Tuesday, November 04, 2008

Politik Perburuhan dalam Islam

selamatkan-dgn-syariah.jpgPendahuluan
Hampir di semua negara saat ini, problem ketenagakerjaan atau perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Hal itu terlihat dari adanya departemen yang mengurusi ketenagakerjaan pada setiap kabinet yang dibentuk. Hanya saja realitas tiap negara memberikan beragam problem riil sehingga terkadang memunculkan berbagai alternatif solusi. Umumnya, negara maju berkutat pada problem ketenagakerjaan yang berkait dengan ‘mahalnya’ gaji tenaga kerja, bertambahnya pengangguran karena mekanisasi (robotisasi), tenaga kerja ilegal, serta tuntutan penyempurnaan status ekonomi, dan sosial, bahkan politis. Sementara itu, di negara berkembang umumnya problem ketenagakerjaan berkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah, serta jaminan sosial nyaris tidak ada. Belum lagi perlakuan pengusaha yang merugikan pekerja, seperti perlakuan buruk, tindak asusila, penghinaan, pelecehan seksual, larangan berjilbab, beribadah, dan lain-lain.

Walhasil, berbagai problem yang menyangkut hak-hak kaum buruh tidak terselesaikan dengan baik. Lebih ironis lagi, pemerintah dengan aparat keamannya bertindak represif menekan gerakan buruh untuk meraih hak-haknya. Berikut ini adalah beberapa problem yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.

1. Problem Gaji / UMR

Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan (gaji) yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Faktor ini, yakni kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara gaji yang diterima relatif tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes kaum buruh.

Adapun dalam sistem ekonomi Kapitalis, rendahnya gaji buruh justru menjadi penarik bagi para investor asing. Termasuk pemerintah, untuk kepentingan peningkatan pendapatan pemerintah (bukan rakyat), justru memelihara kondisi seperti ini. Kondisi ini menyebabkan pihak pemerintah lebih sering memihak ‘sang investor’ , dibanding dengan buruh (yang merupakan rakyatnya sendiri) ketika terjadi krisis perburuhan. Rendahnya gaji juga berhubungan dengan rendahnya kualitas SDM. Persoalannya bagaimana, SDM bisa meningkat kalau biaya pendidikan mahal?

Untuk membantu mengatasi problem gaji, pemerintah biasanya membuat “batas minimal gaji” yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Daerah (UMD) atau Upah Minimum Kota (UMK) yang mengacu pada UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999. Intervensi pemerintah dalam hal ini ditujukan menghilangkan kesan eksploitasi pemilik usaha kepada buruh karena membayar di bawah standar hidupnya. Nilai UMR, UMD, dan UMK ini biasanya dihitung bersama berbagai pihak yang merujuk kepada Kebutuhan Fisik Minimum Keluarga (KFM), Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), atau kondisi lain di daerah yang bersangkutan.

Penetapan UMR sendiri sebenarnya ‘sangat bermasalah’ dilihat dari realitas terbentuknya kesepakatan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Penetapan UMR dan UMD di satu sisi dimanfaatkan buruh-buruh ‘malas’ untuk memaksa pengusaha memberi gaji maksimal, meski perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit (meskipun ini sangat jarang terjadi) . Di sisi lain UMR dan UMD kerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran gaji agar tidak terlalu tinggi, meskipun si buruh telah mengorbankan tenaga dan jam kerjanya yang sangat banyak dalam proses produksi suatu perusahaan. Bila diteliti lebih jauh, penetapan UMR dan UMD ternyata tidak serta merta menghilangkan problem gaji/ upah ini. Hal ini terjadi setidaknya disebabkan oleh:

1. Pihak pekerja, yang mayoritasnya berkualitas SDM rendah berada dalam kuantitas yang banyak sehingga nyaris tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam menetapkan gaji yang diinginkan. Walhasil, besaran gaji hanya ditentukan oleh pihak majikan, dan kaum buruh berada pada posisi ‘sulit menolak’.

2. Pihak majikan sendiri sering merasa keberatan dengan batasan UMR. Hal ini mengingat, meskipun pekerja tersebut bekerja sedikit dan mudah, pengusaha tetap harusmembayar sesuai batas tersebut.

3. Posisi tawar yang rendah dari para buruh semakin memprihatinkan dengan tidak adanya pembinaan dan peningkatan kualitas buruh oleh pemerintah, baik terhadap kualitas keterampilan maupun pengetahuan para buruh terhadap berbagai regulasi perburuhan.

4. Kebutuhan hidup yang memang juga bervariasi dan semakin bertambah, tetap saja tidak mampu dipenuhi dengan gaji sesuai UMR. Pangkal dari masalah ini adalah karena gaji/upah hanya satu-satunya sumber pemasukan dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasar kehidupan masyarakat.

Solusi terhadap problem UMR dan UMD ini tentu saja harus terus diupayakan dan diharapkan mampu membangun kondisi seideal mungkin. Untuk tujuan itu, setidaknya ada dua kondisi mendesak yang harus diwujudkan, yaitu :

1. Kondisi normal (persaingan sempurna) yang mampu menyetarakan posisi buruh-pengusaha sehingga penentuan besarnya upah disepakati oleh kedua pihak yang besarnya ditentukan oleh besaran peran serta kerja pihak buruh terhadap jalannya usaha perusahaan yang bersangkutan. Kondisi seperti ini bisa terwujud jika kualitas SDM buruh memadai sesuai dengan kebutuhan, dan besarnya pasar tenaga kerja seimbang. Kondisi seperti ini akan mampu mewujudkan “akad ijarah” (perjanjian kerja) yang dalam pandangan syariat Islam yang didefinisikan secara ringkas sebagai “’Aqdun ‘ala al manfa’ati bi ‘iwadhin” (Aqad atas suatu manfaat dengan imbalan/ upah).

2. Mewujudkan kondisi ideal ketika seluruh rakyat (bukan hanya kaum buruh) memiliki pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal (hajat asasiyah) bagi kehidupannya. Perwujudan kondisi ini, dalam pandang-an syariat Islam menjadi tanggung jawab utama negara. Dalam politik ekonomi Islam, pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) rakyat dan mempermudah kesempatan untuk kebutuhan tambahan (sekunder ataupun tersier)

2. Problem Kesejahteraan Hidup

Ketika para buruh hanya memiliki sumber pendapatan berupa gaji (upah), maka pencapaikan kesejahteraan bergantung pada kemampuan gaji dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam kenyataanya, jumlah gaji relatif tetap, sementara itu kebutuhan hidup selalu bertambah (adanya bencana, sakit, sekolah, tambah anak, harga barang naik, listrik, telepon, biaya transportasi, dan lain-lain.) Hal ini menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat (termasuk buruh) semakin rendah.

Berdasarkan indeks yang dikeluarkan UNDP (United Nations Development Progamme), pada 24 Juli 2002, Indonesia menduduki peringkat ketujuh dari sepuluh anggota Asean. Di bawah Indonesia, bertengger negara Myanmar, Kamboja , dan Laos. Tak pelak lagi, kesejahteraan Indonesia di tingkat internasional juga buruk. Masih menurut UNDP, Indonesia menempati posisi 110 dari 173 negara, berada ‘kalah’ dari Vietnam (Republika, 25/7/2002). Padahal, bukankah Indonesia negeri yang alamnya sangat kaya?

Sementara itu, dalam sistem Kapitalis (yang juga dianut oleh Indonesia) peran negara diminimalkan, sebatas pengatur. Kenyataan yang terjadi adalah, negara mengabaikan kesejahteraan rakyat. Prinsipnya siapa yang mau hidup sejahtera dia harus bekerja dan mencari pendapatan sesuai denngan kemampuannya. Tidak bekerja atau bekerja dengan gaji kecil, sementara kebutuhan cukup besar, menjadi risiko hidup yang harus ditanggung setiap warga negara. Negara berlepas diri dari pemenuhan kebutuhan dasar (primer) warga negara, apalagi kebutuhan sekunder dan tersier.

Negara biasanya baru mengucurkan dana (gratis) darurat untuk membantu rakyat ketika krisis kehidupan sosial ekonomi sudah sedemikian parah, seperti JPS (Jaring Pengaman Sosial), pengobatan gratis, dan sebagainya. Itu pun dalam jumlah terbatas, dengan syarat yang sering memberatkan, dan yang jelas sifatnya hanya sementara (sesaat).Belum lagi , besarnya kebocoran dari dana-dana seperti itu. Walhasil, jumlah yang diterima rakyat sangatlah minim. Pada sisi yang lain, kekayaan alam yang melimpah ruah sangat banyak di hampir seluruh pelosok negeri, ternyata hanya dikuasai oleh segelintir orang (pengusaha dan penguasa) untuk memenuhi nafsu kaya raya dan nafsu berkuasa semata. Kolusi intra dan antara pengusaha dan penguasa melalui praktik KKN, kontrak karya, hak eksploitasi, dan sebagainya terjadi setiap hari tanpa memperhatikan kesengsaraan hidup kaum buruh. Bagi buruh (dan komponen rakyat lainnya) jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekunder untuk hidup lebih nyaman, kebutuhan primer untuk makan saja sangatlah sulit.

Kondisi yang menimpa kaum buruh tersebut sebenarnya tidak jauh beda dengan mayoritas rakyat/kaum lainnya selain buruh. Artinya, problem kesejahteraan ini lebih bersifat problem sistemis dari pada hanya sebatas problem ekonomi, apalagi problem buruh yang cukup dengan penyelesaian antara buruh dan pengusaha semata.

Jika hendak menyelesaikan problem kesejahteraan hidup, baik bagi kaum buruh maupun rakyat secara makro, tentunya penyelesaiannya harus mampu mencakup penyelesaian yang bersifat kasuistis dan sekaligus dibarengi oleh usaha penyelesaian bersifat sistemis-integralistis. Bila penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat kasuistis dan parsial, maka problem mendasar seputar kesejahteraan hidup kaum buruh dan rakyat secara menyeluruh tidak akan selesai.

3. Problem Pemutusan Hubungan Kerja

Salah satu persoalan besar yang dihadapi para buruh saat ini adalah PHK. PHK ini menjadi salah satu sumber pengangguran di Indonesia. Jumlah Pengangguran di Indonesia sangat besar. Menurut Center for Labor and Development Studies (CLDS), pada 2002, jumlah penganggur diperkirakan sebesar 42 juta orang (Republika, 13/05/02). Pastilah, banyaknya pengangguran ini akan berdampak pada sektor kehidupan lainnya. Sebenarnya, PHK adalah perkara biasa dalam dunia ketenagakerjaan. Tentu saja asalkan sesuai dengan kesepakatan kerja bersama (KKB), baik pihak pekerja maupun pengusaha harus ikhlas dan menyepakati pemutusan kerja ini. Namun, dalam kondisi ketika tidak terjadi keseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi ‘bencana besar’ yang sangat menakutkan para buruh.

Secara umum PHK terjadi karena beberapa sebab, seperti permintaan sendiri, berakhirnya masa kontrak kerja, kesalahan buruh, masa pensiun, kesehatan/kondisi fisik yang tidak memungkinkan, atau karena meninggal dunia. Problem PHK biasanya terjadi dan kemudian menimbulkan problem lain yang lebih besar di kalangan buruh karena beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha, di antaranya:

1. Posisi salah satu pihak yang lemah (biasanya pihak pekerja) sehingga pihak lain yang lebih kuat dengan mudah memutuskan hubungan kerja dan menggantinya dengan pekerja baru yang sesuai dengan keinginan. Hal itu dilakukan dengan alasan logis ataupun direkayasa.

2. Tidak jelasnya kontrak (waktu) kerja sehingga PHK bisa terjadi kapan saja. Kebijakan menetapkan KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) tidak dilakukan dan dikontrol dengan baik sehingga kasus PHK bisa terjadi kapan saja.

3. Rendahnya SDM kaum pekerja berakibat semakin sulitnya mencari pekerjaan alternatif, dan tidak terjaminnya pemenuhan kebutuhan dasar oleh negara.Tidak heran, PHK menjadi seperti ‘vonis mati’ bagi pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan normalnya.

4. Tidak adanya pihak ketiga yang membantu penyelesaian kasus PHK secara tuntas yang memuaskan kedua pihak, terutama pihak buruh yang paling sering menerima ‘kekalahan’. Meskipun pemerintah telah menyusun peraturan teknis tentang PHK dalam UU No.12 Tahun 1964 yang disempurnakan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.PER-03/MEN/1996, tapi dalam pelaksanaan teknisnya banyak realitas yang merugikan hak-hak kaum buruh itu sendiri. Secara kasuistis, hal itu lebih disebabkan rendahnya pemahaman buruh terhadap berbagai peraturan pemerintah, posisi tawar yang rendah, dan tidak adanya lembaga pendamping yang secara serius membela kondisi kaum buruh dalam menghadapai kasus PHK ini.

Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan buruh pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan yang menjadikan “pemenuhan kebutuhan dasar rakyat” sebagai asas politik perekonomiannya.

4. Problem Tunjangan Sosial dan Kesehatan

Dalam masyarakat kapitalistis seperti saat ini, tugas negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Karena itu, sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai “pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya”. Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya sehingga prinsip struggle for life benar-benar terjadi. Jika seseorang terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini menyebabkan kesulitan hidup luar biasa, terutama bagi seorang warga negara yang sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan gaji sangat minim hingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya .

Pada beberapa wilayah, pihak negara biasanya mewajibkan para pemilik usaha untuk memasukkan nilai Jaminan Sosial terhadap para pekerjanya yang biasa dikenal dengan istilah Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).

Di Indonesia Jamsostek ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan (UU No.3/1992) yang di antaranya pada Bab I Pasal 1 ayat 1 menyatakan: Jamsostek adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa, seperti kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. Dengan demikian, ruang lingkup Jamsostek ini meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan kesehatan.

Dalam pelaksanaan teknisnya, pemerintah praktis hanya membuat regulasinya saja, sedangkan pelaksanaannya diserahkan kepada (pemilik) perusahaan . Pada praktiknya, buruh itu sendirilah yang menyediakan iuran wajib untuk melaksanakan program ini. Dana yang dibutuhkan untuk jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, tabungan hari tua, dan asuransi kematian, sebenarnya ditanggung oleh buruh itu sendiri dengan menabung wajib sekian persen dari gajinya setiap bulan untuk ditabung, lalu diolah dalam sistem ribawi agar berbunga terus untuk memenuhi kebutuhan seluruh jaminan tersebut.

5. Problem Kelangkaan Lapangan Pekerjaan

Kelangkaan lapangan pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseim-bangan antara jumlah calon buruh yang banyak, sedangkan lapangan usaha relatif sedikit; atau banyaknya lapangan kerja, tapi kualitas tenaga kerja buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan lapangan pekerja ini memunculkan angka tingkat pengangguran yang tinggi yang dapat berakibat pada aspek sosial yang lebih luas. Problem kelangkaan lapangan kerja disebabkan oleh:

1. Investasi usaha rendah karena problem regulasi yang dianggap mempersulit investor, tingkat KKN pejabat yang tinggi, atau karena problem sosial dan sekuritas usaha.

2. Kurangnya peran pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM dan sikap enterpreneurship masyarakat. Juga, karena minimnya dukungan pemerintahan dalam membantu usaha pribadi/wiraswata bagi masyarakat (permodalan, pelatihan pembukaan pasar, kemudahan izin usaha, penghapusan berbagai jenis pajak, perlindungan keamanan, dan lain-lain).

3. Penguasaan modal dan sumber daya alam pada segelintir orang (konglomerat) menyebabkan usaha rakyat kecil/warga bermodal kecil tidak mampu bersaing dan pada akhirnya tidak menumbuhkan usaha kecil dalam jumlah banyak (misalnya, usaha mie instan, produk makanan, ternak unggas dan pakannya, monopoli jalur distribusi, dan lain-lain.

4. Pemerintah tidak berfungsi sebagai pembuka dan penyedia lapangan kerja bagi rakyatnya, tetapi hanya berfungsi sebagai regulator ketenagakerjaan. Padahal, banyak lahan usaha padat karya yang bisa dikelola oleh pemerintah guna menutupi kelangkaan lahan usaha. Dalam Islam, misalnya, tanah yang tidak dikelola selama tiga tahun, akan diambil oleh negara. Kemudian, negara menyerahkannya kepada pihak yang membutuhkan dan mau mengelolanya.

Melihat persoalan ketenagakerjaan yang demikian kompleks di atas, tentu saja juga membutuhkan pemecahan yang komprehensip dan sistemis. Sebab, persoalan tenaga kerja, bukan lagi merupakan persoalan individu, yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual. Akan tetapi, persoalan tenaga kerja di atas merupakan persoalan sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh. Jadi, problem utamanya adalah sistem Kapitalisme yang saat ini diterapkan. Dalam hal ini syariat Islam sebagai aturan yang berasal dari Allah, akan mampu menyelesaikan persoalan ini. Mengingat syariat Islam adalah aturan yang menyeluruh yang secara praktis akan menyelesaikan berbagai persoalan manusia. Sudah saatnya kita mengganti sistem Kapitalisme yang telah membuat buruh dan manusia lainnya menderita, dan menggantinya dengan syariat Islam.

Akar Masalah Ketenagakerjaan

Mencermati secara lebih mendalam berbagai persoalan ketenagakerjaan yang ada, maka masalah tersebut berpangkal dari persoalan pokok “upaya pemenuhan kebutuhan hidup” serta upaya meningkatkan kesejahteraan hidup. Persoalan pemenuhan kebutuhan pokok, baik kebutuhan akan barang, seperti pangan, sandang dan papan; maupun jasa seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah akar penyebab utama sekaligus faktor pendorong terjadinya permasalahan ketenagakerjaan. Terjadinya kelangkaan lapangan kerja menyebabkan sebagian anggota masyarakat menganggur dan ini berdampak pada ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya. Terjunnya kalangan wanita dan anak-anak ke dunia ketenagakerjaan tidak terlepas dari upaya mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarganya sekaligus dalam rangka meningkatkan kesejahteran hidup.

Demikian pula persoalan gaji yang rendah yang berdampak pada pemenuhan kebutuhan; tuntutan kenaikan gaji agar dapat memenuhi kebutuhan yang lebih baik; tuntutan tunjangan sosial berupa pendidikan dan kesehatan agar kebutuhan tersebut dapat dipenuhi. Bahkan, persoalan pekerja kontrak dan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan berpengaruh dan sangat terkait erat dengan persoalan pemenuhan kebutuhan pokok.

Karena akar permasalahannya terletak pada pemenuhan kebutuhan hidup, dengan demikian agar persoalan ketenagakerjaan dapat diselesaikan dengan tuntas, persoalan pemenuhan kebutuhan masyarakat harusnya juga menjadi fokus perhatian. Selain itu, penyelesaian berbagai masalah ketenagakerjaan perlu tetap dilakukan untuk mencari solusi yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Tidak ada yang terzalimi, baik pekerja maupun pengusaha.

Karena itu, langkah penting yang perlu dilakukan adalah melakukan kategorisasi dengan memisahkan permasalahan ketenagakerjaan yang terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan dan masalah yang langsung berhubungan dengan masalah kontrak kerja pengusaha dengan pekerja.

Untuk kategori pertama, yakni masalah ketenagakerjaan yang berhubungan erat dengan masalah pemenuhan kebutuhan, contohnya adalah persoalan ketersediaan lapangan kerja; pengangguran, lemahnya SDM, tuntutan kenaikan upah, tuntutan tunjangan sosial, masalah buruh wanita, dan pekerja di bawah umur. Adapun untuk kategori kedua, yakni permasalahan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja. Hal ini mencakup persoalan pemutusan hubungan kerja, penyelesaian sengketa perburuhan, dan sebagainya.

Persoalan pertama, yakni masalah ketenagakerjaan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sangat erat kaitannya dengan fungsi dan tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Persoalan ini haruslah diselesaikan melalui kebijakan dan implementasi negara dan tidak menyerahkan penyelesaiannya semata kepada pengusaha dan pekerja. Adapun persoalan kedua, yakni masalah kontrak kerja, dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja. Pemerintah dalam hal ini hanya berfungsi sebagai pengawas sekaligus penengah jika terjadi persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh pengusaha dan pekerja.

Dengan mengkaji secara mendalam hukum-hukum Islam, kita dapati bahwa Islam sebagai sebagai prinsip ideologi (mabda) telah berusaha mengatasi berbagai persoalan-persoalan yang muncul dalam ketenagakerjaan secara fundamental dan komprehensif. Dalam memecahkan masalah tersebut, Islam memahami bahwa penyelesaiannya perlu memperhatikan faktor penyebab utama munculnya persoalan ketenagakerjaan. Untuk persoalan yang muncul akibat kebijakan negara dalam bidang politik ekonomi, menurut Islam negaralah yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Sementara itu, masalah ketenagakerjaan yang muncul akibat semata hubungan pengusaha dan pekerja, maka ini seharusnya dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja. Islam telah menjelaskan secara terperinci bagaimana kontrak kerja pengusaha-pekerja melalui hukum-hukum yang menyangkut ijaratul ajir. Dengan dipatuhi ketentuan-ketentuan Islam dalam hubungan pengusaha dan pekerja, diharapkan masalah-masalah yang ada dapat diselesaikan dengan lebih baik.

Tanggung Jawab Negara Mengatasi Masalah Ketenagakerjaan.

Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam. Politik ekonomi merupakan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur dan menyelesai-kan berbagai permasalahan hidup manusia dalam bidang ekonomi. Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka.

Dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, Islam memperhatikan pemenuhan kebutuhan setiap anggota masyarakat dengan fokus perhatian bahwa manusia diperhatikan sebagai individu (pribadi), bukan sekadar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Hal ini berarti Islam lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan secara individual dan bukan secara kolektif. Dengan kata lain, bagaimana agar setiap individu masyarakat dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan mereka sehingga dapat memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier). Bukan sekadar meningkatkan taraf hidup secara kolektif yang diukur dari rata-rata kesejahteraan seluruh anggota masyarakat (GNP). Dengam demikian, aspek distribusi sangatlah penting sehingga dapat dijamin secara pasti bahwa setiap individu telah terpenuhi kebutuhan hidupnya .

Ketika mensyariatkan hukum-hukum yang berkenaan tentang ekonomi kepada manusia, Allah Swt. telah mensyariatkan hukum-hukum tersebut untuk pribadi, masyarakat, dan negara. Adapun pada saat mengupayakan adanya jaminan kehidupan serta jaminan pencapaian kemakmuran, Islam telah menetapkan bahwa semua jaminan harus direalisasikan dalam sebuah negara yang memiliki pandangan hidup (way of life) tertentu. Oleh karena itu, sistem Islam memperhatikan hal-hal yang menjadi tuntutan individu dan masyarakat dalam merealisasikan jaminan kehidupan serta jaminan pencapaian kemakmuran.

Pemenuhan Kebutuhan Pokok Masyarakat

Yang termasuk dalam kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-barang tertentu berupa pangan, sandang dan papan, serta kebutuhan terhadap jasa-jasa tertentu, berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Islam menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara (muslim dan nonmuslim) secara menyeluruh, baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa.

Dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat, menurut Islam negara menetapkan suatu strategi politik yang harus dilaksanakan agar pemenuhan tersebut dapat berjalan dengan baik. Secara garis besar strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang dengan kebutuhan pokok berupa jasa. Dalam hal ini dibutuhkan strategi pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang sandang, pangan, dan papan; serta strategi pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Pengelompokkan ini dilakukan karena terdapat perbedaan antara pelaksanaan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, serta antara kebutuhan yang berbentuk barang dengan yang berbentuk jasa.

Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang, negara memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sementara itu, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok tersebut.

1. Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Barang (Pangan, Sandang, dan Papan)

Untuk menjamin terlaksananya strategi pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang, dan papan, maka Islam telah menetapkan beberapa hukum untuk melaksanakan strategi tersebut. Adapun strategi pemenuhan kebutuhan tersebut dilaksanakan secara bertahap, sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan strategi tersebut. Tahap-tahap strategi tersebut adalah:

Langkah pertama: Memerintahkan kepada setiap kepala keluarga untuk bekerja.

Barang-barang kebutuhan pokok tidak mungkin diperoleh, kecuali manusia berusaha mencarinya. Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki, dan berusaha. Bahkan, Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah fardhu. Banyak ayat dan hadis yang telah memberikan dorongan dalam mencari nafkah. Allah Swt. berfirman:

]هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
وَكُلُوا مِنْ رِزْقِ
هِ[

“Dialah (Allah)yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya” (QS al-Mulk [67]: 15).

Firman-Nya juga :

]فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا
مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
[

“…Maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (QS al-Jumu’ah [62]:10).

Firman-Nya yang lain :

]اَللهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ[

“Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan izin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS al-Jaatsiyah [45]:12).

Nas-nas di atas juga memberikan penjelasan kepada kita, bahwa pada mulanya pemenuhan kebutuhan pokok dan upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia adalah tugas individu itu sendiri, yakni dengan “bekerja”.

Langkah kedua: Negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan kerja agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan

Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, tapi ia tidak memperoleh pekerjaan, padahal mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw bersabda:

«اْلاِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim).

Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian beliau saw. berkata kepadanya:

«كُلْ بِأَحَدِهِمَا وَاشْتَرِ بِاْلآخَرِ فَأْسًا وَاعْمَلْ بِهِ»

“Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja.”

Juga, dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan, bahwa ada seseorang yang mencari Rasulullah, dengan harapan Rasulullah saw. akan memperhatikan masalah yang dihadapinya. Ia adalah sorang yang tidak mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk bekerja dalam rangka mendapatkan suatu hasil (kekayaan), juga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Kemudian, Rasulullah saw. memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu, yang diambil sendiri oleh beliau. Lalu, beliau serahkan kepada orang tersebut. Beliau perintahkan kepadanya agar ia pergi ke suatu tempat yang telah beliau tentukan dan bekerja di sana, dan nanti kembali lagi memberi kabar tentang keadaannya. Setelah beberapa waktu, orang itu mendatangi Rasulullah saw. seraya mengucapkan rasa terima kasih kepada beliau atas bantuannya. Ia menceritakan tentang kemudahan yang kini didapati.

Al-Badri (1992), menceritakan bahwa suatu ketika Amirul Mukminin, Umar bin Khathab r.a. memasuki sebuah masjid di luar waktu shalat lima waktu. Didapatinya ada dua orang yang sedang berdoa kepada Allah Swt. Lalu, Umar r.a. bertanya,“Apa yang sedang kalian kerjakan, sedangkan orang-orang di sana kini sedang sibuk bekerja?, Mereka menjawab,“Yaa Amirul Mukminin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah Swt.” Mendengar jawaban tersebut, maka marahlah Umar, seraya berkata,“Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian, Umar mengusir mereka dari masjid, tapi memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau katakan kepada mereka,“Tanamlah dan bertawakallah kepada Allah.”

Dari sinilah, maka para ulama menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah) memberikan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan bagian tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat. itulah kewajiban yang telah ditetapkan secara syar’i, dan telah diterapkan oleh para pemimpin negara Islam (Daulah Islamiah), terutama di masa-masa kejayaan dan kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan.

Langkah ketiga: Memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu jika ternyata kepala keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya

Jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas pekerjaan, tapi seorang individu tetap tidak mampu bekerja sehingga tidak mampu mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan ahli warisnya, sebagaimana firman Allah Swt. :

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا
وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
[

“Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian…” (QS al-Baqarah [2]:233).

Ayat al-Quran di atas menjelaskan bahwa adanya kewajiban atas ahli waris. Seorang anak wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya (yang tidak mampu) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Maksud “al waarits” pada ayat tersebut, tidak hanya orang yang telah mendapat warisan semata, tetapi semua orang yang berhak mendapat warisan dalam semua keadaan. Rasulullah saw. telah bersabda:

«أَنْتَ وَمَالُكَ ِلأَبِيْكَ»

“Kamu dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu” (HR Ibnu Majah).

Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya. Hukum-hukum tentang nafkah ini telah banyak diulas panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh Islam.

Langkah keempat: Mewajibkan kepada tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan

Jika seseorang tidak mampu memberi nafkah terhadap orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, baik terhadap sanak keluarganya maupun mahramnya, dan ia pun tidak memiliki sanak kerabat atau mahram yang dapat menanggung kebutuhannya, maka kewajiban pemberian nafkah itu beralih kepada baitul mal (negara). Namun, sebelum kewajiban tersebut beralih kepada negara, dalam rangka menjamin hak hidup orang-orang yang tidak mampu tersebut, maka Islam juga telah mewajibkan kepada tetangga dekatnya yang muslim untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok orang-orang tersebut, khususnya berkaitan dengan kebutuhan pangan untuk menyambung hidup. Dalam hal ini Rasulullah saw. pernah bersabda:

“Tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahui hal tersebut” (HR al-Bazzar).

Bantuan tetangga itu tentunya hanya bersifat sementara sampai tetangganya yang diberi bantuan tidak meninggal karena kelaparan. Untuk jangka panjang, maka negara yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Negaralah (baitul mal) memang yang berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.

Langkah kelima: Negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan dari seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan

Menurut Islam negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan membutuhkan, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya. Dalam hal ini negara akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang menjadi tanggungannya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok individu masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya secara sempurna–baik karena mereka telah berusaha, tapi tidak cukup (fakir dan miskin), maupun terhadap orang-orang yang lemah dan cacat yang tidak mampu untuk bekerja–maka negara harus menempuh berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Negara dapat saja memberikan nafkah baitul mal tersebut berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban syar’i, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya, sebagaimana firman Allah Swt.:

]خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا[

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS at-Taubah [9]:103).

Dalam hal ini negara berkewajiban menutupi kekurangan itu dari harta benda Baitul Mal (di luar harta zakat) jika harta benda dari zakat tidak mencukupi. Rasulullah saw. bersabda:

“Tidak ada seorang muslim pun, kecuali aku bertanggung jawab padanya di dunia dan akhirat. Lalu, Rasulullah saw. membacakan firman Allah Swt.,“Para nabi itu menjadi penanggung jawab atas diri orang-orang beriman.” Rasul selanjutnya bersabda,“Oleh karena itu, jika seorang mukmin mati dan meninggalkan harta warisan, silakan orang-orang yang berhak mendapatkan warisan mengambilnya. Namun, jika dia mati dan meninggalkan utang atau orang-orang yang terlantar, maka hendaknya mereka datang kepadaku, sebab aku adalah penanggung jawabnya” (HR Kutub as-Sittah).

Bukan lagi sesuatu yang mengherankan, selain bertindak sebagai utusan (Rasul) Allah, beliau saw. pun adalah seorang kepala negara dalam sistem kehidupan, melaksanakan uqubat (sanksi-sanksi), menegakkan hudud, mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara tetangga Daulah Islamiah, menyatakan perang terhadap musuh-musuh Islam, dan menghadapi segala macam intrik yang dilancarkan setiap kepala negara musuh, termasuk juga menjamin kebutuhan masyarakat serta menyelesaikan persoalan ekonomi masyarakat. Beliau saw. bersabda:

«فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوْا، وَمَنْ تَرَكَ دَيْناً أَوْضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلاَهُ»

“Siapapun orang mukmin yang mati sedang dia meninggalkan harta, maka wariskanlah hartanya itu kepada keluarganya yang ada. Siapa saja yang mati sedang dia menyisakan utang atau dhayâ’an, maka serahkanlah kepadaku. Selanjutnya, aku yang akan menanggungnya” (HR Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).

Pangan dan sandang adalah kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari dua kebutuhan itu. Oleh karena itu, Islam menjadikan dua hal itu sebagai nafkah pokok yang harus diberikan kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Demikianlah, negara harus berbuat sekuat tenaga dengan kemampuannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam, yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan memungkinkan dinikmati oleh setiap individu yang tidak mampu meraih kemaslahatan itu.

Sebagai jaminan akan adanya peraturan pemenuhan urusan pemenuhan kebutuhan tersebut, dan merupakan realisasi tuntutan syariat Islam, Umar bin Khathab telah membangun suatu rumah yang diberi nama “daar ad daqiiq” (rumah tepung). Di sana tersedia berbagai jenis tepung, kurma, dan barang-barang kebutuhan lainnya, yang tujuannya menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, sampai ia terlepas dari kebutuhan itu. Rumah itu dibangun di jalan antara Makkah dan Syam, di tempat yang strategis dan mudah dicari (dicapai) oleh para musafir. Rumah yang sama, juga dibangun di jalan di antara Syam dan Hijaz.

Sistem Islam yang diterapkan untuk memenuhi kebutuhan ini diterapkan atas seluruh masyarakat, baik muslim maupun nonmuslim yang memiliki identitas kewarganegaraan Islam, juga mereka yang tunduk kepada peraturan dan kekuasaan negara (Islam), berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang memberikan penjelasan tentang orang-orang kafir dzimmi:

“Mereka (orang-orang kafir dzimmi) mendapat hak apa yang menjadi hak kita, dan mereka mendapatkan (terkena) kewajiban yang sama halnya seperti kita mendapatkan (terkena) kewajiban.”

Juga sabdanya:

“Sesungguhnya telah kami berikan apa yang telah kami tentukan, agar darah (derajat) kita setaraf dengan darah (derajat) mereka, serta harta kita setaraf dengan harta mereka.”

Itulah hukum-hukum syariat Islam, yang memberikan alternatif cara pemenuhan kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan bagi tiap individu masyarakat, dengan cara yang agung dan mulia. Hal itu akan mencegah individu-individu masyarakat yang sedang dililit kebutuhan berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan menghinakan diri (meminta-minta).

2. Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Jasa (Pendidikan, Kesehatan, dan Keamanan)

Pendidikan, kesehatan, dan keamanan, adalah kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang, dan papan), saat Islam melalui negara menjamin pemenuhannya melalui mekanisme yang bertahap, maka terhadap pemenuhan kebutuhan jasa pendidikan, kesehatan, dan keamanan dipenuhi negara secara langsung kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri’ayatu asy syu-uun) dan kemaslahatan hidup terpenting. Islam telah menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin tiga jenis kebutuhan dasar tersebut adalah negara. Negaralah yang harus mewujudkannya, agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun nonmuslim, miskin atau kaya. Adapun seluruh biaya yang diperlukan, ditanggung oleh Baitul Mal.

Dalam masalah pendidikan, menjadi tanggung jawab negara untuk menanganinya, dan termasuk kategori kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar dapat dinikmati seluruh rakyat. Gaji guru, misalnya, adalah beban yang harus dipikul negara dan pemerintah dan diambil dari kas baitul mal. Rasulullah saw. telah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan perang Badar. Beliau katakan bahwa para tawanan itu bisa bebas sebagai status tawanan apabila seorang tawanan telah mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis. Tugas itu menjadi tebusan untuk kebebasan dirinya.

Kita mengetahui bahwa barang tebusan itu tidak lain adalah hak milik baitul mal. Tebusan itu nilainya sama dengan harta pembebasan dari tawanan lain dalam perang Badar itu. Dengan tindakan tersebut (yakni membebankan pembebasan tawanan itu ke baitul mal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut mengajarkan kepandaian baca-tulis), berarti Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara dengan barang tebusan. Artinya, beliau memberi upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik baitul mal.

Menurut Al-Badri (1990), Ad-Damsyiqy menceritakan suatu peristiwa dari Al-Wadliyah bin Atha’, yang mengatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar Ibnu Al Khathab, atas jerih-payah itu, memberikan gaji kepada mereka sebesar 15 dinar setiap bulan (satu dinar = 4,25 gram emas). Totalnya, 63,75 gram emas. Jadi, kalaulah dianggap satu gram emas harganya sekitar Rp70.000, berarti gaji guru pengajar anak-anak itu, lebih kurang Rp4.462.500. (Bandingkan dengan gaji guru sekarang!)

Pendidikan adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia. Sementara itu, negara berkewajiban menjadikan saran-sarana dan tempat-tempat pendidikan. Rasulullah saw. bersabda:

«طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»

“Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim” (HR Thabrani).

Al-Badri (1990) juga menceritakan Imam Ibnu Hazm, dalam kitab “Al Ahkaam”, setelah memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan, agar ibadah dan muamalah kaum muslim dapat diterima (sah). Beliau menjelaskan bahwa seorang imam atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sampai pada ungkapannya:

“Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.”

Mencari ilmu adalah kewajiban yang harus dipikul oleh setiap individu (fardhu ‘ain). Ilmu-ilmu lain yang bersifat fardhu kifayah (fardhu atas sebagian kaum muslim) tidak akan gugur kewajiban mencarinya sebelum sebagian kaum muslim berhasil melaksanakannya dalam batas yang mencukupi. Misalnya, ilmu ekonomi, kedokteran, industri, elektronika, mekanika, dan ilmu-ilmu lain yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan dalam kehidupan kaum muslim.

Adapun yang berhubungan dengan jaminan kesehatan, diriwayatkan bahwa Mauquqis, Raja Mesir, pernah menugaskan (menghadiahkan) seorang dokter (ahli pengobatan)nya untuk Rasulullah saw. Oleh Rasulullah, dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum muslim dan untuk seluruh rakyat, dengan tugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit. Tindakan Rasulullah itu, dengan menjadikan dokter tersebut sebagai dokter kaum muslim, menunjukkan bahwa hadiah tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadiah semacam itu bukanlah khusus diperuntukkan bagi Beliau, tetapi untuk kaum muslim, atau untuk negara. Lain halnya apabila hadiah tersebut dipakai oleh beliau pribadi, seperti selimut bulu dan keledai hadiah dari Raja Aikah, misalnya, maka hadiah seperti itu memang khusus untuk pribadi, bukan untuk seluruh kaum muslim.

Demikianlah, pemanfaatan dan penentuan Rasulullah saw. terhadap suatu hadiah yang diterimanya, telah menjelaskan kepada kita bagaimana bentuk hadiah yang bernilai khusus pribadi dan untuk kemaslahatan umum. Juga bagaimana bentuk suatu hadiah yang diberikan kepada kepala negara, wakil atau penggantinya. Hadiah itu masuk ke dalam kekayaan Baitul Mal dan untuk seluruh kaum muslim.

Pada masa lalu, Daulah Islamiah telah menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya. Negara menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengobati orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengobatan. Rasulullah saw. pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Mal.

Pernah serombongan orang berjumlah delapan orang dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah saw. di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum muslim milik Baitul Mal, di sebelah Quba’, di tempat yang bernama “Zhi Jadr”. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali. Mereka diizinkan meminum susu binatang-binatang ternak itu (unta), karena mereka memang berhak.

Dalam buku “Tarikhul Islam as Siyasi” diceritakan bahwa Umar r.a. telah memberikan sesuatu dari Baitul Mal untuk membantu suatu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syam, ketika melewati daerah tersebut. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para khalifah dan wali-wali (para pemimpin wilayah). Bahkan, Khalifah Walid bin Abdul Malik telah khusus memberikan bantuan kepada orang-orang yang terserang penyakit lepra. Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibnu Thulun di Mesir, memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman-minuman dan obat-obatan, serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang sakit. Jadi, keberadaan dokter di tengah masyarakat, terpecahnya problem kesehatan masyarakat, dan pembangunan sarana atau balai-balai kesehatan, adalah tugas-tugas yang dibebankan Islam terhadap negara. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap perwujudan semua itu.

Dijadikannya keamanan sebagai salah satu kebutuhan (jasa) yang pokok mudah dipahami, sebab tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktivitasnya terutama aktivitas yang wajib, seperti kewajiban ibadah, kewajiban bekerja, kewajiban bermuamalah secara Islami, termasuk menjalankan aktivitas pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam, tanpa adanya keamananan yang menjamin pelaksanaannya. Untuk melaksanakan ini semua, maka negara haruslah memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa keamanan adalah salah satu kebutuhan jasa pokok adalah sabda Rasulullah saw.:

«مَنْ أَصْبَحَ آمِنًا فِيْ سَرْبِهِ، مُعَافِيً فِيْ بَدَنِهِ عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ فَكَاَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا»

“Barang siapa yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memilliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya” (Al-Hadis).

Adapun dalil bahwa yang menjamin terpenuhinya adanya keamanan tersebut adalah tindakan Rasulullah saw. yang bertindak sebagai kepala negara yang memberikan keamanan kepada setiap warga negara (muslim dan kafir dzimmi) sebagaimana sabdanya :

»اُمِرْتُ اَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهُ فَاِذَا قَالُوْهاَ عَصَمُوْا مِنِّي دِماَءَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ اِلاَّ بِحَقِّهَا«


“Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah. Apabila mereka telah melakukannya (masuk Islam atau tunduk pada aturan Islam), maka terpelihara olehku darah-darah mereka, harta-harta mereka, kecuali dengan jalan yang hak. Adapun hisabnya terserah kepada Allah” (HR Bukhari, Muslim, dan pemilik sunan yang empat).

Mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota masyarakat adalah dengan jalan menerapkan aturan yang tegas kepada siapa saja yang akan mengganggu keamanan jiwa, darah, dan harta orang lain. Sebagai gambaran, siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa orang lain, yakni dengan jalan membunuh orang lain, maka orang tersebut menurut hukum Islam harus dikenakan sanksi berupa qishash, yakni hukum balasan yang setimpal kepada orang yang melakukan kejahatan tersebut. Termasuk di dalamnya keamanan harta milik pekerja dari upah yang seharusnya mereka miliki, serta keamanan harta milik pengusaha dari perusahaan dan aset yang mereka miliki.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, dan papan. Demikian pula Islam telah menjamin terselenggaranya penanganan masalah pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dijadikannya semua itu sebagai kewajiban negara, serta bagian dari tugasnya sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Negaralah yang melaksanakan dan menerapkannya berdasarkan syariat Islam.

Dengan dilaksanakan politik ekonomi Islam tersebut, beberapa permasalahan pokok ketenagakerjaan yang berkaitan dengan masalah pemenuhan kebutuhan pokok dapat diatasi. Pengangguran diharapkan akan berkurang karena ketersediaan lapangan kerja dapat di atasi; masalah buruh wanita dan pekerja di bawah umur tidak akan muncul karena mereka tidak perlu harus terjun ke pasar tenaga kerja untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula permasalahan tunjangan sosial berupa pendidikan dan kesehatan bukanlah masalah yang harus dikhawatirkan pekerja. Termasuk jaminan untuk memperoleh upah yang menjadi hak pekerja dapat diberikan.

Cara Islam Menyesaikan Masalah Kontrak Pengusaha-Pekerja

Kontak kerja antara pengusaha dan pekerja adalah kontrak kerja sama yang harusnya saling menguntungkan. Pengusaha diuntungkan karena memeroleh jasa dari pekerja untuk melaksanakan pekerjaan tertentu yang dibutuhkan pengusaha. Sebaliknya, pekerja diuntungkan karena memperoleh penghasilan dari imbalan yang diberikan pengusaha karena memberikan jasa kepada pengusaha. Karena itulah, hubungan ketenagakerjaan di dalam pandangan Islam adalah hubungan kemitraaan yang harusnya saling menguntungkan. Tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa dizalimi oleh pihak lainnya.

Agar hubungan kemitraan tersebut dapat berjalan dengan baik dan semua pihak yang terlibat saling diuntungkan, maka Islam mengaturnya secara jelas dan terperinci dengan hukum-hukum yang berhubungan dengan ijaratul ajir (kontrak kerja). Pengaturan tersebut mencakup penetapan ketentuan-ketentuan Islam dalam kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja; penetapan ketentuan yang mengatur penyelesaian perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja. Termasuk ketentuan yang mengatur bagaimana cara mengatasi tindakan kezaliman yang dilakukan salah satu pihak (pengusaha dan pekerja) terhadap pihak lainnya. Untuk itu, ada beberapa langkah yang ditawarkan Islam untuk dapat mengatasi dan menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan yang berhubungan dengan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja. Langkah-langkah tersebut adalah:

Mengharuskan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja sesuai dengan ketentuan Islam dalam akad ijaratul ajir

Salah satu bentuk pekerjaan yang halal untuk dilakukan adalah apa yang disebut dengan ijaratul ajir, yakni bekerja dalam rangka memberikan jasa (berupa tenaga atapun keahlian) kepada pihak tertentu dengan imbalan sejumlah upah tertentu. Ijarah adalah pemberian jasa dari seorang ajiir (orang yang dikontrak tenaganya) kepada seorang musta’jir (orang yang mengontrak tenaga), serta pemberian harta dari pihak musta’jir kepada seorang ajiir sebagai imbalan dari jasa yang diberikan. Oleh karena itu, ijarah didefinisikan sebagai transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai imbalan (kompensasi).

Dalam transaksi ijarah terdapat dua pihak yang terlibat, yakni pihak yang memberikan jasa dan mendapatkan upah atas jasa yang diberikan, yang disebut dengan pekerja (ajir), serta pihak penerima jasa atau pemberi pekerjaan, yakni pihak yang memberikan upah yang disebut dengan pengusaha/majikan (musta’jir). Menurut Islam, suatu transaksi ijarah yang akan dilakukan haruslah memenuhi prinsip-prinsip pokok transaksi ijarah. Prinsip-prinsip pokok transaksi menurut Islam adalah:

Jasa yang ditransaksikan adalah jasa yang halal dan bukan jasa yang haram. Dengan demikian, dibolehkan melakukan transaksi ijarah untuk keahlian memproduksi barang-barang keperluan sehari-hari yang halal, seperti untuk memproduksi makanan, pakaian, peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Namun, tidak dibolehkan melakukan transaksi ijarah untuk keahlian membuat minuman keras (khamr), membuat narkotika dan obat-obat terlarang, atau segala aktivitas yang terkait dengan riba.

Memenuhi syarat sahnya transaksi ijarah, yakni: (a) orang-orang yang mengadakan transaksi (ajiir & musta’jir) haruslah sudah mumayyiz, yakni sudah mampu membedakan baik dan buruk. Maka dari itu, tidak sah melakukan transaksi ijarah jika salah satu atau kedua pihak belum mumayyiz, seperti anak kecil yang belum mampu membedakan baik dan buruk, orang yang lemah mental, orang gila, dan sebagainya; (b) transaksi (akad) harus didasarkan pada keridhaan kedua pihak, tidak boleh ada unsur paksaan.

Transaksi (akad) ijarah haruslah memenuhi ketentuan dan aturan yang jelas yang dapat mencegah terjadinya perselisihan di antara kedua pihak yang bertransaksi. Ijarah adalah memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak. Apabila transaksi tersebut berhubungan dengan seorang ajiir, maka yang dimanfaatkan adalah tenaganya. Karena itu, untuk mengontrak seorang ajiir tadi harus ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah, serta tenaganya. Untuk itu, jenis pekerjaannya harus dijelaskan sehingga tidak kabur. Transaksi ijarah yang masih kabur, hukumnya adalah fasid (rusak). Selain itu, waktunya juga harus ditentukan, semisal harian, bulanan, atau tahunan. Di samping itu, upah kerjanya juga harus ditetapkan. Karena itu, dalam transaksi ijarah, hal-hal yang harus jelas ketentuannya adalah menyangkut: (a) bentuk dan jenis pekerjaan, (b) masa kerja; (c) upah kerja; serta (d) tenaga yang dicurahkan saat bekerja

Dengan jelasnya dan terperincinya ketentuan-ketentuan dalam transaksi ijaratul ajir tersebut, maka diharapkan setiap pihak dapat memahami hak dan kewajiban mereka masing-masing. Pihak pekerja di satu sisi wajib menjalankan pekerjaan yang menjadi tugasnya sesuai dengan transaksi yang ada; di sisi lain ia berhak mendapatkan imbalan sesuai dengan kesepakatan yang ada. Demikian pula pihak pengusaha berkewajiban membayar upah pekerja dan menghormati transaksi kerja yang telah dibuat dan tidak bisa bertindak semena-mena terhadap pekerja. Misalnya, secara sepihak melakukan PHK; memaksa pekerja bekerja di luar jam kerjanya. Namun, pengusaha juga berhak mendapatkan jasa yang sesuai dengan transaksi dari pekerja; berhak menolak tuntutan-tuntuan pekerja di luar transaksi yang disepakati, seperti tuntutan kenaikan gaji, tuntutan tunjangan, dan sebagainya.

Negara akan mencegah tidak kezaliman yang dilakukan satu pihak kepada pihak lainnya

Kezaliman dalam kontrak kerja dapat dilakukan pengusaha terhadap pekerja dan sebaliknya dapat dilakukan pekerja terhadap pengusaha. Termasuk kezaliman pengusaha terhadap pekerja adalah tindakan mereka yang tidak membayar upah pekerja dengan baik, memaksa pekerja bekerja di luar kontrak kerja yang disepakati, melakukan pemutusan hubungan kerja secara semena-mena, termasuk tidak memberikan hak-hak pekerja, seperti hak untuk dapat menjalankan kewajiban ibadah, hak untuk istirahat jika dia sakit, dan sebagainya. Berkaitan dengan pengusaha yang zalim Rasul saw. telah mengingatkan dalam hadisnya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, Allah Swt. berfirman:

«ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ اَعْطَى بِيْ ثُمَّ غَدَرَ، رَجُلٌ بَاعَ حُرَّا فَأَكَلَ ثَمَنُهُ، وَرَجُلٌ إِسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُوْفِهِ أَجْرَهُ»

“Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang telah memberikan (baiat kepada khalifah) karena Aku, lalu berkhianat; orang yang menjual (sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga (hasil) penjualannya; serta orang yang mengontrak pekerja, kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya, sedangkan orang itu tidak memberikan upahnya” (HR Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Adapun kezaliman yang dilakukan pekerja terhadap pengusaha adalah jika pekerja tidak menunaikan kewajibannya yang menjadi hak pengusaha, seperti bekerja sesuai jam kerja yang ditentukan, tidak melakukan perusakan terhadap aset milik pengusaha, dan sebagainya.

Dalam rangka mencegah kezaliman yang terjadi dalam kontak kerja tersebut, maka Islam memberlakukan hukum-hukum yang tegas kepada siapa saja yang melakukan kezaliman, baik itu pengusaha maupun pekerja. Hukum-hukum itu diberlakukan agar tidak boleh ada kezaliman satu pihak terhadap pihak lainnya.

3. Menetapkan dan mengatur mekanisme penyelesaian persengkatan dalam kontrak kerja

Meskipun Islam telah mengantisipasi segala hal yang dapat menyebabkan persengketaan antara pengusaha dan pekerja, yakni dengan jalan menetapkan ketentuan-ketentuan yang sangat terperinci seperti yang dikemukakan di atas, tapi peluang terjadinya perselisihan pengusaha dan pekerja masih ada. Untuk mengatasi perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja, baik dalam masalah gaji, masalah penetapan beban kerja, maupun dalam persoalan lainnya, Islam memberikan solusi dengan jalan pembentukan wadah penyelesaian persengketaan perburuhan. Wadah ini dapat berbentuk perseorangan ataupun lembaga yang ditunjuk, baik oleh kedua pihak yang bersengketa, maupun disediakan oleh negara untuk menyelesaikan berbagai persengketaan perburuhan. Wadah atau badan ini semacam “badan arbitrase” yang keputusannya diharapkan bersifat mengikat dan final. Orang yang duduk di dalam badan ini adalah orang-orang yang adil dan mereka yang ahli dalam masalah perburuhan. Tenaga ahli yang disebut khubara’ inilah yang diharapkan dapat menyelesaikan perselisihan tersebut.

Khatimah

Demikianlah pandangan dan cara Islam dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah ketenagakerjaan yang ada. Solusi yang ditawarkan Islam bukanlah solusi yang tambal sulam, melainkan solusi yang fundamental dan komprehensif terhadap persoalan-persoalan masyarakat, termasuk masalah ketenagakerjaan. Sudah saatnya bangsa Indonesia berpaling pada Islam untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa termasuk masalah ketenagakerjaan. Wallahu a’lam bi ash-shawwab

DAFTAR BACAAN:

Abdullah, M.H. 1990. Diraasaat fil Fikril Islami. Penerbit Darul Bayariq. Aman.

Al-‘Assal, A.M dan Fathi Ahmad Abdul Karim. 1999. Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam (Terjemahan). Penerbit CV Pustaka Setia.

Al-Badri, A. A. 1992. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam (Terjemahan). Penerbit Gema Insani Press. Jakarta.

Al-Maliki, A. 1953. As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla. Penerbit Hizb At-Tahrir. Baerut.

An-Nabhaniy, T. 1953. An-Nidzam Al-Islam. Penerbit Hizbut Tahrir. Beirut.

………………………. 1990. An-Nidzam Al-Iqtishadi Fil Islam. Penerbit Darul Ummah. Beirut.

Az-Zein, S. A. 1981. Syari’at Islam : Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik, dan Sosial sebagai Studi Perbadingan (Terjemahan). Penerbit Husaini. Bandung.

Chapra, M. U. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer (Terjemahan). Penerbit Risalah Gusti. Surabaya.

Mannan, M.A. 1993. Teori dan Praktik Ekonomi Islam. Penerbit PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta.

Qardhawi, Y. 1995. Kiat Islam dalam Mengentaskan Kemiskinan. (Terjemahan). Penerbit. Gema Insani Press. Jakarta.

Rahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II (Terjemahan). Penerbit Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta.

Ya’kub, H. 1999. Kode Etik Dagang Menurut Islam. Cetakan ke-3. (Terjemahan). Penerbit CV. Diponegoro. Bandung.

Zallum, A. Q. 1963. Muqaddimatud Dustur awil Asbaabul Maujibatu lahu. Penerbit Hizbut Tahrir. Beirut.

………………. 1983. Al-Amwaal fi Daulatil Khilafah. Penerbit Darul Ilmu lil Malayiin. Beirut-Lebanon.

Kehidupan Ekonomi Dalam Daulah Khilafah

Oleh: Muhammad Riza Rosadi

Muqadimah

Keberadaan daulah khilafah Islamiyah adalah dalam rangka melanjutkan kembali kehidupan Islam serta menjadikan manusia hidup dengan Islam, yakni dengan menjadikan pemikiran dan hukum-hukum Islam sebagai pedoman dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Daulah khilafah akan menerapkan Islam bagi seluruh rakyat dalam seluruh aspek kehidupan mereka baik kehidupan politik, ekonomi, sosial-kemasyarakatan dan lain-lain.

Penerapan hukum-hukum Islam di bidang ekonomi akan menjadikan kegiatan ekonomi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan Islam secara keseluruhan. Berbagai kegiatan ekonomi berjalan dalam rangka mencapai tujuan yang satu yakni menciptakan kesejahteraan menyeluruh bagi setiap individu rakyat –muslim dan non-muslim—yang hidup dalam naungan daulah khilafah. Hal ini mudah dipahami karena semua kegiatan ekonomi di arahkan untuk mewujudkan penerapan politik ekonomi Islam, yakni menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap indidvidu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka. Politik ekonomi seperti ini pada akhirnya akan menciptakan kehidupan ekonomi yang sejahtera, penuh ketenangan, kesederhanaan, namun tetap produktif dan inovatif.

Kondisi ini berbeda dengan kehidupan ekonomi dalam sistem ekonomi kapitalis. Meskipun penerapan sistem ekonomi kapitalis berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi, namun secara bersamaan penerapan sistem ekonomi kapitalis telah melahirkan gejolak, pertentangan antar kelas yakni pemilik modal (kapitalis) kelompok pekerja. Akibatnya akan kita temukan berbagai dampak nyata dalam kehidupan ekonomi kapitalis mulai dari ketimpangan sosial yang parah, munculnya ketegangan, pertentangan dan keresahan diantara kelompok masyarakat, berkembangnya kehidupan materialistik yang penuh dengan keserakahan karena sangat mencintai harta dan asyik dengan kekayaan, serta terjadinya proses dehumanisasi karena manusia tidak ubahnya seperti binatang yang hanya berupaya memperebutkan materi semata. Merebaknya kegiatan prostitusi, perjudian, pornografi pada berbagai media, bisnis hiburan yang penuh maksiyat, praktek riba, narkoba, miras, korupsi, sogok-menyogok dan lain-lain telah membuktikan hal itu.

Selain itu penguasaan asset umat dan negara –seperti hutan, pertambangan dan kepemilikan umum lainnya- oleh hanya segelintir orang-orang tertentu telah berdampak pula pada kerusakan dan terganggunya berbagai kemaslahatan umum. Hal ini semua terjadi karena kehidupan ekonomi kapitalis dibangun atas nilai manfaat yang menghalalkan segala cara (bebas nilai).

Sebaliknya, kondisi di atas tidak akan ditemukan dalam kehidupan ekonomi di dalam daulah khilafah. Hal ini karena dengan diterapkannya hukum-hukum Islam dalam bidang ekonomi telah menjadikan kegiatan ekonomi berjalan diatas pedoman dan pijakan yang jelas. Kegiatan ekonomi yang menjadi perhatian bukanlah hanya sektor produksi untuk mengejar pertumbuhan semata. Sektor ini tetap penting, namun yang lebih penting lagi adalah kegiatan ekonomi yang dapat menjamin terpecahkannya persoalan ekonomi yang sebenarnya, yakni terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh individu rakyat serta terjaminnya peluang untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemenuhan kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) mereka. Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat serta terjaminnya peluang yang sama untuk memenuhi kebutuhan pelengkap sesuai dengan kadar kemampuannya secara alami akan menghilangkan berbagai sebab yang dapat menciptakan ketegangan, pertentangan dan keresahan diantara kelompok masyarakat.

Untuk memberikan gambaran bagaimana kehidupan ekonomi dalam daulah khilafah Islamiyah di masa mendatang, maka menjelaskan berbagai pandangan, kebijakan, program-program ekonomi yang dijalankan oleh daulah khilafah adalah suatu hal yang sangat penting. Tulisan ini berusaha mencoba memberikan sedikit gambaran bagaimana kehidupan ekonomi dalam daulah khilafah. Untuk itu alur pembahasannya akan dimulai dengan pandangan Islam tentang ekonomi, kemudian tentang pandangan Islam tentang problematika ekonomi, dilanjutkan dengan politik ekonomi Islam yang memberikan gambaran tentang kebijakan ekonomi yang ditempuh untuk menyelesaikan problematika ekonomi, dan akhirnya akan diberikan gambaran tentang berbagai kegiatan ekonomi praktis.

Dari sisi pandangan ekonomi, akan dijelaskan perbedaan pandangan antara sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalis dalam memandang ‘ekonomi ; perbedaan pandangan dalam menetapkan apa yang menjadi permasalahan (problematika) ekonomi yang sebenarnya ; serta berbagai langkah dan strategi yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan ekonomi tersebut. Dan pada bagian akhir akan dipaparkan gambaran riil dan praktis kehidupan ekonomi yang dapat dilihat dari kegiatan ekonomi diberbagai pasar komoditi yang mencakup kegiatan produksi, investasi, perdagangan, konsumsi dan distribusi ; pasar input yang mencakup sektor jasa (tenaga kerja), politik pertanahan ; sektor kegiatan keuangan dan perbankan ; perdagangan luar negeri, hingga pendapatan dan belanja negara.

Pandangan Tentang Ekonomi

Dalam banyak literatur modern, istilah ilmu ekonomi secara umum dipahami sebagai suatu studi ilmiah yang mengkaji bagaimana orang-perorang atau kelompok-kelompok masyarakat menentukan pilihan. Pilihan harus dilakukan manusia pada saat mereka akan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hal ini dikarenakan setiap manusia mempunyai keterbatasan (kelangkaan) dalam sumberdaya yang dimilikinya. Pilihan yang dimaksud menyangkut pilihan dalam kegiatan produksi, konsumsi, investasi serta kegiatan distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat. Namun intinya pembahasan ilmu ekonomi ditujukan untuk memahami bagaimana masyarakat mengalokasikan keterbatasan (kelangkaan) sumberdaya yang dimilikinya.

Ilmu ekonomi membahas aktivitas yang berkaitan dengan alokasi sumberdaya yang langka dalam kegiatan produksi untuk menghasilkan barang dan jasa; membahas aktivitas yang berkaitan dengan cara-cara memperoleh barang dan jasa; juga membahas aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan konsumsi, yakni kegiatan pemanfaatan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup; membahas aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan investasi, yakni kegiatan pengembangan kepemilikan kekayaan yang dimiliki serta membahas aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan distribusi, yakni bagaimana menyalurkan barang dan jasa yang ada ditengah masyarakat. Seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, konsumsi, investasi dan distribusi barang dan jasa tersebut semuanya dibahas dalam ilmu ekonomi yang sering dibahas dalam berbagai literatur ekonomi kapitalis.

Pandangan sistem ekonomi kapitalis di atas yang memasukkan seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, konsumsi, investasi dan distribusi dalam pembahasan ilmu ekonomi berbeda dengan pandangan sistem ekonomi Islam. Perbedaan ini dapat diketahui dengan memahami pandangan tersebut dengan merujuk pada sumber-sumber hukum Islam berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda :

“Dua telapak kaki manusia akan selalu tegak (dihadapan Allah), hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia pergunakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia korbankan” (HR. Tirmidzi dari Abu Barzah ra.)

Hadits di atas memberikan gambaran bahwa setiap manusia akan diminta pentanggungjawaban terhadap empat perkara yakni tentang umurnya, ilmunya, hartanya, dan tubuhnya. Tentang umur, ilmu dan tubuhnya setiap orang hanya ditanya dengan masing-masing satu pertanyaan sedangkan berkaitan dengan harta maka setiap orang akan ditanya dengan dua pertanyaan, yakni dari mana hartanya dia peroleh dan untuk apa hartanya dia pergunakan. Hal ini memberikan suatu gambaran bahwa Islam mengatur dan memberi perhatian yang besar terhadap aktivitas manusia yang berhubungan dengan harta. Dengan kata lain Islam memberikan perhatian yang besar pada bidang ekonomi. Namun pengaturan Islam dalam bidang ekonomi tidaklah mencakup seluruh kegiatan ekonomi. Untuk kegiatan ekonomi yang termasuk dalam pengadaan dan produksi barang dan jasa dari sisi produktivitas barang dan jasa, Islam tidak mengaturnya bahkan menyerahkannya kepada manusia. Namun Islam mengatur kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan cara-cara perolehan harta (konsep kepemilikan); cara-cara pengelolaan harta mulai dari pemanfaatan (konsumsi) dan pengembangan kepemilikan harta (investasi) serta cara-cara mendistribusikan harta ditengah masyarakat. Pembahasan tentang pengadaan dan produksi barang dan jasa di pandang sebagai bagian dari ilmu ekonomi, sedangkan pembahasan tentang cara memperoleh harta, cara pengelolaan harta serta cara pendistribusia harta di pandang sebagai bagian dari sistem ekonomi. Atas dasar inilah maka Islam membedakan antara pandangan tentang ilmu ekonomi dan pandangan tentang sistem ekonomi.

Menurut An-Nabhaniy (1990), Pandangan Islam terhadap masalah ekonomi dari segi keberadaan dan produksi harta kekayaan (barang dan jasa) dalam kehidupan berbeda dengan pandangan Islam terhadap masalah cara memperoleh, memanfaatan serta mendistribusikan harta kekayaan (barang dan jasa). Masalah ekonomi dari segi keberadaan dan produksi barang dan jasa dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi (‘ilmun iqtishadiyun) yang bersifat universal dan sama untuk setiap bangsa di dunia. Sedangkan masalah harta dari segi cara memperoleh, memanfaatan serta mendistribusikannya dimasukkan dalam pembahasan sistem ekonomi (nizhamun iqtishadiyun) yang dapat berbeda antar setiap bangsa sesuai dengan pandangan hidupnya (ideologinya).

Menurut Islam dari segi keberadaannya, harta kekayaan tersebut sebenarnya terdapat dalam kehidupan secara alamiah, dimana Allah SWT telah menciptakannya untuk diberikan kepada manusia. Allah SWT berfirman dalam banyak ayat :

“Dialah yang telah menciptakan untuk kalian semua, apa saja yang ada di bumi.”(QS. Al-Baqarah : 29)

“Allahlah yang telah menundukkan untuk kalian lautan, agar bahtera bisa berjalan di atasnya dengan kehendak-Nya, juga agar kalian bisa mengambil kebaikannya.”(QS. Al-Jatsiyat :12)

“Dan (Dialah) yang menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.”(QS. Al-Jatsiyat : 13)

“Maka, hendaknya manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya, Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, Anggur dan sayur-sayuran, Zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun yang lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS. Abasa : 24-32)

Ayat-ayat di atas serta ayat-ayat yang lain yang serupa menunjukkan bahwa Allah SWT menegaskan bahwa Dia-lah Yang telah menciptakan benda-benda (harta) agar bisa dimanfaatkan oleh manusia secara keseluruhan.

Agar harta kekayaan yang telah Allah SWT ciptakan tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia, maka tentunya manusia haruslah melakukan berbagai kegiatan ekonomi untuk dapat melakukan pengelolaan terhadapnya. Berkaitan dengan upaya manusia mengelola kekayaan dunia dari segi bagaimana cara memproduksi harta serta upaya meningkatkan produktivitasnya, maka Islam sebagai sebuah prinsip hidup tidaklah menetapkan cara dan aturan pengelolaan yang khusus, namun menyerahkan kepada manusia untuk mengatur dan mengelolanya dengan kemampuan yang mereka miliki. Tidak terdapat satu keteranganpun baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan bahwa Islam ikut campur dalam menentukan masalah bagaimana memproduksi harta kekayaan tersebut. Justru sebaliknya malah kita menemukan banyak keterangan yang menjelaskan, bahwa syara’ (Islam) telah menyerahkan masalah tersebut kepada manusia untuk menggali dan memproduksi kekayaan tersebut. Diriwayatkan bahwa Nabi saw pernah memberi nasihat kepada orang yang sedang melakukan penyerbukan kurma, setelah orang tersebut mengikuti nasihat Nabi saw, ternyata orang tersebut mengalami gagal panen. Setelah ini disampaikan kepada Nabi saw, maka beliau saw bersabda :

“Kalianlah yang lebih tahu tentang (urusan) dunia kalian.”(HR. Muslim dari Anas ra.)

Juga terdapat riwayat hadits, bahwa Nabi saw telah mengutus dua orang kaum muslimin berangkat ke Yaman untuk mempelajari industri persenjataan. Semuanya ini menunjukkan, bahwa syara’ telah menyerahkan masalah memproduksi harta kekayaan tersebut kepada manusia, agar mereka memproduksinya sesuai dengan keahlian dan pengetahuan mereka. Kesemuannya ini menurut pandangan ekonomi Islam dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi yang bersifat universal sehingga boleh dipelajari dan diambil dari manapun ia berasal apakah dari Barat maupun dari Timur.

Berbeda halnya dengan masalah di atas, maka aktivitas ekonomi yang menyangkut bagaimana cara perolehan harta dan pengelolaan (konsumsi dan investas) serta pendistribusiannya, maka Islam turut campur dengan cara yang jelas. Hal ini bisa dipahami dari hadits tentang pertanyaan Allah SWT kepada manusia di hari kiamat kelak, bahwa mereka akan diminta pertanggungjawaban tentang hartanya dari mana serta dengan cara apa ia memperolehnya, juga tentang bagaimana ia memanfaatkan hartanya tersebut mulai dari kegiatan konsumsi sampai dengan pendistribusiannya. Pengaturan Islam dalam bidang ini juga dapat dilihat dari hukum-hukum fiqih praktis yang mengatur seluruh kegiatan tersebut mulai dari hukum tentang sebab-sebab kepemilikan harta; hukum tentang pengembangan kepemilikan harta seperti jual-beli, syirkah (perseroan) dan lain-lain.

Dari segi tata cara perolehan harta kekayaan, Islam telah mensyariatkan hukum-hukum tertentu dalam rangka memperoleh harta kekayaan, seperti hukum-hukum berburu, menghidupkan tanah mati, hukum-hukum kontrak jasa, industri serta hukum-hukum waris, hibah, wasiat dan lain sebagainya. Demikian juga dalam masalah pemanfaatan harta kekayaan Islam ikut campur tangan secara jelas. Misalnya Islam mengharamkan pemanfaatan beberapa bentuk harta kekayaan yang haram, seperti minuman keras, bangkai, daging babi. Selain itu Islam juga mensyariatkan hukum-hukum tertentu tentang pendistribusian harta kekayaan melalui pemberian harta oleh negara kepada masyarakat, pembagian harta waris, pemberian zakat, infak, sedekah, wakaf dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, amatlah jelas bahwa Islam telah memberikan pandangan (konsep) tentang sistem ekonomi, sementara tentang ilmu ekonomi Islam menyerahkannya kepada manusia. Dengan kata lain Islam telah menjadikan perolehan dan pemanfaatan harta kekayaan sebagai masalah yang dibahas dalam sistem ekonomi. Sementara, secara mutlak Islam tidak membahas bagaimana cara memproduksi kekayaan dan faktor produksi yang bisa menghasilkan harta kekayaan, sebab itu termasuk dalam pembahasan ilmu ekonomi yang bersifat universal.

Menurut Az-Zein (1981); An-Nabhaniy (1995); Islam membedakan antara pembahasan ekonomi dari segi pengadaan berikut upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa dengan pembahasan ekonomi dari segi cara-cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara-cara mendistribusikan barang dan jasa. Pembahasan ekonomi dari segi pengadaan berikut upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi. Sedangkan pembahasan ekonomi dari segi cara-cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara-cara mendistribusikan barang dan jasa dimasukan dalam pembahasan sistem ekonomi.

Ilmu ekonomi menurut pandangan Islam adalah ilmu yang membahas tentang upaya-upaya mengadakan dan meningkatkan produktivitas barang dan jasa. Atau dengan kata lain berkaitan dengan produksi suatu barang dan jasa. Karena harta kekayaan sifatnya ada secara alami serta upaya mengadakan dan meningkatkan produktivitasnya dilakukan manusia secara universal, maka pembahasan tentang ilmu ekonomi merupakan pembahasan yang universal pula sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi. Oleh karena ilmu ekonomi tidak dipengaruhi oleh pandangan hidup (ideologi) tertentu dan bersifat universal, maka ia dapat diambil dari manapun juga selama bermanfaat.

Sedangkan “sistem ekonomi” menjelaskan tentang bagaimana cara memperoleh dan memiliki, cara memanfaatkan serta cara mendistribusikan harta kekayaan yang telah dimiliki tersebut. Atau dengan kata lain menjelaskan tentang kepemilikan harta kekayaan, bagaimana memanfaatkan dan mengembangkan harta kekayaan serta bagaimana mendistribusikan harta kekayaan kepada masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi Islam membedakan antara pembahasan ekonomi dari segi produktivitas barang dan jasa serta teknik-teknis yang paling efisien yang dimasukkan dalam pembahasan “ilmu ekonomi” dengan pembahasan ekonomi dari segi cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara mendistribusikan barang dan jasa yang dimasukkan dalam pembahasan “sistem ekonomi”. Sedangkan Sistem Ekonomi Kapitalis menjadikan pembahasan “ilmu ekonomi” dan “sistem ekonomi” sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Bahkan sistem ekonomi kapitalis telah menjadikan pembahasan ”sistem ekonomi” sebagai bagian dari “ilmu ekonomi” yang berlaku universal. Menurut faham Kapitalis pembahasan ekonomi dari segi pengadaan berikut upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa; serta pembahasan ekonomi dari segi cara-cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara mendistribusikan barang dan jasa semuanya disatukan dalam lingkup pembahasan apa yang mereka sebut dengan ilmu ekonomi. Padahal terdapat perbedaan mendasar antara pembahasan ekonomi dari segi pengadaan berikut upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa dengan pembahasan ekonomi dari segi cara-cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara-cara mendistribusikan barang dan jasa.

Dengan penjelasan ini dapat kita ketahui dan pahami bahwa pembahasan “sistem ekonomi” sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup tertentu dan tidak berlaku secara universal. Oleh karena itu sistem ekonomi dalam pandangan Ideologi Islam tentu berbeda dengan sistem ekonomi dalam pandangan Ideologi Kapitalis serta berbeda pula dengan sistem ekonomi dalam pandangan Ideologi Sosialis dan Komunisme.

Problematika Ekonomi dan Solusinya

Terdapat perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya, khususnya Kapitalis dalam memandang apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan ekonomi manusia. Menurut sistem ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Hal ini karena setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya tidak terbatas sementara sarana pemuas (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia terbatas. Sebagai catatan yang dimaksud kebutuhan di sini mencakup kebutuhan (need) dan keinginan (want), sebab menurut pandangan ini pengertian antara kebutuhan (need) dan keinginan (want) adalah dua hal yang sama, yakni kebutuhan itu sendiri. Setiap kebutuhan yang ada pada diri manusia tersebut menuntut untuk dipenuhi oleh alat-alat dan sarana-sarana pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Oleh karena di satu sisi kebutuhan manusia jumlahnya tidak terbatas sementara alat dan sarana yang digunakan untuk memenuhinya terbatas, maka muncullah konsep kelangkaan.

Dari pandangan tersebut di atas maka sistem ekonomi kapitalis menetapkan bahwa problematika ekonomi akan muncul pada setiap diri individu, masyarakat atau negara karena adanya keterbatasan barang dan jasa yang ada pada diri setiap individu, masyarakat atau negara untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Karena itu disimpulkan bahwa problematika ekonomi yang sesungguhnya adalah karena adanya kelangkaan (scarcity).

Dari pandangan demikian muncul pula solusi pemikiran untuk memecahkan problematika ekonomi tersebut dengan jalan menitikberatkan pada aspek produksi dan pertumbuhan sebagai upaya untuk meningkatkan barang dan jasa agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Karena itulah maka sistem ekonomi Kapitalis menitikberatkan perhatiannya pada upaya peningkatkan produksi nasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Perhatian yang begitu besar terhadap aspek produksi dan pertumbuhan seringkali justru mengabaikan aspek distribusi dan kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini dapat dilihat dari keberpihakan yang sangat besar kepada para konglomerat, sebab pertumbuhan yang tinggi dengan mudah dapat dicapai dengan jalan ekonomi konglomerasi dan sulit dan lambat jika ditempuh dengan mengandalkan ekonomi kecil dan menengah.

Karena sangat mengandalkan pada pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka sistem ekonomi kapitalis tidak lagi memperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai betul-betul riil yakni lebih mengandalkan sektor riil atau pertumbuhan ekonomi tersebut hanyalah semu, yakni mengandalkan sektor non-riil (sektor moneter). Dalam kenyataannya, sistem ekonomi kapitalis pertumbuhannya lebih dari 85 % di topang oleh sektor non-riil dan sisanya sektor riil. Akibatnya adalah ketika sektor moneter ambruk, maka ekonomi negara-negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis juga ambruk.
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, maka sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa problematika ekonomi yang utama adalah masalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Menurut Islam, pandangan sistem ekonomi kapitalis yang menyamakan antara pengertian kebutuhan (need) dengan keinginan (want) adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta. Keinginan (want) manusia memang tidak terbatas dan cenderung untuk terus bertambah dari waktu ke waktu. Sementara itu, kebutuhan manusia ada kebutuhan yang sifatnya merupakan kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) dan ada kebutuhan yang sifatnya pelengkap (al hajat al kamaliyat) yakni berupa kebutuhan sekunder dan tersier. Kebutuhan pokok manusia berupa pangan, sandang dan papan dalam kenyataannya adalah terbatas. Setiap orang yang telah kenyang makan makanan tertentu maka pada saat itu sebenarnya kebutuhannya telah terpenuhi dan dia tidak menuntut untuk makan makanan lainnya. Setiap orang yang sudah memiliki pakaian tertentu meskipun hanya beberapa potong saja, maka sebenarnya kebutuhan dia akan pakaian sudah terpenuhi. Demikian pula jika orang telah menempati rumah tertentu untuk tempat tinggal –meskipun hanya dengan jalan menyewa– maka sebenarnya kebutuhannya akan rumah tinggal sudah terpenuhi. Dan jika manusia sudah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka sebenarnya dia sudah dapat menjalani kehidupan ini tanpa mengalami kesulitan yang berarti.

Adapun kebutuhan manusia yang sifatnya pelengkap (sekunder dan tersier) maka memang pada kenyataannya selalu berkembang terus bertambah seiring dengan tingkat kesejahteraan individu dan peradaban masyarakatnya. Namun perlu ditekankan disini bahwa jika seorang individu atau suatu masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pelengkapnya, namun kebutuhan pokoknya terpenuhi, maka individu atau masyarakat tersebut tetap dapat menjalani kehidupannya tanpa kesulitan berarti. Oleh karena itu anggapan orang kapitalis bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas adalah tidak tepat sebab ada kebutuhan pokok yang sifatnya terbatas selain memang ada kebutuhan pelengkap yang selalu berkembang dan terus bertambah.

Berbeda halnya dengan kebutuhan manusia, maka keinginan manusia memang tidak terbatas. Sebagai contoh seseorang yang sudah dapat makan kenyang –kebutuhan akan makanan sudah terpenuhi– tentunya ia dapat saja menginginkan makanan lainnya sebagai variasi dari makanannya. Demikian pula seseorang yang telah berpakaian –kebutuhan akan pakaian telah terpenuhi– tentunya dapat pula menginginkan pakaian lainnya yang lebih bagus dan lebih mahal. Contoh lainnya adalah seseorang yang telah memiliki rumah tinggal –kebutuhan papannya telah terpenuhi– tentunya dapat saja menginginkan rumah tinggal yang lebih besar dan lebih banyak. Oleh karena itu sebenarnya kebutuhan pokok manusia sifatnya terbatas adapun keinginan manusia memang tidak pernah akan habis selama ia masih hidup. Oleh karena itulah pandangan orang-orang kapitalis yang menyamakan antara kebutuhan dan keinginan adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Karena itulah permasalahan ekonomi yang sebenarnya adalah jika kebutuhan pokok setiap individu masyarakat tidak terpenuhi. Sementara itu barang dan jasa yang ada, kalau sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh manusia, maka jumlah sangat mencukupi. Namun karena distribusinya sangat timpang dan rusak, maka akan selalu kita temukan – meskipun di negara-negara kaya– orang-orang miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka secara layak. Atas dasar inilah maka persoalan ekonomi yang sebenarnya adalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Dan untuk mengatasinya maka menurut sistem ekonomi Islam, haruslah dengan jalan memberi perhatian yang besar terhadap upaya perbaikan distribusi kekayaan di tengah masyarakat, namun aspek produksi dan pertumbuhan tetap tidak diabaikan.

Politik Ekonomi Islam : Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pokok Masyarakat.

Yang termasuk dalam kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-barang tertentu berupa pangan, sandang dan papan serta kebutuhan terhadap jasa-jasa tertentu berupa keamanan, pendidikan dan kesehatan. Sistem Ekonomi Islam telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara Islam secara menyeluruh baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa.

Pangan, sandang dan papan (perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer) manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorangpun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan tersebut. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa ketiga kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan pokok adalah nash-nash yang berkenaan dengan pangan, sandang dan papan (perumahan).

Allah SWT berfirman :

“Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik…” (QS. Al-Baqarah :233)

Juga firman Allah SWT:

“Dan berilah mereka nafkah (belanja) dan pakaian (dari hasil harta itu). “ (QS. An-Nisa : 4)

Firman-Nya juga :

“Dan berilah makan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj : 28)

Firman-Nya juga :

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di tempat kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu…” (QS. At-Thalaq : 6)

Az-Zein (1981), mengutip hadits Rasulullah saw yang bersabda :

“Anak Adam tidak mempunyai kebutuhan selain dari sepotong roti untuk menghilangkan laparnya, seteguk air untuk meredakan dahaganya dan sepotong pakaian untuk menutup ‘auratnya. Dan lebih dari itu adalah keutamaan.” (Al-Hadits)

Nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang tiga tersebut. Selain dari barang yang tiga tersebut merupakan kebutuhan pelengkap (kamaliyat).

Demikian pula jasa-jasa keamanan, kesehatan dan pendidikan, adalah tiga hal yang merupakan kebutuhan jasa asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Dijadikannya keamanan sebagai salah satu kebutuhan terhadap jasa yang pokok mudah dipahami, sebab tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktivitasnya terutama aktivitas yang wajib seperti kewajiban ibadah, kewajiban bekerja, kewajiban bermuamalat secara Islami termasuk menjalankan aktivitas pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam tanpa adanya keamananan yang menjamin pelaksanaannya. Untuk dapat melaksanakan semua ini, maka haruslah ada jaminan keamanan bagi setiap warga negara.

Demikian pula dengan kesehatan, tidak mungkin setiap manusia dapat menjalani berbagai aktivitas sehari-hari tanpa di mempunyai kesehatan yang cukup untuk melaksanakannya. Karena kesehatan juga termasuk ke dalam kebutuhan jasa yang pokok yang harus dipenuhi setiap manusia.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa keamanan dan kesehatan adalah salah satu kebutuhan jasa pokok adalah sabda Rasulullah saw :

“Barangsiapa yang bangun pagi dalam keadaan aman jiwanya, sehat badannya dan disampingnya ada makanan hari itu, maka seakan-akan dunia ini telah dikumpulkan baginya.” (Al-Hadits)

Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa jasa pendidikan adalah merupakan kebutuhan pokok, adalah karena tidak mungkin manusia mampu mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia, terlebih lagi di akhirat kecuali dia memiliki ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Dalam hal ini Rasululah saw bersabda :

“Barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) dunia hendaklah ia mempunyai ilmu, barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) akhirat hendaklah ia mempunyai ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya (kebahagiaan dunia dan akhirat) maka hendaklah ia mempunyai ilmu.” (Al-Hadits)

Rasulullah SAW bersabda:
“Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim dan muslimah” (HR Thabrani).

Tidak akan mungkin seseorang dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat tanpa adanya ilmu. Dan ilmu pengetahuan tidak mungkin diperoleh tanpa adanya pendidikan. Karena itulah maka pendidikan sebagai sarana untuk menuntut ilmu termasuk juga dalam kebutuhan jasa yang pokok.
Secara garis besar strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara pemenuhan kelompok kebutuhan pokok yang berupa barang (sandang, pangan dan papan) dengan kelompok kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan, kesehatan dan pendidikan). Pengelompokkan ini dilakukan karena terdapat perbedaan antara pelaksanaan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok yang berbentuk barang dengan yang berbentuk jasa. Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang Sistem Ekonomi Islam memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sedangkan berkaitan dengan kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok tersebut.

Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Barang (Pangan, Sandang dan Papan)

Untuk menjamin terlaksananya strategi pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang dan papan, maka Islam telah menetapkan beberapa hukum yang berperan untuk melaksanakan strategi tersebut. Adapun strategi pemenuhan kebutuhan tersebut dilaksanakan secara bertahap, sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan strategi tersebut. Adapun tahap-tahap strategi tersebut adalah :

(1) Memerintahkan kepada setiap individu bekerja agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri
Agar semua kebutuhan pokok (primer) tersebut bisa terpenuhi secara menyeluruh serta dimungkinkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pelangkap (sekunder dan tersier), maka barang-barang kebutuhan yang ada harus bisa diperoleh oleh manusia sehingga mereka dapat memenuhi seluruh kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sementara barang-barang pokok tersebut tidak mungkin diperoleh, kecuali apabila mereka berusaha mencarinya. Karena itu, Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rizki dan berusaha. Bahkan Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki –khususnya bagi orang harus menangggung diri sendiri– adalah sebuah kewajiban sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

(2) Kepala keluarga diwajibkan menafkahi kebutuhan pokok orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Menurut Az-Zein (1981), kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut telah ditetapkan oleh syara’ atas orang-orang tertentu. Kewajiban memberi nafkah kepada isteri yang berupa pangan, sandang dan papan adalah merupakan kewajiban setiap suami. Dalam hal ini

Allah SWT berfirman :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di tempat kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu…” (QS. At-Thalaq : 6)
Rasulullah saw bersabda :
“Mereka (para isteri) mempunyai hak atasmu agar kamu memberi makan dan pakaian kepada mereka.” (Al-Hadits)

Juga sabda Beliau saw :
“Hak mereka atas kamu adalah kamu membaguskan bagi mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.”(Al-Hadits)

Nash-nash ini menjelaskan kewajiban suami untuk menafkahi isterinya. Selain itu kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak-anaknya, berdasarkan firman Allah SWT :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu.” (QS. Al-Baqarah :233)

Juga kewajiban anak-anak untuk menafkahi kedua orang tua mereka. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
“Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak.” (QS. An-Nisaa : 36)

Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang dimakan oleh seorang lelaki adalah sesudah kasabnya (usahanya), dan anaknya itu termasuk kasabnya.” (AL-Hadits)

Dari nash-nash ini dapat disimpulkan bahwa anak-anak wajib menafkahi kedua orang tuanya. Nafkah itu menurut syara’ adalah pangan, sandang dan papan.

Selain itu kewajiban kerabat yang mempunyai pertalian darah (mahram) untuk menafkahi kerabatnya itu didasarkan pada firman-Nya :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf… dan ahli waris pun berkewajiban demikian. “ (QS. Al-Baqarah : 233)

Rasulullah saw bersabda :
“Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu dan saudara perempuanmu, kemudian kerabatmu yang jauh, kerabatmu yang jauh, kerabatmu yang jauh.” (Al-Hadits)

(3) Negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan pekerjaan agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan
Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, namun ia tidak memperoleh pekerjaan sementara ia mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw bersabda :

“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tersebut dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah saw pernah memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian beliau saw berkata kepadanya :

“Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja.” (Al-Hadits)

Juga, dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan, bahwa ada seseorang yang mencari Rasulullah, dengan harapan Rasulullah saw akan memperhatikan masalah yang dihadapinya. Ia adalah sorang yang tidak mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk bekerja dalam rangka mendapatkan suatu hasil (kekayaan), juga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Kemudian Rasulullah saw memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu, yang diambil sendiri oleh beliau. Kemudian beliau serahkan kepada orang tersebut. Beliau perintahkan kepadanya agar ia pergi ke suatu tempat yang telah beliau tentukan dan bekerja di sana, dan nanti kembali lagi memberi kabar tentang keadaannya. Setelah beberapa waktu, orang itu mendatangi Rasulullah saw seraya mengucapkan rasa terima kasih kepada beliau atas bantuannya. Ia menceritakan tentang kemudahan yang kini ia dapati.
Al-Badri (1992), menceritakan bahwa suatu ketika Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra. memasuki sebuah masjid di luar waktu shalat lima waktu. Didapatinya ada dua orang yang sedang berdoa kepada Allah SWT. Umar ra lalu bertanya :

“Apa yang sedang kalian kejakan, sedangkan orang-orang di sana kini sedang sibuk bekerja?, Mereka menjawab :“Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah SWT.” Mendengar jawaban tersebut, maka marahlah Umar ra, seraya berkata :“Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian Umar ra. mengusir mereka dari mesjid namun memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau katakan kepada mereka :“Tanamlah dan bertawakallah kepada Allah.”
Dari sinilah, maka para ulama menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah) memberikan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan bagian tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat. itulah kewajiban yang telah ditetapkan secara syar’iy, dan telah diterapkan oleh para pemimpin Negara Islam (Daulah Islamiyah), terutama di masa-masa kejayaan dan kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan.

(4) Memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu, jika ternyata kepala keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya
Jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas pekerjaan, namun seorang individu tetap tidak mampu bekerja sehingga dan tidak mampu mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggungjawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan ahli warisnya, sebagaimana firman Allah SWT :

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknysa dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli warispun berkewajiban demikian…”(QS. Al-Baqarah :233)

Ayat Al-Qur’an di atas menjelaskan bahwa adanya kewajiban atas ahli waris. Seorang anak wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya (yang tidak mampu) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Maksud “al waarits” pada ayat tersebut, bukanlah hanya orang yang telah mendapat warisan semata, tetapi semua orang yang berhak mendapat warisan dalam semua keadaan. Rasulullah saw telah bersabda :

“Kamu dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu.” (HR. Ibnu Majah)

Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, sedangkan ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya. Hukum-hukum tentang nafkah ini telah banyak diulas panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh Islam.

(5) Mewajibkan kepada tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan
Jika seseorang tidak mampu memberi nafkah terhadap orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, baik terhadap sanak keluarganya atau mahramnya, dan iapun tidak memiliki sanak kerabat atau mahram yang dapat menanggung kebutuhannya, maka kewajiban pemberian nafkah itu beralih kepada baitul mal (negara). Namun sebelum kewajiban tersebut beralih kepada negara, dalam rangka menjamin hak hidup orang-orang yang tidak mampu tersebut, maka Islam juga telah mewajibkan kepada tetangga dekatnya yang muslim untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok orang-orang tersebut, khususnya berkaitan dengan kebutuhan pangan untuk menyambung hidup. Dalam hal ini Rasulullah saw pernah bersabda :

“Tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahui hal tersebut.” (HR. Al-Bazzar)

Meskipun demikian, bantuan tetangga itu tentunya hanya bersifat sementara sehingga tetangganya tidak meninggal karena kelaparan. Namun untuk jangka panjang, maka negara yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebab memang negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.

(6) Negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan dari seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan.
Menurut Islam negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya. Dalam hal ini negara akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang menjadi tanggungannya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok individu masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya secara sempurna –baik karena mereka telah berusaha namun tidak cukup (fakir dan miskin) ataupun terhadap orang-orang yang lemah dan cacat yang tidak mampu untuk bekerja–maka negara harus menempuh berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Negara dapat saja memberikan nafkah baitul mal tersebut berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban Syar’iy, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya, sebagaimana firman Allah SWT :

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At-Taubah :103)

Juga firman-Nya :

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para aamil (pekerja zakat), para muallaf yang diikat hatinya, …” (QS. At-Taubah: 60)

“Al-Aamilun” adalah para pekerja yang ditugaskan oleh negara untuk menarik zakat. Negara kemudian mendistribusikan kepada delapan golongan (asnaf) yang jelas-jelas tersebut dalam Al-Qur’an. Di antara mereka ada orang-orang fakir (al-fuqaraa) dan orang-orang miskin (al-masaakin), sebagaimana dalam ayat 60 surat At-taubah tersebut. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam kekurangan. Dalam hal ini negara berkewajiban menutupi kekurangan itu dari harta benda Baitul Mal (di luar harta zakat) jika harta benda dari zakat tidak mencukupi. Rasulullah saw bersabda :

“Tidak ada seorang Muslim pun, kecuali aku bertanggungjawab padanya di dunia dan akhirat. Lalu Rasulullah saw membacakan firman Allah SWT : “Para nabi itu menjadi penanggungjawab atas diri orang-orang beriman.” Rasul selanjutnya bersabda : “Oleh karena itu, jika seorang mukmin mati dan meninggalkan harta warisan, silahkan orang-orang yang berhak mendapatkan warisan mengambilnya. Tetapi jika dia mati dan meninggalkan hutang atau orang-orang yang terlantar, maka hendaknya mereka datang kepadaku, sebab aku adalah penanggung jawabnya.” (HR. Pemilik Kitab Shahih yang Enam)

Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Jasa (Keamanan, Kesehatan Dan Pendidikan)

Keamanan, kesehatan dan pendidikan, adalah tiga hal yang merupakan kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang dan papan), dimana Islam melalui negara menjamin pemenuhannya melalui mekanisme yang bertahap. Maka terhadap pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa yakni keamanan, pendidikan dan kesehatan dipenuhi negara secara langsung kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri’ayatu asy syu-uun) dan kemaslahatan hidup terpenting. Dalam hal ini, negara (pemerintah)lah yang berkewajiban mewujudkan pemenuhannya terhadap seluruh rakyat. Islam telah menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin tiga jenis kebutuhan dasar tersebut adalah negara. Negaralah yang harus mewujudkannya, agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun non-muslim, miskin atau kaya. Sedangkan seluruh biaya yang diperlukan, ditanggung oleh Baitul Maal.

Jaminan Keamanan

Dijadikannya keamanan sebagai salah satu kebutuhan terhadap jasa yang pokok mudah dipahami, sebab tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktivitasnya terutama aktivitas yang wajib seperti kewajiban ibadah, kewajiban bekerja, kewajiban bermuamalat secara Islami termasuk menjalankan aktivitas pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam tanpa adanya keamananan yang menjamin pelaksanaannya. Untuk melaksanakan ini semua maka negara haruslah memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa keamanan adalah salah satu kebutuhan jasa pokok adalah sabda Rasulullah saw :

“Barangsiapa yang bangun pagi dalam keadaan aman jiwanya, sehat badannya dan disampingnya ada makanan hari itu, maka seakan-akan dunia ini telah dikumpulkan baginya.” (Al-Hadits)

Sedangkan dalil yang menjamin terpenuhinya adanya keamanan tersebut adalah tindakan Rasulullah saw yang bertindak sebagai kepala negara yang memberikan keamanan kepada setiap warga negara (muslim dan kafir dzimmiy) sebagaimana sabdanya :

“Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah. Apabila mereka telah melakukanya (masuk Islam atau tunduk kepada aturan Islam) maka terpelihara oleh-Ku darah-darah mereka, harta-harta mereka kecuali dengan jalan yang hak. Dan hisabnya terserah kepada Allah. (HR. Bukhari, Muslim dan pemilik sunan yang empat)

Mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota masyarakat, adalah dengan jalan menerapkan aturan yang tegas kepada siapa saja yang akan dan mengganggu keamanan jiwa, darah dan harta orang lain. Aturan yang tegas ini selain berfungsi sebagai upaya mencegah terjadinya tindakan gangguan keamanan, juga berfungsi sebagai tindakan hukuman hingga membuat pelaku jera. Sebagai gambaran, kepada siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa orang lain, yakni dengan jalan membunuh orang lain, maka orang tersebut menurut hukum Islam harus dikenakan sanksi berupa qishash, yakni hukum balasan yang setimpal kepada orang yang melakukan kejahatan tersebut.
Menurut Al-Maliki (1990), Hukum Islam menetapkan bahwa siapa yang membunuh dengan sengaja maka ia harus dikenakan hukum qishash, dengan jalan dibunuh kembali, atau ahli warisnya dapat menuntut ganti rugi berupa diyat (denda) yang besarnya senilai dengan 100 ekor unta. Bahkan terhadap pembunuhan yang tidak sengajapun akan dikenakan hukuman kepada orang yang telah lalai tersebut. Dalil yang menunjukkan hal ini semua firman Allah SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampau batas sesuadah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. Al-Baqarah : 178)

Dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman :

“Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan mebayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak meperolehnya , maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. An-Nisaa : 92)

Demikian juga siapa saja yang mengganggu keamanan harta orang lain dengan jalan mencuri, menggarong atau merampoknya, maka akan dikenakan hukuman yang tegas dan keras. Sebagai gambaran kepada pencurian barang yang besarnya ¼ dinar atau lebih (1 dinar = 4,25 gram emas) atau setara dengan 3 dirham perak, maka Islam menetapkan hukuman potong tangan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksa dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah : 38)

Berkaitan dengan besarnya jumlah percurian banyak hadits Rasulullah saw yang menegaskannya. Rasulullah saw bersabda :

“Tangan pencuri (harus) dipotong, karena (mencuri) barang seharga seperempat dinar.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat yang lain Beliau saw juga bersabda :

“Potonglah (tangan pencuri), karena mencuri seharga seperempat dinar, dan jangan kamu potong kurang dari harga itu.” (HR. Ahmad)

Masih banyak sekali ketentuan-ketentuan hukum Islam yang menjamin keamanan jiwa, darah dan harta setiap warga negara. Hukum-hukum itu diterapkan dengan tegas adalah dalam rangka mencegah masyarakat untuk tidak berbuat kejahatan.

Jamninan Kesehatan

Menurut Al-Badri (1990), adapun yang berhubungan dengan jaminan kesehatan, diriwayatkan bahwa Mauquqis, Raja Mesir, pernah menugaskan (menghadiahkan) seorang dokter (ahli pengobatan)nya untuk Rasulullah SAW. Oleh Rasulullah SAW, dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum muslimin dan untuk seluruh rakyat, dengan tugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit. Tindakan Rasulullah SAW itu, dengan menjadikan dokter tersebut sebagai dokter kaum muslimin, menunjukkan bahwa hadiah tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadiah semacam itu bukanlah khusus diperuntukkan bagi Beliau, tetapi untuk kaum muslimin, atau untuk negara. Lain halnya apabila hadiah tersebut dipakai oleh beliau pribadi, seperti selimut bulu dan keledai hadiah dari Raja Aikah, misalnya, maka hadiah seperti itu memang khusus untuk pribadi, bukan untuk seluruh kaum muslimin.

Demikianlah, pemanfaatan dan penentuan Rasulullah SAW terhadap suatu hadiah yang diterimanya, telah menjelaskan kepada kita bagaimana bentuk hadiah yang bernilai khusus pribadi dan untuk kemaslahatan umum. Juga bagaimana bentuk suatu hadiah yang diberikan kepada kepala negara, wakil atau penggantinya yang hadiah itu masuk ke dalam kekayaan Baitul Maal dan untuk seluruh kaum muslimin.

Rasulullah SAW pernah sangat marah kepada seorang pegawai negara yang mewakili beliau dalam pengambilan zakat. Orang tersebut ternyta telah menerima hadiah dari seseorang. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Urwah bin Zubair, dari Abi hamid as Sa’idy ra, bahwa Rasulullah SAW telah mempekerjakan salah seorang dari suku Azad untuk mengambil Zakat Bani Sulaim. Ketika ia kembali dengan membawa sejumlah harta, maka Rasulullah menghitungnya. Orang tersebut berkata kepada Rasul SAW: “Ini adalah untukmu dan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepadaku” Mendengar pengakuan tersebut, Nabi SAW berkata:

“Apakah tidak lebih baik jika engkau duduk-duduk saja di rumah ibumu sampai hadiah itu datang padamu? (Apakah mungkin hadiah itu akan datang bila engkau duduk-duduk di rumah ayah-ibumu?)”.

Seketika itu juga beliau berdiri dengan maksud untuk menjelaskan aspek hukum Islam tentang masalah tersebut kepada orang banyak. Setelah mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, beliau berkata:

“Bagaimana mungkin ada seorang laki-laki yang telah aku pekerjakan mengerjakan suatu tugas yang dipercayakan Allah kepadaku. Kemudian ia berkata: Ini kuserahkan kepadamu, dan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepadaku. Apakah tidak lebih baik jika ia duduk-duduk saja di rumah ayah atau ibunya sampai hadiah itu datang kepadanya? (Apakah mungkin hadiah itu akan datang bila engkau duduk-duduk di rumah ayah-ibumu??). Demi Dzat dan jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah aku menugaskan seseorang atau suatu pekerjaan yang telah dipercayakan Allah kepadaku, kemudian ia berlaku curang, maka pada hari Kiamat ia akan datang dengan memikul unta yang mulutnya tak henti-hentinya meneteskan busa, atau sapi yang terus-terusan mengauk, atau kambing yang tak berhenti mengeluarkan kotoran.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya ke langit, hingga tampak putih ketiaknya, seraya berkata: “Ya Allah, sungguh telah aku sampaikan, Ya Allah, saksikanlah!” (HR. Muslim).

Pada masa lalu, Daulah Islamiyah telah menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya. Negara menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengobati orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengobatan. Rasulullah SAW pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Maal.

Pernah serombongan orang berjumlah delapan orang dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah SAW di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah SAW memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum Muslimin milik Baitul Maal, di sebelah Quba’, di tempat yang bernama “Zhi Jadr”. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali. Mereka diijinkan meminum susu binatang-binatang ternak itu (onta), karena mereka memang berhak.

Dalam buku “Tarikhul Islam as Siyasi” diceritakan bahwa Sayyidina Umar ra telah memberikan sesuatu dari Baitul Maal untuk membantu suatu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syam, ketika melewati daerah tersebut.Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para Khalifah dan wali-wali (para pemimpin wilayah). Bahkan, Khalifah Walid bin Abdul Malik telah khusus memberikan bantuan kepada orang-orang yang terserang penyakit lepra.

Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibnu Thulun di Mesir, memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman-minuman dan obat-obatan serta, dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang sakit.

Jadi, keberadaan dokter di tengah masyarakat, terpecahnya problema kesehatan masyarakat, dan pembangunan sarana atau balai-balai kesehatan, adalah tugas-tugas yang dibebankan Islam terhadap negara. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap perwujudan semua itu.

Jaminan Pendidikan

Demikian halnya dengan masalah pendidikan. Ia menjadi tanggung jawab negara untuk menanganinya, dan termasuk kategori kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar dapat dinikmati seluruh rakyat. Gaji guru, misalnya, adalah beban yang harus dipikul negara dan pemerintah dan diambil dari kas Baitul Maal.

Rasulullah SAW juga telah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan perang Badar. Beliau katakan bahwa para tawanan itu bisa bebas sebagai status tawanan, apabila seorang tawanan telah mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis. Tugas itu menjadi tebusan untuk kebebasan dirinya.
Kita mengetahui bahwa barang tebusan itu tidak lain adalah hak milik baitul Maal. Tebusan itu nilainya sama dengan harta pembebasan dari tawanan lain dalam perang Badar itu. Dengan tindakan tersebut (yakni membebankan pembebasan tawanan itu ke Baitul Maal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut mengajarkan kepandaian baca-tulis), berarti Rasulullah SAW telah menjadikan biaya pendidikan itu setara dengan barang tebusan. Artinya, beliau SAW, memberi upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul maal.

Menurut Al-Badri (1990), Ad Damsyiqy menceritakan suatu kisah dari Al Wadliyah bin atha’, yang mengatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Oleh Khalifah Umar Ibnu Al Khathab, atas jerih-payah itu beliau memberikan gaji kepada mereka sebesar 15 dinar setiap bulan (satu dinar = 4,25 gram emas).

Pendidikan adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia. Sementara negara berkewajiban menjadikan saran-sarana dan tempat-tempat pendidikan. Rasulullah SAW bersabda:

“Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim dan muslimah” (HR Thabrani)

Demikian juga, mengemban dakwah Islamiyah adalah kewajiban atas segenap kaum Muslimin, berdasarkan firman Allah SWT:

“Serulah (manusia) ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik …” (QS An Nahl 125).

Juga sabda Rasulullah SAW:

“Sampaikan apa yang berasal dariku walaupun hanya satu ayat” (HR Bukhari).

Tetapi, mungkinkah tugas dakwah dan tabligh itu dapat terlaksana tanpa adanya pendidikan ?
Al-Badri (1990) juga menceritakan Imam Ibnu Hazm, dalam kitab “Al Ahkaam”, setelah memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan, agar ibadah dan mu’amalah kaum muslimin dapat diterima (sah). Beliau menjelaskan bahwa seorang imam atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sampai pada ungkapannya:

“Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.”

Mencari ilmu adalah kewajiban yang yang harus dipikul oleh setiap individu (fardlu ‘ain). Ilmu-ilmu lain yang bersifat fardlu kifayah (fardlu atas sebagian kaum muslimin) tidak akan gugur kewajiban mencarinya sebelum sebagian kaum muslimin berhasil melaksanakannya dalam batas yang mencukupi. Misalnya ilmu ekonomi, kedokteran, industri, elektronika, mekanika dan ilmu-ilmu lain yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan dalam kehidupan kaum muslimin.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, papan. Demikian juga Islam telah menjamin terselenggaranya penanganan masalah keamanan, kesehatan dan pendidikan.

Dijadikannya semua itu sebagai kewajiban negara dan bagian dari tugasnya sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Negaralah yang melaksanakan dan menerapkannya berdasarkan syari’at Islam.

Gambaran aktivitas ekonomi dalam daulah khilafah (sedang ditulis)

Pasar Komoditi

  • Kegiatan Produksi…
  • Kegiatan Konsumsi…
  • Kegiatan Investasi…

Pasar Input

  • Pasar Tenaga Kerja….
  • Seputar Pertanahan….

Pasar Uang (sektor Moneter)

  • Mata Uang….
  • Larangan Riba….
  • Ketentuan jual beli Valas….

Perdagangan Luar-negeri

  • Politik ekonomi LN…

Mekanisme Distribusi Kekayaan di Tengah Masyarakat

  • Mekanisme ekonomi…
  • Mekanisme non-ekonomi…

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

  • Sumber-sumber pemasukan…
  • Pos-pos pengeluaran…

DAFTAR BACAAN :

  1. Abdullah, M.H. 1990. Diraasaat fil Fikril Islami. Penerbit Darul Bayariq. Aman.
  2. Al-‘Assal, A.M dan Fathi Ahmad Abdul Karim. 1999. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam (Terjemahan). Penerbit CV. Pustaka Setia.
  3. Al-Badri, A. A. 1992. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam (Terjemahan). Penerbit Gema Insani Press. Jakarta.
  4. An-Nabhaniy, T. 1953. An-Nizham Al-Islam. Penerbit Hizbut Tahrir. Baerut.
  5. ……… 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi Fil Islam. Penerbit Darul Ummah. Bairut.
  6. Arief, S. 1998. Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan. Penerbit CIDES. Jakarta.
  7. Az-Zein, S. A. 1981. Syari’at Islam : Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial sebagai Studi Perbadingan (Terjemahan). Penerbit Husaini. Bandung.
  8. Budiono. 1998. Ekonomi Makro. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.2. Edisi 4. BPFE. Yogyakarta.
  9. Chapra, M. U. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer (Terjemahan). Penerbit Risalah Gusti. Surabaya.
  10. Deliarnov. 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Penerbit PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
  11. Djojohadikusumo, S. 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
  12. ……… 1994. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. PT. Pustaka LP3ES. Jakarta.
  13. Magnis-Suseno, F. 1999. Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
  14. Mannan, M.A. 1993. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Penerbit PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta.
  15. Mubyarto. 1999. Reformasi Sistem Ekonomi : Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta.
  16. Qardhawi, Y. 1995. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan. (Terjemahan). Penerbit. Gema Insani Press. Jakarta.
  17. ……… 1995. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam (Terjemahan). Penerbit Robbani Press. Jakarta.
  18. Qureshi. A.I. 1985. Islam and The Theory of Interest. (Terjemahan). Penerbit Titamas. Jakarta.
  19. Rahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II (Terjemahan). Penerbit Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta.
  20. Samuelson, P. A dan Wiliam D. Nordhaus. 1995. Mikroekonomi Edisi Ke-14 (Terjemahan). Penerbit Erlangga. Jakarta.
  21. Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
  22. Tambunan, T. 1998. Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi. Penerbit Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
  23. Tjokroamidjojo, B. 1976. Perencanaan Pembangunan. PT. Toko Gunung Agung. Jakarta.
  24. Ya’kub, H. 1999. Kode Etik Dagang Menurut Islam. Cetakan ke-3. (Terjemahan). Penerbit CV. Diponegoro. Bandung.
  25. Zallum, A. Q. 1963. Muqaddimatud Dustur awil Asbaabul Maujibatu lahu. Penerbit Hizbut Tahrir. Baerut.
  26. ……… 1983. Al-Amwaal fi Daulatil Khilafah. Penerbit Darul Ilmu lil Malayiin. Baerut-Lebanon.
Add This!
Custom Search