang terdapat dalam berbagai gerakan/harakah Islam tidak berarti boleh berselisih dan saling memutuskan hubungan! Sebab, hal sikap tersebut telah diharamkan dan tidak boleh terjadi.
Jika keberagaman gerakan merupakan hal yang wajar, maka pemutusan hubungan dan saling bertikai satu sama lainnya adalah hal yang tidak wajar bahkan wajib dicegah dan diupayakan agar tidak sampai terjadi. Sebab, Allah SWT berfirman:

"...(Dan) Janganlah kamu berselisih (berbantah-bantahan), yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan (kekuasaan)mu..." (Al Anfaal 46).

Jika penyatuan gerakan bukan merupakan tujuan, maka yang wajib menjadi tujuan adalah menjadikan berbagai gerakan/kelompok atau partai politik Islam menjalankan tugas da'wahnya sesuai dengan ketentuan Syara' yaitu, semua pola pemikiran dan operasional dakwahnya bersumber dari dalil-dalil Syara', dan hendaknya keseluruhannya bertujuan melanjutkan kehidupan Islam, yakni menjadikan kaum Muslimin berkehidupan secara Islami dalam semua tindakan/kegiatan mereka sehari-harinya, serta mendorong mereka untuk bertahkim/merujuk hanya kepada Syara' semata dalam semua urusannya, baik dalam persoalan-persoalan kecil maupun besar. Juga, berupaya untuk mewujudkan Islam dalam kehidupan individu, bermasyarakat dan bernegara. Di samping itu, perlu menjauhkan jama'ah, gerakan dan kelompok dakwah Islam dari sikap saling bermusuhan yang pada akhirnya menyibukkan mereka dalam hal-hal yang tidak perlu (semisal mengecam, menyebarkan isu, mengembangkan fitnah, dan yang sejenisnya), sehingga melupakan tujuan utamanya.

Apabila hal ini bisa disepakati untuk dicapai oleh semua pihak, berarti tujuan penyatuan pokok-pokok pikiran gerakan telah terealisir.

Memang yang kita inginkan adalah adanya pertemuan antara para jama'ah, gerakan dan organisasi Islam, untuk duduk berdampingan dan membahas masalah-masalah penting yang dihadapi oleh umat pada setiap saat, kemudian disepakati cara memecahkan setiap kendala yang dihadapi oleh setiap gerakan guna meraih tujuan utama yang melatarbelakangi keberadaan setiap gerakan Islam, yaitu: melestarikan kehidupan Islam dengan mendirikan khilafah Islamiyah serta membimbing dan mengarahkan semua manusia kepada Islam. Inilah yang merupakan tugas utama umat, sebagaimana yang tertera di dalam firman Allah SWT:

"(Dan) demikianlah kami jadikan kalian umat yang terbaik (bertindak adil) agar menjadi saksi bagi manusia, (bahwa kalian telah menyampaikan Risalah Islam kepada mereka) dan Rasul, juga menjadi saksi atas kalian (pada Hari Kiamat bahwa dia telah menyampaikan Risalah tersebut kepada umatnya)" (Al Baqarah: 143).

Oleh karena itu, berbagai jama'ah, kelompok, atau gerakan Islam, mempunyai kewajiban agar umat menjadikan Islam sebagai asas bagi kehidupan, serta menjadikan halal dan haram sebagai standard atas segala perbuatan. Selain itu, menjadikan ide-ide atau persepsi-persepsi Islam sebagai suatu keyakinan yang mendominasi semua jama'ah, kelompok, maupun gerakan Islam tersebut. Keberhasilan gerakan-gerakan Islam sekarang mengharuskan adanya jalur komunikasi dan kerja-sama, serta penyatuan tujuan bagi semua gerakan Islam yang ada di dunia demi untuk mengatasi problema utama umat, yaitu melanjutkan kehidupan Islam dengan cara membentuk dan menegakkan Khilafah Islam. Oleh karena itu, masing-masing harakah (gerakan) haruslah berupaya memecahkan problema utama tersebut, dengan semboyan: masing-masing bergerak sesuai dengan pemahaman serta pola operasional da'wahnya. Sebab dalam hal ini, masalah melanjutkan kelangsungan kehidupan Islam adalah merupakan induk dari semua krisis yang muncul di tubuh umat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak dibolehkan suatu gerakan menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan sampingan yang dapat mengalihkan jama'ah/gerakan dari tujuan pokoknya yang telah disebutkan di atas seperti antara lain, mencurahkan sebagian besar perhatian dan waktunya kepada dunia pendidikan, kesehatan, kesenian Islam, media massa dan percetakan buku-buku Islam. Atau, pembinaan jasmani, semisal tenaga dalam, latihan militer, silat, senam kebugaran, berbagai cabang olahraga, dan yang lainnya. Juga, pembinaan rohani seperti bacaan wirid berjam-jam, menyepi, dan sebagainya. Semua itu dapat mengalihkan mengalihkan perhatian suatu gerakan menjadi akademis ilmiah, misalnya; atau kegiatannya hanya seputar lembaga pendidikan; juga mengurusi balai pengobatan, studio rekaman, penerbitan; atau menjadi kelompok militer, perkumpulan senam, tarikat, dan sebagainya. Hal semacam ini tidak boleh terjadi pada suatu gerakan/harakah Islam, karena dapat mengalihkan mereka dari tugas pokoknya.

Langkah taktis-strategis yang harus ditempuh untuk menyatukan berbagai aktivitas gerakan, dapat dilakukan sebagai berikut:

Pertama, diadakan pertemuan antargerakan, tetapi hanya terbatas pada tingkat pimpinan atau qiyadah gerakan dengan maksud agar saling memahami satu sama lain, serta untuk menghindarkan diri dari sikap berselisih, menyerang atau menyudutkan satu dengan yang lainnya.

Kedua, membahas segi persamaan dan perbedaan pada setiap kontak (pertemuan), baik di tingkat qiyadah/pimpinan, maupun anggota.

Dalam model pertemuan yang demikian itu, haruslah dibuat aturan main yang jelas. Misalnya, berbagai perbedaan yang terdapat di antara gerakan Islam yang masih dalam batasan Syara', maka tidak perlu dipersoalkan, apalagi sampai mengundang adanya perpecahan atau pertikaian. Namun apabila perbedaan itu terjadi karena menyalahi ketentuan Hukum Syara', maka setiap gerakan harus tunduk kepada pendapat yang benar.

Bagi semua jama'ah/kelompok/gerakan dan organisasi Islam, hendaklah menganggap dirinya menjadi salah satu jama'ah Islam yang merupakan bagian dari Jama'atul Muslimin (umat Islam secara keseluruhan). Tidak dibolehkan bagi salah satu dari golongan tersebut menganggap dirinya sebagai satu-satunya jama'ah/gerakan yang harus menonjol ke barisan terdepan, atau menganggap hanya dirinyalah yang merupakan Jama'atul Muslimin Bahkan, menganggap bahwa setiap orang yang berbeda pemahaman dan pola operasional da'wahnya dengan apa yang ada pada diri mereka adalah seolah-olah telah keluar dari jama'ah kaum Muslimin, atau dianggap memecahbelah persatuan umat!6)

Memang wajar bila setiap gerakan berhak menganggap pemahamannya terhadap Islam dan pola operasional da'wahnya adalah tepat dan benar. Sebab kalau tidak demikian, tentulah gerakan itu tidak terikat (bebas) oleh lingkaran pemahaman dan pola operasional da'wahnya. Akan tetapi harus dibedakan sikap suatu jama'ah/kelompok/gerakan yang menganggap dirinya lebih benar dibandingkan dengan yang lainnya, dan menganggap dirinya yang benar sedangkan yang lainnya sesat. Atau, menganggap dirinya sebagai satu-satunya Jamaatul Muslimin, yang berarti bahwa berbagai jama'ah di luar diri mereka tidak termasuk Jama'atul Muslimin! Sikap yang demikian itu secara Syari' tidak dibenarkan. Sebab,
Islam menganggap bahwa kaum Muslimin secara keseluruhan adalah

-------------------
6) Pernyataan seperti ini sering muncul dari orang-orang tertentu dan berpengaruh di dalam sebuah gerakan, misalnya bahwa "Tidak diperlukan lagi adanya gerakan da'wah selain dari gerakan Ikhwanul Muslimin" (Lihat pernyataan Dr. Abdullah Azzam dalam buku "Ad Da'watul Islamiyah, Faridlatun Syar'iyah Wadl Dlaruratun Basyar'iyah", halaman 95). Atau, bahwasanya "Dapat dikatakan jama'ah Ikhwanul Muslimin adalah jama'ah yang paling tepat dan dapat disebut sebagai satu-satunya Jama'atul Mus limin" (Lihat pernyataan Said Hawwa dalam "Al Madkhal Ila Da'wati Al Ikhwan Al Muslimin", halaman 21-25)Jama'atul Muslimin.

Dalam hal ini, kita telah diingatkan oleh Rasulullah saw dalam sebuah (potongan) Hadits Huzhaifah bin Yaman7):
"...Tetaplah engkau bersama dengan jama'ah kaum Muslimin dan Imam (Khalifah) mereka" (HR Bukhari).
Begitu pula tatkala Khalifah Utsman bin Affan terbunuh, seseorang bertanya kepada Ibnu Mas'ud tentang bagaimana ia harus bersikap dalam situasi yang "labil" tersebut. Ibnu Mas'ud berkata8):
"Tetaplah engkau (bergabung) bersama Jama'atul Muslimin. Sebab, Allah SWT tidak akan mempersatukan umat Muhammad ini dalam kesesatan".

Perkataan Ibnu Mas'ud tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan "Jama'atul Muslimin" adalah umat Islam secara keseluruhan. Bila ucapan tersebut dikaitkan dengan Hadits Huzhaifah di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa Jama'atul Muslimin adalah masyarakat kaum Muslimin yang berada di bawah kekuasaan seorang Imam /Khalifah, dan mereka (ketika itu) belum terlibat (bergabung) dengan kelompok atau aliran sesat yang menentang Islam dan Khilafah atau berusaha memisahkan diri dari Jama'atul Muslimin.

Pengertian tentang Jama'atul Muslimin, sesungguhnya tidaklah berbeda dengan pendapat para fuqaha dan ahli Hadits. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa Jama'atul Muslimin adalah seluruh umat Islam (Assawad Al A'zham), atau jama'ah kaum Muslimin yang menaati Imam /Khalifah mereka. Sedangkan siapa saja yang melanggar bai'at (taat), maka ia dianggap telah keluar dari Jama'atul Muslimin9).

-------------------
7) Lihat Shahih Bukhari, hadits no. 7084.
8) Lihat Fathul Bari , Ibnu Hajar Al Asqalany, jilid XXIII, halaman 37.
9) Ibid, halaman 37.

Oleh karena itu, kepentingan pertemuan pada tingkat pimpinan merupakan satu keharusan dan perlu dibahas secara serius dan berdaya-guna, dengan tujuan untuk menghilangkan perselisihan di antara gerakan-gerakan da'wah Islam, sekaligus berusaha untuk menyatukan gerak da'wah khususnya dalam masalah-masalah penting yang dihadapi oleh umat Islam sekarang. Semua itu tidak lain adalah untuk menemukan cara dan sarana yang tepat dan bijaksana demi mendorong kemajuan da'wah Islam.

Juga perlu adanya pertemuan pada tingkat anggota gerakan Islam itu sendiri, agar mereka dapat memahami bahwa pribadinya juga merupakan bagian dari kaum Muslimin sebelum mereka benar-benar bersikap dan bertindak sebagai seorang pengemban da'wah. Dengan kata lain, seorang pengemban da'wah adalah seorang Muslim, sebelum ia (terlepas atau) berada dalam suatu kelompok/jama'ah/gerakan Islam. Juga, perlu dijelaskan kepada mereka bahwa hubungan antarsesama anggota gerakan haruslah berupa hubungan persaudaraan, dan bahwasanya setiap pengemban da'wah harus diingatkan pada firman Allah SWT:

"Berpegangteguhlah kalian semua dengan Dinul Islam (Hablillaah) dan janganlah (kamu) bercerai-berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan [masa jahiliyah], maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu, karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara" (Ali Imran: 103).

Apabila para pengikut gerakan Islam tersebut menjadikan Ayat di atas sebagai pusat perhatiannya, maka mereka akan menyadari bahwa hubungan antara pengikut gerakan tersebut adalah hubungan persaudaraan, sekalipun terdapat berbagai bentuk perbedaan. Sebab, perbedaan yang demikian adalah perbedaan yang wajar terjadi di antara sesama kaum Muslimin, tetapi tidak sampai dianggap satu sama lain saling bermusuhan. Bahkan mereka itu bersaudara.

Oleh karena itu perlu adanya pertemuan antarpengikut gerakan, misalnya di masjid, sekolah/kampus, rumah-rumah maupun kantor, atau di setiap tempat yang memungkinkan para pengemban da'wah dapat bertemu. Selain itu, satu sama lain hendaknya membicarakan tentang ide-ide Islam dan masing-masing berusaha untuk merealisasikan Islam dalam kehidupan. Setiap orang dari mereka harus menyadari bahwa da'wah mereka wajib ditujukan untuk Islam, bukan untuk jama'ah /kelompok /partai /organisasi, atau perorangan. Juga, kesetiaannya (sikap Wala', Muwalaat) adalah untuk Islam semata, bukan untuk salah satu golongan atau perorangan tersebut. Kemudian setiap orang di antara mereka hendaknya menyadari bahwa dia bersama saudaranya berada dalam satu kubu untuk menentang kekufuran dan orang-orang kafir yang memusuhi Islam beserta umatnya.
Jika kesadaran ini telah muncul, maka hilanglah fanatisme golongan, partai, jama'ah, atau fanatisme terhadap pemimpin gerakan. Sebab, loyalitas seorang Muslim harus semata-mata untuk Islam. Begitu juga ketaatannya, harus menjadi ketaatan yang lahir atas dasar kesadaran, bukan taqlid buta. Oleh karena itu, bila telah terbentuk suatu kontak pertemuan antara para pemimpin dan pengikut masing-masing jama'ah atau gerakan, maka berarti telah terbentuk pula satu kesatuan aktivitas atau kerja sama (ta'awun) yang akan mendatangkan keuntungan bagi da'wah Islam, sehingga ia menjadi pendorong da'wah untuk bergerak maju dengan kehendak Allah SWT.

Selain itu, hendaklah semua gerakan Islam menyadari bahwa Khilafah (pemerintahan Islam) adalah semata-mata Khilafah Islamiyah, bukan Khilafah milik golongan/gerakan tertentu, baik Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Jama'ah Tabligh, Jama'ah Islamiyah, dan lain-lain. Juga perlu disepakati bahwa Khalifah yang dibai'at oleh umat merupakan Imam (pemimpin) bagi kaum Muslimin seluruhnya dan dialah yang mewakili umat dalam melaksanakan Hukum Syara' serta mengembangkan da'wah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan jalan jihad.

Seorang Khalifah tidak boleh mewakili kepentingan satu golongan tertentu, dan tidak boleh pula mendahulukan kepentingan satu partai politik tertentu, yang pernah diikutinya atau masih aktif di dalamnya lebih daripada kepentingan kaum Muslimin keseluruhannya. Karena, dengan terlaksananya bai'at [pengangkatan terhadap Khalifah], maka dia telah menjadi wakil kaum Muslimin dalam melaksanakan seluruh Syariat Islam dan mengemban Risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Di samping itu, ia harus mengatur dan memelihara urusan kaum Muslimin secara keseluruhan, termasuk urusan ahli zhimmah. Sebab, mereka selaku rakyat dan dia selaku pemimpin, bertanggung jawab atas mereka.

Ini berarti bahwa setiap gerakan harus beranggapan bahwa apabila salah satu gerakan telah berhasil menegakkan Khilafah Islamiyah, maka yang lain harus ikut tunduk kepada Khalifah yang diangkat oleh gerakan tersebut dengan membai'atnya (bai'atuth thaat) selaku Amirul Mukminin. Juga, hendaklah setiap gerakan berusaha untuk menggabungkan semua wilayah yang menjadi pusat gerakan mereka dengan wilayah-wilayah Khilafah tanpa melihat lagi gerakan mana yang telah berhasil mendirikan Khilafah Islam.

Apabila Jama'ah Islamiyah yang ada di Pakistan telah berhasil mendirikan suatu negara yang berbentuk Khilafah Islamiyah, kemudian negeri tersebut telah memenuhi semua persyaratan sebagai Darul Islam, yakni keamanan masyarakat dan kekuasaan di sana yang tadinya berada di bawah naungan kekufuran telah berubah status di bawah kekuasaan dan keamanan Islam, maka pada saat itulah wajib bagi seluruh gerakan lainnya yang beroperasi di luar wilayah Pakistan seperti, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Kelompok Jihad, FIS (Front of Islamic Salvation), Jama'ah Tabligh dan lain sebagainya untuk segera berbai'at kepada Khalifah serta berusaha menggabungkan negeri Islam lainnya dengan Negara Khilafah.

Oleh karena itu, tidak begitu penting siapa yang mendapatkan pertolongan Allah SWT ("Nashrullah") lebih dahulu, tetapi yang penting adalah pertolongan Allah SWT itu terlebih dahulu jatuh kepada salah satu gerakan. Sebab, Khilafah tersebut adalah untuk kaum Muslimin semuanya dan kemenangan itu diperuntukkan bagi semua gerakan yang ada di dunia, bukan untuk salah satunya. Dengan demikian, keberagaman gerakan merupakan faktor positif yang dapat menumbuhkan semangat bergerak dalam diri umat dan mendekatkan semua kaum Muslimin kepada pertolongan Allah SWT dimana umat Islam sekarang mengharapkan akan tiba dalam waktu yang dekat.

Demikianlah sebagian garis besar jawaban terhadap pertanyaan di atas yang semua itu dapat dilaksanakan melalui diskusi atau pertemuan langsung (face to face), bukan melalui surat menyurat, atau cara-cara lainnya. Hanya inilah yang dapat membuka wawasan yang kuat antar gerakan Islam untuk berjuang melaksanakan kegiatan da'wahnya yang itu tidak mungkin dilaksanakan sendiri-sendiri. Akhirnya marilah kita memohon kepada Allah SWT agar berkenan memberikan kekuatan dan taufiq kepada semua gerakan Islam untuk berjuang sesuai dengan apa yang diridlaiNya, dan kita memohon kepada Allah Ta'ala agar menetapkan semua gerakan Islam di jalan yang haq dan benar, serta berupaya menegakkan Khilafah Islam yang keberadaannya sangat penting bagi umat Islam. Bahkan, bagi semua umat manusia! Kita juga memohon kepada Allah SWT agar pencapaian cita-cita semua gerakan dapat terlaksana, yaitu dengan tegaknya Khilafah Islam dan terhimpunnya kekuatan kaum Muslimin, serta terciptanya kesatuan antarnegeri-negeri Islam.

Alhamdulillaah, perasaan dan semangat Islam demikian telah mulai muncul dan bersemi di kalangan umat Islam yang kini cenderung untuk bangkit. Oleh karena itu, kita juga memohon kepada Allah SWT agar semua gerakan Islam dapat berhasil mencapai satu-satunya tujuan ini, dan selanjutnya lepas landas demi membebaskan manusia dari berbagai tindak kezhaliman, kerusakan, kenistaan, keresahan serta kekacauan. Tercapainya tujuan tersebut bukanlah suatu hal yang sulit bagi Allah SWT.

Sunday, August 17, 2008

Seputar Gerakan Islam - Darimanakah Harakah Islam Harus Mulai ?




Darimanakah Harakah Islam Harus Mulai?


Darimana harakah Islam harus mulai memperbaiki keadaan masyarakat? Apakah dengan terlebihi dahulu memperbaiki individunya, seperti yang dilontarkan oleh kebanyakan gerakan Islam? Ataukah, dengan memperbaiki kondisi dan sistem masyarakatnya, sebelum memperbaiki individunya? Atau, perbaikan itu tidak mungkin berhasil apabila tidak didukung oleh sebuah Negara yang memperbaiki keadaan masyarakat dan individu? Atau bagaimana?


Fakta menunjukkan bahwa perbaikan terhadap individu tidak cukup dengan sendirinya dapat memperbaiki masyarakat. Namun ini tidak berarti bahwa perbaikan individu dapat diremehkan dan dianggap tidak begitu penting. Sebab, untuk memperbaiki masyarakat, diperlukan upaya besar yang dititikberatkan pada perubahan sistem yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, perubahan pemikiran dan kebudayaan yang telah mengakar di dalamnya, serta perasaan individu masyarakat.

Perubahan tersebut tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan adanya usaha dari suatu kelompok yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena kelompok tersebut terbentuk dari sejumlah individu, tentu harus diupayakan terlebih dahulu mengubah diri mereka sendiri menjadi orang yang Shalih sebelum orang lain. Dan seharusnya upaya dan aktivitas kelompok tersebut tidak terbatas hanya memperbaiki sekelompok orang lain lalu menjadikannya sebagai bagian dari kelompok da'wah mereka, tetapi upaya yang paling pokok adalah mengubah masyarakat yang ada sekarang ini menjadi masyarakat Islam, melalui jalan pembinaan pemikiran dan perasaan individu-individunya.
Tidak dapat diperselisihkan lagi bahwa kondisi politik dan ekonomi yang berubah dan berkembang saat ini di negeri-negeri Islam selalu mengarah kepada suatu kondisi yang tidak sesuai dengan kepentingan umat Islam. Sering kita dengar banyak analisa terhadap keadaan tersebut dari intelektual-intelektual Muslim di berbagai negeri Islam. Tetapi diantara analisa-analisa tersebut yang paling menarik ialah dua pendekatan berikut ini:
(1) Memahami Keadaan Masyarakat. Ada diantara sebagian intelektual muslim yang mencoba menganalisa dengan cara membahas problema-problema yang ada sekarang. Mereka yakin bahwa setiap pemecahan suatu masalah tidak dapat dilakukan kecuali dengan memahami keadaan/fakta masalah tersebut, persis seperti halnya seorang dokter yang tidak akan memberi obat sebelum melakukan diagnosa terhadap penyakit yang diderita pasiennya.
(2) Pesimis terhadap Keadaan. Sebagian intelektual lainnya berusaha menciptakan sikap pesimis terhadap diri kaum muslimin. Caranya, mereka selalu memperbandingkan kemajuan bangsa-bangsa Barat dengan kemunduran kaum muslimin saat ini. Mereka sengaja menonjolkan keadaan kaum muslimin yang payah tersebut dari berbagai aspeknya. Setelah itu mereka tidak memberikan pemecahan jitu terhadap problema tersebut, bahkan sama sekali tidak berusaha menyumbangkan jalan keluar untuk mengatasinya. Mereka itu seolah-olah mengatakan kepada kaum muslimin: "Itulah keadaan umatmu". "Kalian tidak akan mengalami perubahan!", teriaknya. Terhadap analisa semacam inilah, kita harus waspada.
Oleh karena itu, telah menjadi kewajiban bagi siapa saja yang mendambakan suatu kebangkitan kaum muslimin, agar tidak hanya memaparkan masalah-masalah kaum muslimin, tanpa memberikan pemecahan. Karena sikap seperti ini tidak akan menyumbangkan suatu pemikiran baru. Tetapi, yang seharusnya adalah mulai menentukan rencana-rencana yang tepat untuk merancang pemecahan jitu bagi kaum muslimin dan mengembalikan mereka ke posisi mulia sebagai umat yang paling unggul di dunia. Dengan cara demikian mereka dapat menjadi umat yang dikehendaki Allah SWT sebagai "Khaira Ummah" yang dilahirkan dan menonjol di tengah-tengah umat manusia. Nah, disinilah kemudian timbul pertanyaan: "Dari mana kita harus mulai?"
Kalau kita meneliti jawaban dari berbagai gerakan Islam terhadap pertanyaan ini, akan kita dapatkan dua macam pandangan:
Pertama: Perbaikan Individu
Kelompok ini berusaha memperbaiki setiap individu muslim dengan memfokuskan perhatian yang sangat besar terhadap fondasi masyarakat. Mereka menganggap manakala telah didapatkan kesempatan yang cukup untuk memperbaiki fondasi tersebut, maka kaum muslimin akan kembali mendapatkan kemuliaannya seperti sedia kala. Dan menurut mereka, "Allah menghindarkan orang-orang Muûmin dari peperangan"(baca: Surat Al Ahzab: 25)
Kedua: Perbaikan Masyarakat
Kelompok ini beranggapan bahwa usaha yang paling benar adalah membentuk sebuah negara yang memikul beban da'wah dan melindungi kaum muslimin dari berbagai penyakit yang mereka derita, serta mengubah masyarakat menjadi masyarakat Islam yang dengan perubahan itu pasti akan mempengaruhi individu-individunya, sekaligus memperbaiki keadaan mereka.
Di antara dua pandangan tersebut, terdapat perbedaan metode sekalipun tujuannya sama yaitu mengembalikan kejayaan umat Islam. Mengingat tujuan tersebut merupakan keperluan yang sangat penting, maka perlu kita bicarakan lebih mendalam untuk mengetahui mana yang paling benar.
Sebelum menjawab pertanyaan terakhir ini, terlebih dahulu kita harus sepakat terhadap satu hal pokok, bahwa Islam telah menentukan dan menunjukkan kebenaran itu. Diantaranya ialah apa yang tercantum dalam Al Qurâan, surat An Nisaa ayat 59:
"...(Lalu) jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu (masalah), maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qurâan) dan Rasul (sunnahnya)"
Oleh karena itu, dalam rangka menyatukan pendapat, marilah kita lihat bagaimana Rasulullah saw mulai menjalankan da'wah, dan berupaya menyelamatkan masyarakat jazirah Arab dari perpecahan sosial dan politik, sehingga mereka dapat bangkit bahkan mampu menaklukkan dunia.
Memang benar bahwa yang pertama kali dilakukan Rasulullah saw adalah membentuk aqidah yang benar pada diri siapa saja yang baru masuk Islam, disertai dengan memperbaiki tingkah laku mereka. Tetapi, beliau sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa hanya dengan itu saja beliau ingin membentuk sebuah masyarakat Islam. Kita semua tahu bahwa Rasulullah saw selalu keluar pada setiap musim haji untuk menyampaikan da'wah kepada delegasi-delegasi yang datang dari berbagai penjuru sekitar kota Mekkah agar mereka memeluk Islam1). Mengapa beliau menyampaikan da'wah kepada qabilah-qabilah tersebut, padahal penduduk Quraisy sendiri belum seluruhnya menerima Islam? Tidakkah kita melihat bahwa beliau tidak pernah mengatakan: "Aku akan membatasi usahaku pada individu masyarakat Makkah saja dengan memperbaiki tingkah laku mereka, dan dengan jalan itu Islam dapat ditegakkan". Apa artinya?
Artinya ialah bahwa Rasulullah saw telah memahami bahwa kekuatan politik dan militer itu merupakan suatu keharusan. Beliau selalu memikirkan hal itu, termasuk pada saat beliau menempuh da'wah fardiah yang berusaha menyelamatkan setiap orang dari api neraka. Memang benar, bahwa beliau telah menentukan target yang lebih dari itu, yaitu menyelamatkan seluruh umat manusia dari api neraka, tetapi beliau tidak akan mampu menyampaikan ide-ide Islam kepada seluruh umat manusia apabila suaranya terbungkam.
Dari sinilah beliau menyertakan langkah meminta pertolongan dan perlindungan terhadap langkah pembinaan dan persiapan aqidah masyarakat. Tetapi, apakah Rasulullah saw menunggu sampai beliau memiliki suatu pondasi yang cukup kuat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh kelompok da'wah pertama diatas (yakni yang memperbaiki individu saja)? Fakta sejarah menunjukkan, bahwa tatkala beliau telah mulai meminta perlindungan dari pemimpin masyarakat Thaif, beliau berangkat sendirian ke sana. Sekalipun pada akahirnya beliau tidak berhasil, sampai-sampai anak-anak kecil pun melemparinya dengan batu2). Ini menunjukkan bahwa sekalipun da'wah Rasulullah masih dalam tahap awal, tetapi beliau telah
-------------------
1) Lihat Sirah Ibnu Hisyam Jilid I, halaman 422-427.
2) Ibid, halaman 419.merencanakan untuk mencari kekuatan dan menjadikan hal ini sebagai salah satu usaha yang paling utama. Maksud dari kekuatan itu adalah memiliki sebuah negara.
Juga, bukankah Rasulullah pernah mengatakan kepada sahabatnya --sebelum hijrah tentunya: "Kita belum diperintahkan berperang"3). Bukankah ini isyarat bahwa peperangan itu akan terjadi, bahkan akan memiliki kedudukan penting dalam melindungi Islam setelah tegaknya negara Islam kelak?
Ada sebagian orang yang melontarkan suatu pemahaman bahwa penduduk Yatsriblah yang telah datang kepada Rasulullah saw dan mengajak beliau untuk datang ke negeri mereka sebagai salah satu upaya untuk mengatasi perselisihan dan permusuhan yang selalu terjadi antara dua suku besar, "Aus dan Khajraj". Pemahaman seperti ini berkeinginan agar kaum Muslimin menerima secara apriori pendapat yang mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak pernah meminta sendiri dari para pemimpin Madinah untuk mendirikan negara di Madinah, melainkan merekalah (penduduk Madinah) yang menawarkan dan memberikannya! Dengan kata lain, hal ini terjadi begitu saja tanpa ada rencana sebelumnya. Namun fakta yang tercantum dalam kitab-kitab sirah Rasul menunjukkan sebaliknya.
Cukuplah kita membaca riwayat Ibnu Hisyam yang menceritakan peristiwa itu, yang menjadi saat-saat yang sangat penting dalam sejarah Islam ini. Hanya saja kita tidak akan mencantumkan nash secara keseluruhan, tetapi hanya ucapan orang-orang Anshar kepada Nabi saw4):
"Kami telah meninggalkan kaum kami dalam keadaan saling bermusuhan dan buruk, sehingga tidak ada satu kaum pun yang keadaannya lebih buruk seperti mereka. Oleh karena itu Allah SWT mudah-mudahan menyatukan hati mereka dengan engkau. Nanti kita akan mendatangi mereka dan mengajak mereka untuk mengikutimu, lalu kami akan menawarkan kepada mereka agama yang kami terima dari engkau".
-------------------
3) Ibid, halaman 448.
4) Ibid, halaman 328-329.
Perkataan mereka, "Ajabnaaka" (yang kami terima dari engkau), menunjukkan bahwa Rasulullahlah yang telah meminta pertolongan dan perlindungan dari mereka. Itulah yang dapat dimengerti dari perkataan tersebut, kecuali kalau memang ada kamus-kamus bahasa terdapat pengertian yang lain dari itu.
Sebagai penguat argumentasi dan pemahaman ini, kita kutipkan sebuah riwayat Asy Sya'bi, bahwa pada saat itu As'ad bin Zararah bertindak sebagai pemimpin suku Al Khazraj. Pemimpin suku ini berkata kepada Rasulallah saw5):
"...Engkau telah meminta kepada kami (untuk menyerahkan kekuasaan milik kami). Sedangkan kami adalah suatu kelompok masyarakat yang hidup di negeri mereka dalam keadaan mulia dan kuat. Namun di situ tidak ada yang rela dipimpin oleh orang dari luar suku kami, khususnya bagi kaumnya sendiri yang paman-pamannya tidak memberikan perlindungan bagi mereka. (Terus terang bahwa) permintaan tersebut adalah suatu hal yang sukar sekali. Tetapi kami ini (telah bersepakat untuk) memenuhi permintaanmu itu..."
Tinggal kini kita menyebut tindakan Umar, ketika beliau memutuskan membuat kalender Islam ternyata beliau menjadikan peristiwa hijrah sebagai tahun pertama. Penafsiran tindakan Umar ini tidak lain adalah bahwa peristiwa hijrah adalah merupakan awal lahirnya negara dan masyarakat Islam pertama. Apakah ada seorang peneliti yang dapat membicarakan masalah masyarakat Islam sebelum membicarakan masyarakat Islam di Madinah?
Cobalah kita berfikir, bagaimana mungkin bisa membangun suatu masyarakat Islam sekarang ini tanpa ada sebuah negara Islam! Kalau Rasulullah saw saja selama 13 tahun berda'wah di Mekkah tidak berhasil,
-------------------
5) Lihat Dalailumi Nubuwah, Abu Nu'aim Al Ashbahani, halaman 106.padahal beliau mendapatkan pertolongan dari Allah SWT; juga sekalipun beliau --seperti yang diakui pula oleh para orientalis-- tidak pernah menghadapi kepercayaan/agama yang begitu berbahaya. Lalu bagaimana dengan kita? padahal kita ditantang untuk menghadapi ide-ide sekuler dan materialis, serta serangan kebudayaan Barat yang didukung oleh kekuatan militer dan sistem intelegen-nya? Apakah mungkin kita dapat menghadapi semua bahaya dan tantangan ini dengan tangan kosong (tanpa sebuah negara)?
Sekalipun telah kita sebutkan bukti-bukti yang jelas seperti di atas, masih saja ada sebagian orang yang menolak menganalogikan keadaan sekarang dengan keadaan masa lalu. Mereka beralasan bahwa keadaan masa lampau berbeda dengan keadaan sekarang, di samping Rasulullah saw sendiri punya keistimewaan dan kelebihan. Atau, bahwa penyerupaan ini akan mendorong kita "berkhayal" dan menjauhkan diri dari kenyataan! Dan walaupun kita tegas menolak alasan-alasan tersebut, tetapi baiklah kita akan mencoba meneliti dan melihat keadaan sekarang ini --sekalipun dipisahkan dari sirah Rasul dan cara beliau memecahkan persoalan-- Kita akan lihat bahwa akal, di samping syara', akan mengantarkan kita kepada kesimpulan yang serupa.
Ambillah, misalnya, suatu negeri yang penduduknya mayoritas muslim. Di tengah-tengah negeri itu berkembang banyak ide, dan kepentingan yang saling bertentangan, seperti partai-partai komunis/sosialis atau paham sekuler, di samping adanya ketegangan dengan agama-agama lain, taruhlah agama kristen misalnya; tentu dalam masyarakat seperti ini orang-orang lambat laun akan menjauhkan diri dari Islam, rasa ketaqwaan akan berkurang, dan aqidah Islam akan menjadi mudah goyah dalam diri kaum muslimin. Pada saat kita meneliti masyarakat seperti ini, kita harus membayangkan secara jujur bahwa masyarakat yang kita jadikan contoh ini merupakan suatu gambaran yang ada pada setiap masyarakat Islam secara umum. Atau paling tidak merupakan suatu gambaran yang mewakili negeri yang akan diperbaiki, sekalipun pendekatan masing-masing kita berbeda.
Harus kita perhatikan disini, bahwa partai-partai Sosialis itu dapat bergerak tentu mendapat dukungan dari salah satu partai politik dan militer yang besar di tingkat internasional. Derasnya arus sekulerisasi juga karena didukung oleh negara-negara Barat dan Timur secara bersamaan, selain --ini yang sangat menyedihkan-- oleh negeri-negeri Islam sendiri. Akan halnya aktivitas kristenisasi, praktek mereka didukung oleh negara-negara Eropa, khususnya Perancis dan Vatikan. Kita tidak dapat membayangkan apa akibatnya jika sekolah-sekolah misionaris di negeri-negeri Islam, seperti Libanon, didirikan oleh penduduk Nasrani dan dapat dipertahankan keberadaannya sepanjang masa, tanpa mendapat dukungan dari orang-orang Nasrani di seluruh dunia. Jadi pengaruh-pengaruh ideologi dan pemikiran yang menentang Islam selalu didukung oleh kekuatan politik dan militer dari negara tertentu. Lantas umat Islam, siapa yang melindungi kepentingan-kepentingan mereka? Apa kita harus berlindung kepada negara-negara yang ada di dunia Islam, sementara pemimpinnya merupakan kaki tangan negara adidaya yang tidak punya harga diri lagi?
Cukuplah kita melihat bagaimana sikap Saudi Arabia, yang merupakan tanah Hijaz dan pusat Islam pertama terhadap pengusiran sekitar 300.000 kaum muslimin dari Bulgaria tahun 1989. Lihat pula bagaimana sikap Saudi dan Kuwait dalam meminta perlindungan kepada Amerika Serikat untuk menghancurkan salah satu negeri Islam Irak, dan meluluskan keinginan Amerika Serikat disana untuk menghancurkan kekuatan militer dan ekonominya. Kita jadi bertanya, apakah ini dapat terjadi kalau kaum muslimin mempunyai suatu daulah yang mempertahankan negeri-negeri mereka dan menjaga kehormatannya. Padahal dahulu khalifah Al-Mu'tasim (masa Abbasiyah) telah membakar kota Rumiyah (Roma), juga membunuh 90.000 orang hanya untuk mendukung seorang wanita muslimat yang berteriak sambil memanggil: "Waa Mu'tasimaah, di manakah engkau wahai Al Mu'tasim", setelah dilanggar kehormatannya oleh tentara Romawi. Juga jauh sebelumnya, Rasul mengumumkan perang terhadap kaum Yahudi dari Bani Qainuqa', hanya untuk melindungi wanita yang dibuka jilbabnya oleh orang Yahudi.
Namun sekarang siapa yang bisa membalas kehormatan kaum muslimin yang dilanggar musuh Islam di Palestina, di India, Bosnia, Myanmar, Filipina atau di tempat-tempat lainnya? Apa pidato-pidato, seminar, lokakarya, kongres, dll bisa melakukannya!?
Mata tidak bisa melawan penusuk mata, tetapi pedang bisa menghancurkan sarungnya. Akhirnya kita dapat simpulkan bahwa setiap pemikiran yang ditujukan untuk membangkitkan kaum muslimin hendaknya mampu membentuk kesadaran individu sebagai langkah awal, menghidupkan dan mengembangkan aqidah mereka, juga menampakkan kerusakan dan kekeliruan ideologi Barat, disamping selalu berusaha memperbaiki perilaku setiap muslim semaksimal mungkin, dan memecahkan persoalan-persoalan masyarakat.
Tetapi harus selalu diingat bahwa cara tersebut tidak cukup untuk mengubah keadaan. Bahwasanya jalan yang sempurna dan komplit yang ditempuh untuk membangkitkan kaum muslimin adalah dengan membentuk kesatuan politik dan ekonomi di bawah satu bendera dan satu naungan, yaitu negara khilafah yang berusaha menyampaikan da'wah secara totalitas ke seluruh penjuru dunia. Dan hendaknya usaha untuk mewujudkan ini semua harus mendapat perhatian lebih dan memerlukan curahan pikiran dan tenaga yang sangat besar dari seluruh kaum Muslimin di dunia, khususnya yang ada di Timur Tengah sebagai pembawa harapan bagi seluruh umat Islam di dunia.
Bila kita sudah tahu bahwa daulah khilafah adalah syarat mutlak untuk membangkitkan kaum muslimin secara sempurna, maka inilah jalan yang ditempuh untuk mengadakan "ishlah" (perbaikan) yang kita inginkan. Yaitu jalan tersebut pernah ditempuh oleh Rasulullah saw. Karena itu, kita tidak boleh menyimpang sedikitpun dari padanya atau mengambil jalan tengah. Misalnya berkompromi dengan penguasa yang menentang kehadiran Islam di bidang politik dan ekonomi negara, atau di bidang hukum dan peradilan.
Kita bukanlah umat yang biasa mengambil jalan tengah (moderat). Pilihan kita hanya dua; keinginan itu tercapai atau kita harus mati karenanya.


Sumber Buku : Soal-Jawab Seputar Gerakan Islam, Oleh Abdurrahman Muhammad Khalid, Pustaka Thoriqul Izzah, Januari 1994.

Wednesday, August 06, 2008

Seputar Gerakan Islam - Berjuang Untuk Islam di Jalan Yang Keliru



Berjuang Untuk Islam di Jalan Yang Keliru (Bab 4)

Ada sebagian di antara kaum Muslimin selalu mencari alasan untuk tidak berjuang demi tegaknya Islam dan kembalinya khilafah Islam. Mereka berpendapat bahwa memperjuangkan Islam sekarang ini pernuh dengan resiko. "Allah akan memaafkan orang-orang yang tidak sanggup berjuang", kata mereka. Ada juga yang mengatakan bahwa aktifitas da'wah harus dijauhkan dari arena politik. Bahkan dalam masalah ini ada yang berani menentang adanya politik di dalam Islam, sehingga tidak mau berjuang bersama-sama partai atau gerakan Islam. Ada juga di antara pejuang-pejuang Islam menempuh jalan kekerasan untuk mendirikan negara Islam. Benarkah semua pendapat tersebut di atas?



Rasulullah saw telah mengambil berbagai langkah yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk membangun negara yang menerapkan aqidah Islam dan peraturan-peraturannya, sampai beliau berhasil mengambil alih kekuasaan pada malam bai'at ahlul halli wal 'aqdi --yaitu pemimpin dan tokoh-tokoh masyarakat di Madinah-- untuk melindungi beliau dan menghadapi seluruh kekuatan kafir yang ada, juga untuk mendengar dan taat kepadanya. 'Ubadah bin Shamit meriwayatkan tentang peristiwa ini sebagai berikut:

"Kami telah membai'at/berjanji kepada Rasulullah saw untuk tetap setia mendengarkan dan mematuhi perintahnya, dalam keadaan yang kami senangi atau kurang kami senangi, di masa sulit maupun lapang, dan tidak mendahulukan kepentingan kami. Dan kami tidak menentang perintah dari ahlul amri/orang-orang yang memegang jabatan pemerintahan, kecuali (sabda Rasul): "Kalau kamu melihat kekufuran secara terang-terangan, yang bisa kamu buktikan berdasarkan keterangan dari Allah". (HSR Bukhari-Muslim)1).

----------------
Istilah Ahlul Amri di sini termasuk para khalifah, wali (gubernur) dan umarâ (pejabat-pejabat pemerintah lainnya).

Tidak ada ikhtilaf lagi di kalangan kaum muslimin bahwa pengangkatan dan bai'at kepada khalifah itu wajib hukumnya dan ia merupakan fardlu kifayah. Berarti jika ditegakkan oleh sebagian kaum muslimin maka tidak dikenakan kewajiban ini kepada yang lain. Tetapi, jika belum ditegakkan, maka kewajiban itu tetap dibebankan kepada kaum muslimin seluruhnya. Apabila kewajiban ini belum terlaksana, mereka semuanya berdosa kecuali orang-orang yang berusaha menegakkannya. Demikian pula setiap fardlu kifayah, bisa menjadi fardlu a'in sampai terlaksana; atau diduga oleh orang-orang yang belum terlibat bahwa yang sudah mulai berusaha melakukannya mampu menghasilkan atau merealisasikan fardlu tersebut. Contoh dalam hal ini seperti shalat jenazah, jihad dan menuntut ilmu yang dibutuhkan oleh umat, semuanya adalah fardlu kifayah.

Andaikata kaum muslimin sekarang menduga kuat bahwa kaum muslimin Palestina mampu mengalahkan dan memusnahkan Yahudi, maka mereka boleh tidak ikut berjihad bersama mereka. Apabila mereka menduga sebaliknya, maka wajib bagi mereka (mulai dari yang dekat sampai kepada yang paling jauh) ikut bergabung dengan kaum muslimin Palestina untuk berjihad melawan orang-orang Yahudi. Jika mereka tidak melakukannya, semuanya akan berdosa. Dalam hal ini contohnya tidak terbatas pada negeri Palestina, bahkan mencakup seluruh negeri yang dikuasai orang-orang (negara) kafir dari Kaukasus (Rusia) sampai Yugoslavia, dari Andalusia sampai India, dan lain-lainnya.

Adapun jalan yang ditempuh untuk menegakkan negara Islam tergolong hukum syara' yang harus dilaksanakan sebagaimana hukum syara' lainnya. Kaum muslimin sekarang terbagi dua, ada yang berusaha menegakkan negara Islam dan ada yang tidak. Padahal Rasulullah saw telah bersabda:
"Siapa saja yang mati dan (dinegerinya) tidak ada seorang imam (khalifah), maka matinya adalah seperti mati jahiliyah". (HSR Imam Ahmad).2)

------------------
1) Lihat Shahih Bukhari hadits no. 7056; dan Shahih Muslim hadits no. 1709.

Para pejuang (gerakan) Islam sekarang belum berhasil mengangkat seorang khalifah dan merealisasikan Hukum Islam sejak tahun 1924. Karena itu, orang-orang yang tidak berjuang akan berdosa karena telah melalaikan dan tidak melaksanakan fardlu ini. Status mereka sama dengan meninggalkan fardlu-fardlu lain seperti sholat, shaum, dan lain-lain.

Di antara orang-orang yang malas berjuang untuk Islam ada yang mencari alasan bahwa ia tidak mampu melaksanakannya, karena resikonya sangat besar. Mereka bertolak dari berbagai dalil-dalil syara' antara lain firman Allah SWT:

"Allah tidak membebani (hukum) atas seseorang, kecuali sesuai dengan kesanggupannya..." (Al Baqarah: 286).

Juga sabda Rasulullah saw:

Tidak layak bagi seorang muslim untuk menghina dirinya". Para sahabat bertanya: 'Bagaimana bisa seseorang menghina dirinya, ya Rasulullah?' Beliau menjawab: "Ia melibatkan diri dalam suatu perbuatan yang membahayakan dirinya dan ia tidak mampu melaksanakannya"
(HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ath Thabari).3)



Orang-orang yang mengatakan demikian, di antaranya terdapat berbagai alim ulama yang mengajarkan Islam kepada kaum muslimin tetapi tidak memperdulikan masalah politik dan tidak ingin membentuk suatu gerakan atau partai politik Islam.

-------------------
2) Lihat Tartib Musnad Imam Ahmad, Jilid XXIII, halaman 52, no. 119.
3) Lihat Sunan Tirmidzi, hadits no. 2353; Sunan Ibnu Majah hadits no. 4016; Musnad Imam Ahmad, jilid V, hal. 405; dan Mu'jam Thabari Al Kabir jilid III, hal. 204.

Adapun ayat tersebut adalah suatu nash syara' yang menunjukkan bahwa Allah tidak membebani manusia dengan suatu perbuatan kecuali sesuai dengan kemampuannya, sebatas pemahaman dan niatnya. Makna tersebut berlawanan dengan makna yang diisyaratkan oleh orang alim di atas. Begitu pula Hadits di atas yang dijadikan alasan menunjukkan makna yang sama, karena berbunyi: "Ia melibatkan diri dalam suatu perbuatan".

Masalah ini berbeda dengan taklif Allah kepada manusia. Di samping itu, hadits ini adalah "munqathî" (terputus sanadnya), sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

Untuk memberikan gambaran yang jelas dalama masalah ini, kami ungkapkan contoh yang dilakukan oleh tiga orang shahabat yang telah berlomba dalam beribadah. Salah satunya mengatakan sanggup berpuasa terus-menerus, yang kedua bangun malam (tahajjud) secara terus menerus, dan yang ketiga tidak ingin menikah dengan wanita untuk selama-lamanya. Kemudian mereka datang ke rumah kepada Rasulullah dan bertanya kepada istrinya mengenai ibadah Rasulullah. Setelah menjelaskan ibadah Rasul tersebut seolah mereka menganggap ringan ibadah beliau. Kemudian mereka berkata: "Bagaimana kita dibandingkan Rasulullah, beliau diampuni dosa sebelum dan sesudahnya". Tatkala mendengar ucapan mereka itu, Rasulullah saw marah dan berkhutbah di hadapan kaum muslimin:
"Demi Allah, Aku manusia yang paling taqwa kepada Allah diantara kalian. Tetapi aku berpuasa dan berbuka. Aku pun bangun malam dan tidur dan aku juga menikahi wanita. Siapa saja tidak mengikuti sunnahku, maka (mereka) tidaklah termasuk golonganku". (HSR Bukhari, Muslim, An Nasa'i, dan lain-lain)4)

Adapun ada tidaknya politik dalam Islam, maka perlu dijelaskan pengertiannya dari segi istilah syara', yaitu: "memelihara dan memperhatikan urusan umat/rakyat"5).

-------------------
4) Lihat Shahih Bukhari, IX/89-90; Shahih Muslim, no. 1401; Sunan An Nasaîi VI/60.
5) Lihat Kamus Politik, Ahmad 'Athiyah, hal. 320.

Mengangkat seorang khalifah adalah termasuk kegiatan politik. Sebab, apa tugas khalifah kalau bukan mengurusi masyarakat dengan aturan yang benar! Perhatikanlah sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Al Hakim6):

Siapa saja di pagi hari tidak memikirkan masalah kaum muslimin, maka bukan termasuk golongan mereka".

Rasulullah senantiasa memikirkan dan memelihara urusan ummat selama hidupnya demikian pula para Khulafaur Rasyidin dan para sahabat sesudahnya. Rasul juga memberitahu kepada para sahabat bahwa Allah akan meminta tanggungjawabnya (para Khalifah) tentang rakyat yang harus dipelihara urusannya, sebagaimana sabdanya:

"Dahulu Bani Israil dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah (kepala pemerintahan Islam)". Para shahabat bertanya: 'Apakah yang engkau perintahkan kepada kami (pada saat itu)?' Beliau menjawab: "Penuhilah bai'at yang pertama dan hanya yang pertama itu saja, serta berikanlah kepada mereka haknya. Sebab, Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka" (HSR Bukhari dan Muslim)7).

Untuk apa mengkaji ilmu tentang sistem pemerintahan, kalau bukan untuk diterapkan?

Adapun yang mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah membentuk partai yang terorganisir untuk menegakkan negara Islam, maka itu bertentangan dengan firman Allah:
"..Allah ridla terhadap mereka (shahabat) dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)Nya. Mereka itulah partai Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya partai Allah itulah yang beruntung" (Al Mujadalah: 22).

-------------------
6) Lihat Al Mustadrak, jilid IV, halaman 320.
7) Lihat Shahih Bukhari, hadits no. 3455; dan Shahih Muslim, hadits no. 1844.

Juga bertentangan dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad yang shahih8):

"Jika masyarakat kaum Muslimin melihat penguasa yang zhalim lalu tidak mencegahnya dari kezhaliman itu, maka hampir-hampir ditimpakan azab atas diri mereka".

Sabda Rasul ini merupakan penjelasan tentang amal jama'i atau kegiatan da'wah yang dilakukan oleh masyarakat, atau sekelompok kaum Muslimin dalam wadah satu partai yang diperintahkan untuk membentuknya agar dapat melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar. Perintah ini lebih ditegaskan lagi dalam firman Allah SWT:

"(Dan) Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung". (Ali Imran: 104).

Di bawah ini contoh salah seorang anggota Hizbur Rasul, yakni Mush'ab bin Umair ra. Allah menolongnya menyebarkan Islam di Madinah sebagai dasar bangunan negara Islam di sana, setelah ia berhasil mengajak tokoh-tokoh masyarakat Madinah (73 pemimpin) untuk masuk Islam. Kemudian mereka datang ke Makkah untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Rasulullah saw. Karena itu, dalam hal ini tidak boleh dibedakan antara fardlu mengangkat khalifah dan fardlu menuntut ilmu.

-------------------
8) Lihat Sunan Abu Dawud, hadits no. 4338; Sunan Tirmidzi, hadits no. 3059; Sunan Ibnu Majah, hadits no. 4005; Sunan Ibnu Hibban hadits no. 1837.

Keduanya merupakan fardlu kifayah, tidak bisa ditinggalkan salah satunya sebagaimana halnya tidak bisa ditinggalkannya salah satu dari shalat dan shaum. Sebab, memang yang diperintahkan kepada mukallaf (manusia yang sudah akil baligh) adalah kedua-duanya.

Di antara pejuang (gerakan) Islam ada yang berpendapat bahwa jihad adalah satu-satunya jalan yang ditempuh utuk mendirikan negara Islam. Pendapat ini tidak tepat. Sebab, pengertian jihad adalah peperangan melawan negara-negara kafir yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin, dengan harta, jiwa dan lidah, untuk menggabungkan negeri-negeri mereka ke negeri-negeri kaum muslimin, serta menaklukkan mereka agar cahaya Islam tersebar ke negeri-negeri kafir tersebut. Yang menjadi tujuan jihad lainnya adalah untuk menghilangkan segala penghalang yang bersifat fisik dan merintangi kaum muslimin untuk menegakkan keadilan di bumi ini. Dalam usaha ini termasuk mengubah negeri mereka agar menjadi Darul Islam. Di samping itu, jihad adalah berupa peperangan untuk mempertahankan Darul Islam sebagaimana sikap Rasulullah saw dalam mempertahankan Madinah dalam Perang Ahzab. Dengan memperhatikan pengertian jihad tersebut, maka bagi kaum muslimin sekarang wajib melaksanakan jihad untuk memerangi kaum Yahudi (Israel) asal tidak berlindung kepada negara-negara kafir (misalnya AS) yang sombong dan angkuh itu.

Walaupun jihad merupakan fardlu yang harus berlanjut sampai Qiamat serta tidak dapat terhenti oleh sebab keadilan atau kezhaliman penguasa, tetapi ia merupakan fardlu lain selain dari fardlu pengangkatan khalifah yang berupa suatu usaha yang tujuannya mengubah sistem pemerintahan yang berlaku atas kaum muslimin dari sistem kufur ke sistem Islam tanpa melihat siapa penguasa itu. Sebab, usaha tersebut bukanlah usaha perorangan yang ditujukan terhadap pribadi penguasa. Ia bertujuan untuk mengubah undang-undang yang dihasilkan akal manusia dengan undang-undang dan peraturan yang diambil dari syariat Islam.

Itulah yang telah dilakukan Rasulullah saw di Madinah yang pada saat itu masih tunduk kepada peraturan kufur. Tetapi tatkala pemimpin-pemimpin Madinah membai'at Rasulullah saw, maka kota Madinah telah menjadi negara Islam yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum Islam. Ketika Rasulullah saw wafat, para khalifah sesudahnya tetap berusaha mengambil bai'at orang-orang yang mewakili rakyat untuk melaksanakan hukum Islam di tengah masyarakat. Di masa kini tidak ada satu negeri pun yang mengambil aturan Islam berdasarkan syariat Islam atau madzhab fiqih Islam apapun, walaupun sebagian masih menganggap bahwa negara mereka adalah negara Islam. Mereka masih mencampuradukkan antara sistem Islam dengan sistem lain. Padahal peraturan-peraturan dan hukum-hukum Islam dapat diambil dari pendapat para fuqaha seperti Imam Syafi'i, Maliki, Hanafi, Hambali, Ja'far, Zaid dan lain-lain, atau diambil langsung dari dalil-dalil syara' melalui penggalian hukum (proses ijtihad) yang benar. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mengangkat seorang khalifah yang mengurusi kaum Muslimin berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah SWT, bukan berdasarkan apa yang tercantum dalam konstitusi Amerika, peraturan dan resolusi PBB dan juga berdasarkan sosialisme, serikat buruh maupun sosialisme Internasional atau marxisme.

Oleh karena itu, jihad merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh negara Islam sendiri, atau dilakukan oleh kaum muslimin, tanpa seijin Imam dalam situasi dan kondisi mengusir pasukan kafir, apabila terputus komunikasi dengan Imam. Ini berbeda dengan hukum mengangkat seorang khalifah bagi kaum Muslimin yang dilakukan tanpa mengangkat senjata terhadap penguasa yang ada, walaupun mereka tidak menerapkan Islam.

Mengenai masalah mengangkat senjata, ada di antara aktifisda'wah yang berkata bahwa jika kelompok kita telah ditimpa bahaya dari penguasa saat berjuang menegakkan kekhalifahan, maka dalam keadaan ini kita berhak untuk membela diri dan boleh berperang dan memerangi penguasa yang memerangi kita. Mereka bertolak dari berbagai hadits, seperti:
"Siapa saja yang mati tatkala membela diri, maka matinya adalah mati syahid" (HR Ibnu 'Asyakir, dan Ath Thabari dengan lafaz mirip) 9)

Hadits-hadits seperti di atas tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Sebab, tidak ada kaitannya dengan masalah pembelaan diri terhadap penguasa yang memerangi kaum Muslimin. Hadits-hadits terebut tercantum pada kitab-kitab fiqih dalam bab: "Menjauhkan Pihak yang Mengancam Kita".



-------------------
9) Lihat Kanzul 'umaal, Al Burhan Furi, hadits no. 11172 dan 11238. Dalam hal ini hadits-hadits tersebut telah memberi rukhsah bagi kaum muslimin untuk menjauhkan serangan fihak yang mengancam diri, harta dan kehormatan mereka, walau pembelaan tersebut mengakibatkan seseorang meninggal dunia. Pihak pengancam biasanya dari kalangan orang-orang terhina, seperti pencuri dan perampok yang cenderung membunuh atau merampas dan mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Orang-orang tersebut berbeda dengan penguasa yang dimaksud dalam firman Allah SWT:

"Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.." (Al Qashash: 83)

Yang dimaksud dengan "orang yang menyombongkan diri dan berbuat kerusakan" seperti Fir'aun, misalnya, adalah penguasa zhalim tetap ada dan berkuasa di setiap masa. Para penguasa ini berbeda dengan orang-orang yang tujuannya hanya hendak merusak saja. Lagi pula, para perampas, pencuri dan perampok itu adalah manusia hina yang tidak ingin menyombongkan diri.

Membela diri berbeda dengan membela da'wah. Sebab, penguasa tidak memerangi para pejuang da'wah Islam hanya semata-mata karena ingin merampas kekuasaan mereka, tetapi karena mereka membawa da'wah Islam. Oleh karena itu dalil tersebut tidak bisa dijadikan sebagai pegangan untuk mengambil hukum syara' yang membolehkan suatu gerakan da'wah memerangi penguasa zhalim. Bahkan sebaliknya. Sebab, Rasulullah saw dan para Shahabat telah ditimpa berbagai macam bahaya /penganiayaan di Mekah sebelum tegaknya negara Islam. Mereka bersabar dan menahan diri, sehingga diberi rukhsah untuk orang-orang yang lemah untuk berhijrah ke Habsyah. Mereka tidak diijinkan untuk berperang.

Islam memang agama yang lengkap dan sempurna, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu, telah Kucukupkan nikmatKu bagimu, dan telah Kuridlai Islam menjadi agamamu". Oleh karena itu, tidak benar bila ada yang berpendapat bahwasanya keadaan kita sekarang lain dengan masa Rasulullah. Maka menurut pendapat tersebut, kita dibolehkan berijtihad dan menggunakan akal kita untuk mencari suatu metode da'wah yang sesuai dengan keadaan masa kini.

Perbedaan fakta tidak ada kaitan dengan masalah fikrah (ide dasar) dan thariqah (pola operasional) da'wah. Perbedaan itu boleh ada dalam penggunaan sarana-sarana dan berkaitann dengan peristiwa-peristiwa yang selalu berkembang. Dahulu orang berpindah-pindah dengan onta sebagai alat transportasi atau dengan jalan kaki. Namun pada masa kini, orang-orang menggunakan pesawat terbang dan mobil sebagai alat transpor. Mengenai fakta yang berkembang ini, para fuqahaa telah menentukan suatu kaidah syara', yaitu:
"Hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali bila ada suatu dalil yang mengharamkannya".

Kaidah tersebut telah diambil dari berbagai ayat Al Qurâan, seperti antara lain ayat 29 surat Al Baqarah. Meskipun demikian ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan perbuatan manusia atau aktifitas suatu gerakan.

Adapun tentang kejadian-kejadian dan perbuatan manusia, maka hukum asal adalah "mengikatkan diri dengan hukum syara'". Tidak ada dalam Islam satu ijtihad pun yang berdasarkan akal saja.

Pengertian ijtihad di sini adalah berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui hukum-hukum syara' tentang masalah-masalah yang bersifat praktis yang dapat diambil dari rincian dalil-dalil syara'. Sedang pengertian hukum syara' adalah khitabusysyar'i, yaitu perintah dan larangan Allah SWT kepada RasulNya yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Seruan tersebut dapat diambil dari dalil-dalil syara', yaitu Al Qur'an, As Sunnah, dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya, berupa ijma Shahabat dan qiyas. Mengeluarkan hukum berdasarkan keputusan akal semata, berarti merujuk kepada akal, bukan kepada syara'. Perbuatan semacam ini tidak berbeda dengan tindakan orang-orang kafir. Sebab, mereka melakukan apa saja yang mereka anggap sesuai dengan kehendak dan akalnya. Karena itu, perbuatan tersebut tidak dapat disesuaikan (disamakan) dengan Islam yang di dalam Islam ia merupakan kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT. Ketaatan itu adalah mengikuti dan melaksanakan apa yang diperintahkanNya, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Firman Allah SWT:
"(Dan) Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.." (Al Qashash: 50).
"Akan tetapi orang-orang yang zhalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan (yang bersumber dari Allah).." (Ar Ruum: 29).

Itulah perbuatan mereka yang tidak dilandasi oleh dalil syara'. Kebaikan bukanlah sesuatu yang dipilih atau ditentukan oleh manusia, melainkan apa yang dipilih/ditentukan oleh syara'. Syara'lah yang menjadi tolok ukur bagi seorang Muslim. Menurut pandangan syara', perbuatan baik, buruk, terpuji dan tercela yang membawa manfaat dan mudlarat; atau yang memperbaiki dan merusak masyarakat, adalah apa yang ditunjukkan syara' saja; bukan apa yang ditentukan oleh akal dan hawa nafsu manusia. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (Al Baqarah: 216).

Juga berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw:
"Siapa saja yang menambah sesuatu dalam urusan agama ini, yang tidak merupakan bagian darinya, maka hal itu tertolak (yakni harus ditinggalkan)" (HSR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).10)

-------------------
10) Lihat Shahih BukhariJilid VI, halaman 221; Shahih Muslim, hadits no. 18 dan 1718; Musnad Imam Ahmad, jilid VI, halaman 270.

Apa yang dihasilkan dari pendapat manusia yang berdasarkan akalnya, kecenderungan dan keinginannya, adalah berbeda dengan apa yang telah ditentukan syara'. Oleh karena itu, harus ada suatu dalil bahwa pendapat itu berasal dari syara'. Dalam hal ini tidak boleh menyamarkan pendapat tersebut dengan hadits Rasulullah, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Rasulullah saw:
"Siapa saja pada masa Islam mengajarkan suatu sunnah/perbuatan yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya beserta pahala orang yang mengikutinya tanpa ia mengulanginya; dan siapa saja yang mengajarkan sesuatu sunnah/perbuatan yang buruk, maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun". (HSR Muslim, Ahmad, Tirmizhi, An Nasa'i, dan Ibnu Majah).11)

Maksud perbuatan sunnah di sini adalah perbuatan yang diikuti dan ditiru oleh orang banyak. Jika perbuatan itu baik, maka harus ada dalil syara' yang menunjukkan kebaikan perbuatan tersebut, begitu pula halnya dengan perbuatan buruk yang sama-sama memerlukan dalil. Karena itu, Rasulullah saw bersabda:

"Sesungguhnya anak (wali) Adam yang pertama, dibebankan dosa perbuatan jahat setiap pembunuh sampai Hari Kiamat". (HSR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan An Nasa'i).12)

-------------------
11) Lihat Al Fathul Kabir, Yusuf An Nabahani, jilid III, halaman 200.
12) Lihat Shahih Bukhari jilid XII, halaman 169; Shahih Muslim hadits no. 1677; Sunan Tirmidzi hadits no. 2675; Sunan An Nasa'i, jilid VII, halaman 82.

Dengan demikian, sunnah buruk semacam ini adalah perbuatan dosa. Sebab, Allah SWT telah mengharamkan pembunuhan.Bukti larangan dan penjelasan hal tersebut adalah riwayat hadits di atas, yaitu bahwasanya telah datang sekelompok orang kepada Rasulullah saw dengan penuh rasa tertarik pada Islam ketika beliau berada di masjid. Pada saat itu mereka memakai pakaian yang compang-camping yang menonjolkan aurat mereka. Abu Bakar ra lalu segera pulang ke rumah untuk mengambil pakaian yang dimilikinya, kemudian dibawanya ke masjid dan diberikan kepada mereka. Para Shahabat yang melihat tindakan Abu Bakar itu terkejut dan segera menyadari bahwa orang-orang tersebut memerlukan pakaian. Segeralah mereka mengikuti perbuatan Abu Bakar. Lalu Rasulullah bersabda sebagaimana tercantum dalam hadits di atas. Perbuatan Abu Bakar dan sahabat termasuk perbuatan shadaqah, seperti yang banyak dijelaskan dalam dalil syara'.

Penjelasan terakhir mengenai kesalahfahaman yang ada pada sebagian aktifis (gerakan) Islam adalah bahwa di antara kelompok da'wah ada yang berperang dan berkolaborasi bersama dengan suatu kelompok pemberontak untuk melawan pemberontak lain. Mereka berpendapat bahwa kelompok yang dibantunya itu lebih Islami atau dapat memperkuat posisi kaum muslimin atau posisi gerakan itu sendiri. Mereka melakukan perbuatan ini untuk mencari dukungan, meskipun dukungan itu nantinya akan datang dari pihak lawan.

Kelompok semacam ini menggunakan teori "tujuan membolehkan segala cara" yang merupakan pemikiran dasar Barat yang dicetuskan Machiavelli. Mereka mengerjakan sesuatu berdasarkan pendapat dan persangkaan semata, tanpa dalil yang mendukungnya. Sementaradalil syara' menunjukkan pengertian yang berlawanan dengan kelompok itu, sebagaimana firman Allah SWT:
"Maka Perangilah para pembangkang itu...!" (Al Hujurat: 9).

Ayat ini lafadznya 'aam (umum), mencakup setiap kelompok pemberontak. Jika kelompok pembangkang itu jumlahnya 1, 2 atau 10, maka wajib kaum muslimin memerangi mereka, seluruhnya. Tetapi jika kaum muslimin memihak pada salah satunya, berarti mereka benar-benar berperang bersama pihak pemberontak, bukannya memeranginya, sebagaimana perintah Allah di atas. Perbuatan ini jelas-jelas diharamkan oleh syara'.

Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi seseorang untuk tidak berjuang, atau berjuang tetapi berada di jalan yang salah. Bahkan, seharusnya setiap Muslim mempunyai cita-cita tinggi untuk merealisasikan Islam di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Cukuplah apabila ada satu kelompok da'wah yang berusaha menegakkan pemerintahan khilafah Islam, asalkan kelompok tersebut memiliki kekuatan politik yang cukup prima. Bagi kaum Muslimin yang lainnya, masing-masing memperjuangkan Islam sesuai dengan bidangnya.

Jika semua cara yang diuraikan di atas tidak disahkan oleh Islam, maka tinggal satu cara lagi untuk menegakkan pemerintahan Islam, yaitu da'wah yang dilaksanakan Rasulullah saw, yang menjadi suri teladan kita berdasarkan wahyu yang diterimanya dari Allah swt. Da'wah beliau disimpulkan sebagai berikut:

Beliau mulai mengajak masyarakat. Kemudian diumumkan terang-terangan untuk mendapatkan dukungan masyarakat, untuk mengubah persepsi (mafahim), keyakinan (qana'at) dan standar (maqayis) masyarakat. Kemudian meminta perlindungan dari pihak pimpinan atau tokoh-tokoh masyarakat (yang sudah memeluk Islam) sebagaimana tindakan Rasulullah saw kepada penduduk Yatsrib yang menerima dan melindungi Rasul dan mendirikan negara Islam yang pertama di dunia.

Metode da'wah tersebut merupakan suatu kelaziman bagi kaum muslimin. Ia merupakan hukum syar'i yang diambil melalui ijtihad yang sah. Karena itu, hendaklah mereka segera mencari ridla Allah SWT dengan melaksanakan perintahNya, dan hendaklah mereka mengetahui bagaimana cara melaksanakan kewajiban tersebut tanpa mencampuradukkan antara fardlu tersebut dengan fardlu-fardlu yang lainnya.

Sumber Buku : Soal-Jawab Seputar Gerakan Islam, Oleh Abdurrahman Muhammad Khalid, Pustaka Thoriqul Izzah, Januari 1994.

Monday, August 04, 2008

Seputar Gerakan Islam - Aktifitas Harakah Islamiyah



Aktifitas Harakah Islamiyah (Bab 2)

Apakah benar pendapat yang dikatakan oleh sebagian gerakan da'wah bahwa Islam mewajibkan membatasi aktifitas gerakannya hanya pada amar ma'ruf dan nahi munkar, dan bahwasanya tidak dibolehkan mencegah kemungkaran dengan tangan. Selain itu, tidak dibolehkan pula melakukan aktivitas-aktivitas di bidang sosial kemasyarakatan atas nama gerakan, tapi dibolehkan bagi individu Muslim, termasuk anggota suatu gerakan atas nama pribadi mereka. Yang menjadi pertanyaan: mengapa bagi individu dibolehkan, sedangkan bagi gerakan da'wah tidak boleh?

Sesungguhnya masalah ini termasuk masalah fiqih yang penting dan sangat dalam pembahasannya, namun belum mendapat perhatian di kalangan para fuqahâ terdahulu, sehingga pemahaman masalah ini menjadi kabur. Dan ternyata hal tersebut dialami juga oleh kalangan intelektual Muslim saat ini. Untuk menjelaskan pertanyaan tersebut di atas, kami akan bertolak dari firman Allah SWT:

"(Dan) Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada Al Khair (Islam), menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran 104).

Ayat yang mulia ini merupakan seruan yang sangat jelas kepada umat Islam untuk membentuk suatu jama'ah, kelompok da'wah atau sebuah partai politik Islam, sekaligus membatasi aktivitasnya ke dalam dua kegiatan: pertama, berda'wah kepada Islam (terhadap pengikut agama lain); dan kedua, melakukan amar ma'ruf dan nahyi munkar di tengah-tengah kaum Muslimin.

Kita mengetahui bahwasanya pelaksanaan hukum syari'at Islam telah dibebankan kepada individu, juga kepada ulil amri (penguasa) yang tanggung jawabnya lebih berat dibandingkan tanggung jawab yang dibebankan kepada individu, tetapi yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah syari'at Islam membolehkan adanya jama'ah/kelompok da'wah atau partai politik Islam untuk melakukan aktifitas yang pembebanan pelaksanaan hukumnya ditujukan bagi individu atau ulil amri? Mengapa syariat Islam membebankan berbagai hukum tertentu kepada jama'ah, kelompok da'wah, maupun partai politik Islam secara khusus, yang tidak diperuntukan bagi individu dan atau ulil amri?

Memang benar bahwa keberadaan suatu jama'ah, kelompok da'wah atau partai Islam merupakan fardlu kifayah, yakni suatu kewajiban yang dibebankan atas seluruh kaum Muslimin. Sebab, perintah tersebut ditujukan kepada kaum Muslimin di setiap wilayah Islam, yaitu dengan firmanNya:
"..Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat.." (Ali Imran 104).

Ayat tersebut juga membatasi aktivitas jama'ah dalam dua hal seperti yang telah disebut di muka. Dalam hal ini, syari'at Islam tidak hanya membatasi pembahasannya tentang urusan penguasa ataupun individu, tetapi juga membahas pula masalah gerakan. Bahkan, syari'at Islam mengharuskan adanya jama'ah, kelompok da'wah atau partai-partai Islam pada setiap masa secara terus menerus, khususnya pada saat daulah Islam masih ada. Kalaupun tidak ada daulah Islam untuk seluruh kaum Muslimin di dunia seperti keadaan saat ini, maka dalam hal ini terdapat dalil lain yang tetap mengharuskan adanya gerakan Islam, yaitu dengan berpedoman kepada kaidah syara' yang mengatakan:

"Apabila suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan suatu perbuatan, maka perbuatan itu wajib pula hukumnya".1)

-------------------
1) Lihat Al Muwafaqaat, Imam Asy Syathibi, Jilid II, halaman 394.

Sebab daulah Islam tidak akan tegak berdiri tanpa adanya suatu gerakan Islam yang berupaya untuk menegakkannya.

Kita juga mengetahui bahwa mencegah kemungkaran dengan ''tangan'' yang merupakan aktivitas fisik seperti mengangkat senjata, tindakan kekerasan dan lain sebagainya, bukanlah kegiatan amar ma'ruf nahi munkar (yang biasanya dalam bentuk aktivitas non-fisik, atau menyeru dengan menggunakan lisan) dan ayat 104 Surat Ali Imran yang telah disebutkan di atas, membatasi aktivitas gerakan hanya untuk berda'wah saja, baik da'wah yang berupa ajakan untuk memeluk agam Islam, ataupun da'wah yang berupa ajakan untuk melaksanakan Islam dengan cara amar ma'ruf nahi munkar, yang kesemuanya merupakan aktifitas fikriyah (mengajak berpikir dan menentukan sikap). Ayat itu tidak dapat dijadikan alasan atau dalil penggunaan ''tangan'' oleh gerakan dalam mencegah kemunkaran, walaupun bagi individu telah ada perintah yang membolehkan seseorang mencegah kemunkaran dengan ''tangan'' sesuai dengan kemampuannya. Berdasarkan pemahaman dari sabda Rasulullah saw:

"Siapa saja di antara kalian melihat (suatu) kemungkaran, maka hendaklah ia berusaha mencegahnya dengan tangannya ..."2)

Para ulama sepakat bahwa kemungkaran itu tidak boleh dicegah dengan senjata. Seorang individu tidak wajib mencegah kemungkaran apabila tindakannya justru akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar lagi3). Inilah dalil yang membolehkan bagi individu untuk melakukan aktivitas yang tidak boleh dilakukan oleh suatu gerakan.

Contoh lain dari perbedaan antara aktivitas gerakan dengan individu adalah tindakan Abu Bakar ra tatkala membebaskan Bilal ra, yang ketika itu masih berstatus budak milik Umayyah bin Khalaf. Setelah mengetahui Bilal ra masuk Islam, Umayyah mulai menyiksanya dengan cara menjemurnya di siang hari yang terik dan ditindih batu besar, dengan tujuan agar ia meninggalkan Islam dan kembali kepada kemusyrikan. Namun

-------------------
3) Lihat Shahih Muslim, hadits no. 49.
4) Lihat Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, jilid II, hal 25-35.

Bilal ra tetap sabar menahan siksaan dan hanya mengucapkan kata "ahad" berkali-kali. Padahal sesuatu yang mudah bagi Nabi saw, sebagai pemimpin gerakan Islam pertama di dunia, untuk mengumpulkan dana dari para Shahabatnya guna menebus dan membebaskan Bilal ra serta Shahabat lainnya yang disiksa setelah masuk Islam. Namun demikian, beliau tidak melakukannya!

Kita memahami bahwa apabila perbuatan seperti itu merupakan suatu keharusan untuk dilakukan, tentulah harus segera dilaksanakan. Namun ternyata Nabi saw, sebagai pemimpin gerakan Islam, tidak melakukannya walaupun beliau mampu. Dari sini dapat dipahami bahwa aktivitas seperti itu atau yang serupa dengannya bukanlah kegiatan dan tanggung jawab gerakan. Dalil tersebut sekaligus membuktikan bahwa ada aktivitas yang individu boleh melakukan apa yang tidak boleh dilakukan oleh suatu gerakan.

Di antara hal-hal lain yang membedakan secara nyata antara aktivitas inidividu dengan aktifitas gerakan adalah sebagaimana yang dicantumkan dalam kitab-kitab Sirah Nabi saw, bahwasanya Abdurrahman bin Auf ra dan beberapa orang Shahabat lainnya mendatangi Rasulullah saw seraya berkata:

"Ya Nabiyullah. Dahulu, tatkala kami masih musyrik, kami dimuliakan. Tetapi tatkala kami telah beriman, kami dihinakan". Rasulullah saw menjawab:

'Aku telah diperintahkan untuk menjadi orang pemaaf. Karena itu, janganlah kalian memerangi mereka (Quraisy)' (HR An Nasa'i)4).

Namun demikian dalam catatan sejarah, Saad bin Abi Waqash ra atas nama pribadinya pernah melakukan tindakan yang bersifat fisik, sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Sirah Nabi saw.

-------------------
4) Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ath Thabari, Ibnu Abi Hatim, Al Hakim, dan Al Baihaqi. Lihat Sunan An Nasa'i, jilid VI, halaman 2-3; Ad Durrul Mantsur, Imam As Suyuthi, jilid II, halaman 594.

Diceritakan bahwa sekelompok Shahabat termasuk di dalamnya Sa'ad bin Abi Waqash sedang melakukan shalat di salah satu lembah kota Makkah. Mereka menyembunyikan aktifitas itu dari orang-orang kafir. Tetapi, sekelompok orang Musyrik melihat perbuatan tersebut dan mulai mengganggu serta mencaci-maki mereka. Akhirnya terjadi perkelahian antara kedua kelompok itu. Keadaan tersebut mendorong Sa'ad bin Abi Waqash memukul salah seorang musyrik dengan rahang unta sehingga berlumuran darah (lalu mati). Peristiwa ini merupakan pertumpahan darah yang pertama di dalam Islam. Berita ini kemudian sampai kepada Rasulullah saw, tetapi beliau mendiamkannya (membolehkannya)5).

Dari pengaduan Abdurrahman bin Auf ra dan kemudian Rasulullah saw menjawab agar bersifat pemaaf dan tidak membolehkan mereka memerangi orang-orang Quraisy atau yang lainnya, maka kita dapat memahami bahwasanya Rasulullah saw tidak membolehkan gerakan melakukan reaksi terhadap tindakan kekerasan dengan cara membalasnya. Yang beliau lakukan adalah menyuruh para Shahabat untuk bersabar (menahan diri). Padahal ketika itu, Rasulullah saw mampu mengerahkan kaum Muslimin untuk bereaksi membalas kekerasan yang dilakukan orang-orang kafir itu dengan perbuatan yang setimpal dalam setiap peristiwa/ kejadian yang menyakiti dan membahayakan kaum Muslimin. Namun ternyata, beliau tidak melakukannya meskipun tindakan itu dibutuhkan, dan walaupun ada pengaduan dari Shahabat agar Rasulullah saw mau melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa beliau melarang kaum Muslimin melakukan tindakan kekerasan/fisik atas nama gerakan, namun dibolehkan bagi individu atau anggota gerakan melakukannya atas nama pribadi mereka apabila diancam atau dianiaya dan disiksa.

Dalil-dalil lain yang lebih memperkuat pemahaman ini adalah tindakan dan aktifitas da'wah Rasulullah saw di Makkah yang berlasung selama 13 tahun. Beliau melakukan aktivitas da'wah dan meminta pertolongan kepada orang-orang terkemuka dari seluruh Jazirah Arab dengan tujuan agar da'wah beliau berhasil dalam menegakkan daulah Islam. Rasulullah saw dalam hal ini telah membatasi kegiatannya dalam aktivitas-aktivitas

-------------------
5) Lihat Sirah Ibnu Hisyam jilid I, halaman 263; As Sirah An Nabawiyah, Imam Adz Dzahabi, halaman 84.

yang bersifat non fisik (fikriyah). Beliau tidak pernah melakukan aktivitas apapun yang bersifat fisik, sebagaimana yang dikatakannya kepada para Shahabatnya setelah Bai'at Aqabah II:
"Kita belum diperintahkan melakukan hal itu (tindakan kekerasan)". 6)

Beliau menolak tawaran para pemimpin Madinah untuk memerangi penduduk Mina (jama'ah haji dari seluruh Jazirah Arab) dengan pedang. Beliau tidak mengatakan kepada mereka: "Kita belum mampu", tetapi beliau mengatakan: "Kita belum diperintahkan melakukan hal itu". Dan Rasulullah saw baru mengizinkan mereka melakukan perang, setelah beliau bersama kaum Muhajirin hijrah ke Madinah dan setelah berdirinya daulah Islam di sana. Saat itulah diturunkan firman Allah SWT yang berbunyi7):

"Telah diberi izin (untuk berperang) bagi orang-orang yang telah diperangi, karena mereka telah dizhalimi" (Al Hajj: 39).

"Mafhum Mukhalafah" 8)dari ayat ini menjelaskan bahwa sebelum hijrah, kaum Muslimin tidak diizinkan untuk berperang. Mafhum Mukhalafah ini merupakan hujjah yang wajib dilaksanakan serta dijadikan pedoman bagi setiap gerakan Islam. Lebih dari itu, Allah SWT berfirman:
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: 'Tahanlah tanganmu (dari berperang), dan dirikanlah shalat'"
(An Nisa 77).

-------------------
6) Lihat Sirah Ibnu Hisyam, jilid I, halaman 448; As Sirah An Nabawiyah, Imam Adz Dzahabi, halaman 202.
7) Lihat As Sirah An Nabawiyah, Imam Az Zahabi, halaman 467-468.
8) Hukum yang tersirat adalah kebalikan dari hukum yang tersurat. Disebut juga dengan dalil khithab

Ayat ini diturunkan pada saat daulah Islam belum terwujud, sementara telah ada satu gerakan yang dipimpin Rasulallah saw yang anggotanya adalah individu-individu Muslim (kaum Muhajirin), yang berupaya keras untuk mendirikan daulah Islam dengan menghabiskan waktu 13 tahun lamanya. Setelah itu timbul kebutuhan untuk melakukan aktivitas fisik. Akan tetapi sebelumnya kaum Muslimin sebagai sebuah kesatuan gerakan, telah dilarang melakukan aktivitas fisik tersebut. Malah, mereka diperintahkan untuk bersabar dan menahan emosi. Bahkan, sebagian besar dari mereka diizinkan berhijrah ke Habsyah demi menghindarkan diri dari fitnah (paksaan untuk meninggalkan Islam).

Tidak diturunkannya izin yang membolehkan tindakan kekerasan pada saat itu, menunjukkan adanya larangan keras melakukan tindakan kekerasan tersebut dalam usaha mendirikan daulah Islam pada setiap masa. Sedangkan diturunkannya izin melakukan tindakan kekerasan muncul setelah tegaknya daulah Islam, menunjukkan bahwa aktifitas fisik merupakan salah satu hal yang tidak termasuk langkah-langkah suatu gerakan. Melainkan hal tersebut termasuk aktivitas dan tanggung jawab daulah Islam, dan sebagian tercakup pula ke dalam aktivitas individu.

Dari sini kita dapat memahami bahwasanya syari'at Islam telah membedakan antara hukum yang dibebankan kepada gerakan dengan hukum yang dibebankan kepada individu dan penguasa. Namun perlu diingat pula bahwa perbedaan hukum-hukum terhadap jama'ah, kelompok da'wah dan partai politik Islam dengan hukum-hukum yang menyangkut individu di dalam suatu gerakan, hanya terbatas pada gerakan yang mengemban da'wah Islam yang bertujuan mendirikan daulah Islam saja. Atau dengan kata lain hanya pada kelompok da'wah yang aktifitasnya bersifat politis yang melakukan aktifitas berdasarkan apa yang telah diserukan dalam surat Ali Imran ayat 104, meneladani cara kelompok da'wah pertama dalam sejarah umat Islam, yaitu kelompok Shahabat yang dipimpin Rasulullah saw.

Adapun kelompok-kelompok kaum Muslimin lainnya (selain gerakan politik), terhadap mereka hanya dapat diterapkan hukum-hukum syara' yang menyangkut masalah individu. Sama halnya dengan suatu jama'ah (sekelompok orang) yang sedang bepergian. Status hukum yang menyangkut mereka, sama dengan hukum-hukum yang barkaitan dengan individu, baik mereka mempunyai pemimpin lebih dari satu, ataupun tanpa pemimpin. Demikian pula halnya dengan suatu kelompok masyarakat yang membentuk suatu lingkungan, atau organisasi-organisasi sosial yang bergerak di tengah-tengah masyarakat; semua kelompok ini dan yang serupa dengannya, terhadap mereka diberlakukan hukum-hukum yang berkaitan dengan individu, walaupun aktifitas sosial kemasyarakatan itu mereka laksanakan secara bersama-sama serta tolong menolong. Dengan kata lain, mereka dianggap sebagai sebuah organisasi/sekelompok orang, namun tidak dapat dikategorikan sebagai gerakan politik atau sebagai gerakan da'wah Islam.

Sumber Buku : Soal-Jawab Seputar Gerakan Islam, Oleh Abdurrahman Muhammad Khalid, Pustaka Thoriqul Izzah, Januari 1994.

Custom Search