Oleh: Zulfadhli
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs. an-Nisaa' [4]: 59).
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan sejauh-jauhnya. (Qs. an-Nisaa' [4]: 60).
-------------------------------------------------------------------------
Dewasa ini sistem Demokrasi telah merambah luas ke seluruh dunia dan secara sukarela atau tidak, diterima oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Demokrasi telah menjadi agenda utama dunia paska perang dingin, yang dimotori oleh Amerika Serikat (AS). Dunia tiba-tiba menjadi peka terhadap masalah-masalah demokratisasi di suatu negara, seolah-olah bangsa yang menolak atau tidak menggunakannya sebagai ideologi adalah bangsa yang sakit, oleh karena itu perlu disembuhkan bahkan jika terpaksa harus diamputasi! Tulisan ini mencoba menggugat keabsahan ideologi Demokrasi sebagai pandangan hidup yang sesuai bagi manusia dan mengungkap bahaya sistem ini jika digunakan sebagai alat oleh sebagian orang-orang Islam dalam mencapai tujuan-tujuan syari'at Islam. Demokrasi berasal dari bahasa Latin, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan), ia selalu diasosiasikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi dinilai sebagai sebuah sistem nilai kemanusiaan yang paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari saat ini. Ia juga dinilai sesuai dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan 'non material' manusia. Nilai-nilai Demokrasi itu kemudian diyakini akan dapat memanusiakan manusia, sebab nilai-nilainya bertitik tolak dari 'nilai-nilai luhur' kemanusiaan. Anggapan ini terutama muncul karena faktor penderitaan manusia akibat Fasisme, Totaliterianisme, Komunisme, dan paham-paham anti-Demokrasi lainnya pada beberapa dekade yang lalu. Paham Demokrasi sebenarnya bukanlah sebuah ideologi yang baru, ia merupakan teori tua yang muncul kembali dari peradaban barat modern. Sedangkan peradaban barat modern menurut Arnold Toynbee dalam bukunya 'Civilization on Trial', adalah sebuah peradaban yang lahir dari puing-puing kehancuran peradaban Yunani-Romawi. Menurutnya apa yang disebut 'Dunia Barat' dewasa ini merupakan sempalan dari Imperium Romawi. Oleh karena itu pandangan hidup barat (western way of life) dapat dilihat sebagai kelanjutan pandangan hidup orang-orang Yunani kuno; cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengagungan terhadap jasmani dan akal serta pengkultusan pada individualisme. Tradisi keagamaan mereka juga memantulkan secara transparan tradisi keagamaan Yunani kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat duniawiyah, praktis dan mengabdi pada kepentingan manusia (bukan Tuhan). Melalui karya-karya para sarjana dan filosof Yunani-Romawi, barat mengenal Empririsme dan Rasionalisme. Yunani di satu pihak mengajarkan kepada barat agar menempatkan akal di atas segalanya, bahwa akal sebagai sumber kebenaran. Adalah filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles yang mempengaruhi pemikiran dan filsafat politik barat sejak kelahirannya hingga perkembangannya dewasa ini. Karya Aristoteles, khususnya 'Politics' merupakan sumber inspirasi bagi perumusan teoritis konsep bentuk-bentuk negara, hakikat pemerintahan, hukum-hukum yang mengontrol negara, revolusi sosial, dan lain-lain. Gagasan barat mengenai negara (state), kekuasaan politik, keadilan, dan Demokrasi secara genealogis-intelektual juga bisa dilacak dari tradisi politik negara-negara kota Yunani klasik yang dinamakan 'Polis' atau 'City States'. Tentang hal ini akan kita uraikan lebih lanjut pada bagian selanjutnya. Dilain pihak, peradaban Romawi telah memberikan sumbangan besar di bidang sistem hukum pada negara-negara Eropa Barat seperti Perancis, Italia, Swiss, Jerman, Belanda dan Amerika Selatan, bahkan secara langsung atau tidak, terhadap negara-negara persemakmuran atau bekas jajahan mereka seperti Indonesia yang dijajah Belanda. Selama lebih dari 350 tahun menjajah Indonesia, Belanda menerapkan teori hukum yang berasal dari Code Civil Napoleon yang merupakan produk modifikasi hukum-hukum Romawi. Dibidang pemikiran politik, Romawi juga memberikan pemahaman kepada barat tentang teori Imperium. Teori Imperium adalah teori tentang kekuasaan dan otoritas negara (state authority) dimana kedaulatan dan kekuasaan dianggap sebagai bentuk pendelegasian kekuatan rakyat kepada penguasa negara. Maka menurut teori ini pada hakikatnya kedaulatan sepenuhnya milik rakyat. Penguasa politik hanyalah lembaga yang dipercayakan untuk memegang (bukan menguasai dan mendominasi) serta mempergunakan kedaulatan demi kebaikan seluruh rakyat. Penguasa bertanggungjawab kepada rakyat dan secara otomatis akan kehilangan legitimasi seandainya praktek kekuasaannya menyalahi kehendak rakyat. Teori Imperium Romawi sangat identik dengan teori Demokrasi, menurut teori ini rakyat memiliki hak-hak politik yang sama dan merupakan esensi tertinggi kedaulatan negara. Disamping peradaban Yunani-Romawi terdapat dua peradaban lain yang telah mempengaruhi peradaban barat yaitu peradaban Judeo-kristiani (Yahudi-Kristen) dan peradaban Islam. Peradaban Yahudi-Kristen merupakan peradaban kedua yang meletakkan dasar-dasar intelektual dan filosofis yang kokoh bagi pembentukan dan perkembangan peradaban barat. Adalah Hegel, seorang pemikir Yahudi yang menciptakan suatu aliran filsafat Hegelianisme yang kemudian membawa pengaruh yang sangat besar terhadap tradisi intelektual Eropa sejak abad ke XIX hingga dewasa ini. Selain Hegel ada juga Marx, ia sebagaimana Hegel juga telah memberikan kontribusi luar biasa bagi perkembangan pemikiran barat. Tokoh Yahudi yang lahir di Jerman ini telah mengajarkan metodologi ilmiah dalam memahami perkembangan dan dinamika sosial, ekonomi dan sejarah kemanusiaan. Yaitu melalui gagasannya tentang Determinisme Ekonomi, Materialisme Sejarah, Dialektika Materialisme, teori Nilai Lebih (surplus value), dan lain-lain. Ajarannya menjadi inspirasi terbentuknya berbagai aliran pemikiran baru seperti Komunisme, Sosialisme Demokrasi, Feminisme Marxis, Kiri Baru (New Left), Aliran Frankfurt (Frankfurt School) dan Marxisme Barat (Western Marxism). Ketika hidup Marx mungkin tidak pernah membayangkan kalau pemikirannya akan mengubah wajah dunia dan melahirkan berbagai aliran pemikiran lain yang tidak saja mendominasi Eropa, tapi juga dunia, dan kemudian juga membawa penderitaan yang teramat besar bagi peradaban manusia. Sepanjang abad XIX dan XX minoritas Yahudi Eropa telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar di berbagai bidang pengetahuan dan filsafat, seperti Hegel, Marx, Sigmund Freud, Nietzsche Bertrand Russell, Schopenhauer, John Stuart Mill, Charles Darwin, Herbert Spencer, Henry Bergson, Albert Einstein dan lain-lain. Dalam dunia intelektual barat, mereka merupakan pelopor utama atau pendiri aliran-aliran pemikiran (school of thoughts) seperti Marxisme, Liberalisme, Kapitalisme, Komunisme, Darwinisme, Psikoanalisa dan Evolusionisme Sosial. Sedangkan sumbangan Kristen terhadap peradaban barat telah dimulai sejak agama ini diakui sebagai agama negara di kekaisaran imperium Romawi. Diantara pemikir-pemikir mereka adalah Thomas Aquinas dengan teori Skolastisisme (Scholasticism) yang inti ajarannya adalah tentang bagaimana mencari kebenaran melalui dua cara yaitu melalui Wahyu (Revelation) dan Akal (Reason). Selain Thomas terdapat tokoh-tokoh seperti Martin Luther, Zwingli, dan Johanes Calvin yang melahirkan gerakan reformasi Protestan sebagai protes terhadap kebijaksanaan Gereja Ortodoks. Doktrin reformasi Protestan ini berdampak luas pada prilaku ekonomi orang-orang kristen di Barat yang didasari pada etika kerja atau etos Kapitalisme. Mereka menjadi pekerja dan pengusaha yang tekun bekerja, mengumpulkan harta dan hidup hemat tanpa merasa apa yang dilakukannya itu sebagai suatu kekeliruan. Dengan kata lain etika Protestan telah dijadikan pijakan dasar bagi perkembangan Kapitalisme Eropa. Warisan peradaban Islam merupakan pilar ketiga yang memberikan kontribusi bagi kelahiran peradaban barat. Sebelum abad ke XIII, pemikiran dan tradisi keilmuan barat sulit dikatakan modern dan progresif. Sebelum abad itu, Eropa masih diliputi abad-abad kegelapan (dark ages). Tradisi ilmiah masih dianggap musuh agama dan pengkhianatan terhadap ajaran Al-Kitab dan Yesus Kristus. Para ilmuwan tercerahkan kemudian menjadi korban keganasan inkuisisi Gereja. Eropa baru mengalami proses 'pencerahan intelektual' setelah terjadi kontak dan interaksi dengan peradaban Islam, baik melalui perdagangan maupun pengiriman mahasiswa-mahasiswa mereka ke dunia Islam. Dalam konteks ini, Perang Salib (Crusades) selama dua abad merupakan salah satu tonggak penting dalam proses interaksi antara peradaban Islam dengan barat (Kristen). Dengan terjadinya perang tersebut, mulai pula terjadi kontak dagang, pertumbuhan Merkatilisme dan proses pertukaran budaya, meskipun tidak seimbang. Ketidak seimbangan ini terjadi karena pada kenyataannya barat jauh lebih banyak belajar dan mengambil manfaat dari interaksinya dengan dunia Islam, ketimbang sebaliknya. Kasus serupa juga terjadi beberapa abad sebelumnya, yaitu ketika panglima tentara Islam, Tariq Ibn Ziyad, menaklukkan Spanyol dan membangun peradaban Islam di kawasan itu. Selama tujuh abad (VIII-XV), peradaban Islam Spanyol secara gemilang berhasil mentransmisikan kebesarannya ke penjuru Eropa. Dari pusat peradaban Islam Spanyol itulah Eropa mulai merambah jalan ke arah perncerahan intelektual. Proses yang sama juga terjadi di pusat-pusat peradaban Islam lainnya seperti di Sicilia, Kairo, Baghdad dan Alexandriah. Dengan pengaruh Islam, barat kemudian berhasil secara gemilang menghancurkan tembok-tembok dogmatik yang telah mengungkungnya selama berabad-abad dan merintis jalan bagi usaha pengembangan pemikiran dan tradisi keilmuan. Diantara intelektual Islam yang telah memberikan sumbangan bagi peradaban barat adalah Ibnu Khaldun dengan karya monumentalnya 'Muqaddimah' dan Ibnu Haitham - seorang ahli matematika, astronomi dan ilmu optik. Robert Bacon, salah satu pemikir populer barat - yang memperkenalkan dan merintis metode eksperimental di barat - banyak belajar dari karya-karya Ibnu Haitham ketika menjadi mahasiswa di Universitas Islam Spanyol. Selain itu terdapat juga Ibnu Rusyd, seorang ahli filsafat Rasionalisme meskipun ia juga adalah seorang rasionalis pengikut aliran Mu'tazilah. Tan Malaka dalam bukunya 'Madilog' (Materialisme, Dialektika, Logika) menyatakan bahwa mahasiswa-mahasiswa Kristen yang selesai belajar ilmu pengetahuan dari filosof-filosof Muslim Arab Andalusia (Spanyol) dan kemudian kembali ke Eropa, dianggap sebagai kaum revolusioner oleh pendeta-pendeta Kristen di negerinya, karena kedatangan mereka membawa perubahan-perubahan besar dan radikal di Eropa. Di abad-abad lampau kontribusi warisan intelektual Islam ini agaknya enggan diakui sebagai faktor penting yang ikut membidani lahirnya peradaban dan perkembangan tradisi pemikiran politik barat. Selama ratusan tahun mereka menyangkal hal ini. Hanya baru-baru ini saja mulai muncul banyak sarjana kritis barat yang secara objektif mengungkapkan bahwa Islam ternyata berperan penting menumbuhkan tradisi keilmuan dan peradaban barat. Diantara mereka adalah Roger Garaudy, Bernard Lewis, Maurice Bucaille, Marcel Boisard, Bertrand Russell, Louis Massignon, dan lain-lain. Sekitar abad ke V SM, jauh sebelum kelahiran 'Tuhan orang-orang Kristen' - Yesus dari Nazareth, di Yunani telah muncul kota-kota yang dalam sejarah pemikiran politik barat dikenal sebagai negara-negara kota (City States). Negara-negara kota Yunani klasik berbeda dengan bentuk negara-negara modern dewasa ini, baik dilihat dari segi luas wilayah, struktur sosial, jumlah penduduk maupun lembaga-lembaga politiknya. Luas wilayah kekuasaan negara kota Yunani umumnya tidak lebih dari luas 'negara baru' Timor Timur yang dulu pernah menjadi salah satu propinsi Indonesia. Jumlah penduduknya menurut Herodotus dan Aristophanes, sekitar tiga puluh ribu orang. Karena itu komunikasi politik tidak terlalu sukar dilakukan dalam negara kota tersebut dan sistem Demokrasi Langsung bisa dilaksanakan secara baik di negara-negara kota itu. Sebaliknya dalam konteks negara-negara modern dewasa ini, penerapan Demokrasi Langsung tidak mungkin dilaksanakan. Jumlah penduduk yang relatif besar dan struktur sosial politik yang kompleks di negara-negara modern hanya memungkinkan diterapkannya Demokrasi melalui sistem Perwakilan. Negara kota Yunani dengan Athena sebagai ibu kotanya memiliki struktur masyarakat berkelas yang terdiri atas kelas warganegara (citizen), imigran atau pedagang asing, dan budak yang diperoleh melalui perdagangan maupun peperangan. Warganegara yang merupakan minoritas diangkat sebagai elite sosial politik dengan hak-hak istimewa (previllage), memiliki waktu luang (leisure time) dan kesempatan luas terlibat dalam kegiatan politik negara kota. Status mereka begitu kukuh karena mereka merupakan bagian penting mekanisme kenegaraan. Sedangkan bagian terbesar (mayoritas) penduduk negara adalah pedagang-pedagang asing yang berasal dari kawasan luar Yunani dan budak-budak belian, mereka ini tidak memiliki hak-hak istimewa seperti halnya kaum warganegara. Dimasa kepemimpinan Pericles - seorang bangsawan Yunani, Athena berhasil mengalami masa kejayaannya, negarawan ini berhasil membangun sistem pemerintahan Demokratis yang dinamakan 'Athenian Democratia'. Demokrasi dalam perspektif Pericles, seperti ditulis Roy C. Macridis dalam buku karangan Eep Saefullah Fatah berjudul 'Prospek Demokrasi di Indonesia', memiliki beberapa kriteria: 1) pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat secara penuh dan langsung, 2) kesamaan di depan hukum, 3) pluralisme, penghargaan atas semua bakat, minta, keinginan, dan pandangan, serta 4) penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual. Penulis ingin menyimpang sedikit dari topik, khusus untuk menjelaskan tentang Pluralisme. Mengenai 'musang berbulu ayam' ini penulis ingin mengutip tulisan Adian Husaini di kolom opini Hidayatullah.com dengan judul 'Kerancuan Istilah dan Tragedi Umat'. Beliau merupakah salah seorang intelektual muda Islam yang sedang mengambil S3 di Malaysia dan tulisannya ini penting untuk dicermati, beliau menulis: Sesuai dengan judul berita di The Jakarta Post, bahwa 'Muslim Voters Favor Pluralism', maka perlu diklarifikasi, apakah yang dimaksud dengan 'Pluralism' pada kalimat tersebut? Pluralisme adalah sebuah paham, sebuah isme. Paham tentang yang plural. 'Pluralisme' berbeda dengan 'pluralitas', seperti halnya 'Komunisme' berbeda dengan 'komunitas'. Pluralisme bukanlah istilah yang bebas nilai, tetapi merupakan satu istilah yang memiliki akar filsafat dan teologi dalam sejarah peradaban Barat. Istilah ini sarat dengan muatan keagamaan... Berbagai artikel di media massa memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan 'Pluralisme', khususnya di bidang teologi. Harian Republika, misalnya, pada 24 Juni 2001 memuat satu artikel yang mendefinisikan 'teologi pluralis', adalah teologi yang melihat agama-agama lain dibanding dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid truths (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya meng-ekspresikan adanya The One in the many (Sayyed Hossein Nasr). Intinya, dalam semangat Pluralisme, anda tidak boleh meyakini, hanya agama anda saja yang benar. Semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan, sebagai jalan kebenaran dan keselamatan. Dalam sebuah seminar di Universitas Paramadina, saya katakan, bahwa "Sebagai Muslim, saya tentu meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar". Ketika itu, seorang doktor dan dosen di Paramadina menyatakan, bahwa keyakinan seperti itu dia miliki 20 tahun yang lalu. Para penganjur Pluralisme menyatakan, bahwa sudah saatnya kaum Muslim meninggalkan klaim, bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran dan jalan keselamatan. Jadi, istilah Pluralisme sebenarnya memiliki akar filosofis dan teologis yang mendalam, khususnya dalam tradisi Kristen. Istilah ini sudah 'mapan' dalam dunia teologi dan dialog antar agama. Benarkah sebagian besar kaum Muslim sudah menerima paham Pluralisme?... Sebenarnya lebih tepat jika digunakan istilah 'pluralitas', yakni sikap menghargai dan toleran terhadap agama lain, tanpa meninggalkan keyakinan teologisnya. Pada level ini pun, Indonesia jauh lebih maju ketimbang Barat. Di negeri yang mayoritas Muslim, kaum minoritas mendapatkan hak sosial, ekonomi, politik yang tinggi. Mereka dapat menjadi menteri dan pejabat-pejabat tinggi negara lainnya - sesuatu yang masih menjadi mimpi bagi Muslim di Barat, meskipun Islam telah menjadi agama kedua terbesar di beberapa negara Barat. Melalui catatan ini kita mengimbau, seyogyanya kaum Muslim, terutama kalangan media Islam, lebih kritis dalam menggunakan dan menyebarkan istilah-istilah yang dapat menimbulkan kesalahan persepsi atau bahkan penggelinciran aqidah. Penulis merasa perlu menjelaskan tentang pluralisme ini terutama kepada sesama Muslim, agar kita tidak terjebak kedalam jargon-jargon kamuflase yang digunakan oleh kelompok orientalis atau orang-orang yang sudah terpengaruh dengan mereka, yang bertujuan untuk mengikis secara perlahan-lahan aqidah umat Islam. Keyakinan kita akan kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Tuhan serta merupakan satu-satunya jalan agar selamat hidup di dunia dan di akhirat tentunya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman: …Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.. (Qs. al-Maa’idah [5]: 3). Sekarang mari kita kembali ke topik Demokrasi klasik. Perlu dicatat bahwa keempat perspektif Pericles tentang Demokrasi di atas merupakan cikal bakal sistem Demokrasi dan dianut secara fundamental oleh tokoh-tokoh Demokrasi berikutnya. Jika anda meyakini Demokrasi sebagai 'nilai-nilai yang dapat memanusiakan manusia' maka mau tidak mau anda harus menerima keempat perspektif tersebut. Dalam pemerintahan negara Athena, Pericles menerapkan prinsip-prinsip Demokrasi yang terlihat dari sistem pemerintahannya yang dikuasai atau diperintah oleh banyak orang dan bukan diperintah oleh segelintir warganegara (Oligarchy atau Tyrani). Pericles menganggap pemerintahan segelintir orang akan mudah menimbulkan penyimpangan kekuasaan (abuse of power) karena tidak adanya kontrol terhadap penguasa negara. Semua warganegara dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum dan tidak boleh ada diskriminasi dalam proses perumusan kebijakan negara. Karena itu, dalam perdebatan merumuskan kebijakan negara tidak ada pengecualian hak berbicara, apakah seseorang berasal dari kelas bangsawan ataukah rakyat jelata, miskin ataupun kaya. Yang menjadi tolak ukurnya adalah seberapa besar reputasi dan prestasi yang dimilikinya. Inilah prinsip Demokrasi yang dalam konteks dunia modern dinamakan Egalitarianisme Politik. Pericles juga membangun rasa pengabdian, kebanggaan diri dan rasa memiliki warganegara terhadap negara Athena. Sehingga sebagai warganegara, Athena merupakan pusat tata nilai, kebanggaan dan kehidupan mereka. Negara menjadi pusat KEHIDUPAN, SENI dan AGAMA. Semua ritual-ritual keagamaan dianggap sebagai ritus negara kota. Disini terlihat betapa ia begitu mengagungkan negara dan menjadikannya sebagai berhala. Selain itu segala perbuatan yang memberikan nilai kebesaran dan keagungan bagi negara Athena merupakan suatu bentuk ritus Heroisme politik tertinggi warganegara. Ritus semacam itu pernah ditekankan Pericles dalam pidato pemakaman prajuritnya yang gugur melawan tentara Sparta, "Saya mengharap saudara setiap hari memusatkan perhatian saudara kepada keagungan negara (Athena), sampai saudara diliputi rasa cinta terhadapnya, dan jikalau saudara terpesona karena keagungan itu, saudara akan menginsyafi, bahwa negara ini telah didirikan oleh orang-orang yang tahu akan kewajibannya dan memiliki tekad untuk berbuat demikian, yang tidak pernah mengenal takut dalam pertempuran-pertempuran, dan yang jika mereka gugur dalam suatu usaha tidak akan mengorbankan kehormatan negaranya, tetapi dengan sukarela akan mengorbankan jiwanya sebagai persembahan yang termulia kepada negaranya". Menurut Ernest Renan, seorang filosof Perancis dari abad XIX dalam bukunya yang berjudul 'Apakah Bangsa Itu?', ritus Heroisme Pericles merupakan suatu bentuk 'Nasionalisme Primitif' yang kemudian menjadi cikal bakal Nasionalisme barat saat ini. Bahkan, menurut penulis hal tersebut sudah mewarnai secara akut Nasionalisme negara-negara di dunia, termasuk negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gagasan barat mengenai negara, kekuasaan, keadilan dan Demokrasi secara genealogis historis-intelektual berakar pada tradisi politik negara-negara kota di zaman peradaban Yunani klasik itu. Disinilah makna pentingnya memahami pemikiran tentang negara-negara kota. Abad pencerahan (abad XVIII) merupakan masa dimana gagasan-gagasan Demokrasi menjadi perhatian khusus banyak pemikir seperti Rousseau, John Locke, Voltaire, Montesquieu, dan lain-lain. Mereka inilah sebagian dari para perintis gagasan-gagasan Demokrasi barat yang dianut dewasa ini. Rousseau dan John Locke merumuskan teori Kontrak Sosial, sedangkan Montesquieu merumuskan teori Trias Politica. Gagasan dasar teori Kontrak Sosial adalah: Pertama, kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja (taken for granted) atau berasal dari Tuhan (not derived from God). Kedaulatan merupakan sebuah produk proses perjanjian sosial antara individu dalam masyarakat, yang tidak ada sangkut pautnya dengan pendelegasian kekuasaan ataupun berasal dari Tuhan kepada seorang penguasa tertentu. Maka pada dasarnya teori Kontrak Sosial merupakan suatu teori politik yang sepenuhnya bersifat Sekuler dan sangat bertentangan dengan manhaj Islam (ketentuan dan kebiasaan dalam Islam). Padahal Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an: Allah, tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Qs. al-Baqarah [2]: 255). Dan Dialah Yang Berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Qs. al-An'aam: 18). Kedua, bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung prisip-prinsip keadilan yang universal; artinya berlaku sepanjang waktu dan untuk semua manusia, apakah dia raja, bangsawan atau rakyat jelata. Hukum ini dinamakan Hukum Alam (natural law). Ketiga, karena kekuasaan atau kedaulatan negara berasal dari rakyat maka harus ada jaminan hak-hak individu dalam masyarakat. Hak tersebut antara lain hak-hak sipil dan hak-hak politik. Hak-hak sipil adalah hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, hak untuk memiliki harta benda, hak untuk berusaha, hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan, hak atas kebebasan beragama dan lain-lain. Sedangkan hak-hak politik seperti kebebasan untuk berpartisipasi politik, hak untuk aktif melakukan kritik terhadap pemerintahan dan lain-lain. Keempat, perlunya kontrol kekuasaan agar penguasa negara tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Dilain pihak teori Trias Politica yang dikembangkan oleh Montesquieu telah memberikan sebuah sumbangan besar bagi perkembangan gagasan Demokrasi. Pada prinsipnya teori ini menghendaki adanya pemisahan kekuasaan negara. Kekuasaan negara tidak boleh tersentralisasi pada seorang penguasa yang berarti kekuasaan tidak boleh bersifat personal atau dikuasai oleh sebuah lembaga politik tertentu saja. Montesquieu kemudian merumuskan tiga tipologi lembaga kekuasaan negara, yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Masing-masing lembaga ini memiliki peran dan fungsinya sendiri-sendiri. Secara teoritis, lembaga legislatif diharapkan dapat melakukan kontrol politik terhadap kekuasaan eksekutif bila menyimpang dari perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga ini. Montesquieu berpendapat bahwa lembaga atau kekuasaan legislatif adalah lembaga yang tugas utamanya merumuskan undang-undang atau peraturan-peraturan negara. Lembaga legislatif merupakan refleksi kedaulatan rakyat, yang menarik adalah rakyat yang dimaksud Montesquieu disini adalah berupa dewan rakyat dan bukan orang-orang yang mewakili rakyat seperti sekarang ini. Dewan rakyat dalam pemahaman Montesquieu adalah semacam dewan yang terdapat di zaman Yunani dan Romawi kuno, yang anggotanya merupakan mediator rakyat dan penguasa, menjadi komunikator dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Lembaga legislatif atau dewan perwakilan rakyat menjadi cermin kedaulatan rakyat. Dengan demikian lembaga perwakilan rakyat itu memiliki peranan strategis dalam teori kekuasaan Trias Politica. Teori Montesquieu ini dianut oleh sebagian besar negara barat seperti AS, Inggris, Perancis, dan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Para perumus UUD AS sangat dipengaruhi oleh Montesquieu, maka tidak terlalu mengejutkan jika sistem pemerintahan negara itu sangat kental diwarnai oleh gagasan-gagasannya. Montesquieu sendiri dikenal sebagai penganut Sekulerisme sejati, ia bahkan mengkritik dan menyindir Paus sebagai tukang sulap. Di dalam karyanya 'Surat-Surat Persia' (The Persian Letters) ia menyatakan bahwa Paus telah menyulap apa yang sebenarnya salah menjadi benar, seperti menuntut orang-orang untuk percaya pada doktrin Trinitas bahwa Tuhan terdiri dari tiga oknum tetapi tetap satu, dan bahwa roti dan anggur yang diminum dalam acara pembabtisan bukan roti dan anggur melainkan tubuh dan darah Yesus. Dari penjelasan panjang di atas dapat ditarik sebuah benang merah tentang Demokrasi. Bahwa di dalam sistem Demokrasi kekuasaan negara sepenuhnya adalah milik rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan, rakyatlah pemegang supremasi kekuasaan tertinggi, dan lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan cermin atau wujud dari kekuasaan rakyat tersebut. DPR memiliki tugas utama menyusun dan menetapkan undang-undang atau peraturan-peraturan negara. Undang-undang dan peraturan-peraturan negara atau ketetapan-ketetapan hukum yang dihasilkan oleh lembaga perwakilan rakyat tersebut kemudian digunakan oleh penguasa politik untuk mengatur semua sendi-sendi kehidupan warganegara dan secara umum semua manusia yang hidup di dalam negara. Dengan kata lain, sistem Demokrasi menganggap bahwa penetapan hukum menjadi milik rakyat dan bukan milik Allah. Berangkat dari benang merah inilah, untuk selanjutnya pembahasan akan difokuskan pada Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan aktualisasi sistem Demokrasi, untuk mengungkap kesalahan fatal sistem Demokrasi ditinjau dari perspektif Islam yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (Qs. al-Baqarah [2]: 120). Setelah mentari kekhilafahan Islam terbenam pada tahun 1923 akibat sebagian besar pemimpin umat Islam menjadi berlebihan cintanya pada dunia dan mengikuti hasutan musuh-musuh Islam dari negara-negara kolonialis hingga mereka berpecah belah, maka kondisi umat Islam ibarat anak yatim piatu yang kehilangan ayah dan ibunya. Sungguh menyedihkan, umat Islam terpecah belah menjadi beberapa bagian dan terombang-ambing layaknya buih di tepi pantai. Perubahan dahsyat yang terjadi kemudian adalah: 1. Syariat Islam tidak lagi dijadikan pijakan hukum, karena praktek hukum mengacu pada hukum positif (positive law) buatan manusia yang diimpor dari Barat maupun Timur. 2. Munculnya para agitator yang memegang kendali politik di negara-negara Islam. 3. Agresi terhadap Islam dan kaum Muslimin secara terus menerus di sebagian besar wilayah Islam yang disertai loyalitas dan dukungan dari berbagai pihak terhadap musuh-musuh Islam. 4. Menyebarnya beraneka ragam racun di segala lapisan dan sektor, baik yang berkaitan dengan pemikiran, peradaban, politik, moral, perilaku maupun pergaulan. Secara umum dapat dikatakan bahwa fenomena semacam ini membuat banyak orang Islam menjadi kebingungan menentukan sikap, entah dalam tingkat individu maupun komunitas. Ada yang mengkafirkan para penguasa tak terkecuali siapa pun penguasa itu, ada yang mengkafirkan sesama orang Islam yang berhubungan dengan para penguasa, ada yang mengisolasi diri ke pelosok daerah atau pegunungan dan memutuskan hubungan dengan masyarakat luas, ada yang menggerakkan kekuatan dan mengangkat senjata melawan para penguasa, ada yang menghidupkan sistem Demokrasi sebagai langkah untuk memasyarakatkan syari'at Allah, dan banyak lagi golongan lain dengan sikapnya sendiri-sendiri. Khusus untuk golongan aktivis-aktivis Muslim yang menerima sistem Demokrasi, mereka kemudian diharuskan untuk mengikuti aturan-aturan main yang telah ada di dalam sistem tersebut. Mereka diharuskan memiliki atau menjadi anggota organisasi politik tertentu yang diakui pemerintah dan mengikutsertakan wakil-wakil mereka di dewan perwakilan, yang dipilih dan ditetapkan berdasarkan jumlah 'suara rakyat' yang diperoleh selama pemilihan umum. Wakil-wakil Muslim terpilih ini selanjutnya bersama-sama dengan wakil-wakil dari kelompok Nasionalis, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Komunis, Atheis, Kebathinan, dan kelompok-kelompok lain duduk di DPR untuk merumuskan undang-undang dan peraturan-peraturan negara. Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah selesai dirumuskan kemudian dibawa ke sidang-sidang dewan baik sidang komisi ataupun sidang paripurna untuk diputuskan lewat pengambilan suara. Setiap RUU, baru dapat disyahkan menjadi undang-undang jika mayoritas suara dewan perwakilan menyetujuinya disyahkan sebagai undang-undang. Sebagai contoh, jika orang-orang Islam yang duduk di dewan ingin membuat ketetapan yang melarang riba misalnya, atau membuat peraturan hukum yang mengacu kepada ketetapan syari'at Islam, maka mereka terlebih dahulu harus mengusulkan hal ini ke dewan perwakilan untuk dibahas, dirumuskan dan ditetapkan lewat pengambilan suara. Jika mayoritas anggota dewan menyetujuinya maka ketetapan ini kemudian disampaikan kepada kepala negara atau penguasa politik. Kepala negara bisa mengesahkannya atau mengembalikannya lagi ke dewan perwakilan untuk dikaji ulang atau direvisi. Sebaliknya jika suara dewan yang menolak dan suara yang menerima sama jumlahnya, maka ketetapan itu pun harus ditolak atau dibekukan. Dengan urutan seperti ini, dapat diibaratkan seolah-olah Allah SWT mengusulkan kepada dewan - apa yang telah diturunkan-Nya di dalam Kitab-Nya kepada Rasulullah Saw berupa hukum-hukum. Hukum-hukum ini disampaikan kepada dewan lewat wakil-wakil Islam yang duduk disana untuk dipertimbangkan lagi apakah sesuai dengan kemaslahatan rakyat atau tidak. Jika dianggap tidak sesuai maka ia ditolak, sedangkan jika sesuai maka ia diterima, itu pun setelah melalui pengambilan suara di dewan perwakilan. Jika diterima di dewan, ketetapan ini pun masih harus diajukan lagi kepada kepala negara untuk dipertimbangkan lagi dan disyahkan. Jika sesuai dengan pendapat penguasa maka ia disyahkan dan jika tidak maka ia akan dikembalikan lagi ke dewan untuk ditinjau ulang. Apa makna semua ini?! Apakah Allah sebagai Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Esa dan Berdiri sendiri, Yang menjadi Tempat Bersandar, dibatasi peranannya oleh para wakil rakyat di dewan perwakilan dan tergantung kepada usulan mereka? Dengan demikian nyatalah di sana terdapat tiga macam sesembahan, yang sebagian lebih unggul daripada sebagian yang lain, yang secara berurutan adalah: - sesembahan tingkat pertama adalah kepala negara, - sesembahan tingkat kedua adalah dewan perwakilan, dan - sesembahan tingkat ketiga adalah Allah (dan Allah Maha Tinggi dari yang demikian itu). Allah Ta'ala berfirman, ...Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (Qs. Al-An'aam [6]: 57). ...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. (Qs. Al-Maa’idah [5]: 44). ...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zhalim. (Qs. Al-Maa’idah [5]: 45). Untuk ketiga kalinya dalam surat yang sama Allah Ta'ala menegaskan, ...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasik. (Qs. Al-Maa’idah [5]: 47). Sejumlah ahli tafsir mengatakan bahwa kategori kafir, zhalim dan fasik yang disebutkan Allah dalam QS. Al-Maa-idah tersebut tergantung pada kualitas penolakan seseorang terhadap upaya memutuskan perkara menurut hukum Allah, yaitu, (1) orang tersebut disebut kafir jika ia melakukannya karena benci dan ingkarnya pada hukum Allah, (2) disebut zhalim jika ia melakukannya karena memperturutkan hawa nafsunya dan merugikan orang lain, dan (3) disebut fasik jika ia melakukannya karena kefasikannya terhadap hukum-hukum Allah. Lebih celakanya lagi, syari'at Allah diletakkan sejajar dengan ketetapan-ketetapan lain yang diusulkan oleh kelompok-kelompok lain kepada dewan perwakilan. Karena kelompok non-muslim bisa mengusulkan ketetapan-ketetapan sebagaimana halnya orang-orang Islam bisa mengusulkan ketetapan-ketetapan. Jika orang-orang Islam mengusulkan ketetapan-ketetapan atau undang-undang atas nama Allah, maka orang-orang non-muslim mengusulkan ketetapan-ketetapan atau undang-undang atas nama selain Allah. Artinya Allah dan thaghut atau syetan disamakan kedudukannya. Alangkah zhalim dan buruknya tindakan mereka. Jika orang-orang Islam menempatkan dirinya pada kedudukan seperti ini dan memilih jalan yang menggelincirkan ini, maka mereka bisa dianggap telah melakukan penghancuran yang nyata terhadap upaya menjaga agama. Karena menjaga agama adalah menegakkan rukun-rukunnya dan menjadikan syari'at Allah sebagai sumber hukum dan menolak hukum-hukum selainnya. Yang pada hakikatnya adalah mengaktualisasikan makna La ilaha illallah secara komprehensif. Orang Islam belum bisa disebut Muslim kecuali setelah ia ridha terhadap rukun-rukun agama, menjaga dan menegakkannya sesuai dengan aturan-aturannya. Disamping itu yang juga esensial ialah bahwa orang-orang Islam yang menyetujui keikutsertaan dalam dewan perwakilan, seperti yang dikehendaki peraturan pemerintah, harus melewati beberapa tahapan berikut yang memiliki acuan legal yang tertulis di dalam undang-undang sistem Demokrasi: 1. Harus memberikan persetujuan awal terhadap sistem Demokrasi dan dinyatakan secara transparan (terbuka), yang dikuatkan dengan jaminan hukum yang berlaku, meskipun mereka berkeinginan merubahnya di kemudian hari, 2. Menyatakan persetujuan untuk mengacu kepada hukum-hukum selain syari'at Islam sampai waktu disepakatinya pelaksanaan hukum tersebut. Selama jangka waktu itu para aktivis Muslim yang duduk di dewan perwakilan, begitu pula seluruh anggota dewan, harus bertindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yaitu hukum positif yang merupakan ciptaan manusia. Berarti mereka menyetujui pelaksanaan hukum positif tersebut, 3. Mengenyampingkan syari'at Allah dalam setiap pengambilan suara yang dilaksanakan di dewan, 4. Jika hasil pengambilan suara itu dimaksudkan untuk menjadikan syari'at Allah sebagai sumber hukum, maka hal ini akan berseberangan dengan kepentingan penguasa, sehingga kepala negaralah yang kemudian menetapkan pendapat, 5. Jika ada penolakan dari penguasa terhadap usulan dewan, maka usulan itu dikembalikan ke dewan perwakilan untuk dikaji ulang atau dibekukan untuk sementara waktu. Sedangkan jika dibekukan, maka yang dipakai adalah ketetapan sebelumnya yang sesuai dengan keinginan penguasa. Dengan begitu hasilnya sama saja. Karena pada hakikatnya penguasa memiliki tiga macam cara dalam menangkal Rancangan Undang-Undang (RUU) yang bertentangan dengan kepentingannya: (1) menyusupkan atau mengusulkan RUU yang sesuai dengan keinginan penguasa, dan hal ini cukup sering terjadi, (2) menolak RUU yang mengganggu kepentingannya, lalu mengembalikannya ke dewan perwakilan untuk dikaji ulang, dan (3) membekukan untuk sementara waktu. Sejak semula para aktivis Muslim yang duduk di dewan perwakilan sudah menyepakati bentuk dan isi undang-undang yang berlaku, yang berarti merupakan justifikasi untuk berhukum kepada selain syari'at Allah. Hal ini dapat dilihat secara jelas dari keterlibatan mereka dalam pembuatan undang-undang dan ketentuan-ketentuan hukum sesuai dengan hukum positif yang berlaku. Bagaimana mungkin syari'at Allah akan ditegakkan oleh orang-orang yang sejak semula sudah berhukum kepada selain syari'at itu? Bagaimana mungkin berhukum kepada selain syari'at Allah dijadikan sarana untuk menjadikan syari'at itu sebagai sumber hukum? Ini merupakan kontradiksi yang nyata. Bisakah manusia menunggu datangnya pelaksanaan hukum Allah dari orang-orang yang pura-pura tidak tahu hakikat ini? Bagaimana mungkin para aktivis Muslim ridha terhadap dirinya, dengan menyingkirkan cara aplikatif yang ditempuh Rasulullah Saw dan para sahabatnya, lalu mereka mengambil cara orang-orang Yahudi dan Nasrani? Sementara orang-orang awam akan melihat bagaimana para aktivis Muslim yang duduk di dewan perwakilan ikut menyetujui ketetapan-ketetapan hukum positif, sehingga mereka pun kemudian ikut-ikutan menerima dan menyetujuinya. Hal seperti ini akan membawa bahtera Islam dari satu keadaan yang buruk kepada keadaan yang lebih buruk lagi dan pada akhirnya membawanya kepada kehancuran total. Para aktivis Muslim yang ikut andil dalam sistem Demokrasi ini mengatakan, bahwa keterlibatan mereka di dewan perwakilan, ialah untuk mewujudkan beberapa kepentingan berikut: 1. Menjadikan syariat Islam sebagai pijakan hukum untuk segala urusan kehidupan, 2. Mengadakan ishlah (perbaikan) menurut kesanggupan, 3. Tidak memberi kesempatan kepada musuh-musuh Allah untuk mengendalikan sendiri kehidupan, dan sekaligus hal ini merupakan upaya pencegahan untuk menjaga kelangsungan dakwah, 4. Menyebarkan dakwah dari mimbar yang paling efektif dan dengan perlindungan status sebagai wakil rakyat, dan 5. Melindungi hak kaum Muslimin, menjaga kehormatan mereka, membela mereka dan untuk melecehkan rencana musuh. Mereka berkata, “Semua kepentingan tersebut termasuk dalam tujuan-tujuan syari'at Islam. Selagi terbuka kesempatan yang luas untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan ini melalui sistem Demokrasi, maka mengapa dewan perwakilan tidak dimanfaatkan? Bahkan boleh jadi hukum keterlibatan di dalamnya adalah wajib.” Pendapat seperti ini lebih pada menggunakan akal semata-mata untuk kemaslahatan tanpa menggunakan dalil yang kuat dan jelas. Padahal tujuan syari'at Islam tercermin dalam menjaga lima perkara secara berurutan yaitu; agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Menjaga agama harus diprioritaskan daripada menjaga jiwa. Karena itu kita diperintahkan berjihad dengan mengorbankan jiwa untuk membela agama. Menjaga jiwa harus diprioritaskan daripada menjaga akal jika terjadi benturan diantara keduanya. Karena itu kita boleh menjaga nyawa karena kehausan (dalam kondisi darurat) dengan meminum minuman memabukkan yang dilarang pada kondisi biasa. Menjaga akal harus lebih diprioritaskan daripada menjaga keturunan jika terjadi benturan di antara keduanya. Karena itu hukuman dera yang dijatuhkan kepada para pezina tidak boleh menghilangkan kekuatan akal. Menjaga keturunan harus lebih diperioritaskan daripada menjaga harta jika terjadi benturan di antara keduanya. Karena itu kehormatan harus dijaga dengan mengorbankan harta, jika untuk memperoleh harta itu kita dituntut harus mengorbankan kehormatan. Oleh karena itu pendapat yang mengatakan bahwa melalui sistem Demokrasi atau dewan perwakilan hendak diwujudkan syari'at Islam, adalah seperti lebih memprioritaskan akal daripada agama, dan hal ini tidak sesuai dengan tujuan syari'at. Ibnu Qayyim dalam kitab 'I'lamul-Muwaqqi'in' menulis, “Sesungguhnya fondasi syari'at itu didirikan di atas hikmah dan kemaslahatan hamba, untuk kepentingan kehidupan dunia dan akhirat. Semua yang ada dalam syari'at itu adil, rahmat dan hikmah. Segala masalah yang keluar dari keadilan kepada kesewenang-wenangan, dari rahmat kepada kebalikannya, dari kemaslahatan kepada kerusakan, dari hikmah kepada kesia-siaan, bukan termasuk bagian dari syari'at, sekalipun diusahakan untuk masuk lewat takwil.” Takwil disini adalah seperti halnya yang dilakukan para aktivis Muslim yang ikut andil di dewan perwakilan dewasa ini. Apa pun kemaslahatan yang disangkakan pelakunya, harus disertai dalil dari Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' ataupun Qiyash. Jika tidak didukung dalil, berarti hal itu merupakan kemaslahatan khayalan (imajinatif) yang tidak memiliki fondasi yang nyata. Imajinasi tersebut tidak bisa diboyong ke alam nyata hanya karena rabaan akal bahwa ia merupakan suatu kemaslahatan. Pernyataan Ibnu Qayyim di atas diperkuat oleh pernyataan Asy-Syathiby di dalam karyanya 'Al-Muwafaqat', beliau menyatakan, “Sekiranya akal itu diperbolehkan melangkahi peranan dalil syari'at, tentunya syari'at itu boleh digugurkan oleh akal. Tentu saja hal ini bathil dan mustahil.” Jika hukum-hukum Allah tidak boleh disingkirkan untuk menjelaskan apa pun yang bisa membahagiakan orang-orang Islam dan manusia pada umumnya dalam urusan-urusan terperinci seperti makan, minum, tidur, shalat, akhlak dan sebagainya, maka apakah ia boleh disingkirkan untuk menjelaskan jalan kehidupan fundamental yang berkaitan dengan cara merombak realitas kehidupan yang menyimpang dan dalam memerangi orang-orang bathil? Oleh karena itu pendapat sebagian orang-orang Islam dan para pakar Demokrasi bahwa dewan perwakilan harus ditegakkan untuk menjadikan syari'at Islam sebagai sumber hukum sama sekali tidak didukung dengan dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Selain itu muncul sebuah pertanyaan menggelitik: “Apakah salah satu dari, atau kelima tujuan yang ingin dicapai para aktivis Muslim yang duduk di dewan juga merupakan tujuan yang hendak dicapai pemerintah atau penguasa politik saat ini?” Jawabannya sudah pasti Tidak. Karena jika salah satu dari, atau kelima tujuan tersebut terwujud maka tentu akan menghabisi secara telak kepentingan-kepentingan penguasa. Lalu apa jaminannya bahwa aktivis Muslimin yang duduk di dewan perwakilan bisa berhasil mewujudkan kepentingan-kepentingannya? dengan sedih kita mengatakan bahwa jawabannya: Sama sekali tidak ada. Kenyataan ini disebabkan oleh karena hal-hal berikut: 1. Lemahnya studi lapangan yang mereka lakukan, tidak seperti yang dilakukan pihak penguasa, 2. Ketidakmampuan mereka dalam mem-back up setiap serangan yang diarahkan kepada penguasa, karena setiap serangan yang mereka lancarkan akan diartikan sebagai keinginan untuk menggulingkan penguasa atau mengganggu keseimbangan permainan Demokrasi seperti yang diinginkan penguasa, 3. Tidak memiliki sarana untuk menanamkan benih-benih perpecahan di antara sendi-sendi peraturan pemerintah seperti kemampuan yang dimiliki para penguasa ketika menghadapi mereka. Hal ini disebabkan karena penguasa adalah satu-satunya pihak yang memegang kendali, 4. Kemampuan politis, material, dan kekuatan penguasaan media massa tidak sebanding dengan kemampuan yang dimiliki penguasa. Karena itulah dukungan terhadap para kandidat mereka jauh dibawah dukungan penguasa terhadap kandidatnya, 5. Tidak memiliki jaminan hukum dan undang-undang macam apa pun yang dapat menjadi sandaran saat pelaksanaan pemilihan, dan 6. Jika terjadi tekanan di dalam dewan perwakilan mereka tidak akan sanggup menahannya karena mereka merupakan minoritas dan kendali permainan tidak ada di tangan mereka tapi di tangan anggota-anggota dewan yang berafiliasi dengan penguasa. Jika kemudian ada yang menyanggah, “Bukankah mereka bisa melakukan semua itu jika mereka merupakan jumlah mayoritas di dewan perwakilan?”, maka jawabannya adalah, “Jika orang-orang Islam yang pro-syari'at Islam merupakan mayoritas di dewan, yang berarti kepentingan penguasa tidak akan mendapat dukungan dari dewan dan supremasinya terancam, maka penguasa akan membalikkan permainan atau mengganti aturan main Demokrasi itu dengan cara membuat suara dewan menjadi tidak berharga sama sekali, sebab apa pun akan mereka lakukan untuk itu meskipun harus mengubah undang-undang yang ada atau mengumumkan keadaan darurat. Dan hal ini bukanlah berupa dugaan lagi tapi sebuah kenyataan, seperti yang pernah terjadi di Pakistan dan Al-Jazair.” Satu hal yang amat menyedihkan adalah ketika orang-orang Islam yang duduk di dewan perwakilan merobohkan dinding pemisah antara Islam dan agama yang lain. Bahkan secara terpaksa maupun sukarela, mereka dituntut untuk menjaga puing-puingnya agar tidak dibangun kembali, lalu berkomplot dengan musuh-musuh Allah tanpa disadari, dan mereka mengira bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah suatu hal yang terpuji. Apakah mereka sadar bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Yang demikian itu terjadi ketika mereka harus menyatakan sumpah jabatan untuk menghormati musuh-musuh Allah serta mengikuti hukum dan aturan mereka seperti yang diatur undang-undang, yang tercermin dalam kalimat, “Aku bersumpah kepada Allah Yang Maha Agung untuk berbakti secara tulus kepada negara dan (kepada kepala negara), menghormati undang-undang dan hukum negara, bersiap melindungi kemerdekaan rakyat, kemaslahatan dan harta mereka, siap melaksanakan tugas dengan memegang amanat dan kejujuran.” Benar-benar tak habis pikir bagaimana mungkin seorang Muslim bersumpah kepada Allah Yang Maha Agung untuk mendurhakai-Nya? Bagaimana mungkin seorang Muslim pura-pura tidak tahu makna keikhlasan karena Allah dan kemudian bersumpah untuk bersikap ikhlas kepada negara dan kepala negara? Dengan kata lain, mereka harus bersumpah untuk menjadikan tanah, air dan udara sebagai penolongnya, baik berupa negara atau berwujud manusia. Maka menurut penulis perlu dijelaskan disini penolakan Islam tentang membela wilayah negara, yang kalian berjuang untuk membelanya jika ada orang luar yang hendak mengambilnya dari tangan kalian. Orang-orang Islam menganggap setiap wilayah di bumi mana pun yang menjadi tempat tinggal orang-orang Islam dan mereka menegakkan syari'at Allah di dalamnya, adalah negaranya. Maka kita melihat bagaimana mereka akan membelanya dan kalau perlu berperang untuk mempertahankannya, bukan karena mensucikan tanah, pepohonan, sungai dan bangunannya, tapi karena menganggap wilayah itu sebagai tempat untuk menegakkan syari'at Allah di tengah masyarakat yang melaksanakan agama Allah. Orang-orang Islam yang mulia tersebut kemudian pergi berjihad ke wilayah-wilayah yang jauh dari tempat kelahirannya untuk membela saudara-saudara Muslim mereka yang meratap kepada Allah karena dibunuh, dianiaya dan dizhalimi setiap hari oleh orang-orang kafir dan sekutu-sekutunya. Mereka datang dari pelbagai penjuru desa, kota, lembah, gunung, padang tandus dan hutan rimba meninggalkan keluarga, sanak famili dan harta mereka. Mereka inilah yang kemudian dijuluki penyusup-penyusup asing (infiltrator) dan teroris oleh orang-orang kafir yang gentar dengan semangat dan kekuatan mereka. Demi Allah, sekiranya loyalitas dan keikhlasan orang-orang Islam pada periode awal Islam yang kemudian dilanjutkan sampai sekarang ini oleh generasi sesudah mereka, tertuju hanya kepada tanah Jazirah Arab, lalu bagaimana cara Islam menisbatkan dirinya di muka bumi? Bagaimanakah caranya orang-orang yang ikhlas kepada Jazirah Arab ini dapat menembus gurun pasir dan tanah lapang, daratan dan pegunungan untuk berperang di Konstantinopel atau Andalusia umpamanya? Apakah kalian berpendapat, bahwa ketika orang-orang Islam berperang di belahan bumi yang jauh dari tanah kelahirannya, mereka berperang untuk membela negaranya seperti yang dimaksudkan dalam undang-undang itu? Ataukah sebaliknya mereka berjihad di jalan Allah untuk menyebarkan Islam di setiap belahan bumi, sehinga bumi ini menjadi negara bagi setiap orang Islam? Kemudian apa pula makna keikhlasan kepada pemimpin, padahal peimpin itu sama sekali tidak berhukum kepada syari'at Allah? Karena ketaatan kepada ulil-amri diikat dengan ketaatan kepada Allah semata. Yang demikian ini tentu sudah diketahui oleh setiap orang Islam. Tidak ada ketaatan terhadap ulil-amri mana pun selagi durhaka kepada Allah, sebab tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kedurhakaan kepada Khaliq. Maka bagaimana mungkin seorang Muslim bisa bersumpah atas nama Allah untuk mentaati orang yang memerintahkannnya durhaka kepada Allah? Na'udzubillahi min dzalik, tsumma na'udzubillah. Benar adanya bahwa Allah SWT telah memerintahkan umat Islam untuk taat dan patuh kepada-Nya, Rasul-Nya dan ulil-amri diantara mereka sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam Al-Qur'an: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil-amri di antara kamu. (Qs. An-Nisaa' [4]: 59). Namun siapakah ulil-amri yang dimaksud ayat di atas? Apakah mereka yang mengabaikan syari'at Allah dan tidak menjadikannya sebagai landasan hukum bagi kehidupan manusia? Ataukah mereka yang menegakkan syari'at itu di tengah manusia? Jawabannya sudah jelas. Jika seorang Muslim memperhatikan fenomena kehidupan kaum Muslimin pada zaman sekarang, maka ia akan mengetahui bahwa hampir semua penguasa Muslim tidak berhukum pada syari'at Allah. Karena itu, di mata syari'at mereka itu telah kehilangan jusitifikasi sebagai ulil-amri. Sebab inti keberadaan mereka bukan lagi sebagai ulil-amri yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan syari'at agama. Sebagian orang-orang Islam yang duduk di dewan perwakilan juga mengatakan, bahwa kemaslahatan ini berkisar pada lingkup kehati-hatian, yang tujuannya ialah menjaga dakwah pada aktivis dakwah. Jadi inti kemaslahatan ini menurut mereka terdiri dari dua unsur, yaitu: 1. Tidak memberi peluang bagi musuh-musuh Allah untuk memegang kekuasaan tunggal, dan 2. Untuk menjaga dakwah dan para aktivisnya. Unsur pertama dari kemaslahatan yang dimaksud di atas mengandung pengertian bahwa keterlibatan orang-orang Islam di dewan perwakilan merupakan hal yang mendesak, sebab jika mereka tidak berada di sana maka kursi dewan menjadi kosong, sehingga justru diisi oleh musuh-musuh Islam dan mereka bebas bergerak di sana. Terkait dengan hal ini maka terdapat dua pernyataan dari orang-orang Islam yang duduk di dewan perwakilan: 1. Orang-orang Muslim yang terlibat dalam dewan pada dasarnya menolak sistem Demokrasi, atau 2. Mereka menerimanya karena sebab-sebab tertentu saja, yaitu agar tidak memberi peluang bagi musuh-musuh Allah untuk memegang kekuasaan tunggal dalam lembaga legislatif. Pernyataan pertama jelas tidak tepat, bahwa orang-orang Muslim yang duduk di dewan perwakilan pada dasarnya tidak menerima Demokrasi sebagai sebuah sistem. Justru sebaliknya, mereka menerimanya karena mereka mengajak masuk ke sana dan mengharapkan kursi di dewan. Untuk keperluan itu mereka juga memanfaatkan media massa, menuangkan hasrat mereka dalam buku, surat kabar dan majalah. Boleh jadi inilah yang membuat seorang pemikir Islam yaitu Muhammad Quthb menyatakan dalam bukunya yang berjudul 'Madzahib Fikriyah Mu'ashirah', bahwa: “Di negara Islam banyak terdapat penulis dan pemikir serta da'i yang mukhlis, yang terkecoh oleh sistem Demokrasi. Mereka berkata, “Kita bisa mengambil hal-hal yang baik dari sana dan meninggalkan hal-hal yang buruk.” Mereka juga berkata, “Kita bisa mengikat Demokrasi itu dengan apa yang diturunkan Allah, tidak memberi peluang bagi atheisme, tidak memberi peluang bagi manusia untuk berbuat semaunya dan anarkisme seks.” Kalau mereka berkata seperti itu, berarti tidak menggambarkan Demokrasi, tapi itu adalah Islam.” Dengan kata lain, Muhammad Quthb ingin mengatakan bahwa apa yang disangkakan sebagai Demokrasi oleh penulis dan pemikir serta da'i Islam tersebut jauh dari hakikat Demokrasi yang sesungguhnya dan mereka tidak mengerti atau bahkan pura-pura tidak mengerti dengan prinsip Demokrasi yang hakiki. Sebaliknya yang yang mereka gambarkan hendak dilakukan seperti 'tidak memberi peluang bagi atheisme, tidak memberi peluang bagi manusia untuk berbuat semaunya dan anarkisme seks' sesungguhnya adalah bagian dari tujuan syari'at Islam. Lebih lanjut beliau menulis, “Demokrasi itu adalah hukum rakyat lewat rakyat. Demokrasi adalah kekuasaan rakyat untuk menetapkan hukumnya sendiri. Jika Demokrasi ini dibatasi dan diikat dengan sesuatu, itu namanya bukan Demokrasi sesuai dengan nama yang dipakai pada zaman sekarang.” Beberapa fakta di bawah ini diungkapkan untuk memperlihatkan bukti bahwa orientasi harakah Islam atau orientasi pemimpinnya untuk ikut bergabung dalam dewan perwakilan bukanlah karena sebab yang prinsip tetapi karena keberadaan Demokrasi itu sebagai manhaj, walaupun sebenarnya mereka mungkin menolak Demokrasi. Al-Ustadz Hasan Al-Banna menulis dalam karyanya 'Majmu'ah Rasa'il' sebagai berikut: “Karena itu Al-Ikhawanul-Muslimun berkeyakinan bahwa sistem perundang-undangan merupakan sistem hukum yang paling layak diterapkan di dunia Islam seluruhnya dan paling dekat dengan Islam. Dengan begitu mereka tidak lebih condong kepada sistem lain.” Beliau melanjutkan, “Kita menerima prinsip hukum perundang-undangan, karena menganggapnya sejalan dan bahkan bersumber dari sistem Islam.” Lalu beliau berkata tentang sistem perwakilan di Mesir, “Dalam aqidah sistem perwakilan ini tidak ada sesuatu yang menafikan kaidah-kaidah yang diletakkan Islam tentang sistem hukum. “ Karena itu pada tahun 1941 Maktabul-Irsyad mengeluarkan ketetapan yang memperbolehkan orang-orang kredibel dari Al-Ikhwan untuk maju sebagai wakil di dewan legislatif, agar mereka bisa mengangkat suara dakwah dan menyampaikan pernyataan-pernyataan jama'ah. Tiga tahun kemudian juga dikeluarkan ketetapan lain yang memperbolehkan Al-Ikhwan mencalonkan diri dalam kapasitasnya sebagai pribadi dan bukan atas nama Al-Ikhwan. Bahkan Al-Ustadz Al-Banna sendiri pernah mencalonkan dirinya dua kali, yaitu pada tahun 1942 dan pada tahun 1944, hal ini dilakukan berdasarkan dua ketetapan Maktabul-Irsyad di atas. Dalam bukunya yang berjudul 'Jundullah' Tanzhiman wa Tahthithan wa Tanfidzan, Al-Ustadz Sa'id Hawwa berkata, “Cara bagi Jama'ah Islam untuk meraih kekuasaan dan mendirikan negara Islam di Qatar ialah apa yang disebut pemilihan umum dan andil dalam kementerian. Ini merupakan cara yang memang lambat dan bertahap, tapi selamat.” Beliau juga berkata, “Pertempuran dalam pemilihan membutuhkan kajian, perencanaan-perencanaan dan pengalaman, tak berbeda dengan pertempuran yang sesungguhnya.” Dalam buku karya Al-Ustadz Shalah Syady berjudul Shafahat Mint-Tarikh' ditulis bahwa pada tanggal 4 Mei 1954, seorang guru besar, Al-Ustadz Hasan Al-Hudhaiby mengirim sepucuk surat kepada Presiden Mesir Gamal Abdul Naser, yang di antara isinya menyebutkan, “Untuk menciptakan stabilitas ada sarananya. Saya ingin menyampaikan usulan kepada Presiden, agar mengembalikan kehidupan legislatif. Tidak dapat diragukan bahwa kehidupan legislatif merupakan sendi yang bisa diterima setiap hukum di zaman sekarang. Umat tidak akan mempelajari cara mengenyahkan kehidupan legislatif, tapi akan dapat belajar dengan menerapkan kehidupan legislatif. Maka dalam waktu yang secepat-cepatnya kita harus menghidupkan lembaga ini.” Demikianlah beberapa pernyataan mereka. Dari sini kita tahu bahwa orang-orang Muslim yang mengajak pada sistem Demokrasi, tidak melakukannya karena menganggapnya sebagai suatu urgensi, atau itu hanya sekedar seruan dan tidak pula menyajikan pemecahan lain. Yang pasti, sistem ini mereka usulkan sebagai cara untuk melakukan perubahan. Al-Ustadz Al-Banna mengungkapkan bahwa keterlibatan dirinya dalam sistem Demokrasi dengan perkataan, “Karena itu Al-Ikhwanul-Muslimun berkeyakinan bahwa sistem perundang-undangan merupakan sistem hukum yang paling layak diterapkan di dunia Islam seluruhnya dan paling dekat dengan Islam.” Kata-kata 'berkeyakinan' tentunya muncul dari akar keyakinan, dan bukan sekedar sesuatu yang lewat begitu saja. Untuk itu beliau memberikan alasan, bahwa sistem inilah yang paling layak diterapkan di dunia Islam dan menganggapnya sejalan dan bahkan bersumber dari sistem Islam. Imam Abdul Ghany bin Muhammad Ar-Rahhal dalam bukunya 'Al-Islamiyun wa Sarabud-Dimuqrathiyah' menyanggah pernyataan Al-Banna tersebut, beliau menulis, ‘Kami tidak setuju dengan alasan yang disampaikan Al-Banna ini. Sebab hukum perundang-undangan memberikan hak penetapan hukum kepada rakyat, lewat dewan perwakilan. Tapi dalam Islam, hak penetapan hukum ini ada di Tangan Allah, seperti yang sama-sama diketahui. Jadi tidak ada titik temu antara dua sistem ini. Yang satu merupakan buatan manusia dan yang satu lagi turun dari Rabb manusia. Kami tidak tahu bagaimana mungkin muncul ketimpangan dalam masalah yang sangat urgen ini.” Senada dengan beliau, Al-Ustadz Fathi Yakan dalam bukunya 'Al-Islam Fikrah wa Harakah wa Inqilab' menulis, “Hak penetapan hukum dalam sistem Islam bukan berada di tangan rakyat, seperti yang berlaku dalam sistem Demokrasi.” Sebaliknya Al-Ustadz Sa'id Hawwa menegaskan sistem ini bagi Al-Ikhwan di Syria yang menganggapnya sebagai jalan yang paling selamat. Bagaimana mungkin dia menyebut sistem demokrasi merupakan jalan yang paling selamat untuk melakukan perubahan, dan tidak mengatakan manhaj Rasulullah Saw yang paling selamat untuk melakukan perubahan? Kenyataannya kemudian cukup banyak partai dan jama'ah Islam yang menempuh jalan perubahan dengan sistem Demokrasi ini, di antaranya: - Al-Ikhwanul-Muslimun di Mesir, Syria, Sudan, Kuwait dan Yordania. - Jama'at Islamiyah di Pakistan. - Partai Penyelamat di Turki. - Harakah Al-Ittijah Al-Islami di Tunisia. - Jama'at Salafiyin di Kuwait. - Partai Masyumi, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bulan Bintang di Indonesia. Jika kemudian dikatakan sebagai suatu bentuk pembelaan, bahwa keterlibatan orang-orang Muslim di dewan perwakilan terjadi di negara manapun disebabkan oleh keadaan yang memaksa. Bagaimana mungkin keadaan yang mendesak itu juga terjadi di setiap negara yang di dalamnya ada harakah Islam yang eksis dan aktif dalam dakwah? Yang terjadi semenjak dari Mesir hingga ke Indonesia di sebelah Timur, Tunisia di sebelah Barat, Sudan di sebelah Selatan dan Turki di sebelah Utara. Apakah semua ini dapat diterima sebagai keadaan yang darurat. Faktanya semua ini terjadi karena sebagian jama'ah Islam telah menganggap bahwa sistem Demokrasi sebagai satu-satunya sarana dan jalan yang fundamental untuk melakukan perubahan sambil menafikan jalan perjuangan yang diajarkan Rasulullah Saw. Untuk itu dibawah ini perlu kami nukil secara ringkas karakteristik langkah-langkah perjuangan yang ditempuh Rasulullah Saw atau disebut juga langkah manhaj Nabawy dalam mengubah kemusyrikan kepada iman: 1. Menyeru manusia untuk bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. 2. Siapa yang menerimanya maka mereka berada dalam barisan orang-orang Muslim, dan siapa yang menolaknya maka mereka berada dalam barisan orang-orang kafir. 3. Menjelaskan pengertian La ilaha illallah Muhammad Rasulullah secara mendetail dan terinci, agar aqidah orang-orang Islam menjadi benar, dan yang demikian itu termasuk dalam rukun Islam dan Iman. 4. Mengorganisir gerakan dakwah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw. 5. Sabar menghadapi cercaan dan olok-olok orang-orang musyrik ketika menjalankan dakwah, serta penyiksaan mereka. 6. Menghadang gerakan orang-orang musyrik dan membathilkannya. 7. Meluaskan pijakan dakwah, agar tidak mudah dibatasi atau dicabut hingga ke akar-akarnya. 8. Menciptakan keseimbangan langkah untuk mendirikan daulah Islam, dan yang akhirnya bernar-benar berdiri di Madinah. 9. Menolak pelepasan hak dan tidak mau bersikap lunak dalam menghadapi hal-hal yang berkaitan dengan aqidah. 10. Menyusun masyarakat Muslim dalam-dalam dan mengamankan bangunan daulah Islam serta menguatkan pijakan-pijakannya. 11. Merangkaikan turunnya ayat-ayat hukum, yang merinci hukum-hukum Allah bagi orang-orang Islam, terutama yang berkaitan dengan berbagai masalah kehidupan mereka, kemudian tindakan Rasulullah Saw sendiri yang melaksanakan hukum itu. 12. Memerangi orang-orang musyrik, Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, hingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan Muhammd adalah Rasul Allah, atau mereka bisa menyerahkan jizyah dan mereka pun tunduk kepada hukum Islam. 13. Menyebar di bumi untuk menyampaikan dakwah dengan menggunakan lisan, kekuatan dan pedang. Inilah beberapa langkah manhaj Nabawy dalam dakwah, yang sebagian tersusun berdasarkan urutan-urutannya dan sebagian lain disatukan dengan sebagian yang lain tergantung dari gerakan dakwah dan kesesuaiannya. Barangsiapa yang memperhatikan dengan seksama dan jernih antara manhaj Nabawy dengan manhaj orang-orang Muslim yang duduk di dewan, maka mereka akan bisa melihat perbedaannya secara nyata dan mengetahui kendala bagi mereka yang bermaksud untuk menegakkan hukum Islam di bumi lewat dewan perwakilan. Selanjutnya akan kami tanggapi pernyataan kedua bahwa orang-orang Islam yang menerima Demokrasi sepakat untuk bergabung dalam proses pemilihan dewan perwakilan karena sebab-sebab tertentu saja yaitu agar tidak memberikan kesempatan kepada musuh-musuh Allah untuk memegang kekuasaan tunggal dalam lembaga legislatif. Tanggapan untuk hal ini adalah bahwa keputusan final yang dikeluarkan dewan perwakilan biasanya ditentukan lewat Voting atau pengambilan suara berdasarkan suara mayoritas. Sementara suara minoritas diabaikan seakan-akan tidak pernah ada sama sekali. Untuk itu menurut mereka, agar musuh-musuh Allah tidak memiliki peluang untuk memegang kekuasaan tunggal dalam legislatif maka orang-orang Muslim harus memiliki suara mayoritas di dewan. Agar mereka bisa memuluskan keputusan-keputusan yang mereka kehendaki dan bisa menghilangkan apa pun yang mereka inginkan. Yang demikian itu tidak akan pernah diperoleh orang-orang Muslim di dewan, begitulah yang diperlihatkan sekian banyak pengalaman sejarah. Sebab jika orang-orang Muslim mendapatkan suara mayoritas, dan hal seperti ini jarang sekali terjadi kecuali karena ada kesalahan teknis dalam penghitungan suara, maka secepat kilat pasukan militer akan bergerak menggagalkan hasil pemilihan umum tersebut atau melakukan kudeta militer, sehingga lembaga legislatif tidak bisa berbuat apa-apa lagi, seperti yang pernah terjadi di Pakistan dan Aljazair. Unsur kedua dari kemaslahatan yang dimaksud orang-orang Islam yang duduk di dewan perwakilan yaitu untuk menjaga dakwah dan para aktivisnya. Pernyataan ini sebetulnya hanyalah angan-angan yang dimahkotai mimpi-mimpi yang harum semerbak layaknya bunga, karena kenyataannya sama sekali tidak ada. Berapa banyak orang-orang Islam yang dijebloskan ke dalam penjara, disiksa, diintimidasi dan diperlakukan secara zhalim, keluarganya diancam dan diteror, sementara pada saat yang sama wakil orang-orang Islam juga duduk di dewan perwakilan. Entah berapa ribu orang yang masuk dalam bilik-bilik penjara yang pengap, dan sedikit pun para penguasa tidak takut terhadap orang-orang Islam yang duduk di dewan. Penguasa bisa berbuat semaunya dengan kebathilan-kebathilannya, lalu apa yang dilakukan orang-orang Islam di dewan perwakilan? Apakah mereka mampu mengubah sedikit pun dari ketetapan-ketetapan penguasa? Apakah mereka sanggup melepaskan seorang pun dari balik jeruji besi penjara dari sekian ribu penghuninya? Apakah mereka sanggup menghentikan cemeti tirani agar tidak melukai dan menguliti tubuh orang-orang Islam? Tak sedikit pun mereka berhasil melaksanakan semua itu. Kemalangan dan penderitaan seperti ini biasa terdengar seperti yang terjadi di akhir masa jabatan An-Numairy di Sudan, ketika itu ia bertindak semena-mena terhadap orang-orang Islam dan mengingkari syari'at Islam karena muncul tuntutan untuk menerapkannya. Lalu An-Numairy melakukan kekejaman dengan cara merekayasa dan menampilkan sosok dirinya sebagai Dajjal. Lalu apa yang bisa diperbuat At-Turaby dan kawan-kawannya dari kalangan orang-orang Islam yang duduk di dewan perwakilan? Apa yang dapat mereka lakukan untuk melepaskan rantai yang membelenggu orang-orang Islam di dalam penjara, menyingkirkan kezhaliman dari mereka dan menghentikan lecutan cemeti yang menguliti tubuh mereka? Jelas disini bahwa thaghut sama sekali tidak takut terhadap orang-orang Islam yang duduk di dewan perwakilan dan dia tidak bergeming terhadap alasan yang mereka sampaikan atau pun pernyataan mereka yang dipublikasikan. Mereka boleh menyampaikan pernyataan macam apa pun, mereka dapat bersuara macam apa pun dan dapat mengungkap apa pun yang mereka kehendaki dan semua itu tidak akan merubah rencana-rencana yang sudah disusun untuk mewujudkan kebathilan. Sistem thaghut ini hanya memanfaatkan dewan perwakilan dan lembaga legislatif sebagai bumper, yang harus mengesahkan semua rencananya, dan kemudian dikatakan mendapat dukungan rakyat! Oleh karena itu sekali lagi ingin ditegaskan bahwa apa pun kemaslahatan yang disangkakan oleh pelaku-pelaku Demokrasi dari kalangan Islam, harus disertai dalil dari Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' ataupun Qiyash. Jika tidak didukung dalil, berarti hal itu merupakan kemaslahatan khayalan (imajinatif) yang tidak memiliki fondasi yang nyata dan imajinasi tersebut tidak bisa diboyong ke alam nyata hanya karena rabaan akal bahwa ia merupakan suatu kemaslahatan. Dalam sebuah rubrik konsultasi salah satu situs Islam terkenal di tanah air pada tanggal 18 Desember 2003 terdapat pertanyaan seorang penanya tentang masalah: “Bagaimana hukum Demokrasi dan ikut pemilu?.” Rubrik konsultasi yang diasuh oleh salah satu ustadz lulusan Madinah ini telah menulis jawaban sebagai berikut: “Meski prinsip Demokrasi itu lahir di barat dan begitu juga dengan Trias Politikanya, namun tidak selalu semua unsur dalam Demokrasi itu bertentangan dengan ajaran Islam. Bila kita jujur memilahnya, sebenarnya ada beberapa hal yang masih sesuai dengan Islam. Beberapa diantaranya yang dapat kami sebutkan antara lain adalah: Prinsip Syura (musyawarah) yang tetap ada dalam Demokrasi meski bila deadlock diadakan Voting. Voting atau pengambilan suara itu sendiri bukannya sama sekali tidak ada dalam syari'at Islam. Begitu juga dengan sistem pemilihan wakil rakyat yang secara umum memang mirip dengan prinsip ahlus syuro. Memberi suara dalam pemilu sama dengan memberi kesaksian atas kelayakan calon.” Kami ingin mengkritisi jawaban di atas, bahwa memang tidak semua unsur di dalam Demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi prinsip fundamental yang menjadi landasan dari sistem ini jelas-jelas bertentangan dengan Islam, yaitu bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi adalah milik rakyat dan oleh karena itu rakyatlah yang berhak menetapkan hukum-hukum untuk dirinya sendiri dan bukan Tuhan. Sedangkan yang dimaksud rakyat disini adalah yang sebagian di antaranya berasal dari kalangan Yahudi, Nasrani dan bahkan musyrik. Jadi jelas disini terdapat ubudiyah (penyembahan) kepada rakyat dan bukan ubudiyah kepada Allah. Bagaimana mungkin dua sistem yang memiliki perbedaan prinsip yang fundamental akan digabungkan menjadi satu? dan dengan menafikan perbedaan utamanya itu kemudian menerima ide-ide turunannya? karena perbedaan keduanya telah dimulai dari prinsip yang mendasar maka dalam pelaksanaannya pasti akan terjadi benturan satu sama lain. Perumpamaannya ibarat menyelaraskan kedudukan Allah dengan thaghut atau syetan, dan tentulah hal tersebut sesuatu yang mustahil dan bathil. Sedangkan tentang Syura ingin kami jelaskan disini bahwa Syura yang digunakan dalam Islam tidak sama dengan Demokrasi, keduanya merupakan sistem yang berbeda. Yang pertama ciptaan manusia dan yang kedua ciptaan Allah. Sistem Demokrasi dilandaskan pada suatu asas bahwa rakyatlah yang membuat ketetapan untuk dirinya, sedangkan Syura dilandaskan pada suatu asas bahwa yang berhak membuat ketetapan hanyalah Allah. Jadi perbedaan diantara keduanya juga sangat fundamental. Didalam sistem Demokrasi, rakyat atau dewan perwakilan menyerupai kedudukan Allah, padahal di dalam Islam, Allah adalah satu-satunya Ilah, Berdiri sendiri dan tidak ada sekutu yang menyertai-Nya, dan satu-satunya zat Yang berhak Menetapkan Hukum atau disebut Al-Hakamu. Dewan perwakilan mempunyai kebebasan membuat undang-undang atau ketetapan hukum tanpa harus patuh kepada tuntutan Ilahi, sementara petunjuk pelaksanaan dalam Syura Islam secara khusus dimaksudkan untuk melaksanakan syari'at Allah sesuai dengan tujuan-tujuan syari'at, atau menetapkan hukum-hukum baru sesuai dengan keadaan zaman yang memang terus berkembang tetapi dalam batas-batas dan koridor yang ditetapkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Konsekuensi dari perbedaan di antara keduanya adalah orang yang berhak mengeluarkan pendapat dalam sistem Demokrasi adalah seluruh rakyat melalui wakil-wakilnya di dewan perwakilan sedangkan dalam Syura yang memiliki hak mengeluarkan pendapat hanyalah ahlul-halli wal-aqdi, yang anggota-anggotanya terdiri dari ulama, fuqaha (ahli fiqih), dan orang-orang tertentu yang memiliki pengetahuan atau menguasai hukum berbagai masalah yang muncul, dan mereka membatasi diri pada hukum-hukum syari'at Islam semata. Anehnya pada bagian selanjutnya dari jawaban tersebut sang pengasuh menulis: “Namun memang ada juga yang jelas-jelas bertentangan dengan syari'at Islam, yaitu bila pendapat mayoritas bertentangan dengan hukum Allah. Juga praktek-praktek penipuan, pemalsuan dan penyelewengan para penguasa serta kerjasama mereka dalam kemungkaran bersama-sama dengan wakil rakyat. Dan yang paling penting, tidak adanya ikrar bahwa hukum tertinggi yang digunakan adalah hukum Allah SWT.” Jelas terdapat ambivalensi dan ketidakkonsistenan dalam hal ini dan kami mengira sang pengasuh juga tidak yakin dengan jawabannya yang sebelumnya itu, atau terdapat unsur-unsur politis guna melegimitasi aktivitas-aktivitas politik kelompok/partai tertentu, karena pada bagian akhir jawabannya beliau menulis: “Lalu apa salahnya ditengah ephoria demokrasi dari masyarakat dunia itu, umat Islam pun mengatakan bahwa pemerintahan mereka pun demokratis, tentu demokrasi yang dimaksud sesuai dengan maunya umat Islam itu sendiri... Jadi tidak mengapa kita sementara waktu meminjam istilah-istilah yang telanjur lebih akrab di telinga masyarakat awam, asal di dalam pelaksanaannya tetap mengacu kepada aturan dan koridor syari'at Islam. Bahkan sebagian dari ulama pun tidak ragu-ragu menggunakan istilah demokrasi, seperti Ustadz Abbas Al-`Aqqad yang menulis buku 'Ad-Dimokratiyah fil Islam'. Begitu juga dengan ustaz Khalid Muhammad Khalid yang malah terang-terangan mengatakan bahwa demokrasi itu tidak lain adalah Islam itu sendiri.” Tentang bagian terakhir ini penulis tergerak untuk mengajak pembaca menelaah kembali pernyataan Muhammad Quthb pada bagian sebelumnya. Sebagai tambahan, ada satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam memahami manhaj Islam, bahwa manhaj Islam dalam harakah sama sekali tidak meyakini prinsip “Tujuan dengan menghalalkan segala cara” sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Allah Ta'ala mengungkapkan hal ini dalam firman-Nya: Segolongan (lain) Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya), perlihatkanlah (seolah-olah) kalian beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhir siang supaya mereka (orang-orang Mukmin) kembali (kepada kekafiran). (Qs. ali-Imran [3]: 72). Oleh karena itu jelas bahwa Islam tidak menetapkan untuk mengambil cara tertentu di luar manhajnya, dalam rangka mengenyahkan kerusakan keyakinan, jika cara itu bakal merubah garis lurus aqidah Islam. Pada bagian sebelumnya telah diuraikan juga secara ringkas tentang riwayat dan filosofi dari sistem Demokrasi yang diambil dari literatur-literatur karya tokoh-tokoh Demokrasi itu sendiri, oleh karena itu pendapat yang menyatakan bahwa “Demokrasi itu tidak lain adalah Islam itu sendiri” menurut penulis adalah sebuah asumsi yang berlebihan dan menyesatkan. Pada hakikatnya sistem Demokrasi memiliki sisi gelap yang disebut kekuasaan kapitalis. Sisi gelap inilah yang selalu ditutupi oleh para kapitalis yang menjadi motor gerakan Demokrasi. Biasanya para kapitalis dan orang-orang kaya adalah mereka yang memiliki kesempatan pertama untuk duduk di dewan perwakilan. Sedangkan orang-orang miskin dan rakyat jelata pada umumnya tidak memperoleh kedudukan apa pun dari pengorbanan yang mereka keluarkan saat pemilihan umum, sebagaimana mereka tidak akan mendapatkan keuntungan sosial apa pun setelahnya. Dua pendapat berikut ini menarik untuk dicermati. Yang pertama adalah pendapat dari Aristoteles, seorang pemikir politik Empiris-Realis yang juga murid Plato di zaman Yunani klasik, yang kemudian banyak merumuskan gagasan-gagasan tentang Demokrasi dan melahirkan karya-karya besar di bidang pemikiran ketatanegaraan. Diantara karyanya yang monumental dan kemudian menjadi bahan kajian bagi pemikir-pemikir Demokrasi generasi berikutnya adalah 'Politics' The Athenian Constitution. Menurut Aristoteles bila negara dipegang oleh banyak orang (lewat perwakilan) dan bertujuan hanya demi kepentingan mereka, maka bentuk negara itu adalah Demokrasi. Demokrasi seakan memiliki konotasi negatif dan Aristoteles tidak menyebutnya sebagai bentuk negara ideal. Dalam 'Politics', Aristoteles menyebut Demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state). Menurutnya negara Demokrasi memiliki sistem pemerintahan oleh orang banyak, dimana satu sama lain memiliki perbedaan (atau pertentangan) kepentingan, perbedaan latarbelakang sosial ekonomi, dan perbedaan tingkat pendidikan. Pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok mayoritas penduduk itu akan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkhis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan. Perbedaan-perbedaan tersebut menjadi kendala bagi terwujudnya pemerintahan yang baik. Konsensus sulit dicapai dan konflik mudah terjadi. Ia kemudian mengakui bahwa negara ideal adalah negara yang diperintah oleh seorang penguasa yang filosof, arif dan bijaksana dan kekuasaannya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Aristoteles menyebut bentuk negara seperti ini sebagai Monarkhi. Tetapi Aristoteles kemudian menyadari bahwa bentuk negara seperti ini (Monarkhi) nyaris tak mungkin ada dalam realitas. Ia hanya refleksi gagasan normatif yang sukar terealisasi dalam dunia empiris. Meskipun kemudian pada kenyataannya corak pemerintahan yang identik dengan pandangannya itu, lahir secara nyata di belahan bumi lain berabad-abad kemudian setelah kematiannya, yaitu pemerintahan atau daulah kekhilafahan Islamiyah di jazirah Arab yang dipimpin oleh seorang Khalifah atau pemimpin (bukan penguasa) yang filosof, arif dan bijaksana, yang berpedoman pada Kitabullah dan As-Sunnah, serta kepemimpinannya digunakan untuk membawa manusia kepada fitrahnya sebagai hamba Allah untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Dengan kata lain jauh sebelum kemunculan Islam, ternyata sistem pemerintahan yang digunakan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya sepeninggal Beliau Saw, telah diakui oleh pemikir-pemikir besar dunia sebagai sistem yang terbaik dan ideal. Sedangkan yang kedua adalah pendapat dari Dr. Hasan Turabi seorang pemimpin umat Islam yang sangat dihormati di Sudan, ia adalah pimpinan kelompok oposisi Liga Rakyat Sudan, dan telah mendekam dalam tahanan selama 2 tahun ditambah tahanan rumah karena memimpin gerakan untuk mendirikan pemerintahan Islam melalui dewan perwakilan. Dr. Hasan Turabi yang juga kepala Partai Muktamar Rakyat Nasional itu, setelah dibebaskan baru-baru ini mengatakan bahwa, "Gerakan Islam tidak mempunyai jalan lain untuk mencapai pemerintahan, kecuali melalui jalan people power atau revolusi rakyat. Orang-orang Amerika tidak akan membiarkan gerakan Islam sampai pada kekuasaan dengan jalan Demokrasi". Ia lalu menambahkan bahwa partai yang dipimpinnya telah melakukan kesalahan saat bekerjasama dengan kalangan militer dan mendukung revolusi mereka untuk bersama mencapai pemerintahan, pada revolusi penyelamatan tahun 1989. Dalam revolusi tersebut, pemimpin Sudan saat ini Umar Basyir mencapai puncak kekuasaan di Sudan dan berhasil menggulingkan pemerintahan Shadiq Mahdi, pimpinan Partai Ummah. Menurut Hasan Turabi lagi, gerakan Islam harus mengambil pelajaran besar dari apa yang terjadi di Sudan dan mengarahkan sebuah revolusi rakyat untuk bisa mendorong sampainya kaum Islamis pro-syari'at pada kekuasaan. Ia juga menekankan untuk tidak bekerjasama dengan militer dalam mencapai tujuan tersebut. Dua orang yang memiliki latar belakang dan aqidah yang sangat berbeda ini dan hidup di zaman yang terpisah jauh, ternyata memiliki pendapat yang hampir sama yaitu cenderung negatif terhadap Demokrasi. Yang pertama adalah filosof sekaligus pelopor sistem ini, sedangkan yang kedua adalah 'korban' dari sistem ini. Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, pemilihan kepala negara atau presiden biasanya dilakukan secara langsung pada saat pemilihan umum setelah terpilihnya wakil-wakil rakyat yang akan duduk di dewan perwakilan. Sebagian dari orang-orang Islam yang menggantungkan harapannya pada sistem Demokrasi kemudian menduga-duga bahwa setelah terpilihnya kepala negara atau pemimpin politik dari kalangan Islamis yang ingin menegakkan syari'at, maka selanjutnya dengan mudah undang-undang dan peraturan-peraturan yang telah ada bisa diubah agar sesuai dengan syari'at Islam. Dugaan ini sesungguhnya dangkal, berlebihan dan tidak didasarkan pada realitas politik. Kenyataannya, pemimpin politik di negara-negara yang menganut sistem Demokrasi bahkan di negara-negara asal sistem ini sekalipun, tidak akan menjadi kuat dan bertahan lama jika ia tidak di dukung oleh sebagian besar rakyat termasuk elemen-elemennya, baik dari kalangan politikus, ilmuwan, intelektual, ulama, militer, mahasiswa, pelajar, petani, pedagang atau pun buruh. Betapa banyak contoh presiden atau perdana menteri yang diturunkan dari kekuasaannya melalui gerakan rakyat, meskipun beberapa diantara penguasa itu juga didukung oleh militer. Seandainya saja seorang presiden atau perdana menteri melakukan perubahan terhadap suatu ketetapan undang-undang secara sepihak dengan dukungan sebagian besar politisi yang duduk di dewan perwakilan tetapi tanpa adanya kerelaan dan dukungan dari sebagian besar rakyat, maka ia dipastikan akan mendapat halangan yang luar biasa dari gerakan masif rakyat yang meliputi seluruh elemen masyarakat. Berdasarkan pertimbangan inilah maka di sebagian besar negara-negara di dunia dapat kita lihat bahwa pemerintah selalu melakukan uji coba terlebih dahulu terhadap suatu rancangan undang-undang atau ketetapan-ketetapan hukum baru kepada publik sebelum mengesahkannya menjadi undang-undang atau ketetapan, dengan cara memunculkan isu atau melemparkan opini ditengah-tengah masyarakat, kemudian melakukan pengamatan, pengumpulkan data intelijen, analisa taktis dan menyimpulkan apakah perubahan tersebut mendapat dukungan luas atau sebaliknya. Tindakan ini dilakukan karena mereka tidak mau gegabah atau mengambil resiko untuk berhadapan dengan gerakan massal rakyat yang menolak produk yang akan diterapkan tersebut. Oleh karena itu sulit diharapkan jika tiba-tiba seorang penguasa politik melakukan perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan terutama menyangkut undang-undang dan peraturan-peraturan hukum tanpa mendapat dukungan luas dari sebagian besar masyarakat. Bagaimana mungkin misalnya seorang presiden atau perdana menteri yang pro-syari'at Islam yang dulunya terpilih melalui pemilihan umum sistem Demokrasi - meskipun hal ini belum pernah terjadi seperti yang telah kami uraikan sebelumnya, tiba-tiba mengumumkan bahwa “Landasan undang-undang negara dirubah menjadi berdasarkan syari'at Islam”, sementara pada tataran realitas politik, sebagian besar rakyat tidak menghendaki perubahan tersebut karena pola pikir dan kemauan mereka masih mengacu pada paham-paham di luar manhaj Islam dan masih menganggap bahwa hukum-hukum Islam tidak perlu diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bahwa Islam cukup diterapkan di wilayah rutinitas ibadah semata. Oleh karena itu untuk mendapatkan dukungan yang besar terhadap perubahan sistem, dari sistem yang buruk kepada sistem yang lebih baik dan benar, yang perlu dibangun adalah kesadaran untuk kembali pada manhaj Islam serta meninggalkan yang syubhat dan bathil yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, bukan sebaliknya menumbuhkan kecintaan umat pada sistem lain di luar Islam, atau menggiring mereka untuk berpartisipasi dalam sistem yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Padahal Rasulullah Saw pernah bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama kami yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.” [HR. Bukhari dan Muslim]. Dan Beliau Saw telah berwasiat, “Hendaklah kalian mengikuti Sunnahku dan sunnah Al-Khulafa'ur-rasyirun yang mengikuti petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham, dan jauhilah oleh kalian hal-hal yang baru, karena setiap hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan.” [HR. Abu Daud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan Ahmad]. Kesadaran dan revolusi pemikiran untuk kembali ke sistem yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya, yang merupakan petunjuk langsung dari Allah SWT - zat Yang Maha Mengetahui nilai-nilai yang paling sesuai untuk manusia, Yang kepada-Nya kita akan kembali dan mempertanggungjawabkan hidup singkat di alam duniawi ini - begitu mendesak, karena disinilah peperangan yang sebenarnya, yaitu peperangan antara yang haq dengan yang bathil, antara pengikut Allah dengan pengikut thaghut, antara umat Muhammad Rasulullah Saw dengan Dajjal dan kaum kafir, termasuk para pengikutnya. Dalam satu Hadits, Rasulullah Saw berkata, “Sesungguhnya Dajjal itu akan keluar dengan membawa air dan api. Ada pun yang terlihat air oleh manusia, itu sebenarnya adalah api yang membakar, sedangkan yang terlihat api oleh manusia, itu sebenarnya adalah air yang dingin dan segar. Barangsiapa di antara kalian bertemu dengan Dajjal, hendaklah ia menjatuhkan pilihannya pada api, karena sesungguhnya itu adalah air yang segar dan baik.” [HR. Bukhari dan Muslim]. Terakhir, bahaya dari penerimaan sistem Demokrasi tidak hanya tersembunyi di balik kegagalan dan ketimpangan aktivitas politik Islam karena mengikuti sistem ini, tapi bahaya yang lebih besar adalah ketika sebagian orang-orang Islam mengacu pada suatu sistem yang berbeda dengan pandangan Islam dalam melihat kehidupan, alam dan manusia. Yang akibatnya bisa menghilangkan pemahaman Islam yang hakiki tentang masalah tersebut. Kepada para pemimpin berbagai jama'ah Islam yang mendukung sistem Demokrasi kami serukan hendaknya tulisan ini didudukkan pada tempatnya yang sesuai dan tidak perlu merasa 'kebakaran jenggot'. Sedangkan bagi selain mereka dari kalangan Nasionalis, Komunis dan yang sepaham dengan mereka boleh jadi tulisan ini justru memberikan kesenangan tersendiri bagi mereka, karena mereka mengira bahwa jika para aktivis Islam meninggalkan dewan perwakilan, maka akan memberikan peluang yang lebih luas bagi mereka dalam kancah politik. Tentu saja ini hanya sekedar asumsi mereka saja. Sebab kancah pertempuran yang sebenarnya ialah pertempuran dalam meraih kemampuan dan kesuksesan memberikan pengaruh dan tekanan di tengah masyarakat, yaitu ketika orang-orang Islam berpegang teguh kepada prinsip-prinsip atau manhaj mereka dan mereka tidak berfikir lagi untuk mencari pengganti dari syari'at. Jika hal itu terjadi maka tinggal menunggu waktu saja untuk munculnya gerakan revolusioner yang menghendaki perubahan mendasar terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan umat yang tidak akan mampu dihalang-halangi bahkan oleh kekuatan senjata sekalipun. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw melalui perjuangan Beliau Saw pada periode awal pergerakan Islam di Makkah dan Madinah. Oleh karena itu selagi pikiran orang-orang Islam tidak terkuras untuk memikirkan kebergantungan kepada dewan perwakilan, maka inilah nilai sebenarnya yang tertinggi, dan bukan sekedar dugaan atau asumsi. Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang benar, jalan yang dulu ditempuh oleh Rasul-Mu Muhammad Saw, tuntunlah kami ke jalan-Mu yang lurus, tariklah tangan kami kepada kebenaran, tunjukkanlah kepada kami kebenaran sebagai suatu kebenaran dan limpahkanlah karunia kepada kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami kebathilan sebagai suatu kebathilan dan limpahkanlah karunia kepada kami untuk menjauhinya. Ya Allah sediakanlah bagi umat ini orang-orang yang menuntun mereka menurut syari'at-Mu, yang mengibarkan bendera jihad, agar kemusyrikan tercabut dari akar-akarnya dan agar semua hamba hidup selamat di dunia dan di akhirat. Amiin Ya Rabb. Penulis mengibaratkan tulisannya ini seperti seorang anak kecil yang bertemu dengan rombongan manusia yang dipimpin oleh seorang yang bijaksana, rombongan ini sedang dalam perjalanan menuju ke suatu tempat. Kemudian anak kecil yang kurus, miskin dan berpakaian compang-camping itu berkata kepada mereka bahwa di ujung jalan yang akan dilalui oleh orang bijak dan rombongannya itu terdapat sebuah jurang yang terjal dan dalam, yang tertutup dari pandangan mata oleh kabut dan semak belukar. Lantas haruskah si orang bijak yang memimpin rombongan tadi memarahi si anak kecil karena perkataannya itu? orang bijak tersebut ternyata tidak melakukan hal yang demikian, beliau termenung sejenak memikirkan kata-kata si anak kecil tersebut, sesaat kemudian ia membuka dan membaca kembali buku pedoman perjalanan mereka, menelaah kembali catatan perjalanan Imam terdahulu mereka yang sangat mereka cintai serta mengingat-ingat juga cerita dan pengalaman rombongan terdahulu sebelum mereka, yang sebagian kembali dan sebagian lagi tidak pernah terdengar telah sampai di tujuannya. Ketika orang bijak itu menyadari hal ini dan hendak mengatakan sesuatu kepada si anak kecil, ternyata ia sudah tidak berada lagi di tempatnya semula. Dari kejauhan mereka melihat si anak kecil tadi sedang berlari mengejar rombongan lain yang mirip dengan rombongan mereka. Anak kecil yang kurus, miskin dan berpakaian compang-camping di atas adalah juga perumpamaan untuk penulis. 'Anak kecil' merupakan perumpamaan untuk usia dan pengalaman yang masih seumur jagung, 'kurus' merupakan perumpamaan untuk ilmu yang masih belum seberapa, 'miskin' karena memang bukan berasal dari kalangan yang terpandang dan bangsawan, sedangkan 'pakaian compang-camping' adalah karena kami bukanlah manusia yang sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang. ************* Wallahu a'lam bis shawab 1. Civilization on Trial, Arnold Toynbee, Oxford University Press, 1949. 2. Politics, The Athenian Constitution, Aristoteles, translated by John Warrington, J.M. Dent and Sons. Ltd, 1959. 3. Madilog, Materialisme, Dialektika, Logika, Tan Malaka, Penerbit Wijaya, 1951. 4. Surat-Surat dari Persia, Montesquieu, terjemahan Dr. Okke Zeimar dan Kooshendrati Hutapea SS, Dian Rakyat, 1992. 5. The Social Contract, JJ. Rouseau, translated and introduced by Maurice Cranston, Penguin Book, 1968. 6. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Max Weber, translated by Talcott Parson, Unwin University Book, 1967 7. Pemikiran Politik Barat, Ahmad Suhelmi MA, Darul Falah, 1999. 8. Prospek Demokrasi di Indonesia, Eep Saefullah Fatah, Dahlia, 1993. 9. Apakah Bangsa itu?, Ernest Renan, Erlangga, 1968. 10. Al-Islamiyun wa Sarabud-Dimuqrathiyah, Abdul-Ghany bin Muhammad bin Ibrahim Ar-Rahhal, terjemahan Kathur Suhardi, DeA Press, 1999. 11. I'lamul-Muwaqqi'in, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Darul-Jail. 12. Ilmu Ushulul Al-Fiqh, Abdul Wahab Khalaf, alih bahasa KH. Masdar Helmy, Gema Risalah Press, 1997. 13. Ad-Dakwah, Qawaa'id wa Ushuul (Fiqih Dakwah), Jum'ah Amin Abdul Aziz, terjemahan Abdus Salam Masykur, Era Intermedia, 2000. 14. Fiqh Al-Ukhuwwah fi Al-Islami, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, terjemahan Hawin Murtadho dan Salafuddin Abu Sayid, Era Intermedia, 2000. 15. Al-Qur'an dan terjemahannya, cetakan Kerajaan Arab Saudi, 1418 H. 16. Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi, terjemahan Ahmad Sunarto, Pustaka Amani, 1999. 17. Tauhid, DR. Abdul Aziz bin Muhammad, Dept. Urusan keIslaman, Wakaf, Da'wah dan Pengarahan Saudi Arabia, 1423 H. 18. Tiga Landasan Utama, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Dept. Urusan keIslaman, Wakaf, Da'wah dan Pengarahan Saudi Arabia, 1423 H. 19. Kerancuan Istilah dan Tragedi Umat, Adian Husaini, Kolom Opini Hidayatullah.com, 2 Desember 2003. 20. Bagaimana hukum Demokrasi dan ikut pemilu?, Rubrik Konsultasi Eramuslim.com, 18 Desember 2003.Tinjauan Sejarah Demokrasi
Demokrasi Klasik
Penolakan Islam terhadap Demokrasi
Selanjutnya kami akan mengupas kedua unsur ini untuk mengungkap kemustahilannya.
1. Al-Ustadz Hasan Al-Banna.
2. Al-Ustadz Sa'id Hawwa
3. Al-Ustadz Hasan Al-Hudhaiby
Demokrasi dan Syura
Penutup
Maraji':