Al - Fatih
Hidup Mulia atau Mati Syahid
Sunday, September 15, 2019
Wednesday, August 10, 2011
Apakah Konstitusi Demokratis dan Sistem Kufur yang Lebih Baik ?
Para pengunjuk rasa di Timur Tengah telah mendapatkan murka dari pemerintah mereka atas tindakan mereka. Ribuan nyawa telah hilang di Tunisia, Suriah, Libya, Yaman dan Mesir tetapi protes terus dengan berlangsung dengan tekad untuk menjadi rakyat yang bermartabat. Hal ini kontras dengan protes yang terjadi di dunia Barat yang akhirnya berubah menjadi hiruk-pikuk kerusuhan dengan kekerasan dan tidak berperi kemanusiaan tidak hanya pada fasilitas milik pemerintah, tetapi juga milik pribadi dan fasilitas publik.
Rangkaian kekacauan dan kehancuran karena protes biaya kuliah mahasiswa di London pada awal tahun ini telah terlampaui dengan kekerasan dan penjarahan dengan skala lebih besar yang dilakukan para pemrotes di Tottenham, London. Setelah protes atas kematian Mark Duggan dalam tahanan polisi (bukan untuk pertama kalinya seorang pria kulit hitam tewas dalam tahanan polisi), para pemuda di Tottenham memutuskan bahwa sudah waktunya bagi mereka untuk membuat kekacauan. Kerusuhan tidak hanya menjadi kasus kemarahan yang terpendam atas hilangnya nilai sosial dan munculnya perumahan miskin tapi adalah perbuatan kriminalitas yang dilakukan massa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem kapitalis telah membuat kaum minoritas gagal tidak hanya di London tapi juga di seluruh Inggris. Namun tatkala rakyat Timur Tengah bereaksi terhadap pemerintahannya yang tuli dan dengan tekad dan semangat yang tinggi, kebebasan Barat hanya berarti bahwa di London mereka bebas untuk menjarah dan membakar perusahaan-perusahaan yang tidak hubungannya sama sekali dengan protes mereka.
Pemandangan atas banyaknya bangunan terbakar di Tottenham dan kerusuhan yang menyebar ke Enfield adalah hal yang tidak mengherankan mengingat ketidakmampuan ideology kapitalis untuk menciptakan harmoni sosial dan rasa tanggung jawab individu. Bahkan jika dipakai argumen deprivasi sosial yang cacat untuk maksud menghibur, hal yang terjadi adalah tindakan membakar separuh bangunan di jalanan-jalan utma agar suara para pemrotes didenger, padahal begitu banyak kekuatan dari kotak suara demokratis.
Akibat dari besarnya kegagalan ekonomi kapitalisme mulai memukul di dalam negeri dimana moralitas sosial di Barat sendiri sudah mulai gemetar dan lunglai. Munculnya kaum konservatif di seluruh Eropa ditambah dengan kekerasan yang terjadi di Yunani dan Inggris hanyalah puncak gunung es, karena kenyataanya hidup menjadi lebih sulit kerusuhan seperti yang terjadi di Athena dan London ini akan menjadi lebih sering.
Dunia Barat yang begitu terbiasa untuk hidup mewah lewat penjajahan yang mereka lakukan, namun sekarang menderita dan mengalami masalah yang sama seperti yang dialami Afrika selama beberapa dekade. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa kapitalisme hanya baik untuk menciptakan materialisme dalam jumlah besar. Kapitalisme benar-benar gagal untuk mengajari mereka kesabaran pada saat-saat sulit. Protes terhadap bahan bakar yang terjadi beberapa tahun lalu yang menyebabkan rebutan roti di supermarket kemudian mengingatkan akan ketidakmampuan masyarakat Barat untuk mengatasi bahkan kesulitan kecil sekalipun.
Untuk melihat kutub perbedaan antara Islam dan kapitalisme, Anda hanya perlu melihat kepada penderitaan kaum Muslim Somalia, yang secara harfiah mati kelaparan. Pria dan Wanita berjalan selama berhari-hari hanya untuk menemukan makanan bagi anak-anak mereka yang sekarang, beberapa adegan itu sangat memilukan.
Meskipun mereka menderita, mereka tidak kehilangan martabat dan bersama-sama melakukan penjarahan toko-toko makanan penjarahan mereka karena mereka telah meletakkan kepercayaan mereka kepada Alllah (swt) berpegang pada martabat nilai-nilai Islam yang memberi mereka.
Seorang hanya bisa membayangkan apa yang akan dilakukan rakyat di London seandainya menghadapi situasi seperti yang terjadi di Somalia.
sumber: hizb.org.uk (9/8/2011)
Sunday, August 07, 2011
Naveed Butt (Jubir HT Pakistan): Wahai Boneka AS, Waktumu Habis!
melakukan wawancara ekslusif dengan juru bicara Hizbut Tahrir di Pakistan, Naveed Butt. Berikut beberapa kutipannya.
Bagaimana Anda menjelaskan banyak berita mengenai kekhawatiran terhadap Hizbut Tahrir Pakistan oleh media Pakistan dan media internasional?
Pemerintah Barat bersama media sangat menyadari dampak global dan jangkauan Hizbut Tahrir, terutama di dunia Muslim. Baik Amerika dan Inggris secara terbuka menyatakan bahwa partai kami sebagai lawan nyata malah akan semakin menggalang dukungan bagi seruan-seruan dan tujuan-tujuan kami. Oleh karena itu, mereka mencoba melakukan hal terbaik dengan berusaha mengabaikan kami di media. Pada saat yang sama mereka menggunakan agen penguasa Muslim untuk menghambat kegiatan-kegiatan kami melalui penindasan, penangkapan massal, penyiksaan dan penganiayaan. Pengaruh Hizbut Tahrir dan kegiatan-kegiatannya di tengah umat sekarang telah memaksa Barat menyoroti kami melalui media mereka dan begitu juga agen-agen mereka di negara-negara Muslim.
Media Barat dan Pakistan atas perintah dari pemerintahnya segera menyambutnya. Mereka mulai meracik kebohongan dan menyuarakan kekhawatiran yang tidak perlu kepada massa. Namun, ada pengecualian dimana ada juga sebagian wartawan yang tulus di Pakistan yang telah secara terbuka dan blak-blakkan menguak kebohongan ini dan mendukung perjuangan politik Hizbut Tahrir yang non-kekerasan bagi terbentuknya Khilafah.
Sampai sejauh mana militer Pakistan bersimpati kepada pandangan-pandangan dan tujuan-tujuan Hizbut Tahrir?
Kami menyeru orang-orang yang memiliki kekuatan untuk memenuhi kewajiban Islam mereka dan menghentikan kemungkaran dengan menggunakan otoritas mereka. Kami menyerukan mereka untuk menyingkirkan siapapun yang membangkang terhadap Allah dan Rasul-Nya serta berkomplot dengan kaum imperialis.
Mencari nushrah (dukungan) dari orang-orang yang memiliki kekuasaan adalah bagian dari metodologi Nabi Muhammad (saw). untuk mendirikan Negara Islam. Hizbut Tahrir mengikuti metode ini dalam raga dan jiwanya.
Berbeda dengan negara lain, tentara Pakistan bukanlah tentara elitis. Mereka datang dari semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, apapun yang ada dalam opini publik negara Pakitan, kurang lebih pikiran dan emosi yang sama juga dibawa oleh militer. Hizbut Tahrir telah bekerja pada masyarakat selama 10 tahun terakhir. Tidak mengherankan, seperti di masyarakat, ide khilafah dan penyatuan umat Islam bergema pada para perwira angkatan bersenjata.
Apa reaksi di dalam tubuh militer Pakistan terhadap pembunuhan Osama bin Laden pada tanggal 2 Mei?
Militer Pakistan adalah bagian dari masyarakat dan mereka berbagi perasaan Islam yang sama dengan masyarakat. Oleh karena itu, hal yang menjijikan dan membuat marah militer adalah arogansi Amerika dan sikap mengabdi para petinggi militer Pakistan yang terang-terangan kepada Amerika.
Tidak ada seorang pun yang waras di Pakistan, apalagi seorang perwira militer, yang lebih menyadari akan kemampuan keamanan Pakistan dan prosedur-prosedur operasi standar, yang bersedia untuk menerima penjelasan Amerika yang konyol bahwa tentara Amerika datang dari seberang perbatasan, melakukan operasi selama 40 menit dan kemudian dengan aman terbang kembali tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari pemimpin tertinggi militer dan sipil. Kejadian itu saja sudah cukup bagi para perwira angkatan bersenjata untuk menyimpulkan bahwa mereka benar-benar dipimpin oleh sekelompok orang antek Amerika. Inilah sebabnya mengapa Kepala Staf Angkatan Darat Jendral shfaq Parvez] Kiani sendiri yang mengunjungi garnisun militer dan memberikan penjelasan dengan gaya pertemuan-pertemuan di balai kota, termasuk di Universitas Pertahanan Nasional (NDU) dan Sekolah Staf Quetta, dalam rangka menenangkan para pejabat militer yang marah.
Argumen dasarnya dibangun di sekitar ketakutan, yaitu bahwa kami lemah dan tidak bisa melawan Amerika. Karena itu, kita harus menerima penghinaan dan pelanggaran kedaulatan Pakistan ini. Jelas, para perwira dari tentara profesional yang memiliki kemampuan nuklir tidak bersedia untuk menerima hal ini. Inilah sebabnya mengapa Amerika dan agen-agen mereka, seperti Jenderal Kiani, merasa mendapat kritikan tajam dan mulai menganggu siapa saja yang memiliki kecenderungan Islam. Ada laporan, perwira yang dikenal memiliki orientasi Islam tidak akan naik jabatan dengan jabatan yang lebih tinggi walaupun jika mereka pantas mendapatkannya, atau mereka diberikan pos yang tidak sensitif/berpengaruh. Hal ini pada gilirannya akan menimbulkan frustrasi dan kekecewaan yang secara jelas tidak akan membantu Amerika dalam memenangkan dukungan dengan hati dan pikiran angkatan bersenjata.
Dalam hal pelanggaran dan erosi bertahap atas kedaulatan Pakistan oleh pemerintah AS, apakah ada titik di mana militer Pakistan bereaksi melawan AS?
Ini bukan masalah ‘jika’ tetapi adalah ‘kapan’. Frustrasi, kemarahan dan perasaan jijik saat ini yang ada dalam tentara Pakistan tidak dapat dipertahankan, terutama ketika semakin banyak orang sekarang yang percaya bahwa mereka seharusnya tidak ikut serta dalam “perang melawan teror”-nya Amerika.
Banyak pejabat militer yang telah mengundurkan diri secara diam-diam atau menjalani pengadilan di pengadilan militer karena menolak untuk memerangi saudara-saudara Muslim mereka di FATA (Wilayah Kesukuan Federal). Tekanan-tekanan ini tidak dapat dipertahankan tanpa batas. Bukti-bukti menunjukkan fakta bahwa (titik pecah) atas hal ini akan terjadi lebih awal daripada terjadi kemudian. Namun, pemutusan hubungan dengan Amerika tidak bisa terjadi di bawah kepemimpinan politik dan militer saat ini. Itu harus di bawah kepemimpinan Islam yang baru yang tulus, yaitu negara Khilafah.
Seperti situasi di Afganistan menjadi semakin kritis bagi aliansi Barat, dan dalam pandangan yang berbeda antara Pakistan dan Amerika pada hasil yang diinginkan dalam konflik Afganistan, apakah Anda membayangkan sebuah konfrontasi bersenjata antara Pakistan dan Amerika?
Di bawah kepemimpinan pengkhianat saat ini, tidak ada tantangan serius terhadap hegemoni Amerika di kawasan ini dan usaha-usahanya untuk menjarah sumber daya material yang besar dari Afganistan yang diperkirakan bernilai sekitar satu sampai tiga triliun dolar. Mereka sudah menyia-nyiakan sebuah kesempatan. Hanya dengan memotong jalur suplai NATO secara permanen dan mengusir para pejabat AS dari Pakistan akan memaksa Amerika mundur secara tergesa-gesa. Mengenai Amerika melawan Pakistan, jika Amerika membuat kesalahan itu, saya mengajukan pertanyaan, jika saja mereka belum mampu menundukkan kelompok-kelompok kecil mujahidin di Afganistan dalam satu dekade pertempuran, maka kesempatan apa yang mereka miliki untuk melawan tentara Muslim yang terkuat dan paling berpengalaman tempur di dunia?
Itu sebabnya mengapa pada tanggal 11 Maret 2009, dalam presentasinya kepada para pejabat kunci Obama, termasuk Kepala Staf Gabungan Laksamana Mike Mullen, Ketua Tinjauan Kebijakan Antar Afganistan-Pakistan untuk pemerintahan Obama, Bruce O Riedel, telah melihat pilihan ekstrem menyerang Pakistan, dan tentu saja mereka segera menghentikan ide ini. Menyerang sebuah negara yang memiliki puluhan senjata nuklir merupakan sesuatu yang melebihi kegilaan. Semua orang juga setuju akan hal ini
Sampai sejauh mana Taliban Pakistan merupakan ‘bentukan’ Direktorat Inter-Services Intelligence (ISI)?
Infiltrasi atas organisasi-organisasi longgar seperti Taliban tidaklah sulit bagi setiap pemerintah. Ada cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa Amerika telah mampu menyusup ke dalam struktur Taliban yang longgar yang menyebabkan kekacauan di Pakistan. Hal ini kemudian diperkuat oleh operator penghubung CIA-Central Intelligence Agency Raymond Davis dengan organisasi-organisasi militan.
[Sumber: http://www.atimes.com/atimes/South_Asia/MG08Df01.html#.ThlJUfTBxTQ.facebook].
Diterjemahkan di Al - Wa'ie edisi Agustus 2011
Sunday, February 07, 2010
Debat Terbuka Caryl Kristen (Majalah Foreign Policy) dengan Abdul Wahid (Hizbut Tahrir Inggris) Tentang Khilafah dan Dunia Islam
27 Desember 2009
Yth. Caryl,
Re: “Reality Check: The Party’s Not Over” Terbit on-line tanggal 22/12/2009
Artikel Anda sangat menarik dan menimbulkan beberapa pertanyaan berkaitan meskipun ada banyak ketidakakuratan yang berulang.
Anda benar ketika mengatakan bahwa organisasi kami telah tumbuh dalam jumlah kekuatan dan pengaruh selama lebih dari 60 tahun, memiliki tujuan yang jelas, dan tidak pernah menyimpang dari metode intelektual dan politik. Ide-ide kami menjadi lebih halus dan terperinci selama puluhan tahun.
Selama puluhan tahun, pandangan dunia Islam kepada kami telah berpindah dari pandangan skeptis atas tujuan kami (untuk menghidupkan kembali Islam sebagai dasar bagi kehidupan politik dan menegakkan kembali Khilafah) menjadi suatu pandangan dimana tingkat dukungan masyarakat telah lebih dari 70% menurut beberapa jajak pendapat.
Peningkatan dukungan atas ide-ide politik Islam ini - khususnya mengenai Kekhalifahan - menampilkan pertanyaan yang sebenarnya yang harus ditanyakan kepada Barat. Yaitu, bagaimana Barat dapat memahami dan berdialog dengan pandangan seperti ini?
Adalah memalukan bahwa artikel Anda tidak menyuarakan hal ini. Sebaliknya Anda malah melontarkan argumen pada bagaimana melawan pengaruh-pengaruh Hizbut Tahrir, yang terletak diantara seruan larangan oleh David Cameron dari partai Konservatif dan seruan Douglas Murray untuk memberikan response untuk lebih ‘ McCarthyite ‘ (McCarthyisme adalah praktek untuk membuat tuduhan disloyalitas, subversi, dll - red). Namun, kedua pandangan itu bertentangan dengan argumen yang anda kutip bahwa “cara terbaik untuk melawan ekstremisme religius adalah dengan memiliki kebebasan beragama” - dan dengan demikian jatuh ke dalam perangkap yang sama seperti kebanyakan kebijakan ‘perang melawan teror’ dalam hal bahwa mereka menghancurkan prinsip-prinsip yang mereka pura-pura tegakkan.
Anda mengajukan pertanyaan, “Apakah partai Islam Hizb-ut-Tahrir merupakan sebuah ancaman bagi masyarakat Barat?”
Tidak ada ancaman dari Hizbut Tahrir dari akar hingga ke dahan. Pemerintah kolonial Barat tahu baik akan hal ini. Tapi dilema yang mereka hadapi adalah ‘ancaman’ bagi kelangsungan hidup klien rezim-rezim politik di dunia Islam yang menempatkan para kolonial Barat dan kepentingan perusahaan-perusahaan mereka di atas kepentingan Islam dan umat Islam. Jika misi Hizbut Tahrir dapat memenangkan opini publik dan mendapat dukungan kekuatan dari para pemilik kekuasaan di negara-negara Muslim itu, para ” kacung otoriter” itu akan disingkirkan dan diganti suatu sistim yang Islami, yang sepenuhnya bertanggung jawab dan di mana wewenangnya adalah milik masyarakat.
‘Ancaman’ lain yang mereka rasakan adalah bahwa Hizbut Tahrir menyoroti dampak rusaknya cara hidup kapitalis sekuler yang merusak dan mengungkap kebijakan-kebijakan kolonial yang memusuhi Islam dan umat Islam. Hal ini mungkin akan merusak kepentingan pemerintah, tapi saya berpendapat bahwa ini seperti melihat keburukan rupa pada cermin yang sayangnya itu merupakan suatu kenyataan.
Model yang kami tawarkan kepada dunia Islam sangat memerlukan stabilitas; sedangkan kebijakan Inggris, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya adalah penyebab dan secara aktif mengabadikan kekacauan dan ketidakstabilan. Perjanjian Sykes-Picot, penghapusan kekhalifahan dan perebutan kekuasaan atas Palestina menyerang jantung dan pusat dunia Islam. Akibatnya, semuanya berantakan dan ‘anarki itu merajalela didunia “(mengutip kata-kata Yeats) karena dunia Islam tidak lagi mempunyai pusatnya’. Inilah ‘pusat’ dimana kami berusaha pulihkan, sebagaimana yang diwajibkan Islam dan itu adalah prioritas terbesar dan hal ini memang ‘mengancam’ kolonialisme.
Ketika umat Islam berjuang untuk tujuan ini, pemerintahan Barat dan lembaga penelitiannya begitu mudah melabeli kami sebagai ‘ekstremis’ atau secara salah mengkaitkan dengan ‘terorisme’. Namun, hal itu adalah ironis bahwa pada satu waktu pernah George Washington juga diberi label itu oleh pihak berwenang di Inggris sebagai seorang teroris, karena ia berjuang untuk membebaskan Amerika dari kekuasaan despotic kolonial Inggris yang didasarkan pada keyakinan pada Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence). Dan apabila diingat bahwa ada orang Inggris bernama Thomas Paine yang mengilhami para Pendiri Negara, dengan pamflet penentangan yang disebut ‘Common Sense (Akal Sehat)’ pada tahun 1776, saat ini mereka toh tidak menyebut dirinya itu sebagai seorang ‘ban berjalan di pabrik’ yang memproduksi teroris, maupun ide-ide yang memotivasi menjadi ‘ekstremis’!
Hizbut Tahrir hanya dipengaruhi oleh Islam; senjata kita bukan apa-apa kecuali ide dan kata-kata; tujuan kami adalah membebaskan dunia Islam dari penjajahan dan pemulihan Kekhalifahan sehingga orang dapat hidup dengan aman dan adil dan kami sungguh percaya dukungan kepada kami atas tujuan ini akan tumbuh lebih kuat.
Saya berharap bahwa Anda akan mendengar pandangan-pandangan kami dari tangan pertama. Tentu saja kami akan menyambut baik dialog yang tulus dan benar-benar berharap bahwa Anda bisa menjawab surat saya.
Hormat kami,
Abdul Wahid
Ketua Komite Eksekutif Inggris
Hizbut Tahrir
Jawaban dari Caryl Kristen [diterbitkan pada ‘Muslim dan Kekhalifahan']:
Pernyatan Wahid bahwa mayoritas umat Islam secara otomatis setuju dengan tujuan dari partainya adalah salah satu hal yang menarik. Ya, memang polling (jajak pendapat) yang dia sebutkan memang menunjukkan dukungan mayoritas untuk memulihkan ide kekhalifahan. Namun, saya bertanya-tanya berapa banyak responden yang sama akan setuju dengan ini jika mereka ditanya pada saat yang sama apakah mereka akan bersedia melakukannya jika itu berarti menyerahkan kedaulatan nasional negara-negara di mana mereka hidup hari ini. Saya menduga bahwa banyak dari mereka yang kemudian menolak tawaran itu. Jajak pendapat yang sama yang dikutip Wahid juga menunjukkan bahwa “67 persen dari mereka yang disurvei setuju bahwa ’sistem politik demokratis’ adalah cara yang baik untuk memerintah negara mereka dan 82 persen setuju bahwa di negara mereka ‘orang-orang dari berbagai agama harus bebas untuk beribadat menurut kepercayaan mereka masing-masing ‘ “- dua prinsip yang tidak akan berlaku di bawah syarat-syarat sebuah negara Islam global seperti yang ada dalam pikiran Wahid. (Contohnya, partainya menyerang secara konsisten pengertian tentang demokrasi perwakilan)
Singkatnya, saya tidak meragukan bahwa kebanyakan umat Islam di seluruh dunia ingin melihat peran yang lebih besar untuk nilai-nilai Islam dalam masyarakat mereka. Saya juga tidak percaya bahwa kebanyakan umat Islam menyetujui intervensi bersenjata dalam urusan mereka yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Tapi saya tentu tidak berpikir bahwa hal ini berarti bahwa Hizbut Tahrir secara otomatis akan memenangkan semua suara jika ia ada dalam pemilihan umum yang bebas, atau jika mereka dipilih untuk bertindak sebagai mediator antara mereka dan pemerintah yang ada di seluruh dunia. Dan itu berarti lebih sedikit lagi bagi masyarakat demokratis, baik di Barat atau di tempat lain, yang harus memperlakukan partainya Wahid itu sebagai teman bicara yang sah. Suatu masyarakat demokratis yang hormat atas dirinya harus menghormati semua agama; namun ini tidak berarti harus membuat hidup menjadi mudah bagi ideologi keagamaan yang bertujuan menghancurkannya.
Tanggapan Abdul Wahid (3 Januari 2010)
Kepada Yth Caryl,
Re: “Muslim dan kekhalifahan” Terbit on-line pada tanggal 30.12.2009
Merupakan suatu yang baik bahwa Anda menanggapi beberapa poin yang saya ajukan dalam surat saya tapi saya merasa bahwa balasan Anda itu lebih menggambarkan poin saya bahwa kekhalifahan dan sistem politik Islam kurang bisa dipahami.
Saya lampirkan tanggapan saya di bawah ini.
Hormat Kami
Abdul Wahid
Ketua, Komite Eksekutif Inggris
Hizbut Tahrir
Respon untuk Caryl Kristen dari Majalah Foreign Policy
Tanggapan Christian Caryl tertanggal 30.12.2009 atas surat saya yang berkaitan dengan artikel asli yang ditulisnya tanggal 22.12.2009 hanya merupakan bukti lebih jauh tentang bagaimana buruknya sistim politik Islam dipahami.
Pertama, Caryl seharusnya jangan bingung oleh kontradiksi yang nyata atas dukungan mayoritas bagi kekhalifahan maupun juga bagi sebuah sistim politik “demokrasi”. Hal ini karena kebanyakan muslim menganggap istilah “demokrasi” sebagai istilah yang merupakan kewajiban bagi orang untuk memilih dan meminta pertanggung jawaban pemerintah mereka - sesuatu yang diperintahkan Islam selama satu milenium atau lebih sebelum negara-negara sekuler modern mengadopsi hal ini. Hal ini tidak boleh dianggap sebagai semacam dukungan terhadap demokrasi liberal seperti yang dipraktikkan di Eropa Barat atau Amerika Utara karena sistem Islam secara krusial berbeda dengan demokrasi dalam hal Islam membutuhkan Syari’ah sebagai sumber perundang-undangan. Hal ini tentu saja berbeda dengan demokrasi yang ideal, yang menyatakan bahwa pemerintah haruslah dari ‘rakyat’ (Saya mengatakan hal yang ideal karena sebenarnya sistem demokrasi kenyataanya adalah oligarki di mana hanya orang-orang kaya dan berkuasa yang bisa mempengaruhi dibuatnya suatu undang-undang).
Hal ini juga tercermin dari jajak pendapat yang dilakukan di Pakistan tahun 2008 yang diakui bisa menggambarkan adanya dukungan bagi peran yang lebih besar baik untuk Islam maupun untuk “demokrasi” dalam kehidupan politik. Dalam jajak pendapat itu pertanyaan mengenai ‘demokrasi’ yang ditanyakan pada polling merujuk secara khusus pada “hal-hal yang diatur oleh wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat”.
Sistim Islam adalah sistem di mana rakyat memilih pemimpin mereka dan dapat menurunkan pemimpin itu jika ia melanggar kontrak ketika dia berkuasa. Selain itu, akuntabilitas oleh rakyat tidaklah merupakan hak yang demikian besar melainkan suatu kewajiban dari warga negara. Kewajiban yang bisa dilakukan oleh individu, kelompok atau partai politik, atau melalui banyak cara lain - apakah itu Masjid, Media, atau tuntutan hukum. Selain itu, kami menawarkan untuk menghidupkan kembali suatu institusi Islam, yang merupakan cabang dari Peradilan (Yudikatif), yang peran satu-satunya adalah untuk meneliti dengan cermat apa yang dilakukan Eksekutif dan mengambil keputusan mengenai keluhan-keluhan yang diajukan oleh warga negara terhadap Eksekutif.
Selain itu, dalam negara Islam warga negara non-Muslim diberi ruang dan dihormati untuk mempraktikkan agama mereka sendiri. Jadi pernyataan dalam jajak pendapat Maryland bahwa ‘orang-orang dari setiap agama harus bebas untuk beribadat menurut keyakinan mereka sendiri’ adalah sesuai sepenuhnya dengan sistem yang ditawarkan Hizbut Tahrir.
Namun, adalah menggelikan untuk membicarakan pemilu yang bebas atau membicarakan kedaulatan nasional ketika hal-hal itu tidak ada di dunia Islam sejak runtuhnya Kekhalifahan Utsmani. Bagaimana dikatakan tidak ada ‘kedaulatan nasional’ yang hilang! Sejumlah besar pasukan secara langsung menduduki Afghanistan, Irak, Kuwait, Qatar dll. Di Pakistan, Amerika Serikat telah membom sasaran-sasaran di dalam negeri itu dan jaringan keamanan Amerika bebas berkeliaran meskipun bertentangan dengan keinginan penduduk.
Pemilihan umum sebagian besar adalah penipuan untuk melegitimasi diktator seperti Mubarak dan Karimov; atau terjadi dalam kerangka di mana daftar para calon secara hati-hati diseleksi sebelum disetujui, seperti di Irak; atau keduanya seperti pada lelucon yang paling baru yang terjadi di Afghanistan.
Hizbut Tahrir tidak pernah mengklaim bahwa ia adalah satu-satunya wakil dari umat Islam. Tapi menjadi fakta bahwa ia sangat mewakili tren dalam umat Muslim mengenai aspirasi suatu persatuan Dunia Islam, pembebasan tanah Islam yang diduduki, pelaksanaan Syariah dan pendirian Khilafah.
Namun, masalahnya adalah bahwa tidak hanya tidak adanya usaha untuk berdialog dengan siapa pun yang membawa pandangan-pandangan seperti ini, tapi aspirasi ini telah menjadi suatu definisi ekstremisme! Satu-satunya kemiripan dialog yang menghibur adalah dengan orang-orang yang setuju untuk mengambil parameter kepada demokrasi liberal yang sekuler. Waktunya telah tiba bagi pemerintahan Barat untuk menerima kenyataan bahwa orang lain ingin hidup sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip mereka sendiri, dan mengakhiri campur tangan mereka yang telah menimbulkan kekacauan dan penderitaan yang tak terbilang.
Kita siap menerima akibat dan tidak malu ketika membahas konflik ideologis ini. Caryl mungkin percaya bahwa kritik kami yang keras terhadap demokrasi liberal telah menghalangi kami untuk melakukan diskusi tetapi kritik-kritik kami tetap sesuatu yang sah mengingat bahwa kita telah menyaksikan beberapa dekade usaha yang gagal untuk menerapkan sistem ini di dunia Muslim, apakah itu dilakukan dengan kekuatan langsung atau campur tangan kolonial.
Lagi pula, untuk membantah komentar terakhir Caryl, kaum Muslim yang hormat atas dirinya sendiri seharusnya tidak membuat mudah bagi pemerintah demokratis yang merencanakan kematian atas ide-ide politik dan social Islam dan mencoba untuk memaksa kelompok lain dan malah mengatakan model yang utopis.
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/23/debat-terbuka-caryl-kristen-majalah-foreign-policy-dengan-abdul-wahid-hizbut-tahrir-inggris-tentang-khilafah-dan-dunia-islam/
Tuesday, December 01, 2009
Membiayai Negara Tanpa Pajak
Membiayai Negara Tanpa Pajak
APBN senantiasa mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu. Dalam kurun waktu 5 tahun terjadi peningkatan dari Rp 509 triliun menjadi 1.009 triliun rupiah pada tahun 2010. Namun, setiap pengumuman RAPBN yang dilakukan Presiden selalu mengundang kritikan karena APBN ini dianggap tidak pro rakyat. Pasalnya, dari sisi pengeluaran, anggaran untuk subsidi selalu turun, sementara anggaran utuk membayar utang luar negeri atau belanja birokrasi senantiasa meningkat. Sebaliknya, dari aspek penerimaan, penerimaan dari pengelolaan SDA semakin kecil, sedangkan penerimaan dari sektor pajak selalu mengalami peningkatan sampai lebih dari 75% dari APBN. Walaupun angka APBN meningkat setiap tahun, jumlah rakyat miskin juga semakin meningkat.
Peningkatan pendapatan negara dari pajak merupakan dampak dari kebijakan ekonomi kapitalis yang meminimalkan peran negara dalam perekonomian. Akibatnya, kesejahtera-an rakyat diserahkan kepada mekanisme pasar dan pihak swasta. Hal ini dapat kita lihat dari peran pajak sebagai fungsi budgeter dan fungsi regulator. Dalam hal ini, perusahaan swasta dibebani untuk memiliki tanggung jawab sosial dan ekonomi. Fungsi budgeter yaitu menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Jadi wajar jika setiap tahun selalu terjadi target peningatan pajak baik secara kuantitas (jumlah rupiah) maupun kualitas (jenis pajak dan jumlah pembayar pajak). Dalam konteks Indonesia cengkeraman Kapitalisme (neoliberal) ini semakin kuat dengan melihat perkembangan APBN dari tahun ke tahun; secara kuantitas terjadi peningkatan jumlah penerimaan negara dari sektor pajak. Tahun, 1989, misalnya sumber pendapatan negara yang berasal dari Pajak masih sekitar 51%. Namun, tahun 2006 pendapatan negara dari pajak meningkat menjadi 75%; sisanya dari pengelolaan SDA dan pinjaman. Menurunnya penerimaan bukan pajak adalah dampak kebijakan Pemerintah yang semakin kapitalis melalui proyek swastanisasi pengelolaan SDA ke swasta, khususnya asing, melalui peningkatan investasi yang dilegalkan melalui UU seperti UU SDA, UU Minerba, UU Penanamaan Modal; yang terbaru rencana swastanisasi pengelolan listrik. Lalu dari sisi kualitas, untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, Pemerintah terus meningkatkan obyek pajak dan subyeknya. Saat ini menurut survey Bank Dunia ada 52 jenis pajak yang ditetapkan di Indonesia. Jumlah para wajib pajak juga dilipat gandakan sehingga mereka yang harus memasukkan SPT ditargetkan mencapai di atas 10 juta. Fungsi regulasi yaitu menjadikan pajak sebagai alat untuk mengatur pelaksanaan kebijakan di bidang ekonomi dan sosial. Dengan fungsi ini diharapkan pajak bisa dijadikan sarana untuk mendistribusikan kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin. Namun kenyataannya, setiap APBN yang disusun oleh Pemerintah selalu tidak pro rakyat. Sebagai contoh, RAPBN 2010 dinilai masih pro birokrasi dan kalangan kapitalis. Hal ini bisa dilihat dengan menurunnya anggaran subsidi dari Rp 166,9 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 144,3 triliun (RAPBN 2010). Sebaliknya, pengeluaran didominasi oleh peningkatan gaji dari Rp 133 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 161 triliun (RAPBN 2010) dan pembayaran bunga utang yang sangat tinggi sebesar Rp 115 triliun. Dalam data yang lebih rinci, misalnya, alokasi belanja Pemerintah untuk fungsi perdagangan, pengembangan usaha, koperasi dan UKM hanya sebesar Rp 1,5 triliun; alokasi belanja untuk fungsi pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan di bawah Rp 9 triliun. Sangat ironis jika dibandingkan dengan alokasi pembayaran bunga utang luar negeri yang lebih dari Rp 38 triliun. Jadi, jelaslah bahwa fungsi pajak sebagai alat distribusi itu tidak pernah terealisasi. Yang terjadi adalah pajak sebagai alat ekploitasi untuk kepentingan para kapitalis dan birokrat. Pasalnya, penerimaan negara yang terbesar dari pajak sebenarnya berasal dari rakyat, baik melalui pajak langsung maupun pajak tidak langsung yang dibebankan oleh perusahaan melalui tingginya harga barang. Lalu ketika pajak tersebut sudah terkumpul, alokasi yang terbesar ternyata juga bukan untuk rakyat. Kekeliruan lain dalam paradigma ekonomi kapitalis ini juga dampak dari minimnya anggaran negara untuk jaminan sosial. Pemerintah mengalihkan sebagian tanggung jawab sosialnya, bahkan seluruhnya, kepada swasta, baik individu maupun perusahaan. Inilah yang menjadi akar problem perburuhan. Pasalnya, buruh selalu menuntut fasilitas yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab perusahaan seperti hak buruh dalam pendidikan dan kesehatan, hak libur dan cuti (termasuk cuti haid, hamil dan melahirkan bagi buruh wanita), sampai penyediaan fasilitas kesehatan untuk keluarga yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan pekerjaan buruh. Menurut Taqiyuddin an-Nahbani, dalam kitab Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, politik ekonomi Islam memberikan jaminan atas pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu, juga pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder dan luks sesuai kadar kemampuan individu bersangkutan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Oleh karena itu, kebijakan APBN merupakan aplikasi politik ekonomi dalam kebijakan keuangan negara, baik menyangkut sumber-sumber pendapatan maupun alokasi penggunaannya dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok individu maupun kebutuhan pokok masyarakat. Untuk pemenuhan kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan dan papan negara memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung dan dalam kondisi tertentu menggunakan mekanisme langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Dengan begitu, setiap individu tetap diwajibkan bekerja. Namun, jika individu tidak mampu bekerja maka negara wajib menciptakan lapangan pekerjaan maupun memberikan santunan sampai yang bersangkutan mendapatkan pekerjaan, Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw. bersabda: اْلاِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ Imam (kepala negara) adalah pemelihara/pengatur urusan rakyat dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam al-Bukhari juga disebutkan, bahwa ada seseorang yang mencari Rasulullah saw., dengan harapan beliau akan memperhatikan masalah yang dihadapinya. Ia adalah seorang yang tidak mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk bekerja dalam rangka mendapatkan suatu hasil (kekayaan), juga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Kemudian Rasulullah saw. memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu, yang diambil sendiri oleh beliau. Kemudian beliau serahkan kepada orang tersebut dan Beliau sediakan lokasi bekerjanya. Setelah beberapa waktu, orang itu mendatangi Rasulullah saw. seraya mengucapkan terima kasih kepada beliau atas bantuannya dan menceritakan tentang kemudahan yang kini ia dapati. Dari sini maka para ulama menyatakan bahwa wajib atas Pemerintah untuk memberikan sarana pekerjaan kepada para pencari kerja dan menciptakan lapangan kerja. Para khalifah telah melaksanakannya dengan baik, terutama pada masa-masa kejayaan dan kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan. Lalu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dalam bentuk pendidikan, kesehatan dan keamanan, semua itu dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan pokok tersebut. Dalam masalah pendidikan, negara bertanggung jawab untuk menanganinya, dan termasuk kategori kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar dapat dinikmati seluruh rakyat. Gaji guru, misalnya, adalah beban yang harus dipikul negara dan pemerintah dan diambil dari kas Baitul Mal. Rasulullah saw. telah menetapkan kebijak-sanaan terhadap para tawanan Perang Badar. Khalifah Umar Ibnu al-Khaththab memberikan gaji kepada tiga orang guru ngaji sebesar 15 dinar setiap bulan atau 63,75 gram emas perorang. Jadi kalaulah dianggap 1 gram emas harganya Rp 200.000,- maka gaji guru, pengajar anak-anak, lebih kurang Rp. 12.750.000,- (Bandingkan dengan gaji guru sekarang). Adapun yang berhubungan dengan jaminan kesehatan, ada riwayat bahwa Muqauqis, Raja Mesir, pernah menugaskan (menghadiahkan) seorang dokter (ahli pengobatan)-nya untuk Rasulullah saw. Oleh Rasulullah saw. dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum Muslim dan untuk seluruh rakyat, dengan tugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit tanpa diminta bayaran. Tindakan Rasulullah saw. itu, dengan menjadikan dokter tersebut sebagai dokter kaum Muslim menunjukkan bahwa kesehatan rakyat menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah saw. juga pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta Baitul Mal. Hal ini senantiasa dilakukan oleh para khalifah dengan sebaik-baiknya. Adapun keamanan juga merupakan kebutuhan pokok. Hal ini mudah dipahami. Sebab, tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktivitasnya baik kewajiban ibadah, kewajiban bekerja, maupun kewajiban bermuamalat secara islami termasuk menjalankan aktivitas pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam tanpa adanya keamananan yang menjamin pelaksanaannya. Untuk melaksanakan ini semua maka negara haruslah memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa keamanan adalah salah satu kebutuhan jasa pokok adalah sabda Rasulullah saw.: مَنْ أَصْبَحَ آمِنًا فِيْ سَرْبِهِ، مُعَافِيً فِيْ بَدَنِهِ عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ فَكَاَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا Siapa yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memilliki bahan makanan untuk hari itu maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya (Al-Hadits). Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga masyarakat—baik Muslim maupun ahludz-dzimah—berupa pangan, sandang dan papan. Islam pun telah menjamin terselenggaranya penanganan masalah pendidikan, kesehatan dan keamanan. Dari mana negara mendapatkan dana untuk memenuhi kebutuhan pokok individu dan masyarakat? Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), telah menjelaskan secara lengkap sumber pemasukan negara yang dikumpulkan oleh lembaga negara yang disebut Baitul Mal, yaitu lembaga keuangan Negara Islam, yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara (Baitul Mal bukan Lembaga Keuangan Tingkat Kelurahan seperti yang ada dalam sistem kapitalis). Secara garis besar, pendapatan negara yang masuk ke dalam Baitul Mal di kelompokkan menjadi empat sumber: Pertama: dari pengelolaan negara atas kepemilikan umum. Dalam Sistem Ekonomi Islam sumber daya alam seperti kekayaan hutan, minyak, gas dan barang-barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik umum (rakyat) sebagai sumber utama pendanaan negara untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Benda benda yang termasuk dalam kepemilikan umum ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok: 1. Fasilitas umum: semua yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum—jika tidak ada dalam suatu negeri akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan. Contoh: air, padang rumput, api (energi), dll. 2. Barang tambang dalam jumlah sangat besar. Barang tambang dalam jumlah sangat besar termasuk milik umum dan haram dimiliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi, tembaga, dll. 3. Benda benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu. Ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Pada kepemilikan umum ini negara hanya sebagai pelaksana pengelola. Dalam hal ini, syariah Islam mengharamkan pemberian hak khusus kepada orang atau kelompok orang (swasta), apalagi swasta asing. Jika untuk eskplorasi dan eksploitasi diperlukan dana dan sarana, pemerintah wajib menyediakannya sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk mengurusi kepentingan rakyat. Sayangnya, yang justru terjadi adalah banyak kekayaan alam (hasil hutan, minyak bumi, barang tambang, dll)—yang sejatinya milik rakyat itu—diserahkan begitu saja kepada pihak swasta bahkan swasta asing, atas nama swastanisasi dan privatisasi. Jutaan ton emas dan tembaga di bumi Papua, misalnya, diserahkan kepada PT Freeport, sedangkan miliaran barel minyak di Blok Cepu diserahkan kepada Exxon Mobil. Kontrak blok gas Tangguh yang berpotensi merugikan negara Rp 750 triliun (25 tahun) diberikan ke Cina. Kalau semua potensi sumber daya alam milik umum ini dikelola negara sebagaimana dalam sistem Ekonomi Islam maka Pemerintah tidak perlu membebani rakyat dengan pajak. Kedua: dari pengelolaan fa’i, kharâj, ghanîmah dan jizyah serta harta milik negara dan BUMN. Ketiga: dari harta zakat. Keempat: dari sumber pemasukan temporal. Yang masuk dalam kelompok ini adalah: infak, wakaf, sedekah dan hadiah; harta penguasa yang ghulûl (haram); harta orang-orang murtad; sisa harta warisan atau yang tidak memiliki ahli waris dan lain-lain. Pajak dalam Sistem Ekonomi Islam Dalam sistem ekonomi Islam, pemerintah tidak diperkenankan bahkan diharamkan memungut pajak secara rutin dan terstruktur, tetapi hanya sekadar salah satu pendapatan insidentil dan pada kondisi tertentu. Pajak hanya diwajibkan ketika Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi, sementara ada pembiayaan yang wajib dilakukan dan akan menimbulkan bahaya bagi kaum Muslim. Inilah dasar kebijakan pajak dalam Daulah Khilafah. Allah telah mewajibkan kepada negara dan umat untuk menghilangkan bahaya itu dari kaum Muslim. Rasulullah saw. bersabda: ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ لاَ Tidak boleh mencelakakan orang lain dan tidak boleh mencelakakan diri sendiri (HR Ibn Majah dan Ahmad). Ada beberapa ketentuan tentang kebijakan dharîbah (pajak) menurut syariah Islam, yang sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem ekonomi kapitalis, yaitu: pajak bersifat temporer dan tidak kontinu; hanya dipungut untuk pembiayaan yang bersifat wajib bagi kaum Muslim; hanya dipungut dari orang kaya dan Muslim (tidak boleh dipungut dari non-Muslim) serta jumlah yang tidak boleh melebihi kebutuhan. Dengan demikian, dalam sistem kapitalis pajak merupakan sumber utama pendanaan negara. Sebaliknya, dalam sistem Islam, ia hanya digunakan sebagai penyangga dalam kondisi darurat untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Dengan begitu, dalam Sistem Ekonomi Islam, pemerintah tidak perlu membebani rakyat dengan pajak. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Arim Nasim]
Pajak: Andalan Utama Ekonomi Kapitalis
Politik APBN dalam Islam
Sumber-Sumber Pendapatan Negara