27 Desember 2009
Yth. Caryl,
Re: “Reality Check: The Party’s Not Over” Terbit on-line tanggal 22/12/2009
Artikel Anda sangat menarik dan menimbulkan beberapa pertanyaan berkaitan meskipun ada banyak ketidakakuratan yang berulang.
Anda benar ketika mengatakan bahwa organisasi kami telah tumbuh dalam jumlah kekuatan dan pengaruh selama lebih dari 60 tahun, memiliki tujuan yang jelas, dan tidak pernah menyimpang dari metode intelektual dan politik. Ide-ide kami menjadi lebih halus dan terperinci selama puluhan tahun.
Selama puluhan tahun, pandangan dunia Islam kepada kami telah berpindah dari pandangan skeptis atas tujuan kami (untuk menghidupkan kembali Islam sebagai dasar bagi kehidupan politik dan menegakkan kembali Khilafah) menjadi suatu pandangan dimana tingkat dukungan masyarakat telah lebih dari 70% menurut beberapa jajak pendapat.
Peningkatan dukungan atas ide-ide politik Islam ini - khususnya mengenai Kekhalifahan - menampilkan pertanyaan yang sebenarnya yang harus ditanyakan kepada Barat. Yaitu, bagaimana Barat dapat memahami dan berdialog dengan pandangan seperti ini?
Adalah memalukan bahwa artikel Anda tidak menyuarakan hal ini. Sebaliknya Anda malah melontarkan argumen pada bagaimana melawan pengaruh-pengaruh Hizbut Tahrir, yang terletak diantara seruan larangan oleh David Cameron dari partai Konservatif dan seruan Douglas Murray untuk memberikan response untuk lebih ‘ McCarthyite ‘ (McCarthyisme adalah praktek untuk membuat tuduhan disloyalitas, subversi, dll - red). Namun, kedua pandangan itu bertentangan dengan argumen yang anda kutip bahwa “cara terbaik untuk melawan ekstremisme religius adalah dengan memiliki kebebasan beragama” - dan dengan demikian jatuh ke dalam perangkap yang sama seperti kebanyakan kebijakan ‘perang melawan teror’ dalam hal bahwa mereka menghancurkan prinsip-prinsip yang mereka pura-pura tegakkan.
Anda mengajukan pertanyaan, “Apakah partai Islam Hizb-ut-Tahrir merupakan sebuah ancaman bagi masyarakat Barat?”
Tidak ada ancaman dari Hizbut Tahrir dari akar hingga ke dahan. Pemerintah kolonial Barat tahu baik akan hal ini. Tapi dilema yang mereka hadapi adalah ‘ancaman’ bagi kelangsungan hidup klien rezim-rezim politik di dunia Islam yang menempatkan para kolonial Barat dan kepentingan perusahaan-perusahaan mereka di atas kepentingan Islam dan umat Islam. Jika misi Hizbut Tahrir dapat memenangkan opini publik dan mendapat dukungan kekuatan dari para pemilik kekuasaan di negara-negara Muslim itu, para ” kacung otoriter” itu akan disingkirkan dan diganti suatu sistim yang Islami, yang sepenuhnya bertanggung jawab dan di mana wewenangnya adalah milik masyarakat.
‘Ancaman’ lain yang mereka rasakan adalah bahwa Hizbut Tahrir menyoroti dampak rusaknya cara hidup kapitalis sekuler yang merusak dan mengungkap kebijakan-kebijakan kolonial yang memusuhi Islam dan umat Islam. Hal ini mungkin akan merusak kepentingan pemerintah, tapi saya berpendapat bahwa ini seperti melihat keburukan rupa pada cermin yang sayangnya itu merupakan suatu kenyataan.
Model yang kami tawarkan kepada dunia Islam sangat memerlukan stabilitas; sedangkan kebijakan Inggris, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya adalah penyebab dan secara aktif mengabadikan kekacauan dan ketidakstabilan. Perjanjian Sykes-Picot, penghapusan kekhalifahan dan perebutan kekuasaan atas Palestina menyerang jantung dan pusat dunia Islam. Akibatnya, semuanya berantakan dan ‘anarki itu merajalela didunia “(mengutip kata-kata Yeats) karena dunia Islam tidak lagi mempunyai pusatnya’. Inilah ‘pusat’ dimana kami berusaha pulihkan, sebagaimana yang diwajibkan Islam dan itu adalah prioritas terbesar dan hal ini memang ‘mengancam’ kolonialisme.
Ketika umat Islam berjuang untuk tujuan ini, pemerintahan Barat dan lembaga penelitiannya begitu mudah melabeli kami sebagai ‘ekstremis’ atau secara salah mengkaitkan dengan ‘terorisme’. Namun, hal itu adalah ironis bahwa pada satu waktu pernah George Washington juga diberi label itu oleh pihak berwenang di Inggris sebagai seorang teroris, karena ia berjuang untuk membebaskan Amerika dari kekuasaan despotic kolonial Inggris yang didasarkan pada keyakinan pada Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence). Dan apabila diingat bahwa ada orang Inggris bernama Thomas Paine yang mengilhami para Pendiri Negara, dengan pamflet penentangan yang disebut ‘Common Sense (Akal Sehat)’ pada tahun 1776, saat ini mereka toh tidak menyebut dirinya itu sebagai seorang ‘ban berjalan di pabrik’ yang memproduksi teroris, maupun ide-ide yang memotivasi menjadi ‘ekstremis’!
Hizbut Tahrir hanya dipengaruhi oleh Islam; senjata kita bukan apa-apa kecuali ide dan kata-kata; tujuan kami adalah membebaskan dunia Islam dari penjajahan dan pemulihan Kekhalifahan sehingga orang dapat hidup dengan aman dan adil dan kami sungguh percaya dukungan kepada kami atas tujuan ini akan tumbuh lebih kuat.
Saya berharap bahwa Anda akan mendengar pandangan-pandangan kami dari tangan pertama. Tentu saja kami akan menyambut baik dialog yang tulus dan benar-benar berharap bahwa Anda bisa menjawab surat saya.
Hormat kami,
Abdul Wahid
Ketua Komite Eksekutif Inggris
Hizbut Tahrir
Jawaban dari Caryl Kristen [diterbitkan pada ‘Muslim dan Kekhalifahan']:
Pernyatan Wahid bahwa mayoritas umat Islam secara otomatis setuju dengan tujuan dari partainya adalah salah satu hal yang menarik. Ya, memang polling (jajak pendapat) yang dia sebutkan memang menunjukkan dukungan mayoritas untuk memulihkan ide kekhalifahan. Namun, saya bertanya-tanya berapa banyak responden yang sama akan setuju dengan ini jika mereka ditanya pada saat yang sama apakah mereka akan bersedia melakukannya jika itu berarti menyerahkan kedaulatan nasional negara-negara di mana mereka hidup hari ini. Saya menduga bahwa banyak dari mereka yang kemudian menolak tawaran itu. Jajak pendapat yang sama yang dikutip Wahid juga menunjukkan bahwa “67 persen dari mereka yang disurvei setuju bahwa ’sistem politik demokratis’ adalah cara yang baik untuk memerintah negara mereka dan 82 persen setuju bahwa di negara mereka ‘orang-orang dari berbagai agama harus bebas untuk beribadat menurut kepercayaan mereka masing-masing ‘ “- dua prinsip yang tidak akan berlaku di bawah syarat-syarat sebuah negara Islam global seperti yang ada dalam pikiran Wahid. (Contohnya, partainya menyerang secara konsisten pengertian tentang demokrasi perwakilan)
Singkatnya, saya tidak meragukan bahwa kebanyakan umat Islam di seluruh dunia ingin melihat peran yang lebih besar untuk nilai-nilai Islam dalam masyarakat mereka. Saya juga tidak percaya bahwa kebanyakan umat Islam menyetujui intervensi bersenjata dalam urusan mereka yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Tapi saya tentu tidak berpikir bahwa hal ini berarti bahwa Hizbut Tahrir secara otomatis akan memenangkan semua suara jika ia ada dalam pemilihan umum yang bebas, atau jika mereka dipilih untuk bertindak sebagai mediator antara mereka dan pemerintah yang ada di seluruh dunia. Dan itu berarti lebih sedikit lagi bagi masyarakat demokratis, baik di Barat atau di tempat lain, yang harus memperlakukan partainya Wahid itu sebagai teman bicara yang sah. Suatu masyarakat demokratis yang hormat atas dirinya harus menghormati semua agama; namun ini tidak berarti harus membuat hidup menjadi mudah bagi ideologi keagamaan yang bertujuan menghancurkannya.
Tanggapan Abdul Wahid (3 Januari 2010)
Kepada Yth Caryl,
Re: “Muslim dan kekhalifahan” Terbit on-line pada tanggal 30.12.2009
Merupakan suatu yang baik bahwa Anda menanggapi beberapa poin yang saya ajukan dalam surat saya tapi saya merasa bahwa balasan Anda itu lebih menggambarkan poin saya bahwa kekhalifahan dan sistem politik Islam kurang bisa dipahami.
Saya lampirkan tanggapan saya di bawah ini.
Hormat Kami
Abdul Wahid
Ketua, Komite Eksekutif Inggris
Hizbut Tahrir
Respon untuk Caryl Kristen dari Majalah Foreign Policy
Tanggapan Christian Caryl tertanggal 30.12.2009 atas surat saya yang berkaitan dengan artikel asli yang ditulisnya tanggal 22.12.2009 hanya merupakan bukti lebih jauh tentang bagaimana buruknya sistim politik Islam dipahami.
Pertama, Caryl seharusnya jangan bingung oleh kontradiksi yang nyata atas dukungan mayoritas bagi kekhalifahan maupun juga bagi sebuah sistim politik “demokrasi”. Hal ini karena kebanyakan muslim menganggap istilah “demokrasi” sebagai istilah yang merupakan kewajiban bagi orang untuk memilih dan meminta pertanggung jawaban pemerintah mereka - sesuatu yang diperintahkan Islam selama satu milenium atau lebih sebelum negara-negara sekuler modern mengadopsi hal ini. Hal ini tidak boleh dianggap sebagai semacam dukungan terhadap demokrasi liberal seperti yang dipraktikkan di Eropa Barat atau Amerika Utara karena sistem Islam secara krusial berbeda dengan demokrasi dalam hal Islam membutuhkan Syari’ah sebagai sumber perundang-undangan. Hal ini tentu saja berbeda dengan demokrasi yang ideal, yang menyatakan bahwa pemerintah haruslah dari ‘rakyat’ (Saya mengatakan hal yang ideal karena sebenarnya sistem demokrasi kenyataanya adalah oligarki di mana hanya orang-orang kaya dan berkuasa yang bisa mempengaruhi dibuatnya suatu undang-undang).
Hal ini juga tercermin dari jajak pendapat yang dilakukan di Pakistan tahun 2008 yang diakui bisa menggambarkan adanya dukungan bagi peran yang lebih besar baik untuk Islam maupun untuk “demokrasi” dalam kehidupan politik. Dalam jajak pendapat itu pertanyaan mengenai ‘demokrasi’ yang ditanyakan pada polling merujuk secara khusus pada “hal-hal yang diatur oleh wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat”.
Sistim Islam adalah sistem di mana rakyat memilih pemimpin mereka dan dapat menurunkan pemimpin itu jika ia melanggar kontrak ketika dia berkuasa. Selain itu, akuntabilitas oleh rakyat tidaklah merupakan hak yang demikian besar melainkan suatu kewajiban dari warga negara. Kewajiban yang bisa dilakukan oleh individu, kelompok atau partai politik, atau melalui banyak cara lain - apakah itu Masjid, Media, atau tuntutan hukum. Selain itu, kami menawarkan untuk menghidupkan kembali suatu institusi Islam, yang merupakan cabang dari Peradilan (Yudikatif), yang peran satu-satunya adalah untuk meneliti dengan cermat apa yang dilakukan Eksekutif dan mengambil keputusan mengenai keluhan-keluhan yang diajukan oleh warga negara terhadap Eksekutif.
Selain itu, dalam negara Islam warga negara non-Muslim diberi ruang dan dihormati untuk mempraktikkan agama mereka sendiri. Jadi pernyataan dalam jajak pendapat Maryland bahwa ‘orang-orang dari setiap agama harus bebas untuk beribadat menurut keyakinan mereka sendiri’ adalah sesuai sepenuhnya dengan sistem yang ditawarkan Hizbut Tahrir.
Namun, adalah menggelikan untuk membicarakan pemilu yang bebas atau membicarakan kedaulatan nasional ketika hal-hal itu tidak ada di dunia Islam sejak runtuhnya Kekhalifahan Utsmani. Bagaimana dikatakan tidak ada ‘kedaulatan nasional’ yang hilang! Sejumlah besar pasukan secara langsung menduduki Afghanistan, Irak, Kuwait, Qatar dll. Di Pakistan, Amerika Serikat telah membom sasaran-sasaran di dalam negeri itu dan jaringan keamanan Amerika bebas berkeliaran meskipun bertentangan dengan keinginan penduduk.
Pemilihan umum sebagian besar adalah penipuan untuk melegitimasi diktator seperti Mubarak dan Karimov; atau terjadi dalam kerangka di mana daftar para calon secara hati-hati diseleksi sebelum disetujui, seperti di Irak; atau keduanya seperti pada lelucon yang paling baru yang terjadi di Afghanistan.
Hizbut Tahrir tidak pernah mengklaim bahwa ia adalah satu-satunya wakil dari umat Islam. Tapi menjadi fakta bahwa ia sangat mewakili tren dalam umat Muslim mengenai aspirasi suatu persatuan Dunia Islam, pembebasan tanah Islam yang diduduki, pelaksanaan Syariah dan pendirian Khilafah.
Namun, masalahnya adalah bahwa tidak hanya tidak adanya usaha untuk berdialog dengan siapa pun yang membawa pandangan-pandangan seperti ini, tapi aspirasi ini telah menjadi suatu definisi ekstremisme! Satu-satunya kemiripan dialog yang menghibur adalah dengan orang-orang yang setuju untuk mengambil parameter kepada demokrasi liberal yang sekuler. Waktunya telah tiba bagi pemerintahan Barat untuk menerima kenyataan bahwa orang lain ingin hidup sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip mereka sendiri, dan mengakhiri campur tangan mereka yang telah menimbulkan kekacauan dan penderitaan yang tak terbilang.
Kita siap menerima akibat dan tidak malu ketika membahas konflik ideologis ini. Caryl mungkin percaya bahwa kritik kami yang keras terhadap demokrasi liberal telah menghalangi kami untuk melakukan diskusi tetapi kritik-kritik kami tetap sesuatu yang sah mengingat bahwa kita telah menyaksikan beberapa dekade usaha yang gagal untuk menerapkan sistem ini di dunia Muslim, apakah itu dilakukan dengan kekuatan langsung atau campur tangan kolonial.
Lagi pula, untuk membantah komentar terakhir Caryl, kaum Muslim yang hormat atas dirinya sendiri seharusnya tidak membuat mudah bagi pemerintah demokratis yang merencanakan kematian atas ide-ide politik dan social Islam dan mencoba untuk memaksa kelompok lain dan malah mengatakan model yang utopis.
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/23/debat-terbuka-caryl-kristen-majalah-foreign-policy-dengan-abdul-wahid-hizbut-tahrir-inggris-tentang-khilafah-dan-dunia-islam/
No comments:
Post a Comment