JAMA’AH DAN PARTAI DALAM ISLAM
oleh
Syeikh Omar Bakri Muhammad
I. Banyaknya jama’ah / partai saat ini hingga sulit untuk menghitungnya. Masing-masing memiliki amir dan metode serta target tertentu. Mereka antara lain : Al-Muhajirin, HT, IM, Hizbut Da’wah, Jama’ah Islamiyah, Tanzimul Jihad, Front Islam Internasional, Tanzim al-Islami, Jama’ah Tabligh, Parlemen Muslim, Hizbullah, An-Anshar, Partai Islam Inggris, Jama’ah Ihya’ Minhaj al-Sunnah, Kisdi, FIS, Hizbun-Nahdloh, Jama’ah Salafy, Jama’ah Ahlul Hadist, Dan sebagainya.
Hal yang perlu diketahui apakah syara’ memperbolehkan untuk membentuk jama’ah/partai di satu tempat, dan apakah seorang Muslim diwajibkan bergabung dan mendukung jama’ah Islam itu. Berikut beberapa pertanyaan yang pasti muncul :
1. Apakah Islam membolehkan keberadaan jama’ah/partai tersebut ?
2. Jika demikian, bagaimana bentuk dan jumlahnya ?
3. Apakah hal itu menguntungkan/merugikan kaum Muslimin ?
4. Apakah persatuan jama’ah-jama’ah itu wajib ?
5. Tidakkah lebih baik mereka jadi satu partai “Hizbullah” daripada banyak jumlah, bukankah tujuan dan ideologinya sama ?
Mereka mengambil pendapat dari firman Allah SWT :
“Sesungguhnya partai Allah-lah yang beruntung” (Q.S 58:22) dan
“Yakinlah partai Allah-lah yang akan menang” (Q.S 5:56).
Kedua dalil di atas selalu dikemukakan saat menjawab masalah ini dan menjadi pengesahan keberadaan jama’ah/partai tersebut.
Salah satu perintah Allah untuk kaum Muslimin di partai manapun mereka bergabung yaitu mewujudkan beberapa kewajiban yang tidak mungkin dilakukan sendirian. Untuk menjawabnya, kaum Muslimin mendirikan jama’ah/partai Islam sebagaimana firman Allah SWT: “Hendaknya ada diantara kalian sebuah jama’ah yang menyerukan kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan merekalah golongan yang beruntung” (Q.S 3:104).
Hukum membentuk partai Islam adalah fardhu kifayah[1] bagi setiap kaum muslim dimanapun berada. Dalam Q.S Ali Imran di atas berisi perintah Allah, bagaimanakah kita tahu perintah itu diwajibkan ?
Para ulama ushul dan para fuqaha seperti Imam Al-Zarkhasy, Al-Ghazali, Al-Amidi, As-Syatibi, An-Nawawi, As-Shirazi, Al-Asnawi, dan lain-lain, menyatakan bahwa perintah tidak selalu menunjukkan kewajiban, mungkin hanya berupa anjuran. Untuk mewajibkan suatu anjuran maka diperlukan adanya qorinah/petunjuk syari’ah, jika tidak maka tetap menjadi anjuran saja. Hal ini dikarenakan bahasa Arab asalnya adalah bahasa perintah dan anjuran untuk mengerjakan/tidak mengerjakan. Banyak teks syara’ yang datang dalam bentuk kalimat perintah dalam dua bentuk, tekstual dan kontekstual. Contohnya Allah berfirman :
“Makan dan minumlah …” (Q.S 2:187)
“Dan jika telah selesai shalat, berbaurlah .” (Q.S 62:10)
Banyak ayat Al-Qur’an datang dengan bentuk kalimat perintah. Contoh lain dari Rasulullah SAW yang bersabda :
“Kita diperintahkan untuk menyempurnakan wudlu.” (HR Abu Dawud).
“Tuhanku memerintahkan aku untuk merapikan jenggotku dengan tanganku.” (HR Ahmad).
Banyak lagi contoh yang berisi anjuran umtuk melakukan sesuatu, contohnya adalah hukum berburu tidaklah wajib hanya karena nash tsb datang berbentuk kalimat perintah. Perintah tentang ‘makan’, ‘minum’, ‘berbaur’, juga bukan merupakan kewajiban. Dan juga menyempurnakan wudlu, merapikan jenggot, tidak wajib meski memakai kalimat “Tuhanku memerintahkan aku dan kita diperintahkan”. Jadi anjuran tetap anjuran kecuali ada qorinah yang menjadikan sunnah atau wajib.
Jika indikasinya tidak pasti, maka anjuran itu hanya menjadi sunnah. Contohnya: bertasbih setiap selesai shalat. Dan jika indikasinya pasti maka hukum anjuran itu wajib. Contoh : berpuasa Ramadhan. Jika tidak ada indikasi tersebut maka anjuran itu mubah, sebagaimana firman Allah SWT : “berburulah”.
Sedangkan Q.S Ali Imran: 104 menyatakan kewajiban bagi setiap muslim di manapun ia berada untuk membentuk jama’ah/gerakan kapanpun dibutuhkan oleh Islam untuk memenuhi kewajiban yang telah Allah bebankan kepada jama’ah.
1. “Wal-takun” berarti : “hendaknya ada”. Kalimat pertama (و ) / wawu menunjukkan perintah.
2. Kata ‘min’ (diantara kamu), menekankan kedudukan anjuran itu, karena mengindikasikan agar dikerjakan kapanpun diminta dan dimanapun berada.
3. Salah satu satu tugas jama’ah di dalam ayat itu adalah mengajak umat kepada hukum dan ajaran Islam, serta mengajak orang–orang non-muslim kepada Islam dan kewajiban ini berlaku bagi setiap muslim.
4. Jama’ah harus menyerukan yang ma’ruf (kebaikan/kewajiban) dan melarang yang munkar dan kewajiban ini berlaku untuk semua muslim sebagaimana telah diketahui.
5. Allah SWT berfirman : “Merekalah kelompok yang beruntung”. Ketika Allah memberi pahala amal ini, maka anjuran ini tidak sekedar berfaedah mubah. Karena membawa makna kebalikan (mafhum mukhalafah), berarti yang tidak melaksanakannya saat diminta adalah berdosa.
Ø Makna ‘umat’ dalam bahasa Arab :
“Kelompok, walidah/ibu, lelaki sholeh, kumpulan binatang sejenis, sinonim generasi, tauhid, waktu, lelaki tinggi, wajah tampan, hal/situasi (Q.S 43:22), Al-Shain/peduli (16:92), hai’ah/bentuk (16:92), Ad-Din (21:92), Al-Hin/waktu (12:45), komunitas muslim sedunia (masyarakat yang diikat bersama dalam satu keyakinan ) (Q.S 2:43), jama’ah (28:23),taat.
Kata ‘umat’ biasanya berarti seluruh kaum muslimin. Imam Al-Qurthubi memberikan definisi dalam tafsir ‘Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an’, sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu aqidah. Tetapi Q.S 3:104 ini juga bermakna kelompok karena adanya lafadz “minkum” (diantara kalian). Dalam bahasa Arab kata “minkum” tak bisa dipakai kecuali semuanya dinyatakan terlebih dahulu. ”Kalian semua” disebutkan ayat sebelumnya :”Berpegang teguhlah (kalian semua) …”, maka ayat ini pengganti semua/minkum pada kelanjutan ayat berikutnya. Sehingga makna umat dalam ayat-ayat ini tidak selalu sama.
· Imam Abu Bakar Ibnu Al-‘Arabi dalam bukunya Ahkamul Qur’an : “Sesungguhnya umat di sini berarti jama’ah/kelompok.”
· Imam Ath-Thabari, seorang faqih dalam dalam tafsir dan fiqh , berkata dalam kitabnya Jami’ Al-bayan, tentang arti ayat itu yakni : “Hendaknya ada diantaramu jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum Islam”.
· Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya Al-Tanzil wa Asrar Al-Tawil, tentang arti ayat ini : ” Min, di sini ditujukan pada kelompok tertentu, karena dakwah pada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dengan kondisi dan syarat tertentu tidak mungkin dilakukanseluruh kaum muslimin, seperti kewajibanmemahami syari’at dan caranya. Ini adalah sebab mengapa Allah SWT menujukan pada setiap muslim di awal ayat dan memerintahkan dari antara mereka sebagiannya. Jadi ada batas kewajiban ini, jika ditinggalkan maka seluruh kaum muslimin berdosa, tapi jika telah ada satu jama’ah yang memenuhi seruan itu akan diringankan dosa itu”.
· Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim :
“Ayat ini berarti haruslah ada dari umat satu kelompok yang bekerja untuk Islam, menyeru yang ma’ruf dan mencegah yang munkar”. Dan Al-Dahhaq berkata :” mereka adalah sekelompok para sahabat dan dari ulama lain, berarti sekelompok orang dari para mujahidin dan ulama”.
· Imam Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar “arti kata umat di sini adalah sekelompok orang yang terjadi atas individu yang bersatu dalam satu ikatan bagaikan satu tubuh dalam bertindak”.
Sehingga umat disini berarti jama’ah atau partai :
Ø Jama’ah dalam perspektif bahasa berarti partai atau maknanya yang mirip. Tetapi partai adalah lebih spesifik dari jama’ah. Ciri dari partai yaitu terikatnya seluruh anggota pada sebuah ideologinya (satu) dan satu tujuan yang menyatukan mereka, partai itu meliputi seorang, dengan para pengikutnya, ataum orang-orang yang seide dan mempunyai satu metode.
Ø Dalam Fairuz Al-Abadis Al-Qamus Al-Muhit, disebutkan : “sesungguhnya partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang, dengan pengikut dan pendukung yang punya satu pandangan dan satu nilai’’..
· Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang setujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.
Ø Yad’una : berarti menyeru atau mengajak ( yaitu da’wah)
Ø Al-khair artinya berikut pendapat para sahabat, tabi’n, tabi’ut tabi’in
a. Diriwayatkan dari kitab Jami’ Al-Bayan (jilid 3, bab 4, hal 26) bahwa Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jurair At-Tabari (W. 310 H) berkata : “…, ini berarti seruan pada Islam dan ajarannya (sistem), yang diturunkan kepada manusia dan perintah-Nya untuk mengikuti agama yang dibawa Muhammad sebagai utusan-Nya dan perintah nahi mungkar, memerangi kekufuran dan penyimpangan atau penolakan pada agama Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW.
b. Kitab Fath Al-Qadir (jilid 1, hal 370) Imam Shaukani dalam komentarnya : “Hendaknya ada … al khair …”, berarti fardlu kifayah untuk membentuk kelompok itu dan Ibnu Hatim diriwayatkan Al-Tabi’i Mukatil Ibnu Hayyan bahwa mengajak pada Al-Khair adalah menyeru pada Islam, mengajak pada yang ma’ruf berarti mengajak untuk mentaati Allah dan mencegah yang munkar berarti mengajak agar tidak melanggar perintah-Nya. Ibnu Hatim dari Abu La-Aila bahwa dia berkata Al-Khair di surat ini berarti Islam.
c. Kitab Ahkam Al-Qur’an (jilid 2, hal 62) Imam Al-Kiyya Al-Haras (w. 504 H) berkata : … Al-Khair …”, berarti fardlu kifayah adanya jama’ah yang menyeru pada Islam dan mengoreksi kesalahan kesalahan agama.
d. Imam Shihab Al-Din Al-‘alussi Al-Baghdadi dalam Ruh Al-Ma’ani berkata “… hendaklah …Al-Khair… “, berarti mengajak manusia untuk mengikuti Al-Qur’an dan As Sunnah, Islam.
e. Ibnu Katsir dalam tafsirnya (jilid 1, bab 4, hal 398) “ Hendaknya ada … Al-Khairr … “, berarti Allah memerintahkan suatu jama’ah yang membawa da’wah Islam dan dari Ali Mirdawih dari Abu Ja’far Al-Bakar bahwa Nabi SAW bersabda “Hendaknya ada … Al-Khair …”, berarti menyeru pada Al Qur’an dan Sunah.
f. Imam Nasafi dalam tafsir An-Nasafi yang berisi tafsir Ibnu Abbas : mengajak pada Al-Khair berarti da’wah untuk Islam dan Imam Ali juga berkata : “Al-Khair adalah keseluruhan agama “.
g. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab At-Takattul Al-Hizby dari nashrah yang berisi penjelasan tentang struktur partai disebutkan :
· Poin 1 kita harus membedakan da’wah pada Islam dan da’wah untuk melanjutkan kehidupan Islam, keduanya adalah wajib. Da’wah pada Islam berarti mengajak orang non Islam untuk memeluk Islam, metode praktisnya dengan menunjukkan kebenaran Islam dan mengoreksi kepercayaannya untuk mematuhi hukum Islam.
· Poin 9 : “Allah berfirman ‘Hendaklah ada …Al-Khair…,dari ayat ini maka wajib bagi kaum muslimin dalam suatu negara untuk melakukan dua hal : mengajak umat untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya serta wajib bergabung dengan jama’ah yang berdakwah pada Islam. Ayat ini tak akan terlaksana seluruhnya sampai adanya Daulah Islamiyah berdiri.
Ø (wa) ya’muruna : berarti perintah (‘amr). Inilah kewajiban berjama’ah bukan hanya berbuat ma’ruf saja, tapi sesuatu yang diperintahkan.
Ø (Bi) Al-Ma’ruf : berarti kebaikan, yaitu mengajak kebaikan yang ditinggalkan umat. Dan tidak ada negara Islam maka jama’ah tak mungkin mengajak berjihad (secara ofensif)2.
Ø Al-Ma’ruf : berasal dari kata ‘arafa’ yaitu perintah Allah untuk mengerjakan sesuatu. Kebaikan terbesar adalah mengembalikan kejayaan Islam (Izhar-Al-Diin) yang berasal dari kata zahara atau bangkit. Kebangkitan Islam tidak terjadi tanpa adanya daulah khilafah , jadi khilafah adalah syarat dari kejayaan Islam.
Ø (Wa) Yanhauna : melarang kemungkaran
Ø (‘An) Al-Munkar : berati jahat atau buruk, jama’ah harus melarang atau mencegah kemungkaran ditengah-tengah masyarakat (mereka). Kemungkaran terbesar adalah kufur pada (hukum) Allah atau syirik. Bentuk dari mencegah kemungkaran terbesar adalah dengan menghilangkannya. Menghapus kekufuran adalah sesuatu yang diprioritaskan, Nabi SAW bersabda “ Apapun yang saya larang untuk kalian maka jauhilah dan apapun yang saya perintahkan untuk kalian lakukan maka kerjakanlah semampu kalian” (HR- Imam Bukhori , Imam Muslim dan Imam Tirmidzi).
Perintah dari taklif hukum hadits ini adlah :
- menjauhi larangan, melaksanakan perintah,
- menghapus kemungkaran harus dilakukan tanpa henti (hukum kufur yang diterapkan pada umat)
- mendirikan Khilafah merupakan amal jama’I
- mendirikan Khilafah adalah kewajiban jama’ah sebagai kewajiban asasi, dari berbagai kewajiban yang ada dan akan berubah statusnya menjadi fardu ‘ain jika jama’ah tersebut belum berhasil juga.
- Jama’ah harus mengganti hukum kufur di negeri-negeri kaum muslimin. Mengangkat Khalifah harus dilakukan secepatnya tidak boleh dilakukan asal-asalan.
- Fardlu kifayah tentu punya batas waktu, sehingga tiap orang dibebani kewajiban mengangkat seorang Khalifah tapi tak ada dosa jika ada sebuah jama’ah yang berusaha mewujudkannya tetapi belum berhasil (khusus bagi orang-orang yang telah bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya).
- Jika belum berhasil juga maka hukumnya menjadi fardlu ‘ain yang berarti setiap orang diberi beban dan berdosa bagi yang berdiam diri saja.
- Maka wajib bagi setiap muslim untuk berusaha mendirikan Khilafah Islamiyyah (bukti dalil setelah ini)*
II. Mengapa individu tidak mampu mendirikan Khilafah tanpa jama’ah ?
Kewajiban ini tak mungkin dapat dipenuhi hanya oleh individu saja karena aktivitas ini berkaitan dengan mengubah hukum dan aturan. Dan Allah SWT telah membuat takhsis atau pengkhususan antara amal jama’i dan amal individu. Amal individu untuk individu, jama’ah untuk jama’ah, karena dengan sendiri apabila tak mungkin mendirikan Khilafah, maka amal ini berubah statusnya menjadi amal jama’i (berdasarkan kaidah Ma la yatimul wajib fahuwa wajib). Dan Rasulullah yang menjadi suritauladan kita (Qs. 33 : 22), dan beliaupun tidak sendirian dalam mengubah masyarakat. Beliau berda’wah bersama para sahabatnya, sebagai jama’ah. Syaikh Taqiudin An-Nabhani menjelaskan maksud ayat “Maka sampaikanlah dengan terang-terangan apa yang telah sampai padamu…”, Allah memerintahkan jama’ah untuk berda’wah secara terbuka. Setelah ayat ini turun, para sahabat berkumpul di ka’bah secara terorganisasi, inilah saat da’wah terbuka.
2.1. Membantah pendapat kelompok yang mengharamkan berjama’ah.
Ada segolongan umat yang berpendapat haramnya adanya jama’ah-jama’ah. Pemahaman ini bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur’an yang justru mewajibkan keberadaannya.
Mereka memakai argumentasi bahwa “berkelompok menyebabkan perpecahan”. Padahal Allah telah memerintahkan adanya jama’ah, dan perintah ini berhubungan dengan perintah yang lain agar uamt Islam bersatu. Meski sekarang kondisinya tidak demikian namun hal tersebut tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk menghapus perintah Allah untuk mengadakan jama’ah tersebut. Islam tidak dihukumi dengan kondisi umat. Keberadaan partai tidak dapat disalahkan karena kesalahan\penyimpangan anggotanya, tapi dinilai dari pemikiran dan metodenya apakah berasal dari Islam atau bukan ?.
2.2. Mengapa boleh ada lebih dari satu jama’ah ?
Perintah mendirikan jama’ah tidak dibatasi jumlahnya. Pertama, ayat : “Hendaknya ada diantara kamu jama’ah … “ tidak disebut jumlah, kata “umat” berbentuk nakirah atau umum. Jadi boleh ada jama’ah selama dengannya kewajiban terpenuhi. Tapi bila satu jama’ah berhasil memenuhinya maka tak boleh membentuk jama’ah lagi, sebagai contoh sekelompok orang diberi salam, seorang saja yang menyahut maka yang lain gugur kewajibannya. Jika memang ayat ini hanya untuk satu jama’ah ( sebagaimana dituduhkan oleh sebagian orang yang memiliki ghirah ke-Islaman ) tentunya bentuk kalimatnya tunggal atau mufrod seperti berikut : “Hendaknya ada satu umat (al-umat) diantaramu …” tapi faktanya ayat ini berbentuk jamak dan inilah bukti bolehnya keberadaan jama’ah-jama’ah sebagaimana dimaksud.
2.3. Perbedaan firqah dan jama’ah
Ø Adanya juga yang berpendapat haramnya haramnya memecah belah umat dengan bergolong-golongan, dalil mereka gunakan adalah firman Allah SWT : “Mereka yang memecah belah agamanya menjadi bergolong-golongan, setiap golongan bangga akan kelompoknya” (Qs. 30:31-32). Hadits Rasulallah SAW : “yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan/firqah, Kristen menjadi 72 golongan, dan umat akan terpecah menjai 73 golongan” (Abu Daud, Tirmidzi, Al-Hakim, Ahmad). Imam Tirmidzi menyatakan : “Hadits ini hasan sahih”,.
Ø Hadits diatas juga diriwayatkan imam Abu Daud (2/503), Ahmad ( 4/102) Al-Hakim (1/128) dsb. Beberapa ulama seperti Imam Syaukani dan Al-Kausari mengatakan hadits ini dhaif, sedang Ibnu Hazm berkata hadis ini palsu.
Dalam riwayat lain dari jalan Anas Bin Malik :
“Semuanya dineraka kecuali yang mengikutiku dan sahabatku”.
Ø Penting bagi kita memahami hadts ini sesuai konteksnya. “ Dengan pertolongan Allah” arti atau maksud dari hadits ini ditinjau dari sebab turunnya, sehingga pandangan kita terhadapnya menjadi jelas. Rasulullah menerangkan umat Kristen dan Yahudi terpecah menjadi beberapa sekte, dan umatnya menjadi 73 sekte, seluruhnya dineraka kecuali yang mengikuti jalannya dan para sahabatnya. Penyebutan terpecahnya umat Islam setelah yahudi dan nasrani berarti menunjukkan hukuman atas perbuatan mereka. Pertanyaan dimanakah perbuatan yahudi dan nasrani yang menyebabkan mereka disebut firqah. Al-Qur’an pun memerintahkan kita untuk tidak berpecah belah sebagaimana orang-orang yahudi dan nasrani, yang disebutkan di beberapa tempat dalam Al Qur’an :
”Dan kami memberi Musa kitab dan diikuti para utusan . dan kami memberi Isa, anak Maryam, tanda yang dan Kami kuatkan dia dengan Rahul Qudus. Apakah ketika kami mengutus Rasul dengan syariat yang tidak kau sukai, kau berbalik dengan sombong, mengatakan sebagai pembohong dan membunuh yang lain”. (Qs. 2:87).
“Dan kami beri Isa ,anak Maryam, tanda yang nyata, tapi mereka ingkar, ada yang percaya dan ada yang tidak”.(Qs. 2:253)
“Mereka tetap ingkar sampai datang pengetahuan …”(Qs. 3:19) Þ Mereka ingkar pada pada hari akhir dan hukuman bagi mereka adalah siksa yang pedih di neraka.
Firman Allah SWT : “Dan mereka berkata, kami tidak disiksa dineraka kecuali beberapa hari. Katakan apakah mereka punya perjanjian dengan Allah …”(Qs. 2:80). Mereka berpecah-belah karena saling mengkafirkan.
Firman Allah SWT : “Dan Yahudi mengatakan orang kristen itu tidak punya satu pegangan, dan orang-orang Nasrani berkata : orang-orang tidak mempunyai suatu pegangan, padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab. Demikian pula orang-orang yagn tidak mengetahui” (Qs. 2:113).
Setelah ini kita tahu bahwa ingkar\kufur pada masalah yang mendasar. Mengingkari Rasul Dan hari kiamat (Al-An’am 29), Malaikat, Keesaan Allah, surga dan neraka, dsb. Karenanya Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk tidak berpecah belah seperti mereka. Jadi pengingkaran yang dimaksud adalah pada hal-hal yang mendasar atau fundamental dalam agama. Untuk menerangkan hal ini lebih lanjut, tafsir ayat ini akan memperjelas : “Dan berpegang teguhlah pada tali Allah jangan berpecah belah”.
Allah memerintahkan setiap muslim untuk berpegang teguh pada “tali Allah”
Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Abu Said Al Khudri mengatakan yang dimaksud adalah Al Qur’an. Ibnu Al Mubarak mengatakannya sebagai jamaah.
Sedang “Jangan berpecah belah”, Imam At Tabari mengatakan : “ Dan jangan mengingkari agama Allah dan harus mematuhi Nya dan utusanNya”.
- Ibnu Katsir : “Dia memerintahkan bereada dalam jama’ah dan tidak berpecah belah”.
- Imam Al Qurtubi mengatakan : “Jangan berpecah belah seperti orang Yahudi dan Nasrani dalam agama mereka”.
Maka beda pendapat yang dilarang bagi orang muslim adalah pada pokok, bukan pada masalah furu’, karena beberapa hal :
1. Muslim tidak boleh berbeda pendapat dalam masalah-masalah pokok seperti yang disebutkan ayat-ayat diatas.
2. Sunnah Rosulullah membolehkan perbedaan dalam furu’iyah/cabang
3. Perbedaan pada masa sahabat juga dalam masalah furu’ dan tak dihukum atas hal ini waktu itu.
4.
5. Kesimpulannya dari bukti-bukti di atas, Hadits itu ditujukan untuk sekte/firqah bukan untuk jama’ah, jama’ah berbeda pendapat pada masalah yang mubah, sedang firqah pada masalah-masalah fundamental yang dilarang.
Kesimpulan :
Ø harus ada jama’ah untuk memenuhi seruan itu/fardu kifayah
Ø kata umah dalam ayat ini berarti jama’ah
Ø al-khair bermakna Al Islam
Ø Jama’ah tersebut puya tugas tugas tertentu :
1. mengajak pada Islam, mengajak pada ma’ruf , mencegah yang mungkar.
2. berusaha mendirikan Khilafah (saat ini)
3. kewajiban mendirikan Khilafah bagi setiap muslim dan merupakan amal jama’i.
4. pengharaman berjama’ah-jama’ah bertentangan dengan Qs 3:104
5. Diijinkan keberadaan lebih dari satu jama’ah.
6. Ada perbedaan mendasar antara firqah dan jama’ah
Partai yang dimaksud Qs. 3:104 mempunyai beberapa ciri :
a. Memiliki amir yang dipatuhi selama sesuai dengan Al Quran dan Sunnah, Nabi SAW bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safat, tunjuklah amir satu diantaramu” (Muslim).
b. Harus berdasarkan aqidah Islam (Qs. 3:85)
c. Tujuan partai adalah melanjutkan/mewujudkan kehidupan Islam, bukan mengangkat menteri, anggota parlemen, apalagi mecari kesejahteraan moral, atau tujuan spiritual. Kehidupan Islam akan berlangsung jika ada yang bertanggung jawab terhadap penerapan syari’at yaitu Khilafah, seperti kaidah ushul : “Sesuatu yang mengantarkan pada kewajiban hukumnya wajib”. Penerapan syari’ah harus meliputi seluruh bidang kehidupan adalah sesuatu yang wajib, dan Khilafah adalah satu-satunya institusi yang absah (menurut syara’) untuk mewujudkannya dan wajib bagi kita mewujudkan dan mengusahakan berdirinya institusi khilafah.
d. Tujuan utama partai adalah keridlaan Allah (Qs. 59:8)
e. Tidak perlu ijin/aturan tertentu kecuali aturan dari Allah.
f. Ikatan diantara anggota harus ikatan aqidah islam dan ideologi dan bukan nasionalisme, spiritualisme/materialisme. Nabi SAW, bersabda, “Tak ada perbedaan diantara orang arab dan non arab kecuali ketaqwaannya” (Muslim). Dalam Qs. 3 : 104 menekankan bahwa umat disini haruslah berbentuk jama’ah atau partai politik, atau politik dalam Islam berarti mengatur/mengurus urusan umat berasaskan Islam, yang sangat jauh berbeda dengan politik dalam pengertian barat yaitu seni pragmatis, berada dalam situasi berasaskan realitas sehingga harus realistis, hingga mentolelir kebohongan, kecurangan demi kepentingan kelompok yang sesaat, yang kesemuanya bertolak belakang dengan makna politik Islam.
Dalam Qamus Al-Muhit politik adalah : “saya mengatur orang”, saya memerintahkan dan melarang mereka. Memerintahkan /mengajak serta melarang pada Islam. Politik disini bermakna mengatur urusan umat lokal maupun internasional dengan menggunakan aturan tertentu. Dalil dari Sunah bahwa politik berarti mengatur urusan umat dan melindungi kepentingannya adalah wajib bagi tiap muslim, termaktub dalam sabda Rasul : “Setiap kamu adalah penjaga, dan kalian akan ditanya tentang yang kamu jaga” (HR-Muslim), sabda beliau lagi : “ Akan ada segolongan umatku yang selalu mengingatkan kebaikan dan mereka pasti akan menang, musuh-musuh mereka takkan dapat mengalahkan mereka” (HR-Ahmad), “Barang siapa yang tidak peduli pada urusan kaum muslimin maka bukan termasuk golongan mereka ”(HR-Muslim), “Jihad terbaik adalah menasehati penguasa yang zolim” (HR Muslim & Ahmad), “ Islam adalah nasehat, kami bertanya : Bagi siapa ? ya, Rasulullah jawabnya : Bagi Allah, AkitabNya, UtusanNya, dan para pemimpin diantaramu” (HR-Muslim, Abu Daud, Tirmizi), “
Ketentuan di atas berlaku untuk setiap muslim dan bukan hanya untuk partai. Dimana ciri dari sebuah partai haruslah melakukan aktifitas politik seperti disebutkan oleh nash-nash diatas. Partai itu tugasnya adalah “mengajak umat melakukan perintah Allah dan menghindari larangan-Nya”. Dalam hal ini tugas sebuah partai politik Islam, adalah bertujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam yaitu mengembalikan penerapan seluruh Hukum Allah SWT mulai Aqidah, Ibadah, Akhlaq, Muamalah dll dalam kehidupan Umat Islam dengan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah yang hanya bisa diwujudkan dengan aktifitas politik yang sesuai dengan tuntunan syara’ (yaitu Allh SWT).
Wahai kaum muslimin, Rasulullah mengiformasikan bahwa akan selalu ada jama’ah diantara kita yang demi Islam sebagaimana beliau dan para sahabatnya berjuang menegakkan Khilafah Islam di Madinah, sehingga Khulafa’ur Rasidin, Umayah Abasiah, Utsmani dan Mustafa Kemal A. menghancurkannya ditahun 1924.
Wahai kaum Muslimin, Rasulullah dan para sahabatnya menegakan Khilafah dan diteruskan hingga di hancurkan musuh-musuh Islam. Dan kehormatan bagi kaum muslimin saat ini untuk bersama-sama menegakkan Khilafah untuk memenuhi tugas Allah yang dulu diberikan pada Rasulullah dan para sahabatnya. Allah pasti memberikan kemenangan bagi kita, insya Allah.
Syaikh Muhammad Umar Bakri
Hakim Pengadilan Syari’ah Inggris
* Diterjemahkan oleh Muhyiddin Al-Tulungagungi
* Ditashhih dan ditahqiq oleh Muhammad Lazuardi Al-Jawi
[1] Fardhu kifayah : kewajiban yang dibebankan bagi kaum muslim yang jika sudah dilakukan dengan sempurna sebagaimana yang dituntut oleh syara’ oleh sekelompok orang dari kaum muslimin maka gugur keawajibannya bagi kaum muslimin yang lain , contohnya usaha menegakkan kekhilafahan, dan membentuk jama’ah Islam untuknya, dan lain-lain (Lihat Fikrul Islam Bab Fardhu Kifayah, Al-Ihkam Ushul Al-Ihkam Oleh Imam Al-Amidi, Irsyadul Fuhuul oleh Imam Suyuthi, Mustasyfa’ oleh Imam Ghozali, Syakhsiyah Al-Islamiyah juz 3 oleh Imam An-Nabhani dll).
No comments:
Post a Comment