PANGERAN KEGELAPAN
Penulis:Sinta Yudisia W.
Aku mulai terbiasa memulai pagi dalam suasana hening seperti ini.Terbangun ketika matahari yang hangat muram mencoba mencuri-curi masuk ke dalam kamar lewat celah-celah jendela yang berbingkai kokoh tetapi mulai melumut di sana sini. Kuk-kuk burung hantu yang mengantuk menyapa, keributan ayam-ayam di halaman belakang menggerutu kelaparan. Laba-laba berbulu di pojok atas langit-langit sekarang tak lagi tampak menyeramkan. Bahkan sesekali kubayangkan mereka mengejekku tertidur kelelahan di malam hari Bak Putri Abu.
“Masak apa untuk sarapan pagi ini?” aku menyapa Kalina yang telah tegak di meja dapur di depan kuali mengepul.
“Tocana,” jawabnya pendek.
“Ham?” aku bertanya menegaskan.
“Bukan,” Pietersky menggeleng kaku.
“Tumben,” gumamku.
Sempat kulirik sejenak dua sosok yang bertolak belakang bak angka sepuluh itu. Kkalina tambun, lemak di dagunya berlipat-lipat tetapi gerakannya gesit mengagumkan. Usianya kutaksir di atas lima puluh tahun. Pietersky tinggi kurus, matanya cekung terpasang di atas wajah yang putih pucat dan tirus. Gerakannya sangat berhati-hati dan teliti kalau tidak dapat dikatakan lamban.
“Minha…” Kalina menyebut namaku.
“Ya?”
“Jangan lupa seragam hitam putihmu.”
Aku membelalakkan mata tapi mengangguk pada akhirnya. Akan terjadi jamuan makan rupanya. Ini bukan kali pertama aku tidak diberitahu situasi seperti ini. Tahu-tahun ada pesta atau perayaan kecil. Aku hanya menurut apa perintah Kalina karena memang ia kepala rumah tangga di sini. Tak masalah. Meski Kalina dan Pietersky sangat dingin mereka tak pernah mengganggu. Kuanggap sikap yang tanpa keramahan sama sekali ini sebagai contoh disiplin.
“Siapa tamu kita kali ini?” aku bertanya ingin tahu pada Pietersky sembari memasang pita pada rambutku.
“Keluarga Suleyman Barinzi,” sahutnya menyerupai gumaman.
Tanganku tergantung kaku di udara, telingaku seakan tak percaya.
“A…apa?” sahutku gugup. “Orang-orang Turki itu?”
Pietersky mendengus. Pantas, batinku, tocana kali ini tidak menggunakan ham.
***
Semenjak kunjungan keluarga Suleyman Barinzi firasatku mengatakan sesuatu akan terjadi.
Meski aku tetap menjalani hari-hari seperti biasa di Puri Poenariburg. Membersihkan setiap bagian dari kamar-kamar berukuran besar hingga halamannya yang banyak ditanami bunga lily dan bakung. Menjahit baju-bajuku yang koyak di atas menara dengan sebuah mesin pintal tua beroda besar. Dari sini aku sangat menikmati pemandangan sungai Arges yang berpapasan pegunungan Fagarsului. Hamparan rumput hijau di pebukitan di selingi perdu rimbun dan pohon-pohon semi hijau memukau. Puncak-puncak pinus berjajar memagari tepian hutan dan sepanjang jalan setapak menuju areal pedesaan. Putri Poenariburg bukan satu-satunya puri di Borgopass. Masih ada puri-puri lain tetapi yang terbesar dan terindah, juga tertua, adalah puri tempatku tinggal kini. Tentu saja aku bukan bagian sebenarnya dari puri. Artinya aku bukan bangsawan, hanya rakyat jelata yang beruntung dapat bekerja di sini. Beruntung?
“Kau akan ke Borgopass?” mata Natalya membesar.
Pertemuan terakhirku dengan Mom dan adik-adik di meja makan malam itu masih membekas.
“Ya,” aku mengangguk murung. “Aku harus membantu Mom mencari uang. Untuk sekolah-sekolah kalian. Semenjak Pop meninggal kita selalu terlilit hutang. Aku tidak sanggup terus menerus membantu Mom di pertanian kolektif. Tubuhku terhitung kecil, aku tak sanggup mengoperasikan mesin pembajak raksasa itu.”
Kuceritakan pada Mom dan adik-adikku tentang iklan kecil di koran lokal yang memberitakan seorang bangsawan keluarga Graaf mencari gadis muda sebagai housekeeper.
“Mereka akan menghisap darahmu!” seru Leo khawatir. “Yang paling mereka sukai gadis-gadis muda sepertimu!”
Aku tertawa. Lalu terhenti tiba-tiba ketika Mom menatapku menghujam.
“Tentu Mom tidak percaya takhayul tentang Dracula, sang Pangeran Kegelapan itu kan, Mom?” aku menyelidik.
Mom hanya terdiam. Tapi keinginanku sudah tidak dapat dibendung. Apapun petualangan menakukan yang akan kita temui itu akan jauh lebih baik daripada hanya terkurung dalam sebuah rumah beratap rendah yang kumuh, berdinding batu-batu hitam, dalam pakaian bernoda jelaga tertabur debu dari cerobong asap berbahan bakar batu bara. Rumania bukan sebuah negeri yang menjanjikan kemakmuran. Bahkan orang seperti Nadia Commaneci harus menyeberang ke Amerika karena penghasilannya sebagai pesenam kebanggan harus masuk kas negara. Apalagi gadis miskin sepertiku. Memang diktator Nicolai Ceausescu telah tumbang namun butuh waktu entah berapa puluh tahun lamanya membangun negeri yang telah porak poranda akibat korupsi dan ideologi yang salah kaprah. Meski berat hati Mom akhirnya mengijinkanku pergi menuju Borgopass.
Perjalanan yang cukup menyenangkan kualami menuju Borgopass. Menaiki kereta api tua yang gerbongnya sudah berkarat. Tiket paling murah yang kubeli hanya menyediakan bangku kayu. Pemandangan indah yang kulalui menghibur hatiku. Melintasi Transsylvania, menuju Bistriz untuk selanjutnya berganti bus menuju Borgopass. Telaga-telaga hijau, sungai, rumah-rumah kecil seperti milikku dan juga puri-puri para bangsawan tersebar di lereng-releng bukit
“Minha…!”
Lamunanku terhenti. Tanganku nyaris tertusuk jarum pintal.
“Kita semua dipanggil tuan Armin,” Pietersky berdiri di pintu masuk.
Aku benci kebiasaannya yang suka mengendap-endap hingga tak kusadari kehadirannya. Bergegas aku merapikan pekerjaan dan bajuku lalu berlari turun menara menuju bangunan utama. Kalina dan Pietersky telah berada di sana, berdiri berjajar rapi di depan sebuah meja lonberkilat. Aku mengambil posisi paling kanan. Menelan ludah dengan gugup ketika tuan Armin Vambery menatapku lewat ujung matanya. Wajahnya yang tampan tampak pucat tersapu matahari yang baru menyapa setinggi separuh tiang. Garis menghitam membayang di kantung bawah matanya. Semakin misterius senyumnya dalam sapuan bayangan api tiga lilin yang menyala di atas wadah perak berukir. Aku menunggu dalam debar. Tiga bulan bekerja di puri Poenariburg bukan waktu yang cukup untuk mengenal siapa bangsawan pemiliknya. Yang kutahu ia adalah pengusaha muda, usianya tiga puluh tahunan, tampan, tapi dingin. Apa kegiatannya sehari-hari begitu mesterius. Ia jarang bicara, jarang tersenyum. Bahkan kali pertama aku melihatnya duduk di kursi makan, ditemani lilin dan segelas anggur merah, aku menyangka ia sedang meminum darah segar!
“Duduklah,” tuan Armin Vambery mempersilakan.
Kami bertiga mungkin terlalu bodoh untuk memahami kalimat itu sehingga hanya membatu mendengarnya. Ia kembali mengulang perintah.
“Duduklah. Terserah di kursi manapun.”
Bagai robot berjalan aku mengikuti Kalina mengambil kursi meja makan yang biasanya hanya diperuntukkan bagi para bangsawan. Aku duduk dengan tulang punggung tertekuk, tak berani tegak seakan merasa tak pantas duduk di atas kursi perak berukir berbantalkan beludru bersulam benang emas.
“Sebelumnya aku mau minta maaf,” tuan Armin meneguk sejenak anggur merahnya. “Atas semua sikapku yang mungkin tak baik terhadap kalian.”
Sejenak aku bertatapan mata dengan Kalina. Mungkin perasaan kami sama, tuan Armin bukan jenis majikan yang kejam. Meski bayaran kami tak terlalu besar bahkan terkadang dibayarkan lebih dari tanggal sepuluh tetapi pekerjaan kami terhitung santai. Tak ada beban yang berlebih.
“Kalian tahu keadaan makin sulit akhir-akhir ini,” keluhnya. “Sangat sukar mendapatkan kredit dari perbankan. Suku bunganya terlalu tinggi padahal usahaku juga tidak seluruhnya lancar.”
Kami terdiam beberapa saat. Denting garpu tuan Armin beradu piring.
“Dinasti Graaf memiliki banyak puri sepanjang Transsylvania hingga Borgopass. Di antaranya diwariskan padaku. Aku tak sanggup mengurus semuanya, daripada rubuh tak berguna maka lebih baik kunegosiasikan dengan bank. Atau kujual. Akhir-akhir ini aku sibuk mencari pembeli yang tepat untuk puri-puri warisan dinasti Graaf. Orang-orang incaranku tak memberi pembayaran memuaskan, pihak perbankan pun tak menghargai nilai sejarah yang terkandung di dalamnya dengan takaran bernilai. Untuk puri Poenariburg, aku berpandangan lain.”
Aku menegakkan dagu. Mataku bersirobok dengan mata tuan Armin Vambery. Baru kusadari pandangan itu begitu sedih dan sering tampak melamun. Mungkin ia kesepian. Selentingan berita kudengar istrinya seorang artis opera yang cantik. Mereka telah menikah cukup lama tetapi tak memiliki anak hingga sekarang. Kehidupan keduanya yang bertolak belakang dan harus bepergian dari satu kota ke kota lain atau bahkan melanglang antar negara menyebabkan keduanya jarang bertemu.
“Aku memutuskan memberikan puri ini pada keluarga Suleyman Barinzi.”
“Siapa mereka?” tanyaku tercatus tiba-tiba.
Kupikir aku melakukan kesalahan telah terlepas bicara tetapi tuan Armin hanya menatapku sejenak.
“Seorang yang tinggal di bawah bukit, di desa Verlov. Tempat biasanya kau belanja beberapa keperluan dapur,” jawabnya.
“Mereka kaya raya?” entah mengapa mulutku seperti baut yang kehilangan murnya.
Kalina mendengus tajam. Tapi Tuan Armin malah tertawa.
“Tak ada keturunan Turki yang kaya di Rumania,” jelasnya.
Maka aku benar-benar sangat heran mengapa warisan puri megah Poenariburg jatuh ke tangan Suleyman Barinzi.
***
Aku menatap lekat lukisan di dinding.
Matanya, sikap tubuhnya, ikal rambutnya. Hidung hingga dagunya sangat mirip tuan Armin Vambery. Mungkin ini memang benar ia tetapi mengenakan pakaian yang kutaksir modenya berasal dari beberapa abad lampau. Kami sedang membantu tuan Armin mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ikut pindah. Beberapa saat aku terpaku mengagumi lukisan diri itu. Eksotis. Meski tatapan matanya dingin.
“Itu kakek buyutku, Leosonov Vambery,” sesosok tubuh tiba-tiba berdiri di belakang.
“Oh?” aku mengerutkan kening.”Lalu siapa dinasti Graaf sebenarnya?”
“Ya, ya,” tuan Armin mengangguk-angguk. “Banyak rumor beredar ya? Graaf adalah dinasti ibuku, makanya aku memakai nama Vambery. Graaf nama yang menyeramkan, mungkin, pasti kau pun sering mendengarnya.”
Aku menelan ludah.
Kalina dan Pietersky berada di lantai bawah mengemasi perabotan. Di lantai dua kami hanya berdua. Dingin. Hening. Puri tua yang telah berdiri ratusan tahun ini seperti menjulurkan tangan-tangan tak nampak yang meremas jantungku. Hembusan nafasku terasa panas. Aku selalu mendadak merasa demam bila dalam keadaan takut atau panik.
“Apa rencanamu sebenarnya sebelum memutuskan bekerja di sini, Minha?” tuan Armin mengalihkan pembicaraan.
Aku terdiam sesaat.
“Sebenarnya…” aku ragu-ragu, “Usai baccalareate aku ingin pergi dari Cluj. Pokoknya keluar dari kotaku. Kalau mungkin ke Bukarest untuk masuk universitas. Tapi Mom berkata tak sanggup membiayai, makanya aku mencari kerja dan sampailah di Borgopass ini.”
“Kau suka di sini?”
Kembali aku terdiam. Bahkan menelan ludah.
“Oh ya,” tuan Armin menahan senyum. “Kau takut padaku. Kau takut aku menghisap darahmu seperti legenda Vlad Dracul yang konon berasal dari dinasti Graaf.”
Aku tak tahu harus bagaimana. Mengiyakan mungkin akan menyinggung perasaannya, tetapi menyangkal pun rasanya enggan. Karena memang sesungguhnya aku takut padanya. Pada wajah tampannya yang dingin, pucat dan misterius. Pada sikap sopannya yang menyentuh perasaan perempuan. Konon para pangeran memang pandai merebut hati karena berniat melukai korbannya. Beberapa detik kemudian tuan Armin Vambery tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala.
“Aneh, untuk orang berpendidikan sepertimu masih mempercayai isapan jempol seperti itu.”
Aku membisu. Selanjutnya berkosentrasi pada lukisan di dinding, mengusap debu yang menempel di atas kanvas dan pigura. Jika sudah bersih aku akan menurunkan dan membungkusnya dengan kertas koran.
“Kakek buyutku berbeda jauh dengan Vlad Dracul, Minha,” gumamnya.
Tanganku berhenti mengusap.
“Kau ingin mendengar cerita sebenarnya?” ia bertanya sambil melangkah perlahan mendekati lukisan besar di dinding. Kami sama-sama tertegun tertengadah menatapnya. Aku lalu mengangguk ragu, mengerutkan kening, ingin mendengar cerita dari bangsawan yang jarang memberiku kesempatan untuk bertemu dengannya.
“Vlad Dracul nama bangsawan yang hidup di abad XV,” kisahnya pelan. “Demi mengokohkan kekuasaan ia mondar-mandir dari tahun 1456-1462 mencari dukungan penguasa Hongaria hingga Turki. Tetapi Sultan Mehmed justru menyerbu ibukota Vlad Dracul, Tirgoviste. Kekalahan menyakitkan ini membuatnya dendam luarbiasa.”
Aku menyimak baik-baik cerita itu.
“Vlad Dracul menolak membayar pajak ke Turki. Ketika ia berhasil mengatasi kekalahannya ia menjadi penguasa kejam tak berampun yang berkuasa dengan menumbuhkan rasa takut ke dalam hati rakyatnya. Takut yang menggentarkan karena raja mereka begitu mudah mengalirkan darah untuk sesuatu yang tak ada alasannya. Itulah awal legenda bahwa ia bangsawan yang haus darah.”
Aku bergidik.
“Vlad Dracul hanya berkuasa sebentar di tahun 1476. Sebulan kemudian ia tewas di dekat Bukarest ketika melawan tentara Turki. Ia mati merana dalam kesepian karena konon istrinya pun dibunuhnya sendiri.”
Aku menghembuskan nafas. Tak tahu harus berkomentar apa.
“Apa...ada hubungannya semua cerita ini dengan…dengan keputusan Tuan memberikan puri Poenariburg pada keluarga Suleyman Barinzi?”
Tuan Armin Vambery tersenyum samar.
“Barangkali begitu,” ia tampak termenung. “Semacam perasaan bersalah bahwa nenek moyangku pernah membantai orang-orang Turki. Kalau kita masih memiliki nurani sebagai manusia tentu tidak setuju terhadap teori Machiavelli. Kamu tahu dia, Minha?”
“Ya,” aku mengangguk. “Filsafat tenar dari Italia yang mengatakan kekuasaan harus dipertahankan dengan segala cara. Bahkan kekejaman, tipu daya, segala jalan yang akan mengokohkan kedudukan seseorang yang dianggap pantas menduduki tampuk penguasa.”
“Tuan Armin Vambery memandang lukisan kakek moyangnya dalam pandangan menerawang.
“Aku lebih bangga mengaku sebagai cucu Leosonov Vambery yang hanya seorang pengusaha kecil, dibanding Vlad Dracul yang tersohor sebagai bangsawan kaya tetapi berhati binatang.”
Rasanya kisah tragis memilukan itu masih ingin kudengar kelanjutannya. Tapi tuan Armin Vambery tampaknya tak mau bercerita lebih lanjut. Ia kembali banyak membisu. Diam. Aku pun mungkin akan berkelakuan sama bila tahu berasal dari keturunan seorang penghisap darah. Mungkin ia pun mengalami kegagalan membina hubungan dengan banyak pihak, termasuk istrinya sendiri. Siapa dapat berlega hati berhubungan dengan orang yang memiliki masa lalu mengerikan sepertinya.
“Minha, sebelum pergi aku ingin berpesan. Kau tidak terikat dengan puri ini. Kau boleh pergi atau mengabdi pada Suleyman Barinzi. Mereka bukan keluarga bangsawan sepertiku. Mungkin mereka tak dapat menggajimu, tapi kau pasti akan senang mengenal mereka. Keluarga sederhana yang hangat dan sangat religius. Tidak seperti suku bangsa kita yang hidup tanpa keyakinan apa-apa.”
Ada rasa haru menyelinap. Ia tampak lelah menyembunyikan masa lalunya.
“Kau tentu pernah berputus asa kan?” tebaknya. “Hidup terlalu berat untuk orang yang tidak punya pegangan. Dalam kondisi negeri kita porak poranda seperti ini hampir setiap suku bangsa di negeri kita mengalami guncangan. Suku bangsa kita—Rumania--, Gipsi, Ukraina; kecuali satu golongan. Orang-orang Turki yang tinggal di negeri kita tetap hidup bersemangat sepahit apapun himpitan hidup. Kau perlu mencontoh semangat hidup mereka.”
Aku tergugu. Tuan Armin Vambery yang misterius itu sejenak berubah begitu bijak. Aku semakin tak tahu harus berkata apa ketika ia menyelipkan secarik amplop ke genggamanku.
“Untukmu, jika berniat kembali mencoba ke Bukarest.”
***
Uang duaribu lei itu kusimpan baik-baik.
Kenangan terakhirku dari sang raja Kegelapan, Armin Vambery. Aku menggigil ketika membaca koran suatu pagi mengabarkan seorang pengusaha muda mati bunuh diri. Masih terkenang percakapan terakhir kami tentang pesannya, betapa hidup ini membutuhkan sebuah pegangan pasti. Tanpa itu kita tak akan mampu bertahan menghadapi benturan. Sama seperti yang dialaminya, hidup dalam bayang-bayang kegelapan. Tanpa seorang pun yang memahami akan dirinya mulai rekan bisnis hingga istrinya sendiri. Ada rasa iba yang larut dalam hatiku meski aku tahu itu terlambat datangnya. Ia sudah mengakhiri hidup sama buruknya seperti Vlad Dracul.
Kulipat buru-buru koran yang membuat mataku basah tiba-tiba.
Suara anak-anak kecil berlarian mengejar ayam terdengar hiruk pikuk di halaman belakang. Aku masih belum memutuskan akan pergi ke Cluj, Bukarest atau tetap di Borgopass. Aku masih belum yakin ke mana harus melangkah. Tapi kurasa kata-kata tuan Armin Vambery menyiratkan kebenaran. Bergaul dengan keluarga Suleyman Barinzi sungguh mengesankan. Sikap tulus, kerja keras, dan keyakinan mereka menggugah sudut hatiku. Bahkan Kalina dan Pietersky yang begitu dingin sekarang sesekali menyungging senyum.
“Masak apa kita, Kalina?” tanyaku di dapur sore itu.
“Hanya kentang rebus,” sahutnya sambil tersenyum. Ia tampak cantik kalau begitu.
“Hari ini kita hanya masak sekali.”
“Ya,” ujarnya kembali. “Mereka hanya makan sekali hari ini setelah sepanjang hari tak makan dan minum. Apa ya…namanya?”
“Puasa,” jawabku sambil membantunya mengaduk kuali. “Mereka berpuasa bila sangat sulit mendapatkan sesuatu untuk dimakan.”
Aku melemparkan pandangan ke luar jendela. Mengamati anak-anak dan cucu Suleyman Barinzi sibuk mengurus ayam-ayam. Keluarga miskin itu tetap tampak berbahagia dalam situasi buruk seperti ini. Seharusnya tuan Armin Vambery mengenal mereka lebih lama sehingga membangkitkan semangat hidupnya. Bahwa hidupnya yang terlilit hutang, hubungan yang buruk dengan istrinya, anak yang tak kunjung hadir, usahanya yang berjalan tersendat, masih akan memiliki harapan andai ia memiliki keyakinan. Aku merasa beruntung memiliki kesempatan tinggal lebih lama di puri Poenariburg, mengenal kakek tua Suleyman Barinzi yang bijaksana.
Keterangan:
Tocana: semacam semur
Ham: daging babi
Baccalereate: ujian akhir
Lei: mata uang Rumania
No comments:
Post a Comment