PANGERAN KEGELAPAN
Penulis:Sinta Yudisia W.
Aku mulai terbiasa memulai pagi dalam suasana hening seperti ini.Terbangun ketika matahari yang hangat muram mencoba mencuri-curi masuk ke dalam kamar lewat celah-celah jendela yang berbingkai kokoh tetapi mulai melumut di sana sini. Kuk-kuk burung hantu yang mengantuk menyapa, keributan ayam-ayam di halaman belakang menggerutu kelaparan. Laba-laba berbulu di pojok atas langit-langit sekarang tak lagi tampak menyeramkan. Bahkan sesekali kubayangkan mereka mengejekku tertidur kelelahan di malam hari Bak Putri Abu.
“Masak apa untuk sarapan pagi ini?” aku menyapa Kalina yang telah tegak di meja dapur di depan kuali mengepul.
“Tocana,” jawabnya pendek.
“Ham?” aku bertanya menegaskan.
“Bukan,” Pietersky menggeleng kaku.
“Tumben,” gumamku.
Sempat kulirik sejenak dua sosok yang bertolak belakang bak angka sepuluh itu. Kkalina tambun, lemak di dagunya berlipat-lipat tetapi gerakannya gesit mengagumkan. Usianya kutaksir di atas lima puluh tahun. Pietersky tinggi kurus, matanya cekung terpasang di atas wajah yang putih pucat dan tirus. Gerakannya sangat berhati-hati dan teliti kalau tidak dapat dikatakan lamban.
“Minha…” Kalina menyebut namaku.
“Ya?”
“Jangan lupa seragam hitam putihmu.”
Aku membelalakkan mata tapi mengangguk pada akhirnya. Akan terjadi jamuan makan rupanya. Ini bukan kali pertama aku tidak diberitahu situasi seperti ini. Tahu-tahun ada pesta atau perayaan kecil. Aku hanya menurut apa perintah Kalina karena memang ia kepala rumah tangga di sini. Tak masalah. Meski Kalina dan Pietersky sangat dingin mereka tak pernah mengganggu. Kuanggap sikap yang tanpa keramahan sama sekali ini sebagai contoh disiplin.
“Siapa tamu kita kali ini?” aku bertanya ingin tahu pada Pietersky sembari memasang pita pada rambutku.
“Keluarga Suleyman Barinzi,” sahutnya menyerupai gumaman.
Tanganku tergantung kaku di udara, telingaku seakan tak percaya.
“A…apa?” sahutku gugup. “Orang-orang Turki itu?”
Pietersky mendengus. Pantas, batinku, tocana kali ini tidak menggunakan ham.
***
Semenjak kunjungan keluarga Suleyman Barinzi firasatku mengatakan sesuatu akan terjadi.
Meski aku tetap menjalani hari-hari seperti biasa di Puri Poenariburg. Membersihkan setiap bagian dari kamar-kamar berukuran besar hingga halamannya yang banyak ditanami bunga lily dan bakung. Menjahit baju-bajuku yang koyak di atas menara dengan sebuah mesin pintal tua beroda besar. Dari sini aku sangat menikmati pemandangan sungai Arges yang berpapasan pegunungan Fagarsului. Hamparan rumput hijau di pebukitan di selingi perdu rimbun dan pohon-pohon semi hijau memukau. Puncak-puncak pinus berjajar memagari tepian hutan dan sepanjang jalan setapak menuju areal pedesaan. Putri Poenariburg bukan satu-satunya puri di Borgopass. Masih ada puri-puri lain tetapi yang terbesar dan terindah, juga tertua, adalah puri tempatku tinggal kini. Tentu saja aku bukan bagian sebenarnya dari puri. Artinya aku bukan bangsawan, hanya rakyat jelata yang beruntung dapat bekerja di sini. Beruntung?
“Kau akan ke Borgopass?” mata Natalya membesar.
Pertemuan terakhirku dengan Mom dan adik-adik di meja makan malam itu masih membekas.
“Ya,” aku mengangguk murung. “Aku harus membantu Mom mencari uang. Untuk sekolah-sekolah kalian. Semenjak Pop meninggal kita selalu terlilit hutang. Aku tidak sanggup terus menerus membantu Mom di pertanian kolektif. Tubuhku terhitung kecil, aku tak sanggup mengoperasikan mesin pembajak raksasa itu.”
Kuceritakan pada Mom dan adik-adikku tentang iklan kecil di koran lokal yang memberitakan seorang bangsawan keluarga Graaf mencari gadis muda sebagai housekeeper.
“Mereka akan menghisap darahmu!” seru Leo khawatir. “Yang paling mereka sukai gadis-gadis muda sepertimu!”
Aku tertawa. Lalu terhenti tiba-tiba ketika Mom menatapku menghujam.
“Tentu Mom tidak percaya takhayul tentang Dracula, sang Pangeran Kegelapan itu kan, Mom?” aku menyelidik.
Mom hanya terdiam. Tapi keinginanku sudah tidak dapat dibendung. Apapun petualangan menakukan yang akan kita temui itu akan jauh lebih baik daripada hanya terkurung dalam sebuah rumah beratap rendah yang kumuh, berdinding batu-batu hitam, dalam pakaian bernoda jelaga tertabur debu dari cerobong asap berbahan bakar batu bara. Rumania bukan sebuah negeri yang menjanjikan kemakmuran. Bahkan orang seperti Nadia Commaneci harus menyeberang ke Amerika karena penghasilannya sebagai pesenam kebanggan harus masuk kas negara. Apalagi gadis miskin sepertiku. Memang diktator Nicolai Ceausescu telah tumbang namun butuh waktu entah berapa puluh tahun lamanya membangun negeri yang telah porak poranda akibat korupsi dan ideologi yang salah kaprah. Meski berat hati Mom akhirnya mengijinkanku pergi menuju Borgopass.
Perjalanan yang cukup menyenangkan kualami menuju Borgopass. Menaiki kereta api tua yang gerbongnya sudah berkarat. Tiket paling murah yang kubeli hanya menyediakan bangku kayu. Pemandangan indah yang kulalui menghibur hatiku. Melintasi Transsylvania, menuju Bistriz untuk selanjutnya berganti bus menuju Borgopass. Telaga-telaga hijau, sungai, rumah-rumah kecil seperti milikku dan juga puri-puri para bangsawan tersebar di lereng-releng bukit
“Minha…!”
Lamunanku terhenti. Tanganku nyaris tertusuk jarum pintal.
“Kita semua dipanggil tuan Armin,” Pietersky berdiri di pintu masuk.
Aku benci kebiasaannya yang suka mengendap-endap hingga tak kusadari kehadirannya. Bergegas aku merapikan pekerjaan dan bajuku lalu berlari turun menara menuju bangunan utama. Kalina dan Pietersky telah berada di sana, berdiri berjajar rapi di depan sebuah meja lonberkilat. Aku mengambil posisi paling kanan. Menelan ludah dengan gugup ketika tuan Armin Vambery menatapku lewat ujung matanya. Wajahnya yang tampan tampak pucat tersapu matahari yang baru menyapa setinggi separuh tiang. Garis menghitam membayang di kantung bawah matanya. Semakin misterius senyumnya dalam sapuan bayangan api tiga lilin yang menyala di atas wadah perak berukir. Aku menunggu dalam debar. Tiga bulan bekerja di puri Poenariburg bukan waktu yang cukup untuk mengenal siapa bangsawan pemiliknya. Yang kutahu ia adalah pengusaha muda, usianya tiga puluh tahunan, tampan, tapi dingin. Apa kegiatannya sehari-hari begitu mesterius. Ia jarang bicara, jarang tersenyum. Bahkan kali pertama aku melihatnya duduk di kursi makan, ditemani lilin dan segelas anggur merah, aku menyangka ia sedang meminum darah segar!
“Duduklah,” tuan Armin Vambery mempersilakan.
Kami bertiga mungkin terlalu bodoh untuk memahami kalimat itu sehingga hanya membatu mendengarnya. Ia kembali mengulang perintah.
“Duduklah. Terserah di kursi manapun.”
Bagai robot berjalan aku mengikuti Kalina mengambil kursi meja makan yang biasanya hanya diperuntukkan bagi para bangsawan. Aku duduk dengan tulang punggung tertekuk, tak berani tegak seakan merasa tak pantas duduk di atas kursi perak berukir berbantalkan beludru bersulam benang emas.
“Sebelumnya aku mau minta maaf,” tuan Armin meneguk sejenak anggur merahnya. “Atas semua sikapku yang mungkin tak baik terhadap kalian.”
Sejenak aku bertatapan mata dengan Kalina. Mungkin perasaan kami sama, tuan Armin bukan jenis majikan yang kejam. Meski bayaran kami tak terlalu besar bahkan terkadang dibayarkan lebih dari tanggal sepuluh tetapi pekerjaan kami terhitung santai. Tak ada beban yang berlebih.
“Kalian tahu keadaan makin sulit akhir-akhir ini,” keluhnya. “Sangat sukar mendapatkan kredit dari perbankan. Suku bunganya terlalu tinggi padahal usahaku juga tidak seluruhnya lancar.”
Kami terdiam beberapa saat. Denting garpu tuan Armin beradu piring.
“Dinasti Graaf memiliki banyak puri sepanjang Transsylvania hingga Borgopass. Di antaranya diwariskan padaku. Aku tak sanggup mengurus semuanya, daripada rubuh tak berguna maka lebih baik kunegosiasikan dengan bank. Atau kujual. Akhir-akhir ini aku sibuk mencari pembeli yang tepat untuk puri-puri warisan dinasti Graaf. Orang-orang incaranku tak memberi pembayaran memuaskan, pihak perbankan pun tak menghargai nilai sejarah yang terkandung di dalamnya dengan takaran bernilai. Untuk puri Poenariburg, aku berpandangan lain.”
Aku menegakkan dagu. Mataku bersirobok dengan mata tuan Armin Vambery. Baru kusadari pandangan itu begitu sedih dan sering tampak melamun. Mungkin ia kesepian. Selentingan berita kudengar istrinya seorang artis opera yang cantik. Mereka telah menikah cukup lama tetapi tak memiliki anak hingga sekarang. Kehidupan keduanya yang bertolak belakang dan harus bepergian dari satu kota ke kota lain atau bahkan melanglang antar negara menyebabkan keduanya jarang bertemu.
“Aku memutuskan memberikan puri ini pada keluarga Suleyman Barinzi.”
“Siapa mereka?” tanyaku tercatus tiba-tiba.
Kupikir aku melakukan kesalahan telah terlepas bicara tetapi tuan Armin hanya menatapku sejenak.
“Seorang yang tinggal di bawah bukit, di desa Verlov. Tempat biasanya kau belanja beberapa keperluan dapur,” jawabnya.
“Mereka kaya raya?” entah mengapa mulutku seperti baut yang kehilangan murnya.
Kalina mendengus tajam. Tapi Tuan Armin malah tertawa.
“Tak ada keturunan Turki yang kaya di Rumania,” jelasnya.
Maka aku benar-benar sangat heran mengapa warisan puri megah Poenariburg jatuh ke tangan Suleyman Barinzi.
***
Aku menatap lekat lukisan di dinding.
Matanya, sikap tubuhnya, ikal rambutnya. Hidung hingga dagunya sangat mirip tuan Armin Vambery. Mungkin ini memang benar ia tetapi mengenakan pakaian yang kutaksir modenya berasal dari beberapa abad lampau. Kami sedang membantu tuan Armin mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ikut pindah. Beberapa saat aku terpaku mengagumi lukisan diri itu. Eksotis. Meski tatapan matanya dingin.
“Itu kakek buyutku, Leosonov Vambery,” sesosok tubuh tiba-tiba berdiri di belakang.
“Oh?” aku mengerutkan kening.”Lalu siapa dinasti Graaf sebenarnya?”
“Ya, ya,” tuan Armin mengangguk-angguk. “Banyak rumor beredar ya? Graaf adalah dinasti ibuku, makanya aku memakai nama Vambery. Graaf nama yang menyeramkan, mungkin, pasti kau pun sering mendengarnya.”
Aku menelan ludah.
Kalina dan Pietersky berada di lantai bawah mengemasi perabotan. Di lantai dua kami hanya berdua. Dingin. Hening. Puri tua yang telah berdiri ratusan tahun ini seperti menjulurkan tangan-tangan tak nampak yang meremas jantungku. Hembusan nafasku terasa panas. Aku selalu mendadak merasa demam bila dalam keadaan takut atau panik.
“Apa rencanamu sebenarnya sebelum memutuskan bekerja di sini, Minha?” tuan Armin mengalihkan pembicaraan.
Aku terdiam sesaat.
“Sebenarnya…” aku ragu-ragu, “Usai baccalareate aku ingin pergi dari Cluj. Pokoknya keluar dari kotaku. Kalau mungkin ke Bukarest untuk masuk universitas. Tapi Mom berkata tak sanggup membiayai, makanya aku mencari kerja dan sampailah di Borgopass ini.”
“Kau suka di sini?”
Kembali aku terdiam. Bahkan menelan ludah.
“Oh ya,” tuan Armin menahan senyum. “Kau takut padaku. Kau takut aku menghisap darahmu seperti legenda Vlad Dracul yang konon berasal dari dinasti Graaf.”
Aku tak tahu harus bagaimana. Mengiyakan mungkin akan menyinggung perasaannya, tetapi menyangkal pun rasanya enggan. Karena memang sesungguhnya aku takut padanya. Pada wajah tampannya yang dingin, pucat dan misterius. Pada sikap sopannya yang menyentuh perasaan perempuan. Konon para pangeran memang pandai merebut hati karena berniat melukai korbannya. Beberapa detik kemudian tuan Armin Vambery tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala.
“Aneh, untuk orang berpendidikan sepertimu masih mempercayai isapan jempol seperti itu.”
Aku membisu. Selanjutnya berkosentrasi pada lukisan di dinding, mengusap debu yang menempel di atas kanvas dan pigura. Jika sudah bersih aku akan menurunkan dan membungkusnya dengan kertas koran.
“Kakek buyutku berbeda jauh dengan Vlad Dracul, Minha,” gumamnya.
Tanganku berhenti mengusap.
“Kau ingin mendengar cerita sebenarnya?” ia bertanya sambil melangkah perlahan mendekati lukisan besar di dinding. Kami sama-sama tertegun tertengadah menatapnya. Aku lalu mengangguk ragu, mengerutkan kening, ingin mendengar cerita dari bangsawan yang jarang memberiku kesempatan untuk bertemu dengannya.
“Vlad Dracul nama bangsawan yang hidup di abad XV,” kisahnya pelan. “Demi mengokohkan kekuasaan ia mondar-mandir dari tahun 1456-1462 mencari dukungan penguasa Hongaria hingga Turki. Tetapi Sultan Mehmed justru menyerbu ibukota Vlad Dracul, Tirgoviste. Kekalahan menyakitkan ini membuatnya dendam luarbiasa.”
Aku menyimak baik-baik cerita itu.
“Vlad Dracul menolak membayar pajak ke Turki. Ketika ia berhasil mengatasi kekalahannya ia menjadi penguasa kejam tak berampun yang berkuasa dengan menumbuhkan rasa takut ke dalam hati rakyatnya. Takut yang menggentarkan karena raja mereka begitu mudah mengalirkan darah untuk sesuatu yang tak ada alasannya. Itulah awal legenda bahwa ia bangsawan yang haus darah.”
Aku bergidik.
“Vlad Dracul hanya berkuasa sebentar di tahun 1476. Sebulan kemudian ia tewas di dekat Bukarest ketika melawan tentara Turki. Ia mati merana dalam kesepian karena konon istrinya pun dibunuhnya sendiri.”
Aku menghembuskan nafas. Tak tahu harus berkomentar apa.
“Apa...ada hubungannya semua cerita ini dengan…dengan keputusan Tuan memberikan puri Poenariburg pada keluarga Suleyman Barinzi?”
Tuan Armin Vambery tersenyum samar.
“Barangkali begitu,” ia tampak termenung. “Semacam perasaan bersalah bahwa nenek moyangku pernah membantai orang-orang Turki. Kalau kita masih memiliki nurani sebagai manusia tentu tidak setuju terhadap teori Machiavelli. Kamu tahu dia, Minha?”
“Ya,” aku mengangguk. “Filsafat tenar dari Italia yang mengatakan kekuasaan harus dipertahankan dengan segala cara. Bahkan kekejaman, tipu daya, segala jalan yang akan mengokohkan kedudukan seseorang yang dianggap pantas menduduki tampuk penguasa.”
“Tuan Armin Vambery memandang lukisan kakek moyangnya dalam pandangan menerawang.
“Aku lebih bangga mengaku sebagai cucu Leosonov Vambery yang hanya seorang pengusaha kecil, dibanding Vlad Dracul yang tersohor sebagai bangsawan kaya tetapi berhati binatang.”
Rasanya kisah tragis memilukan itu masih ingin kudengar kelanjutannya. Tapi tuan Armin Vambery tampaknya tak mau bercerita lebih lanjut. Ia kembali banyak membisu. Diam. Aku pun mungkin akan berkelakuan sama bila tahu berasal dari keturunan seorang penghisap darah. Mungkin ia pun mengalami kegagalan membina hubungan dengan banyak pihak, termasuk istrinya sendiri. Siapa dapat berlega hati berhubungan dengan orang yang memiliki masa lalu mengerikan sepertinya.
“Minha, sebelum pergi aku ingin berpesan. Kau tidak terikat dengan puri ini. Kau boleh pergi atau mengabdi pada Suleyman Barinzi. Mereka bukan keluarga bangsawan sepertiku. Mungkin mereka tak dapat menggajimu, tapi kau pasti akan senang mengenal mereka. Keluarga sederhana yang hangat dan sangat religius. Tidak seperti suku bangsa kita yang hidup tanpa keyakinan apa-apa.”
Ada rasa haru menyelinap. Ia tampak lelah menyembunyikan masa lalunya.
“Kau tentu pernah berputus asa kan?” tebaknya. “Hidup terlalu berat untuk orang yang tidak punya pegangan. Dalam kondisi negeri kita porak poranda seperti ini hampir setiap suku bangsa di negeri kita mengalami guncangan. Suku bangsa kita—Rumania--, Gipsi, Ukraina; kecuali satu golongan. Orang-orang Turki yang tinggal di negeri kita tetap hidup bersemangat sepahit apapun himpitan hidup. Kau perlu mencontoh semangat hidup mereka.”
Aku tergugu. Tuan Armin Vambery yang misterius itu sejenak berubah begitu bijak. Aku semakin tak tahu harus berkata apa ketika ia menyelipkan secarik amplop ke genggamanku.
“Untukmu, jika berniat kembali mencoba ke Bukarest.”
***
Uang duaribu lei itu kusimpan baik-baik.
Kenangan terakhirku dari sang raja Kegelapan, Armin Vambery. Aku menggigil ketika membaca koran suatu pagi mengabarkan seorang pengusaha muda mati bunuh diri. Masih terkenang percakapan terakhir kami tentang pesannya, betapa hidup ini membutuhkan sebuah pegangan pasti. Tanpa itu kita tak akan mampu bertahan menghadapi benturan. Sama seperti yang dialaminya, hidup dalam bayang-bayang kegelapan. Tanpa seorang pun yang memahami akan dirinya mulai rekan bisnis hingga istrinya sendiri. Ada rasa iba yang larut dalam hatiku meski aku tahu itu terlambat datangnya. Ia sudah mengakhiri hidup sama buruknya seperti Vlad Dracul.
Kulipat buru-buru koran yang membuat mataku basah tiba-tiba.
Suara anak-anak kecil berlarian mengejar ayam terdengar hiruk pikuk di halaman belakang. Aku masih belum memutuskan akan pergi ke Cluj, Bukarest atau tetap di Borgopass. Aku masih belum yakin ke mana harus melangkah. Tapi kurasa kata-kata tuan Armin Vambery menyiratkan kebenaran. Bergaul dengan keluarga Suleyman Barinzi sungguh mengesankan. Sikap tulus, kerja keras, dan keyakinan mereka menggugah sudut hatiku. Bahkan Kalina dan Pietersky yang begitu dingin sekarang sesekali menyungging senyum.
“Masak apa kita, Kalina?” tanyaku di dapur sore itu.
“Hanya kentang rebus,” sahutnya sambil tersenyum. Ia tampak cantik kalau begitu.
“Hari ini kita hanya masak sekali.”
“Ya,” ujarnya kembali. “Mereka hanya makan sekali hari ini setelah sepanjang hari tak makan dan minum. Apa ya…namanya?”
“Puasa,” jawabku sambil membantunya mengaduk kuali. “Mereka berpuasa bila sangat sulit mendapatkan sesuatu untuk dimakan.”
Aku melemparkan pandangan ke luar jendela. Mengamati anak-anak dan cucu Suleyman Barinzi sibuk mengurus ayam-ayam. Keluarga miskin itu tetap tampak berbahagia dalam situasi buruk seperti ini. Seharusnya tuan Armin Vambery mengenal mereka lebih lama sehingga membangkitkan semangat hidupnya. Bahwa hidupnya yang terlilit hutang, hubungan yang buruk dengan istrinya, anak yang tak kunjung hadir, usahanya yang berjalan tersendat, masih akan memiliki harapan andai ia memiliki keyakinan. Aku merasa beruntung memiliki kesempatan tinggal lebih lama di puri Poenariburg, mengenal kakek tua Suleyman Barinzi yang bijaksana.
Keterangan:
Tocana: semacam semur
Ham: daging babi
Baccalereate: ujian akhir
Lei: mata uang Rumania
Sunday, January 30, 2005
Epik
MENUNGGU ADZAN
Penulis:Sakti Wibowo
Aku menggeleng. Karenanya, sapaan lelaki hitam itu tak berlanjut. Lantas, aku kembali berjalan. Sapaan tadi secara eksplisit menanyakan apakah aku akan melakukan sembahyang. Sebagai seorang Falashas, imigran Yahudi dari Ethiopia, aku tahu betul bahwa jika aku mengangguk, maka laki-laki itu akan memberi layanan gratis mengenai sejumlah doa dan brosur petunjuk yang diambil dari Kitab Torah.
Aku menggeleng, sekadar untuk menghindari layanan cuma-cuma itu. Sekarang aku hanya ingin berjalan-jalan sembari menunggu adzan (Abu Hasan, teman karib mendiang Shameer, adikku, mengatakan akan menemuiku di depan gerbang Al Aqsha ini saat adzan) sambil merenungi jejak perjalanan yang telah menguras air mata orang-orang Yahudi Ethiopia. Tapi, jika pun tidak demikian, aku bisa memastikan aku akan menjawab dengan gelengan yang sama memberitakan keenggananku untuk sembahyang. (Apakah aku masih Yahudi?). Keengganan yang bersumber dari rasa gamang, atau mungkin keraguan. Aku sedang menunggu adzan….
Beginikah rupa tanah yang dijanjikan itu?
Kuat kucoba menepis ragu. Sebab, rasa ini mungkin hanya berasal dari relung luka akibat perlakuan yang tidak manusiawi yang dialami para aliya begitu menginjak tanah impian.
Aku masih sangat kecil ketika itu, hanya melihat cakrawala dari dekapan tangan Ibu. Panik wajahnya, dan aku sibuk mengisap air susu. Lantas, kurasakan tangan itu lama-lama kaku, mendekapku dalam dingin udara Sudan yang tak bersahabat pada para pejalan. Ayah membuka dekapan itu dengan air mata meleleh, menyadari si wanita tak lagi mampu membuka pelukan, juga menghela napas sebagai jendela bagi nyawanya. Ia telah mati, bersama ribuan orang yang mati.
Aku tidak membaca selain kesedihan. Bahkan, kata pun tak kupahami apa artinya. Aku masih sangat kecil. Belum genap dua tahun saat Operasi Musa dimulai. (Setelah dewasa, aku baru mengetahui bahwa dengan nama ini proses migrasi Yahudi Ethiopia itu dinamai.) Awal era delapan puluhan. Gelombang besar yang menurut ayahku berjumlah lebih dari 55.000 orang, menempuh perjalanan panjang bertahun-tahun dalam lilitan lapar dan hawa dingin, untuk mencapai Erets Yisrael. Perjalanan itu dilanjutkan dengan Operasi Sulaiman empat tahun kemudian, yang diikuti oleh jumlah aliya yang tak kalah banyaknya.
“Kita adalah orang-orang Yahudi yang sesungguhnya paling tinggi menebus harga menjadi aliya,” papar ayahku yang hingga menutup usianya beberapa tahun lalu, masih menjadi saksi dari derita paling perih nan menyamai tragedi holokaus. Sejarah kelam itu tercatat nyata pada matanya, juga pada tubuhnya yang didiami berbagai penyakit, bekas perjalanan panjang yang mempersingkat usia. Perjalanan menuju mati.
Harga yang mahal. Ibuku, bersama 4.000 orang lainnya meninggal si Amrakuva, kamp transit terbesar di Sudan. Keadaan Falashas saat itu sungguh mengenaskan; minim pakaian dan makanan, diterpa cuaca gurun yang mengerikan di mana siangnya terik membakar, dan malamnya udara dingin menggigit. Semua itu disertai harapan memperoleh penghidupan di tanah Kanaan, dan harkat yang lebih layak hidup di antara sesama saudaranya yang telah mengecap hidup di bumi warisan para anak Israel.
Tapi, apakah yang kami dapati, setelah darah dikuras dari orang-orang Ethiopia?
Yahudi Ethiopia adalah orang-orang yang keras memegang tradisi Yudaisme dalam desakan untuk berpindah agama. Mereka memiliki kekuatan yang berlipat dari kulit hitam berikut tubuh kurus tak berdaging akibat deraan kurang pangan yang melanda Afrika masa itu. Tak mengenal takut, gurun telah mereka tantang demi kembali ‘pulang’ pada tanah yang dijanjikan ini. Cinta mereka kepada Yerusalem… melebihi aliran darah dan denyut nadi. Cinta itu tetap berdetak dan mengalir kendati telah banyak yang mati. Walaupun… di negeri warisan ini, mereka memperoleh perlakuan tak manusiawi dan diskriminasi.
“Kalian bangsa primitif,” sembur seorang kawan di sinagog, saat aku berusia belasan.
“Tapi aku Yahudi, sama sepertimu,” cetusku meradang. Kebanggaan sebagai Yahudi yang paling banyak membayar tebusan aliya—sebagaimana Ayah selalu membanggakannya—membuat ada perasaan terluka telah dipandang sebagai warga kelas dua dari seluruh tatanan masyarakat Yahudi.
“Kalian tidak berpendidikan. Kalian hanya memiliki kebanggaan sebagai Yahudi, tanpa memiliki catatan sejarah yang pantas dikenang. Kalian seperti bangsa primitif yang terdampar dalam peradaban modern.”
Sentimen rasial bisa saja ditutupi oleh pemerintah Israel, namun budaya semacam ini tidak bisa dihilangkan dari orang-orangnya. Aku telah merasakannya sendiri, menyaksikannya menyatu dengan rotasi hidup di Israel. Menghapusnya tak semudah membuat undang-undang yang tertera dalam kodifikasi hukum negara. Nyatanya, diskriminasi rasial masih dirasakan oleh orang-orang Falashas hingga seperempat keberadaannya di negeri ini.
Mereka berpikir bisa menutupi sentimen rasial itu dengan mengirim orang-orang Falashas ke sekolah-sekolah—dan kemudian aku mengetahui bahwa sekolah-sekolah tujuan itu sengaja dipilihkan dari yang tidak bermutu. Lantas, bersumber dari mana gerangan pandangan mata sinis dan meremehkan terhadap orang-orang kulit hitam ini (yang karenanya, Shameer mati) jika bukan dari sikap mental rendah dan ego yang tinggi?
Adikku, Shameer, bunuh diri tahun lalu karena penghinaan menyakitkan di depan teman-teman kuliahnya. Usianya baru menapak dua puluh, terlalu muda untuk mati. Tapi, terus-menerus dipandang sebagai bangsa primitif yang menumpang hidup pada ‘keberadaban’ Yahudi kulit putih begitu meninggalkan rasa tidak nyaman di hatinya. Mereka mengkalim secara sepihak bahwa mereka lebih beradab dari warna kulit yang lain. Hinaan yang menimpa adikku, aku tak tahu pasti seberapa dalamnya. Terakhir kudengar, ia jatuh cinta pada seorang Yahudi Ashkenazi, Yahudi percampuran Eropa dan Amerika. Gadis itu sungguh tidak pernah belajar tentang menghargai perasaan. Ia tak memiliki cara menolak cinta selain dengan mencerca dan menghina habis-habisan. Beberapa bulan sebelumnya, Shameer melamar pekerjaan di sebuah kantor dagang milik Yahudi. Dan, bisa diduga, lamaran itu telah ditolak di depan gerbang; tak ada tempat untuk orang Ethiopia.
Mungkin Shameer lupa mewarisi tekad yang dimiliki orang-orang Falashas. Mungkin ia lupa bahwa Musa pernah terkatung-katung empat puluh tahun lamanya di Gurun Sinai setelah lepas dari pengejaran Fir’aun di Reed Sea—berabad-abad berikutnya, kata ini diterjemahkan secara salah kaprah sebagai Laut Merah. Jika Shameer memahami keterasingan sebagai bagian paling integral dari keimanan Yahudi, seharusnya ia tidak mengambil jalan paling bodoh; menenggak obat pembasmi serangga. (Atau jangan-jangan benar yang dikatakan Abu Hasan, Shameer tidak bunuh diri.)
Sedihku… sedih yang entah harus kubahasakan dengan apa.
Sebab, menangis tak akan bisa menghidupkan Shameer kembali.
***
Telah lama aku meragui kebenaran. Sejak memulai perjalanan….
Tapi, bukankah perjalanan dan keterasingan adalah pilar keimanan yang begitu kuat? Musa membimbing bangsa Yahudi menjengkali Sinai dalam keterasingan bertahun-tahun. Sang Mesias Kristiani menempuh perjalanan luka dengan memanggul salib mendaki Golgota. Dan Muhammad (entah kenapa hatiku bergetar menyebutnya) meninggalkan Mekah menuju Yatsrib, kota yang dijanjikan—atau menjanjikan.
“Islam berpijak pada ajaran yang realistis, David,” kata Shameer, beberapa saat sebelum ia kutemukan meregang nyawa.
“Jangan bodoh!” bentakku saat itu, khawatir ia menodai keagungan Yahweh.
“Adakah yang lebih realistis dari kesetaraan dalam mengabdi?”
Kutelusuri makna kata itu. Pada kubah Al Quds yang menggaungkan dengung adzan. Mereka tidak membagi derajat peribadahan dalam kelas-kelas mana pun, karena mereka secara bersama bisa mencapai tempat-tempat tertinggi, pangkat-pangkat yang disematkan sebagai orang shalih. Karena orang-orang mulia mereka tidaklah disyaratkan dari keturunan rasul atau orang-orang tua yang shalih. Tidak pula pada tingkat pendidikan, harta benda, atau strata golongan. Pun adanya dengan warna kulit.
“Apakah kau ingin menjadi muslim?” tanyaku tak suka.
Shameer hanya tertawa. Tawa ampang.
“Bukankah Bilal juga berasal dari Ethiopia?” katanya. “Ia berasal dari negeri kita, David. Dan kau tahu, maqam apa yang telah ia tempati? Bahkan Muhammad meradang saat sahabat dekatnya menghina Bilal dengan sebutan ‘budak hitam’. Muhammad tidak pernah menghina kulit apa pun dari orang-orang yang mengikuti risalahnya. Bahkan, budak hitam sepertinya diizinkan memanjat puncak Ka’bah untuk menyeru shalat. Kakinya menginjak tempat mulia itu, lebih tinggi dari para pewaris rumah suci.”
“Apakah kau ingin menjadi muslim?” ulang tanyaku.
“Istri Bilal bahkan bukan dari golongan kulit hitam, David. Kau harus tahu itu.”
“Kau terjebak pula dalam pemahaman rasis. Kau terlalu terobsesi dan terprovokasi oleh rasa tertarikmu pada Miriam, gadis Ashkenazi itu.”
“Kaupikir begitu? Jika ini dibilang pemberontakan, David, pemberontakan atas nama kesetaraan. Kita lebih berhak berbangga sebagai aliya dengan keteguhan yang hanya dimiliki orang-orang Ethiopia pada Operasi Musa dan Sulaiman, daripada para kulit putih yang hanya mengagung-agungkan keistimewaan warna kulit dan ritus masa silam yang berkait dengan sejarah Zion, tanpa adanya bentuk ‘perjuangan habis-habisan’. Seperti suatu isyarat bahwa keimanan mereka belum teruji. Kitalah orang-orang yang telah menempuh ujian, lulus sebagai juara. Tapi, apa yang kita peroleh di ‘negeri kita’ ini? Kita menjadi pengemis di rumah kita sendiri, menjadi budak dari saudara-saudara kita sendiri.”
“Keterasingan adalah ruh dari keimanan.”
“Tidak. Yang kurasakan adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan.”
“Cintamu pada Miriam?”
“Ya, dan kepada semua Yahudi. Kita selalu menganggap mereka sebagai saudara, mencintainya dengan kecintaan yang bersumber pada Musa dan Ibrahim. Tapi, sayang… mereka tak pernah mencintai kita. Karena, kita budak hitam. Walaupun menjadi kulit hitam bukan proses tawar-menawar dengan Tuhan, bukan pula sesuatu yang bisa atau tidak bisa kita usahakan, melainkan sebuah suratan dan kodrat, tapi tetap saja karena itulah kita diperlakukan berbeda.”
Sepertiku, Shameer berkulit hitam. Dalam perjalanan mencapai Erets Yisrael sepeninggal ibuku, ayahku menikah lagi dengan gadis Ethiopia, sesama aliya. Darinya, dua tahun kemudian, lahirlah Shameer, persis saat Operasi Musa berakhir dengan lebih 10% dari ‘peserta’nya meninggal dalam perjalanan.
“Mengapa saat itu pemerintah Israel tidak membantu para aliya yang terkatung-katung di perbatasan Sudan—seperti Musa di Gurun Sinai—dan menghadapi murka alam?” hujat Shameer. “Mereka seperti membiarkan para aliya berikut konsekuensi perjalanan menantang maut yang mereka pilih sendiri.”
Mengenang luka Operasi Musa seperti menguak luka dalam hatiku.
“Kaupikir, kau percaya alasan saudara-saudara kita atas pertolongan setengah hati mereka saat itu, bahwa pemerintah Israel sedang menghadapi problem dalam negeri seperti inflasi akut pasca-penyerbuan Libanon pada 1982?”
“Bukankah benar karena itu?”
Shameer tertawa. “Alangkah baik hatinya kau. David sayang, jika kau telah dewasa kala itu, kau akan menyadari bahwa kau tidak akan mendapat perlakuan semacam itu jika kau bukan dari kulit hitam.”
“Diamlah, Shameer! Terimalah keterasingan sebagai bagian dari keimanan.”
“Apakah kau mengatakan demikian pula untuk para chalayim bodedim?”
Aku tak bisa menjawab hujatan Shameer kali ini. Karena, apa yang ia tanyakan sebenarnya telah lama mengusik hatiku. Chalayim bodedim, prajurit sebatang kara, demikian sebutan bagi orang-orang Yahudi Amerika—berkulit putih—yang melakukan ‘aliya’ ke Israel. Mereka datang bukan untuk menetap. Mereka berdinas sementara, untuk kemudian pulang kembali ke negeri asal mereka. Tapi, mereka selalu menempati tempat-tempat tinggi dan bergengsi dalam struktur Israeli Defence Force (IDF), angkatan bersenjata Israel. Mereka—sebagai warga kelas satu—mendulang perhargaan, gaji dan tunjangan dua kali lipat dari tentara Israel lainnya. Sementara, orang-orang Falashas hanya dipandang sebagai anak bawang. Lebih tepat sebutan sebatangkara itu untuk orang-orang kulit hitam yang berjalan gontai sendiri, dan baru berbinar matanya jika bertemu sesama warna kulit, sebab dari merekalah benar-benar rasa ‘penerimaan’ itu dihadiahkan dengan mewah. Sementara dari sesama Yahudi, mereka hanya mendapat semburan atau pemanis bibir—jika secara kebetulan mereka ‘dianugerahi’ sikap manis.
“Chalayim bodedim itu orang asing di sini, Shameer,” jawabku berapologi, namun sebenarnya bertentangan dengan pikiranku sendiri. “Mereka memiliki motivasi yang besar, sehingga mereka meninggalkan keluarganya, menuju negeri ini tanpa adanya sanak famili.”
“Masih kurang besarkah tekad para Falashas? Dan lagi, kita sebatangkara di sini, David, sama seperti mereka! Jangan hibur aku dengan hiburan kosong semacam ini.”
“Kita memang terasing,” potongku kembali mengingatkannya pada pilar suci keimanan yang diajarkan Musa.
“Terasing yang seperti apakah? Muhammad pergi ke Yatsrib dan di sana ia tidak dipandang sebagai masyarakat kelas dua. Muslim Yatsrib memeluk mereka dalam persaudaraan dan persamaan harkat.”
“Muhammad lagi! Kau terprovokasi orang-orang muslim.”
Shameer kembali tertawa.
***
Aku mencintai kota ini….
Bukankah cinta itu yang telah membawa puluhan—bahkan ratusan—ribu Yahudi Ethiopia meninggalkan negerinya, memenuhi panggilan suci Torah agar membentuk negara Israel Raya?
Aku masih berjalan di sekitar Dinding Ratapan (orang-orang Yahudi menyentuh dinding itu dan banyak yang berusaha mencongkel kerikil kecil dari tempat yang diyakini sebagai bagian yang tersisa dari Kuil Suci, candi Sulaiman) dan sesekali harus menggeleng atas tawaran ‘shalom’ beberapa pemuda kulit hitam dengan meja setinggi pinggang yang dipenuhi buku-buku dan selebaran berisi tulisan Ibrani; rangkaian doa mistis dalam syariat Yahudi.
Apakah saat ini aku masih Yahudi?
Mendongakkan sedikit kepalaku, kubah Al Aqsha terpampang megah, menggaungkan adzan di tengah hari terik yang dipadati para peziarah; orang-orang yang datang dengan kerinduan. (Di mana Abu Hasan?)
Aku mencintai negeri ini, bukan saja karena ini negeri yang dijanjikan….
Setelah sekian peristiwa kualami, cintaku tak lapuk, tetap menyemai di hati. Kota eksotis yang menautkanku dengan ritus masa lalu, berkelindan dengan aroma sakral keimanan. Kota ini sangat pantas untuk dicintai, bukan saja karena seseorang memilih Yahudi, Kristen, atau Islam sebagai jalan pencerahan.
Telah lama aku ragu dengan keimanan (kucoba menepis ragu, berprasangka bahwa rasa ini mungkin hanya berasal teluk kekecewaan akibat perlakuan yang tidak manusiawi). Ragu yang sama saat beberapa tahun lalu, Januari 1996, aku ikut berdemo dengan sebarisan kaum Falashas—menurut berita, jumlahnya tak kurang dari 15.000 orang—melakukan protes di depan kantor perdana menteri, atas perlakuan yang sungguh merendahkan.
Mungkin benar kata Shameer, hanya orang-orang Falashas yang mencinta, namun sama sekali tidak dicintai. Dengan alasan cinta itu berikut semangat kenegaraan yang meluap-luap, secara periodik kaum Falashas menyumbangkan darah di Bank Darah Nasional Israel. Dan, puncak penghinaan itu terasa saat mereka mengetahui darah kaum Falashas itu tidak diperlakukan semestinya, tetapi dibuang diam-diam. Kaum Yahudi kulit putih tak mau menerima donor dari kaum kulit hitam. Pemerintah Israel berusaha merasionalisir tindakannya itu dengan mengatakan bahwa 1% dari komunitas Yahudi Ethiopia diketahui mengidap HIV. Sebuah pembelaan yang tidak berarti karena toh darah yang terinfeksi HIV bisa terlacak, sehingga tak perlu mereka melakukan ‘pembuangan’ secara brutal terhadap darah para Falashas.
Penghinaan yang sangat menyakitkan….
Aku mencintai kota ini, tapi tidak orang-orangnya….
“Aku telah Islam,” kata Abu Hasan saat kami pertama bertemu. Dia tinggal berdampingan dengan apartemen tempat Shameer, kuketahui saat ada telepon memintaku cepat-cepat datang ke alamat yang ia sebutkan. Saat-saat di mana kutemukan Shameer sekarat dengan obat pembasmi serangga.
Sepertiku dan Shameer, Abu Hasan berkulit hitam. Keluarganya juga aliya, datang ke Israel dalam gelombang Operasi Sulaiman. Dan, sejak menempuh kuliah di Hebrew University, ia memilih Islam sebagai agamanya.
Abu Hasan mengatakan, ia mengetahui sesuatu tentang kematian Shameer. Dan, ia hendak mengatakannya kepadaku hari ini, semoga bisa membantu. Tentu saja ini menerbitkan minatku untuk menyusuri Dinding Ratapan seraya menunggu adzan.
Sesudah ayahku, praktis hanya Shameer keluargaku yang tersisa. Seluruh famili dari pihak ayah maupun ibuku tewas di Amrakuva. Bahkan, wanita yang dinikahi ayahku yang kemudian melahirkan Shameer, juga seorang yang tidak memiliki famili, dan meninggal setelah satu tahun menjanda. Cintaku pada Shameer menyaingi cintaku pada Yerusalem. Untuk itu, aku merasa berhak mengetahui sekecil apa pun informasi tentangnya.
“Dia tidak mati bunuh diri. Ada sebuah rekayasa yang dilakukan untuk menghabisinya, dan dikesankan bunuh diri. Aku mengetahuinya belum lama. Itu karena aku juga baru mengerti Shameer ternyata telah masuk Islam. Di sini, telah terjadi beberapa makar untuk menyingkirkan para mahasiswa yang tak lagi bisa dihalangi untuk masuk Islam.”
Aku tak terkejut. Sejak pertama aku telah menduga. Namun, karena aku telah dihadapkan dengan tembok tebal hitam birokrasi—dan mungkin intelijen—aku memutuskan untuk menerima Shameer bunuh diri.
***
Sayangnya, kendati akhirnya aku bertemu Abu Hasan, kami tak sempat bercerita apa-apa. Kerusuhan terjadi lagi—bagai makanan sehari-hari—yang melibatkan tentara bersenjata Israel. Helikopter meraung-raung di udara menyerang pemukiman muslim di dekat Al Aqsha. Situasi di Palestina memanas pasca-pembunuhan Syaikh Ahmad Yassin, pemimpin spiritual Hamas. Penangkapan terhadap para aktivis Hamas berlangsung gila-gilaan, dan korban berjatuhan tidak terbatas pada kalangan aktivis, tetapi juga penduduk sipil yang tak bersalah; yang tak selalu orang-orang Islam, sebagian mereka adalah warga biasa dengan jenis iman yang beragam.
Karena peluru tidak lebih dulu bertanya ‘agamamu apa’ sebelum memutuskan untuk merobek kulit dan memberaikan tulang belulang.
Aku terlambat mendengar berita rusuh itu, sehingga yang kutemui hanya sisa-sisa pertempuran berikut ceceran darah dan proyektil peluru. Korban-korban dilarikan ke Rumah Sakit Omar Mochtar, termasuk Abu Hasan. Aku segera mengejar ke sana.
Di pintunya, wajah-wajah resah menyambutku dengan kepala penuh tanya.
“Assalamu’alaikum!” seruku. Aku memutuskan memakai salam ini demi bisa bertemu Abu Hasan. Aku harus mendengar rahasia itu darinya. Karena itu, aku harus mengaku sebagai orang Islam, agar mudah memasuki rumah sakit ini. Rumah sakit ini milik yayasan Islam, dan aku yakin pekerja di dalamnya menyimpan kewaspadaan yang tinggi terhadap orang-orang asing. Sebab, yang kutahu adalah mereka begitu mengenal orang-orang yang seiman dengan mereka. Situasi memanas, dan semua orang berada dalam puncak sensitifitas.
“Abu Hasan,” sebutku pada seorang perawat, yang segera mengantarku ke bangsal tempat lelaki itu terbaring. ICU. Ia belum bisa diganggu. Sedang dilakukan tranfusi. Seorang pedonor darah terbaring di sebelahnya.
Darahku tersirap. Pedonor itu jelas berkulit putih. Dan bukan ia saja yang kulihat. Ada lagi beberapa muslim kulit putih sedang mendonorkan darah, tak peduli yang memerlukannya orang kulit putih atau hitam.
“Assalamu’alaikum, Saudaraku…!” sapa seorang laki-laki, kulit putih, dengan dahi menghitam bekas sujud. Pakaian yang ia kenakan, sorot wajah serta tanda hitam di dahi itu memudahkanku untuk menyimpulkan bahwa ia seorang Islam.
Aku mengangguk, gagap, dan mencoba menjawab salam itu dengan terbata-bata. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Allahu akbar! Semoga masih sempat. Saudaraku memerlukan darah. Persediaan darah di sini telah habis. Saya membutuhkan darah A, dan saya telah berputar-putar selama satu jam di sini mencari-cari orang yang bersedia mendonorkan darahnya. Perlu tiga orang, dan saya baru memperoleh satu; dua dengan saya. Apakah golongan darah Anda?”
“A.”
“Subhanallah! Bersediakah Anda mendonorkan darah untuk saudara saya?”
Sejenak terbayang di benakku penghinaan yang menyakitkan itu; darah yang dibuang diam-diam.
“Saya? Kulit hitam?”
Denyut itu menguasai jantungku. Berdebar-debar. Tapi, segera kukatupkan mulutku mencegah tanya berlanjut. Sejenak mata itu mencermati, seperti berusaha meyakinkan kalimatku tadi.
“Oh… eh… baiklah! Tentu saja saya bersedia. Kapan donor dimulai?”
Wajah itu penuh syukur. “Terima kasih. Perlu menjalani pemeriksaan dulu di laborat. Kita ke sana segera.”
Entahlah… apa yang kupikirkan sekarang. Apakah aku mulai menimbang-nimbang tentang keimanan? Aku tak tahu. Yang kurasakan hanyalah rasa penerimaan yang begitu mewah. Mungkin benar kata Shameer, tak ada yang lebih realistis dalam kehidupan ini selain kesetaraan. Secara naluriah, manusia membutuhkan persamaan hak, sebuah tuntutan sederhana yang telah begitu purba. Cermin yang kulihat tadi dengan nyata memproyeksikan kebersamaan dan kesetaraan. Tak ada cinta yang perlu merana. Bahkan, seorang kulit hitam leluasa untuk mencintai saudaranya yang berkulit putih. Alangkah….
Telah sampaikah aku di tanah yang dijanjikan—atau menjanjikan—itu?
Aku mencintaimu, Yerusalem… dengan seluruh napas dan darahku.
26 Oktober 2004, 01:00 dinihari
Penulis:Sakti Wibowo
Aku menggeleng. Karenanya, sapaan lelaki hitam itu tak berlanjut. Lantas, aku kembali berjalan. Sapaan tadi secara eksplisit menanyakan apakah aku akan melakukan sembahyang. Sebagai seorang Falashas, imigran Yahudi dari Ethiopia, aku tahu betul bahwa jika aku mengangguk, maka laki-laki itu akan memberi layanan gratis mengenai sejumlah doa dan brosur petunjuk yang diambil dari Kitab Torah.
Aku menggeleng, sekadar untuk menghindari layanan cuma-cuma itu. Sekarang aku hanya ingin berjalan-jalan sembari menunggu adzan (Abu Hasan, teman karib mendiang Shameer, adikku, mengatakan akan menemuiku di depan gerbang Al Aqsha ini saat adzan) sambil merenungi jejak perjalanan yang telah menguras air mata orang-orang Yahudi Ethiopia. Tapi, jika pun tidak demikian, aku bisa memastikan aku akan menjawab dengan gelengan yang sama memberitakan keenggananku untuk sembahyang. (Apakah aku masih Yahudi?). Keengganan yang bersumber dari rasa gamang, atau mungkin keraguan. Aku sedang menunggu adzan….
Beginikah rupa tanah yang dijanjikan itu?
Kuat kucoba menepis ragu. Sebab, rasa ini mungkin hanya berasal dari relung luka akibat perlakuan yang tidak manusiawi yang dialami para aliya begitu menginjak tanah impian.
Aku masih sangat kecil ketika itu, hanya melihat cakrawala dari dekapan tangan Ibu. Panik wajahnya, dan aku sibuk mengisap air susu. Lantas, kurasakan tangan itu lama-lama kaku, mendekapku dalam dingin udara Sudan yang tak bersahabat pada para pejalan. Ayah membuka dekapan itu dengan air mata meleleh, menyadari si wanita tak lagi mampu membuka pelukan, juga menghela napas sebagai jendela bagi nyawanya. Ia telah mati, bersama ribuan orang yang mati.
Aku tidak membaca selain kesedihan. Bahkan, kata pun tak kupahami apa artinya. Aku masih sangat kecil. Belum genap dua tahun saat Operasi Musa dimulai. (Setelah dewasa, aku baru mengetahui bahwa dengan nama ini proses migrasi Yahudi Ethiopia itu dinamai.) Awal era delapan puluhan. Gelombang besar yang menurut ayahku berjumlah lebih dari 55.000 orang, menempuh perjalanan panjang bertahun-tahun dalam lilitan lapar dan hawa dingin, untuk mencapai Erets Yisrael. Perjalanan itu dilanjutkan dengan Operasi Sulaiman empat tahun kemudian, yang diikuti oleh jumlah aliya yang tak kalah banyaknya.
“Kita adalah orang-orang Yahudi yang sesungguhnya paling tinggi menebus harga menjadi aliya,” papar ayahku yang hingga menutup usianya beberapa tahun lalu, masih menjadi saksi dari derita paling perih nan menyamai tragedi holokaus. Sejarah kelam itu tercatat nyata pada matanya, juga pada tubuhnya yang didiami berbagai penyakit, bekas perjalanan panjang yang mempersingkat usia. Perjalanan menuju mati.
Harga yang mahal. Ibuku, bersama 4.000 orang lainnya meninggal si Amrakuva, kamp transit terbesar di Sudan. Keadaan Falashas saat itu sungguh mengenaskan; minim pakaian dan makanan, diterpa cuaca gurun yang mengerikan di mana siangnya terik membakar, dan malamnya udara dingin menggigit. Semua itu disertai harapan memperoleh penghidupan di tanah Kanaan, dan harkat yang lebih layak hidup di antara sesama saudaranya yang telah mengecap hidup di bumi warisan para anak Israel.
Tapi, apakah yang kami dapati, setelah darah dikuras dari orang-orang Ethiopia?
Yahudi Ethiopia adalah orang-orang yang keras memegang tradisi Yudaisme dalam desakan untuk berpindah agama. Mereka memiliki kekuatan yang berlipat dari kulit hitam berikut tubuh kurus tak berdaging akibat deraan kurang pangan yang melanda Afrika masa itu. Tak mengenal takut, gurun telah mereka tantang demi kembali ‘pulang’ pada tanah yang dijanjikan ini. Cinta mereka kepada Yerusalem… melebihi aliran darah dan denyut nadi. Cinta itu tetap berdetak dan mengalir kendati telah banyak yang mati. Walaupun… di negeri warisan ini, mereka memperoleh perlakuan tak manusiawi dan diskriminasi.
“Kalian bangsa primitif,” sembur seorang kawan di sinagog, saat aku berusia belasan.
“Tapi aku Yahudi, sama sepertimu,” cetusku meradang. Kebanggaan sebagai Yahudi yang paling banyak membayar tebusan aliya—sebagaimana Ayah selalu membanggakannya—membuat ada perasaan terluka telah dipandang sebagai warga kelas dua dari seluruh tatanan masyarakat Yahudi.
“Kalian tidak berpendidikan. Kalian hanya memiliki kebanggaan sebagai Yahudi, tanpa memiliki catatan sejarah yang pantas dikenang. Kalian seperti bangsa primitif yang terdampar dalam peradaban modern.”
Sentimen rasial bisa saja ditutupi oleh pemerintah Israel, namun budaya semacam ini tidak bisa dihilangkan dari orang-orangnya. Aku telah merasakannya sendiri, menyaksikannya menyatu dengan rotasi hidup di Israel. Menghapusnya tak semudah membuat undang-undang yang tertera dalam kodifikasi hukum negara. Nyatanya, diskriminasi rasial masih dirasakan oleh orang-orang Falashas hingga seperempat keberadaannya di negeri ini.
Mereka berpikir bisa menutupi sentimen rasial itu dengan mengirim orang-orang Falashas ke sekolah-sekolah—dan kemudian aku mengetahui bahwa sekolah-sekolah tujuan itu sengaja dipilihkan dari yang tidak bermutu. Lantas, bersumber dari mana gerangan pandangan mata sinis dan meremehkan terhadap orang-orang kulit hitam ini (yang karenanya, Shameer mati) jika bukan dari sikap mental rendah dan ego yang tinggi?
Adikku, Shameer, bunuh diri tahun lalu karena penghinaan menyakitkan di depan teman-teman kuliahnya. Usianya baru menapak dua puluh, terlalu muda untuk mati. Tapi, terus-menerus dipandang sebagai bangsa primitif yang menumpang hidup pada ‘keberadaban’ Yahudi kulit putih begitu meninggalkan rasa tidak nyaman di hatinya. Mereka mengkalim secara sepihak bahwa mereka lebih beradab dari warna kulit yang lain. Hinaan yang menimpa adikku, aku tak tahu pasti seberapa dalamnya. Terakhir kudengar, ia jatuh cinta pada seorang Yahudi Ashkenazi, Yahudi percampuran Eropa dan Amerika. Gadis itu sungguh tidak pernah belajar tentang menghargai perasaan. Ia tak memiliki cara menolak cinta selain dengan mencerca dan menghina habis-habisan. Beberapa bulan sebelumnya, Shameer melamar pekerjaan di sebuah kantor dagang milik Yahudi. Dan, bisa diduga, lamaran itu telah ditolak di depan gerbang; tak ada tempat untuk orang Ethiopia.
Mungkin Shameer lupa mewarisi tekad yang dimiliki orang-orang Falashas. Mungkin ia lupa bahwa Musa pernah terkatung-katung empat puluh tahun lamanya di Gurun Sinai setelah lepas dari pengejaran Fir’aun di Reed Sea—berabad-abad berikutnya, kata ini diterjemahkan secara salah kaprah sebagai Laut Merah. Jika Shameer memahami keterasingan sebagai bagian paling integral dari keimanan Yahudi, seharusnya ia tidak mengambil jalan paling bodoh; menenggak obat pembasmi serangga. (Atau jangan-jangan benar yang dikatakan Abu Hasan, Shameer tidak bunuh diri.)
Sedihku… sedih yang entah harus kubahasakan dengan apa.
Sebab, menangis tak akan bisa menghidupkan Shameer kembali.
***
Telah lama aku meragui kebenaran. Sejak memulai perjalanan….
Tapi, bukankah perjalanan dan keterasingan adalah pilar keimanan yang begitu kuat? Musa membimbing bangsa Yahudi menjengkali Sinai dalam keterasingan bertahun-tahun. Sang Mesias Kristiani menempuh perjalanan luka dengan memanggul salib mendaki Golgota. Dan Muhammad (entah kenapa hatiku bergetar menyebutnya) meninggalkan Mekah menuju Yatsrib, kota yang dijanjikan—atau menjanjikan.
“Islam berpijak pada ajaran yang realistis, David,” kata Shameer, beberapa saat sebelum ia kutemukan meregang nyawa.
“Jangan bodoh!” bentakku saat itu, khawatir ia menodai keagungan Yahweh.
“Adakah yang lebih realistis dari kesetaraan dalam mengabdi?”
Kutelusuri makna kata itu. Pada kubah Al Quds yang menggaungkan dengung adzan. Mereka tidak membagi derajat peribadahan dalam kelas-kelas mana pun, karena mereka secara bersama bisa mencapai tempat-tempat tertinggi, pangkat-pangkat yang disematkan sebagai orang shalih. Karena orang-orang mulia mereka tidaklah disyaratkan dari keturunan rasul atau orang-orang tua yang shalih. Tidak pula pada tingkat pendidikan, harta benda, atau strata golongan. Pun adanya dengan warna kulit.
“Apakah kau ingin menjadi muslim?” tanyaku tak suka.
Shameer hanya tertawa. Tawa ampang.
“Bukankah Bilal juga berasal dari Ethiopia?” katanya. “Ia berasal dari negeri kita, David. Dan kau tahu, maqam apa yang telah ia tempati? Bahkan Muhammad meradang saat sahabat dekatnya menghina Bilal dengan sebutan ‘budak hitam’. Muhammad tidak pernah menghina kulit apa pun dari orang-orang yang mengikuti risalahnya. Bahkan, budak hitam sepertinya diizinkan memanjat puncak Ka’bah untuk menyeru shalat. Kakinya menginjak tempat mulia itu, lebih tinggi dari para pewaris rumah suci.”
“Apakah kau ingin menjadi muslim?” ulang tanyaku.
“Istri Bilal bahkan bukan dari golongan kulit hitam, David. Kau harus tahu itu.”
“Kau terjebak pula dalam pemahaman rasis. Kau terlalu terobsesi dan terprovokasi oleh rasa tertarikmu pada Miriam, gadis Ashkenazi itu.”
“Kaupikir begitu? Jika ini dibilang pemberontakan, David, pemberontakan atas nama kesetaraan. Kita lebih berhak berbangga sebagai aliya dengan keteguhan yang hanya dimiliki orang-orang Ethiopia pada Operasi Musa dan Sulaiman, daripada para kulit putih yang hanya mengagung-agungkan keistimewaan warna kulit dan ritus masa silam yang berkait dengan sejarah Zion, tanpa adanya bentuk ‘perjuangan habis-habisan’. Seperti suatu isyarat bahwa keimanan mereka belum teruji. Kitalah orang-orang yang telah menempuh ujian, lulus sebagai juara. Tapi, apa yang kita peroleh di ‘negeri kita’ ini? Kita menjadi pengemis di rumah kita sendiri, menjadi budak dari saudara-saudara kita sendiri.”
“Keterasingan adalah ruh dari keimanan.”
“Tidak. Yang kurasakan adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan.”
“Cintamu pada Miriam?”
“Ya, dan kepada semua Yahudi. Kita selalu menganggap mereka sebagai saudara, mencintainya dengan kecintaan yang bersumber pada Musa dan Ibrahim. Tapi, sayang… mereka tak pernah mencintai kita. Karena, kita budak hitam. Walaupun menjadi kulit hitam bukan proses tawar-menawar dengan Tuhan, bukan pula sesuatu yang bisa atau tidak bisa kita usahakan, melainkan sebuah suratan dan kodrat, tapi tetap saja karena itulah kita diperlakukan berbeda.”
Sepertiku, Shameer berkulit hitam. Dalam perjalanan mencapai Erets Yisrael sepeninggal ibuku, ayahku menikah lagi dengan gadis Ethiopia, sesama aliya. Darinya, dua tahun kemudian, lahirlah Shameer, persis saat Operasi Musa berakhir dengan lebih 10% dari ‘peserta’nya meninggal dalam perjalanan.
“Mengapa saat itu pemerintah Israel tidak membantu para aliya yang terkatung-katung di perbatasan Sudan—seperti Musa di Gurun Sinai—dan menghadapi murka alam?” hujat Shameer. “Mereka seperti membiarkan para aliya berikut konsekuensi perjalanan menantang maut yang mereka pilih sendiri.”
Mengenang luka Operasi Musa seperti menguak luka dalam hatiku.
“Kaupikir, kau percaya alasan saudara-saudara kita atas pertolongan setengah hati mereka saat itu, bahwa pemerintah Israel sedang menghadapi problem dalam negeri seperti inflasi akut pasca-penyerbuan Libanon pada 1982?”
“Bukankah benar karena itu?”
Shameer tertawa. “Alangkah baik hatinya kau. David sayang, jika kau telah dewasa kala itu, kau akan menyadari bahwa kau tidak akan mendapat perlakuan semacam itu jika kau bukan dari kulit hitam.”
“Diamlah, Shameer! Terimalah keterasingan sebagai bagian dari keimanan.”
“Apakah kau mengatakan demikian pula untuk para chalayim bodedim?”
Aku tak bisa menjawab hujatan Shameer kali ini. Karena, apa yang ia tanyakan sebenarnya telah lama mengusik hatiku. Chalayim bodedim, prajurit sebatang kara, demikian sebutan bagi orang-orang Yahudi Amerika—berkulit putih—yang melakukan ‘aliya’ ke Israel. Mereka datang bukan untuk menetap. Mereka berdinas sementara, untuk kemudian pulang kembali ke negeri asal mereka. Tapi, mereka selalu menempati tempat-tempat tinggi dan bergengsi dalam struktur Israeli Defence Force (IDF), angkatan bersenjata Israel. Mereka—sebagai warga kelas satu—mendulang perhargaan, gaji dan tunjangan dua kali lipat dari tentara Israel lainnya. Sementara, orang-orang Falashas hanya dipandang sebagai anak bawang. Lebih tepat sebutan sebatangkara itu untuk orang-orang kulit hitam yang berjalan gontai sendiri, dan baru berbinar matanya jika bertemu sesama warna kulit, sebab dari merekalah benar-benar rasa ‘penerimaan’ itu dihadiahkan dengan mewah. Sementara dari sesama Yahudi, mereka hanya mendapat semburan atau pemanis bibir—jika secara kebetulan mereka ‘dianugerahi’ sikap manis.
“Chalayim bodedim itu orang asing di sini, Shameer,” jawabku berapologi, namun sebenarnya bertentangan dengan pikiranku sendiri. “Mereka memiliki motivasi yang besar, sehingga mereka meninggalkan keluarganya, menuju negeri ini tanpa adanya sanak famili.”
“Masih kurang besarkah tekad para Falashas? Dan lagi, kita sebatangkara di sini, David, sama seperti mereka! Jangan hibur aku dengan hiburan kosong semacam ini.”
“Kita memang terasing,” potongku kembali mengingatkannya pada pilar suci keimanan yang diajarkan Musa.
“Terasing yang seperti apakah? Muhammad pergi ke Yatsrib dan di sana ia tidak dipandang sebagai masyarakat kelas dua. Muslim Yatsrib memeluk mereka dalam persaudaraan dan persamaan harkat.”
“Muhammad lagi! Kau terprovokasi orang-orang muslim.”
Shameer kembali tertawa.
***
Aku mencintai kota ini….
Bukankah cinta itu yang telah membawa puluhan—bahkan ratusan—ribu Yahudi Ethiopia meninggalkan negerinya, memenuhi panggilan suci Torah agar membentuk negara Israel Raya?
Aku masih berjalan di sekitar Dinding Ratapan (orang-orang Yahudi menyentuh dinding itu dan banyak yang berusaha mencongkel kerikil kecil dari tempat yang diyakini sebagai bagian yang tersisa dari Kuil Suci, candi Sulaiman) dan sesekali harus menggeleng atas tawaran ‘shalom’ beberapa pemuda kulit hitam dengan meja setinggi pinggang yang dipenuhi buku-buku dan selebaran berisi tulisan Ibrani; rangkaian doa mistis dalam syariat Yahudi.
Apakah saat ini aku masih Yahudi?
Mendongakkan sedikit kepalaku, kubah Al Aqsha terpampang megah, menggaungkan adzan di tengah hari terik yang dipadati para peziarah; orang-orang yang datang dengan kerinduan. (Di mana Abu Hasan?)
Aku mencintai negeri ini, bukan saja karena ini negeri yang dijanjikan….
Setelah sekian peristiwa kualami, cintaku tak lapuk, tetap menyemai di hati. Kota eksotis yang menautkanku dengan ritus masa lalu, berkelindan dengan aroma sakral keimanan. Kota ini sangat pantas untuk dicintai, bukan saja karena seseorang memilih Yahudi, Kristen, atau Islam sebagai jalan pencerahan.
Telah lama aku ragu dengan keimanan (kucoba menepis ragu, berprasangka bahwa rasa ini mungkin hanya berasal teluk kekecewaan akibat perlakuan yang tidak manusiawi). Ragu yang sama saat beberapa tahun lalu, Januari 1996, aku ikut berdemo dengan sebarisan kaum Falashas—menurut berita, jumlahnya tak kurang dari 15.000 orang—melakukan protes di depan kantor perdana menteri, atas perlakuan yang sungguh merendahkan.
Mungkin benar kata Shameer, hanya orang-orang Falashas yang mencinta, namun sama sekali tidak dicintai. Dengan alasan cinta itu berikut semangat kenegaraan yang meluap-luap, secara periodik kaum Falashas menyumbangkan darah di Bank Darah Nasional Israel. Dan, puncak penghinaan itu terasa saat mereka mengetahui darah kaum Falashas itu tidak diperlakukan semestinya, tetapi dibuang diam-diam. Kaum Yahudi kulit putih tak mau menerima donor dari kaum kulit hitam. Pemerintah Israel berusaha merasionalisir tindakannya itu dengan mengatakan bahwa 1% dari komunitas Yahudi Ethiopia diketahui mengidap HIV. Sebuah pembelaan yang tidak berarti karena toh darah yang terinfeksi HIV bisa terlacak, sehingga tak perlu mereka melakukan ‘pembuangan’ secara brutal terhadap darah para Falashas.
Penghinaan yang sangat menyakitkan….
Aku mencintai kota ini, tapi tidak orang-orangnya….
“Aku telah Islam,” kata Abu Hasan saat kami pertama bertemu. Dia tinggal berdampingan dengan apartemen tempat Shameer, kuketahui saat ada telepon memintaku cepat-cepat datang ke alamat yang ia sebutkan. Saat-saat di mana kutemukan Shameer sekarat dengan obat pembasmi serangga.
Sepertiku dan Shameer, Abu Hasan berkulit hitam. Keluarganya juga aliya, datang ke Israel dalam gelombang Operasi Sulaiman. Dan, sejak menempuh kuliah di Hebrew University, ia memilih Islam sebagai agamanya.
Abu Hasan mengatakan, ia mengetahui sesuatu tentang kematian Shameer. Dan, ia hendak mengatakannya kepadaku hari ini, semoga bisa membantu. Tentu saja ini menerbitkan minatku untuk menyusuri Dinding Ratapan seraya menunggu adzan.
Sesudah ayahku, praktis hanya Shameer keluargaku yang tersisa. Seluruh famili dari pihak ayah maupun ibuku tewas di Amrakuva. Bahkan, wanita yang dinikahi ayahku yang kemudian melahirkan Shameer, juga seorang yang tidak memiliki famili, dan meninggal setelah satu tahun menjanda. Cintaku pada Shameer menyaingi cintaku pada Yerusalem. Untuk itu, aku merasa berhak mengetahui sekecil apa pun informasi tentangnya.
“Dia tidak mati bunuh diri. Ada sebuah rekayasa yang dilakukan untuk menghabisinya, dan dikesankan bunuh diri. Aku mengetahuinya belum lama. Itu karena aku juga baru mengerti Shameer ternyata telah masuk Islam. Di sini, telah terjadi beberapa makar untuk menyingkirkan para mahasiswa yang tak lagi bisa dihalangi untuk masuk Islam.”
Aku tak terkejut. Sejak pertama aku telah menduga. Namun, karena aku telah dihadapkan dengan tembok tebal hitam birokrasi—dan mungkin intelijen—aku memutuskan untuk menerima Shameer bunuh diri.
***
Sayangnya, kendati akhirnya aku bertemu Abu Hasan, kami tak sempat bercerita apa-apa. Kerusuhan terjadi lagi—bagai makanan sehari-hari—yang melibatkan tentara bersenjata Israel. Helikopter meraung-raung di udara menyerang pemukiman muslim di dekat Al Aqsha. Situasi di Palestina memanas pasca-pembunuhan Syaikh Ahmad Yassin, pemimpin spiritual Hamas. Penangkapan terhadap para aktivis Hamas berlangsung gila-gilaan, dan korban berjatuhan tidak terbatas pada kalangan aktivis, tetapi juga penduduk sipil yang tak bersalah; yang tak selalu orang-orang Islam, sebagian mereka adalah warga biasa dengan jenis iman yang beragam.
Karena peluru tidak lebih dulu bertanya ‘agamamu apa’ sebelum memutuskan untuk merobek kulit dan memberaikan tulang belulang.
Aku terlambat mendengar berita rusuh itu, sehingga yang kutemui hanya sisa-sisa pertempuran berikut ceceran darah dan proyektil peluru. Korban-korban dilarikan ke Rumah Sakit Omar Mochtar, termasuk Abu Hasan. Aku segera mengejar ke sana.
Di pintunya, wajah-wajah resah menyambutku dengan kepala penuh tanya.
“Assalamu’alaikum!” seruku. Aku memutuskan memakai salam ini demi bisa bertemu Abu Hasan. Aku harus mendengar rahasia itu darinya. Karena itu, aku harus mengaku sebagai orang Islam, agar mudah memasuki rumah sakit ini. Rumah sakit ini milik yayasan Islam, dan aku yakin pekerja di dalamnya menyimpan kewaspadaan yang tinggi terhadap orang-orang asing. Sebab, yang kutahu adalah mereka begitu mengenal orang-orang yang seiman dengan mereka. Situasi memanas, dan semua orang berada dalam puncak sensitifitas.
“Abu Hasan,” sebutku pada seorang perawat, yang segera mengantarku ke bangsal tempat lelaki itu terbaring. ICU. Ia belum bisa diganggu. Sedang dilakukan tranfusi. Seorang pedonor darah terbaring di sebelahnya.
Darahku tersirap. Pedonor itu jelas berkulit putih. Dan bukan ia saja yang kulihat. Ada lagi beberapa muslim kulit putih sedang mendonorkan darah, tak peduli yang memerlukannya orang kulit putih atau hitam.
“Assalamu’alaikum, Saudaraku…!” sapa seorang laki-laki, kulit putih, dengan dahi menghitam bekas sujud. Pakaian yang ia kenakan, sorot wajah serta tanda hitam di dahi itu memudahkanku untuk menyimpulkan bahwa ia seorang Islam.
Aku mengangguk, gagap, dan mencoba menjawab salam itu dengan terbata-bata. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Allahu akbar! Semoga masih sempat. Saudaraku memerlukan darah. Persediaan darah di sini telah habis. Saya membutuhkan darah A, dan saya telah berputar-putar selama satu jam di sini mencari-cari orang yang bersedia mendonorkan darahnya. Perlu tiga orang, dan saya baru memperoleh satu; dua dengan saya. Apakah golongan darah Anda?”
“A.”
“Subhanallah! Bersediakah Anda mendonorkan darah untuk saudara saya?”
Sejenak terbayang di benakku penghinaan yang menyakitkan itu; darah yang dibuang diam-diam.
“Saya? Kulit hitam?”
Denyut itu menguasai jantungku. Berdebar-debar. Tapi, segera kukatupkan mulutku mencegah tanya berlanjut. Sejenak mata itu mencermati, seperti berusaha meyakinkan kalimatku tadi.
“Oh… eh… baiklah! Tentu saja saya bersedia. Kapan donor dimulai?”
Wajah itu penuh syukur. “Terima kasih. Perlu menjalani pemeriksaan dulu di laborat. Kita ke sana segera.”
Entahlah… apa yang kupikirkan sekarang. Apakah aku mulai menimbang-nimbang tentang keimanan? Aku tak tahu. Yang kurasakan hanyalah rasa penerimaan yang begitu mewah. Mungkin benar kata Shameer, tak ada yang lebih realistis dalam kehidupan ini selain kesetaraan. Secara naluriah, manusia membutuhkan persamaan hak, sebuah tuntutan sederhana yang telah begitu purba. Cermin yang kulihat tadi dengan nyata memproyeksikan kebersamaan dan kesetaraan. Tak ada cinta yang perlu merana. Bahkan, seorang kulit hitam leluasa untuk mencintai saudaranya yang berkulit putih. Alangkah….
Telah sampaikah aku di tanah yang dijanjikan—atau menjanjikan—itu?
Aku mencintaimu, Yerusalem… dengan seluruh napas dan darahku.
26 Oktober 2004, 01:00 dinihari
Subscribe to:
Posts (Atom)
Custom Search