Monday, June 09, 2008
Pemikiran Ushul Fiqh Hizbut Tahrir
Pengantar
As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani –rahimahu-Llah— telah melakukan telaah historis yang sangat mendalam dalam kaitannya dengan sejarah usul fikih, peta pemikiran usul fikih mazhab-mazhab Islam klasik, pengaruh pemikiran kalam dan filsafat terhadap usul fikih, dan bagaimana seharusnya usul fikih sebagai kaidah berfikir tasyri’ itu dibangun. Semuanya itu telah beliau bahas dan tuangkan dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I, dalam satu bab khusus, Ushul al-Fiqh.Maka, untuk melacak peta pemikiran usul fikih yang beliau tuangkan dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz III, mau atau tidak, kita harus melakukan kajian ulang terhadap hasil telaah historis yang telah beliau lakukan sebelumnya. Khususnya analisis historis tentang peta pemikiran ushul di atas. Dengan begitu, kita akan mempunyai gambaran yang utuh tentang pemikiran ushul fikih Hizbut Tahrir.
Harus diakui, bahwa as-Syâfi’i (w. 204 H) adalah orang yang menggariskan dasar-dasar istinbât dan mensistematikakannya dengan kaidah-kaidah umum secara menyeluruh (qâ’idah ‘âmmah kulliyyah), sehingga bisa disebut sebagai peletak dasar ilmu Ushûl al-Fiqh. Mengingat, para fukaha’ sebelum as-Syâfi’i telah berijtihad, tetapi tanpa panduan istinbât yang deskriptif. Sebaliknya mereka hanya mengandalkan pemahaman mereka terhadap makna syariah, jangkauan hukum dan tujuannya, serta apa yang diisyaratkan oleh nash-nash dan tujuan-tujuan (maqâshid)-nya. Karena kebiasaan mereka mempelajari syariah dan skill mereka yang tinggi di bidang bahasa Arab menyebabkan mereka bisa mengenal dengan mudah makna-maknanya, dan memahami tujuan serta maqâshid-nya. Dalam menggali hukum, mereka biasanya mengkompromikan berbagai nash, pemahaman dan maqâshid-nya, tanpa panduan deskriptif yang dibukukan di hadapan mereka.
Kitab as-Syafi’i di bidang ushul yang paling populer adalah ar-Risâlah. Selain itu juga ada kitab Ibthâl al-Istihsân, dan Jammâ’ al-Ilm. Bahkan di dalam kitab al-Umm sendiri berisi beberapa pembahasan tentang ushul. Misalnya, dikemukakannya beberapa kaidah kulliyyah ketika membahas beberapa hukum cabang.
Sesuatu yang luar biasa dalam ushul fikih as-Syâfi’i adalah, bahwa beliau telah melakukan pembahasan ushul secara juristik (tasyrî’i), bukan silogistik (manthiqî). As-Syâfi’i benar-benar telah menjauhkan sejauh-jauhnya ushul fikih dari metode silogistik, dan terikat sepenuhnya dengan metode juristik. Beliau tidak mengembangkan fantasi dan hipotesis teoritis, namun hanya menetapkan hal-hal yang realistik dan eksis. Maka, yang menjadi ciri khas ushul fikih as-Syâfi’i adalah, bahwa ushul fikih tersebut merupakan kaidah istinbât secara mutlak. Terlepas dari metodologi tertentu, yang menjadi metodologi mazhabnya. Sebaliknya, ia cocok untuk seluruh metodologi, meski berbeda sekalipun. Ia merupakan paradigma untuk mengetahui pandangan yang sahih dan tidak, juga merupakan aturan yang menyeluruh yang harus diperhatikan ketika menggali hukum-hukum baru, sekalipun orang tersebut telah menyusun metodologinya sendiri untuk menimbang pandangan dan telah terikat dengan aturan global ketika melakukan istinbât. Ushul fikih as-Syâfi’i memang bukan hanya kaidah ijtihad bagi mazhabnya, sekalipun mazhabnya harus terikat dengannya. Ia juga tidak berisi pembelaan terhadap mazhabnya dan penjelasan tentang pandangannya. Namun, ia merupakan kaidah istinbât umum dan menyeluruh. Hal yang menjadi pendorongnya juga bukan tendensi sektarian (kemazhaban), melainkan keinginan untuk menggariskan teknik berijtihad, serta menyusun ketentuan dan deskripsi bagi para mujtahid. Lurusnya maksud dan kesahihan pemahaman beliau dalam menyusun ilmu ushul fikih itu telah mempengaruhi para mujtahid dan ulama’ pasca as-Syâfi’i, baik yang menentang maupun yang mendukung pandangan-pandangannya. Sampai mereka semuanya –dengan beragam tendensinya– memandang perlu untuk menempuh jalan yang telah dilalui oleh as-Syâfi’i, baik dalam menyusun kaidah global (al-qawâ’id al-kulliyyah) maupun langkah di bidang fikih dan istinbât berdasarkan kaidah kulliyah dan ‘âmmah tersebut. Maka, pasca beliau, fikih telah dibangun berdasarkan kerangka ushul yang tetap, bukan sebagai kelompok fatwa dan keputusan, sebagaimana kondisi sebelumnya.
Hanya saja, sekalipun semua ulama’ tersebut menapaktilasi apa yang ditinggalkan as-Syâfi’i, dari aspek pemikiran ushul fikih, namun penerimaan mereka terhadap apa yang telah dihasilkan oleh as-Syâfi’i tetap berbeda, sesuai dengan perbedaan orientasi fikih mereka. Di antara mereka ada yang mengikuti pandangan beliau, mensyarah, memperluas dan berdasarkan metodologinya berhasil menelorkan kaidah baru. Ini seperti yang dilakukan oleh para pengikut as-Syâfi’i sendiri.[1] Ada yang telah mengambil mayoritas yang dikemukakan oleh as-Syâfi’i, sekalipun ada perbedaan dalam beberapa derivat ushulnya, namun secara akumulatif tidak berbeda. Sebab, secara akumulatif, sistematika dan langkahnya tidak berbeda dengan ushul as-Syâfi’i. Ini seperti para pengikut Hanafi, dan orang yang telah menempuh langkah berdasarkan metodologinya.[2] Ada yang berbeda dengan as-Syâfi’i dalam ushul fikih ini, seperti para pengikut Zhâhiri dan Syî’ah.[3]
Inilah sejarah ushul fikih, peta pemikirannya, kaitan satu dengan yang lain, serta perbedaan masing-masing. Sayangnya, perkembangan ushul fikih pasca generasi imam mujtahid tersebut tidak diikuti dengan perkembangan ijtihad. Tidak berkembangnya ijtihad tersebut sebenarnya karena mandulnya ushul fikih sebagai kaidah ijtihad. Itu tak lain, karena ushul fikih ketika itu telah dipenuhi perdebatan kalam dan filsafat, seperti hasan-qabih (terpuji-tercela), dan syukr al-mun’im (menyukuri Dzat Pemberi nikmat). Akibatnya, ushul fikih telah kehilangan substansinya sebagai kaidah ijtihad. Puncaknya, terjadinya penutupan pintu ijtihad pada pertengahan abad ke-4 H/10 M.
Kritik dan Rumusan Ushul Fikih
Berdasarkan analisis kritis yang dikemukakan di atas, apa yang diinginkan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dengan as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz III adalah membuat rumusan ushul fikih yang bukan untuk kepentingan mazhab tertentu, sebagaimana yang telah dilakukan oleh as-Syafi’i dengan ar-Risalah, Ibthal al-Istihsan, Jamaa’ al-’Ilm dan al-Umm-nya. Karena, Hizbut Tahrir yang mengusung pemikiran ushul fikih tersebut bukanlah mazhab, dan tidak bertujuan untuk mendirikan mazhab tertentu. Khilafah yang ingin dibangun oleh Hizbut Tahrir juga bukan negara mazhab. Karena itu, ushul fikih yang diusung oleh Hizbut Tahrir ini justru didedikasikan untuk semua mazhab, dan kelak bisa menjadi pegangan bagi khalifah dalam berijtihad untuk merumuskan kebijakannya.
Sebagaimana ushul fikih yang dirumuskan oleh as-Syafi’i, pendekatan yang digunakan di dalam ushul fikih ini juga sama, yaitu metode tasyri’i (juristik), dan bukan manthiqi (silogistik). Semua yang dituangkan dalam ushul fikih ini pun merupakan perkara yang disepakati oleh kalangan ulama’ ushul sebagai syar’i, sehingga produknya pun bisa dipastikan syar’i.[4] Selain itu, substansi ushul fikih sebagai kaidah berfikir tasyri’i berhasil ditampilkan, dimana berbagai perdebatan kalam dan filsafat yang bertele-tela dan melelahkan telah dibuang.[5] Sehingga siapapun yang menelaahnya akan menemukan sebuah kaidah berfikir tasyri’i yang dia butuhkan untuk membangun pemikiran hukum.
Sistematika Pembahasan
An-Nabhani kemudian mendefinisikan ushul fikih dengan kaidah yang bisa digunakan untuk menggali hukum syara’ dari dalil-dalil tafshili (kasuistik).[6] Dengan definisi ini, sebenarnya obyek pembahasan ushul fikih meliputi dalil, hukum, dan segala hal yang terkait dengan keduanya. Karena itu, beliau sengaja tidak memasukkan pembahasan di luar kedua konteks tersebut, seperti ijtihad dan taklid, sebagaimana lazimnya kitab-kitab ushul fikih.
Hukum dan Segala yang Terkait Dengannya:
Dalam hal ini, ada empat hal yang dibahas: (1) al-Hakim (pembuat hukum), (2) al-Mahkum ‘alayh (obyek hukum), (3) al-Mahkum fih (sasaran hukum), dan (4) al-Hukm (hukum). Mengenai al-Hakim, yaitu siapa yang berhak membuat hukum? Kesimpulannya hanya Allah.[7] Sedangkan siapa yang menjadi obyek hukum (al-Mahkum ‘alayh), yang lazim disebut mukallaf? Kesimpulannya adalah semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim, dengan syarat: baligh, berakal dan mampu. Ini tentu berlaku dalam konteks khithab, dan bukan dalam konteks tathbiq. Sebab, sebagai obyek seruan (al-mukhathab), baik Muslim maupun non-Muslim sama, yaitu sama-sama terkena seruan hukum, tanpa pengecualian sedikitpun. Hanya saja, dalam tataran implementasi (tathbiq)-nya, tetap dibedakan. Mengenai sasaran hukum (al-mahkum fih)-nya, tak lain adalah af’al al-’ibad (perbuatan manusia). Adapun hukumnya sendiri bisa diklasifikasikan berdasarkan ragam seruan (khithab)-nya menjadi dua: hukm at-taklifi dan hukm al-wadh’i. Masing-masing terdiri dari wajib, haram, sunah, makruh dan mubah untuk hukm at-taklifi, sedangkan syarat, sebab, mani’, ‘azimah-rukhshah, serta sah-fasad-batal untuk hukm al-wadh’i.
Inilah empat hal yang berkaitan dengan pembahasan hukum. Selebihnya, kitab ini lebih banyak membahas tentang dalil, dan segala yang terkait dengannya.
Dalil dan Segala yang Terkait Dengannya:
Mengenai dalil, an-Nabhani, menegaskan bahwa dalil syara’ harus qath’i, karena merupakan perkara ushul, bahkan kedudukannya dalam konteks ushul fikih sangat penting. Dari sinilah, beliau memetakan dalil yang benar-benar layak disebut dalil, dan sesuatu yang diklaim sebagai dalil, padahal bukan dalil. Yang pertama adalah al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas, sedangkan yang kedua adalah Syar’u Man Qablana, Mazhab Sahabat, Istihsan, Mashalih Mursalah, dan Ma’alat al-Af’al. Khusus mengenai Maqashid as-Syari’ah, beliau tegaskan, bahwa Maqashid as-Syari’ah bukanlah dalil syariah, yang tidak bisa digunakan untuk menarik kesimpulan hukum, layaknya dalil.
Ini tentang dalil. Mengenai, bagaimana dalil tersebut digunakan untuk menarik kesimpulan hukum (kaifiyyah al-istidlal)? Maka, an-Nabhani memaparkan karakteristik dalil, yaitu al-Kitab dan as-Sunnah, sebagai dua nas yang berbahasa Arab, yang harus diketahui dan dikenali dengan cara riwayah. Dari sana lahirlah rumusan tentang ragam lafadz, seperti Mufrad (tunggal) dan Murakkab (ganda), ragam lafadz dari aspek lafadz dan maknanya, seperti Munfarid, Musytarak, Mutaradif, Haqiqah dan Majaz, serta dalalah lafadz, seperti Manthuq dan Mafhum dengan segala kriterianya.
Dalam konteks dalil, al-Kitab dan as-Sunnah, sebagai teks hukum, maka isinya bisa diklasifikasikan menjadi lima: Pertama, perintah dan larangan (al-amr wa an-nahy). Kedua, umum dan khusus (al-’am wa al-khash). Ketiga, bebas dan terikat (al-muthlaq wa al-muqayyad). Keempat, global dan deskriptif (al-mujmal wa al-mubayyan). Kelima, penghapus dan yang terhapus (an-nasikh wa al-mansukh). Masing-masing kemudian diuraikan secara mendetail.
Pada bagian akhir, an-Nabhani memasukkan pembahasan tentang at-Ta’adul wa at-Tarajih, sebagai penegasan dari penjelasan lain tentang quwaat ad-dalil dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I. Sebagai catatan tambahan, kitab ini sebenarnya banyak diilhami oleh dua karya besar ulama’ sebelumnya, yaitu al-Amidi dengan al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, dan as-Syaukani dengan Irsyad al-Fuhul-nya. Dua rujukan, yang sama-sama digunakan di kalangan pesantren tradisional NU. Wallahu a’lam.(Hafidz Abdurrahman)
[1] Yang mengikuti pandangan-pandangan as-Syâfi’i adalah para pengikut Hambali. Mereka telah mengambil ushul fikih as-Syâfi’i, sekalipun mereka berpendapat bahwa Ijma’ –yang bisa diterima– hanyalah Ijma’ Sahabat. Sementara para pengikut Mâliki, yang lahir pasca as-Syâfi’i, metodologi mereka sebenarnya sama dengan kebanyakan yang dikemukakan dalam ushul fikih as-Syâfi’i. Meskipun mereka menetapkan perbuatan penduduk Madinah sebagai hujah (dalil), dan berbeda dengan beliau dalam beberapa rincian. Mengenai mereka yang menempuh jalan as-Syâfi’i, dan mengembangkan pandangan-pandangannya adalah para pengikut mazhabnya, yang telah giat mengkaji ilmu ushul fikih dan banyak melakukan penulisan dalam bidang tersebut. Telah disusun beberapa buku di bidang ushul fikih berdasarkan metodologi as-Syâfi’i, yang masih tetap menjadi pilar dan penyangga ilmu ini. Karya orang-orang terdahulu yang paling agung dan telah dikenal adalah tiga buku: Pertama, buku al-Mu’tamad karya Abû al-Husayn Muhammad bin al-Bashri (w. 413 H); Kedua, buku al-Burhân karya Abd al-Malik bin Abdillâh al-Juwayni, yang terkenal dengan nama Imam al-Haramayn (w. 478 H); Ketiga, kitab al-Mustashfâ karya Abû Hâmid al-Ghazâli (w. 505 H). Setelah mereka muncul Abû al-Husayn ‘Alî yang terkenal dengan nama al-Amidi (w. 631 H). Beliau mengumpulkan ketiga buku ini dan memberikan beberapa tambahan dalam buku yang diberi nama al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, yang merupakan buku paling agung yang pernah disusun dalam bidang ushul fikih.
[2] Yang mengambil kebanyakan yang dikemukakan oleh as-Syâfi’i, namun berbeda dalam beberapa rincian adalah para pengikut Hanafi. Sebab, metodologi istinbât mereka sama dengan ushul fikih as-Syâfi’i, namun dalam ilmu ushul fikih tersebut mereka mempunyai kecenderungan yang terpengaruh dengan masalah derivatif (furû’). Mereka mengkaji kaidah ushul untuk digunakan mendukung masalah derivatif, sehingga mereka telah menjadikan masalah derivatif tersebut sebagai dasar; kaidah umum dibangun berdasarkan masalah derivatif, lalu digunakan untuk mendukungnya. Boleh jadi hal yang mendorong mereka mempunyai kecenderungan seperti ini adalah pembahasan mereka mengenai ushul, yaitu untuk mendukung mazhab mereka, bukan menghasilkan kaidah yang menjadi dasar istinbât mereka. Ini karena istinbât Abû Hanifah (w. 150 H), yang telah mendahului as-Syâfi’i, dan wafat pada tahun di mana as-Syâfi’i dilahirkan, tidak didasarkan pada kaidah umum yang menyeluruh. Begitu juga murid-murid yang hidup setelahnya, seperti Abû Yûsuf, Muhammad dan Zafar. Mereka belum memberi perhatian khusus untuk menyusun ushul fikih, sehingga datanglah kemudian para ulama’ mazhab Hanafi; mereka mempunyai kecenderungan untuk menggali kaidah yang bisa membantu masalah-masalah derivatif mazhab Hanafi. Jadi, kaidah tersebut datang belakangan, setelah derivatnya, dan bukan sebelumnya. Sekalipun demikian, ushul mazhab Hanafi secara keseluruhan ditelurkan dari ushul fikih as-Syâfi’i. Hal yang berbeda dengan mazhab as-Syâfi’i, seperti lafadz umum itu qath’i sebagaimana lafadz khusus, dan tidak ada ruang bagi mafhûm as-syarth dan shifat, tidak bisa men-tarjîh karena banyaknya perawi, dan sebagainya, adalah masalah furu’, bukan kaidah kulliyah. Maka, bisa dikatakan bahwa ushul fikih Hanafi dan as-Syâfi’i adalah ushul fikih yang sama. Jadi, kecenderungannya pada masalah derivatif dan perbedaan dalam beberapa rincian tidak bisa dikatakan sebagai ushul fikih yang berbeda, sebaliknya merupakan ushul fikih yang sama, dari aspek keseluruhan, keglobalan dan kaidah-kaidahnya. Bahkan, hampir anda tidak akan menemukan adanya perbedaan antara kitab ushul fikih as-Syâfi’i dengan kitab ushul fikih Hanafi. Sebaliknya, semuanya tadi merupakan ushul fikih yang sama. Kitab ushul fikih mazhab Hanafi yang paling agung adalah Ushûl al-Bazdawi atau Kanz al-Wushûl Ilâ Ma’rifat al-Ushûl, yang ditulis oleh Fakhr al-Islâm Alî bin Muhammad al-Bazdawi (w. 483 H).
[3] Sementara yang berbeda dengan ushul fikih as-Syâfi’i adalah mazhab Zhâhiri dan Syî’ah. Mereka berbeda dengan ushul fikih as-Syâfi’i dalam bebarapa pilar dasarnya, bukan hanya rinciannya. Mazhab Zhâhiri jelas menolak Qiyas, semuanya, dan mereka hanya berpijak kepada dhâhir-nya nash, bahkan apa yang disebut dengan Qiyâs Jalli pun tetap tidak mereka anggap sebagai Qiyas, melainkan mereka anggap sebagai nash. Penilaian mereka terhadap nash adalah penilaian terhadap dhâhir-nya, bukan yang lain. Imam mazhab ini adalah Abû Sulaymân Dâwûd bin Khalaf al-Asfahâni (w. 270 H). Beliau awalnya pengikut mazhab as-Syâfi’i, dan mendapat pendidikan fikih dari para pengikut as-Syâfi’i, lalu meninggalkan mazhab as-Syâfi’i dan memilih membuat mazhab sendiri, yang hanya berpijak kepada nash, kemudian mazhabnya disebut mazhab Zhâhiri. Di antara pengikutnya adalah Imâm Ibn Hazm. Beliau telah memasarkannya kepada sebagian orang, dan mereka juga telah memberikan bentuk yang brilian terhadapnya, sehingga buku-bukunya diterima, padahal buku-buku tersebut bukan buku fikih dan ushul yang berbeda dari aspek pembahasan fikih dan wajh al-istidlâl-nya. Sedangkan Syî’ah, mereka berbeda dengan ushul fikih as-Syâfi’i dengan perbedaan yang sangat besar. Sebab, mereka telah menjadikan pernyataan para imam mereka sebagai dalil syara’, seperti al-Qur’an dan as-Sunnah. Bagi mereka, itu adalah hujah, setidak-tidaknya setelah kehujahan al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka juga menjadikan kata-kata para imam sebagai mukhashshish (penspesifik) atas as-Sunnah. Syî’ah Imâmiyyah, bahkan telah memposisikan para imam mereka berdampingan dengan as-Sunnah. Bagi mereka, ijtihad itu terikat dengan mazhab, sehingga seorang mujtahid tidak boleh menyimpang dari pandangan-pandangan mazhabnya. Artinya, mujtahid tidak boleh berijtihad yang menyimpang dari pandangan Imâm Ja’far as-Shâdiq. Mereka menolak hadits, kecuali melalui jalur para imam mereka. Mereka tidak menggunakan Qiyas (analogi). Telah diriwayatkan secara mutawatir dari para imam mereka, sebagaimana yang mereka riwayatkan dalam buku-buku mereka, bahwa jika syariat dianalogikan, maka agama ini pasti hancur.
[4] Ini, antara lain, terlihat dalam pembahasan tentang dalil. Di sini, beliau memilah, mana yang layak disebut dalil, dan bagaimana semestinya kedudukan dalil, serta mana yang diklaim sebagai dalil, sekalipun bukan dalil. Dalam rumusannya tentang dalil, an-Nabhani hanya menerima empat: al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Adapun yang lain, seperti Syar’u man qablana, Mazhab Sahabi, Mashalih Mursalah, Istihsan, dan Ma’alat al-Af’al yang diklaim sebagai dalil, dengan tegas beliau nyatakan bukan dalil. Bahkan dalam kasus Qiyas, beliau tetapkan, bahwa Qiyas yang bisa diterima adalah Qiyas Syar’i, yang ‘illat-nya dinyatakan oleh nas, bukan akal.
[5] Pembahasan hasan-qabih beliau dudukan dalam konteks al-Hakim, siapa yang berhak membuat hukum? Sedikit pun beliau tidak menyinggung perdebatan Mu’tazilah dan Ahlussunnah, tetapi langsung membuat rumusan, tiga skema hasan-qabih. Mana yang bisa ditentukan oleh akal, dan mana yang tidak, berikut alasannya. Meski kesimpulannya sama dengan al-Baqillani dan al-Iji, bahwa al-hasan ma hassanahu as-syar’u wa al-qabih ma qabbahahu as-syar’u (Terpuji adalah apa yang dinyatakan terpuji oleh syara’, dan tercela adalah yang ditercelakan oleh syara’).
[6] Dalil tafshili itu adalah dalil kasus per kasus, atau dalil kasuistik. Misalnya, dalil wajibnya shalat adalah Q.s. al-Baqarah [02]: 43, 83, dan 110. Dalil wajibnya puasa Ramadhan adalah Q.s. al-Baqarah [02]: 183. Dalam hal ini, dalil kasus shalat tidak bisa digunakan untuk dalil dalam kasus yang lain. Meskipun al-Qur’an itu sendiri berisi dalil bagi kasus-kasus yang lain. Maka, al-Qur’annya itu sendiri disebut dalil ijmali.
[7] Meski, pada saat yang sama, dalam dua konteks yang berbeda, hak akal untuk menjadi hakim tetap tidak dinafikan. Pertama, ketika menghukumi mahiyah (substansi) benda, apakah gula manis, kopi pahit, es dingin, dan seterusnya. Kedua, ketika menghukumi fakta yang sesuai dan tidaknya dengan fitrah manusia, seperti zalim buruk, adil baik, dan seterusnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Custom Search
No comments:
Post a Comment